Dilema

Dilema

Namanya Adelina.

Jalanan ini selalu padat dan sesak. Wanita itu sampai berkali-kali menekan klakson agar mobilnya tidak harus berjalan selelet itu. Panas matahari yang terik turut memberikan sumbangsih untuk suasana hatinya yang sedang tidak baik. Macet, panas, bising.

Mobil-mobil pribadi yang baru keluar dari satu pertokoan dan diarahkan oleh tukang parkir yang kurang profesional juga sering menambah parah kemacetan yang sering terjadi di jalan-jalan yang sempit itu. Belum lagi pedagang kaki lima yang berserakan di sepanjang bahu jