Aldo sedang meeting dengan klien barunya saat melihat Adel dan putrinya sedang berdiri di koridor outlet mainan anak di mol yang sama dengan tempat meeting-nya. Senyum pria itu terkembang. Dia memohon diri sebentar dari rekan-rekannya untuk menghampiri dua malaikatnya itu.
"Adel?" Sapanya dengan nada semangat. Yang dipanggilpun segera menoleh. Raut wajahnya berubah secepat tolehannya tadi.
"Papa!" Tasya spontan menghambur ke pelukan Aldo. Untuk yang satu itu Adel tidak keberatan menarik bibirnya untuk tersenyum. Kalau untuk kebahagiaan Tasya dia tidak akan jual mahal.
"Kalian sedang apa? Tasya minta dibelikan boneka baru lagi?" Aldo bertanya kepada mantan istrinya itu. Adel mengangguk.
"Ya sudah, biar kutemani." Adel tidak sempat menolak ketika Aldo sudah bergerak menggendong Tasya masuk ke dalam toko. Adel terpaksa mengikut dari belakang.
Aldo dengan semangat empat lima menunjukkan segala jenis boneka kepada putrinya yang lucu. Wajar, sudah enam bulan dia tidak bertemu Tasya dan Adel. Selain karena pekerjaaanya yang sangat menyibukkan, belakangan Adel juga terkesan sering menghindar setiap dia merencanakan pertemuan. Dia sangat merindukan Tasya, dan ibu anak itu. Dia rindu Adel kembali ke sisinya. Dua malaikat yang baru disadari adalah bagian yang sangat penting didalam hidupnya, melebihi apa yang dia punya saat ini.
Setelah bercerai dengan Adel, Aldo mulai berusaha meninggalkan kebiasaan 'main perempuan'-nya. Bahkan sejak pertama Adel mengajukan gugatan cerai kepadanya, sebenarnya dia sudah bertekad untuk berhenti. Tapi dia tahu, Adel tidak akan mudah percaya dan mau diajak rujuk.
Mau tidak mau dia harus pasrah bercerai dengan segala penyesalannya. Dia harus puas tinggal sendiri lagi. Meskipun para wanita yang menemaninya di tempat tidur silih berganti, jiwanya tetap kesepian. Serasa tidak bisa hidup tanpa istri dan buah hatinya.
Pertemuan tak diduga seperti ini sangat jarang terjadi. Oleh karena itu dia tidak akan menyia-nyiakannya. Saat ada waktu, dia mengirim pesan untuk membatalkan meeting dengan rekan-rekanya yang sedari tadi sudah menunggunya.
Adel membaca kesenangan yang tersirat di wajah Aldo. Walaupun dia sedikit keberatan, dia tidak bisa melerai Aldo membawa mereka keliling mol lagi setelah Tasya mendapatkan bonekanya. Dia sadar Aldo juga merupakan bagian terpenting untuk pertumbuhan Tasya.
Sekalipun dia punya gengsi yang tinggi, dia akan mengalah demi Tasya. Dia bisa berpura-pura sibuk kalau tidak ingin berdekatan dengan mantan suaminya itu.
Seperti ketika mereka makan bersama sekarang. Tasya memilih duduk dipangkuan Aldo dan dia duduk dihadapan lelaki itu. Kalau tidak ada bahan obrolan Adel akan berpura-pura sibuk dengan makanannya. Makanan yang tidak kunjung sampai ke dalam mulutnya.
"Kau diet?" Aldo memecah kesuyian. Kepala Adel terangkat cepat. Sangat ketara dia melamun.
"E...enggak..."
"Atau sedang melamun?"
"Enggak juga..."
"Tapi kau terkejut saat kupanggil." Pria itu tersenyum kecil. Ketahuan, Adel balas berdecak.
"Kerjaanmu lancar?"
"Lancar."
"Resort ramai?"
"Biasa saja." Nada suara Adel masih jauh dari ramah. Aldo mengalah dan memilih menyibukkan diri dengan Tasya. Dia sadar dan pasrah kalau Adel bersikap dingin kepadanya. Dia pantas mendapatkannya.
"William?" Kepala Adel yang tertunduk mendadak kaku mendengar Aldo menyebutkan nama keramat yang belakangan menghantui pikirannya. Kemudian dengan ekor matanya Adel mengawasi sosok tinggi yang perlahan-lahan mendekat ke arah mereka. Jantung perempuan itu berdetak tidak beraturan. Lebih seperti mau copot dari gantungannya. Dia sama sekali tidak siap dengan reuni kampus sekarang ini.
"Aldo... Lama nggak ketemu bro." William langsung menjabat Aldo dan mereka saling merangkul. Tubuh Adel lemas seketika.
"Wahh... Makin makmur aja lu. Duduk duduk." Aldo malah mempersilahkan Will duduk. Dia tidak meyadari ekspresi kaget temannya mendapati keberadaan Adel dan anak kecil misterius itu disana. Will sempat melirik Adel dan mengetahui perempuan itu juga terkejut.
"Masih ingat Adel, Will?"
Seharusnya Aldo tidak mengingatkannya tentang perempuan di sebelah kanannya itu. Seharusnya tadi dia tidak memasuki restoran ini. Seharusnya dia dan temannya tidak perlu janjian di mol ini. Tentu saja dia masih ingat! Tapi haruskah dia bilang kalau sekarang dia dan Adel partner kerja?
"Oh ya. Adel... Aku kenal lah. Apa kabar, Del?" Will mengulurkan tangan. Sorot matanya membuat Adel mengerti kalau mereka akan bermain sandiwara 'baru bertemu kembali setelah lima tahun' yang akan dipimpin oleh Will sendiri. Ia meraih jemari Will dan melemparkan senyum.
"Kabar baik, terimakasih," Katanya. Dalam hati Adel bersyukur. Setidaknya dia tidak harus menceritakan detail hubungannya dengan Will seandainya pria itu bilang mereka sedang menjalin kerjasama sekarang ini.
"Ini Tasya, anakku dan Adel. Tasya, kasih salam ke om Will dulu dong."
Nafas William seperti tercekat di tenggorokan. Matanya melebar sebagai ekspresi terkejut. Sebelum pikirannya bercabang kemana-mana dia segera fokus kepada kata-kata anak kecil yang sudah fasih berbicara itu.
"Hai Om, namaku Tasya. Om temennya Papa ya?"
"Hahaha... Iya Tasya. Kamu umurnya berapa sihh? Kok udah pintar begini?" Tanpa sadar Will mengelus rambut putri kecil mantan sahabatnya itu.
Mantan sahabat. Seharusnya kata 'mantan' tidak layak disandingkan dengan kata 'sahabat'. Semua orang meyakini 'sahabat' itu abadi, tidak akan pernah terpisahkan, terpatahkan. Apapun masalah yang menghadang, sahabat tetaplah sahabat.
Sahabat selalu memberi kata 'maaf' untuk kesalahan yang telah terjadi. Sahabat akan selalu melebarkan tangan untuk kembali merangkul setelah saling berselisih. Sahabat akan kembali bisa berbagi senyum sekalipun pernah saling menyakiti. Tapi kenyataannya tidak kalau permasalahannya adalah 'perempuan'.
"Masih teka Om."
"Teka dimana?" William melanjutkan dan berhasil membuat Tasya bengong. Seperti meminta bantuan kepada Aldo dan Adel.
"TK Pelita Harapan Om..." Aldo bersuara seperti ana kecil kemudian mempererat rangkulnya di leher putri kecilnya. Adel tidak mencampuri pembicaraan mereka hingga Aldo menanyakan hal sensitif kepada Will.
"Lu udah merried belum? Kok gua nggak diundang?" Sekalipun nada suara Aldo sedikit bercanda, tapi jelas dia sengaja menanyakannya. Dia tahu dengan jelas kalau Will belum menikah.
Sekali kau jadi mantan sahabat kau tidak akan pernah melepaskan pantauanmu kepadanya sampai kau benar-benar menyaksikan kehancurannya. Aldo tidak akan rela berada 'dibawah' Will lagi.
Setelah perrsahabatan mereka hancur, dia berusaha bangkit dan merebut semua yang dimiliki Will. Popularitas di kampus, nama baik, perhatian dosen dan para wanita cantik. Adel sendiri adalah 'piala' terakhir yang berhasil diraih Aldo yang sekaligus awal retaknya persahabatan mereka.
"Hahaha, gue nggak yakin merried itu penting Al." Will berdecak sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Aldo berharap Adel berargumen, tapi perempuan itu malah seperti tidak mendengarkan.
"Oh ya? Lu masih aja kaku. Padahal diluar sana sudah banyak antrian yang siap kapan aja buat lo lamar." Aldo berceloteh lagi. Will tersenyum getir. Kali ini dia tidak tahu arah pembicaraan ini akan diarahkan kemana oleh mantan sahabatnya itu. Keberadaan Adel disana juga membuat Will enggan untuk berbicara lebih banyak.
Dia akhirnya menarik diri dari meja tersebut dengan kebetulan yang sangat tepat. Kebetulan temannya sudah datang dan melambaikan tangan kepadanya dari ambang pintu restoran.
Aldo sempat bertanya siapa gadis itu dan apakah mereka adalah pasangan kekasih. Dia hanya mendapat senyum misterius dari Will sebagai jawabannya.
*****
Adel lega akhirnya Aldo menyudahi 'reuni' itu di restoran yang baru saja mereka tinggalkan. Aldo bilang harus kembali ke kantor. Dia harus lembur karena tadi sudah membatalkan meeting penting. Selain itu dia harus siap untuk dikuliahi 6 sks oleh direkturnya besok. Jadi katanya dia harus mempersiapkan diri dengan baik.
Alih-alih membuat Adel tertawa dengan candaannya, perempuan itu malah melontarkan kalimat yang tidak dia inginkan : "Memang sudah seharusnya kau mendapatkanya". Dia harus puas pergi dengan hati yang sedikit dongkol.
Menurutnya Adel terlalu berlebihan jika hingga saat ini belum bisa megurangi sedikitpun amarahnya dan selalu bertingkah demikian setiap mereka bertemu. Seolah-olah Aldo adalah musuh besar yang tidak layak mendapat ampunan sekecil apapun sehingga harus dibenci setiap waktu, sampai dia mati.
Aldo merasa dia sudah berusaha menjadi pribadi yang lebih baik sejak mereka bercerai. Dia yang selalu menguhubungi Adel duluan, menanyakan kabarnya dan Tasya. Dia yang selalu punya inisiatif untuk bertemu. Adel seperti tidak menganggapnya ada, padahal dia tahu Tasya juga membutuhkan sosok ayah dalam masa perkembangannya. Tapi keegoisan Adel seperti memaksa semuanya akan baik-baik saja tanpa dirinya. Tanpa Aldo.
Adel memandangi Tasya yang sedang terlelap di sebelahnya. Sesungguhnya dia tidak rela setiap kali dia harus memisahkan Tasya dengan Aldo. Dia mengerti kerinduan keduanya untuk bisa bercengkrama lebih lama lagi. Tapi Adel juga tidak menghendaki kalau Aldo terlau dekat dengan Tasya dan membuat anak terlalu dekat dengan Aldo. Tidak setelah semua yang dia alami. Biarlah orang-orang mengira dia egois, tapi Tasya adalah satu-satunya yang dia miliki. Kedekatan anak itu dengan Aldo bisa menjadi ancaman untuknya. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sementara di tempat lain...
"Will? Kau melamun?"
"Ehm... Maaf. Kau bilang apa tadi?" Untuk yang kesekian kalinya Will meminta maaf kepada wanita itu karena sudah membuatnya merasa terabaikan. Dia tahu itu tidak adil mengingat dia yang mengajak gadis itu kencan.
Ya... Sebelumnya dia semangat dan cukup bergairah. Sebelumnya.
Sebelum dia bertemu dengan keluarga kecil Aldo tadi.
"Aku bertanya tentang pekerjaanmu. Tentang resort yang menjadi rekan bisnis kalian disini." Perempuan berambut pirang itu membesarkan bola matanya.
"Oh... Itu. Hm... Sejauh ini lancar. Kami masih dalam tahap awal membicarakan konsep acaranya."
"Kau butuh batuanku? Aku akan dengan senang hati membantu. Lagipula kedepannya kau akan sering berkunjung kemari. Jadi tidak ada salahnya kalau kita memulainya dengan baik."
"Thank's Vi. Aku pasti meneleponmu." Will tersenyum.
Vivi adalah rekan kerja William di tempat kerja pertamanya dulu. Hingga sekarang mereka masih berhubungan baik meskipun keduanya sudah tidak bekerja di tempat itu lagi. Vivi bahkan sudah pindah ke Bandung dan memulai bisnis salon kecantikan. Ya... cantik adalah dirinya. Tidak ada yang bisa menyangkal itu, bahkan William sendiri.
Paling tidak Vivi adalah satu-satunya gadis yang dulu berhasil menarik perhatian Will dan membuat laki-laki itu lupa akan sakit hatinya yang ditorehkan masa lalu.
Anehnya, malam ini keberadaan Vivi di depannya tidak mampu mengobati perasaannya yang kacau akibat shock terapi yang terjadi di restoran sebelah. Pikirannya malah masih melayang ke tempat itu, menerka-nerka apakah Aldo dan keluarga bahagianya masih bercengkrama disana.
Dia mengutuk dirinya sendiri karena harus kehilangan fokus di depan wanita cantik bernam Vivi Arieska itu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Reiva Momi
keren thor
2022-11-19
0
Rini Widyaningsih
Kyknya Aldo dulu nikung Will ya
2020-11-18
0
ingrid
jd aldo dan will sahabatan. trs adel? thor kau membuatku penasaran
2020-06-19
1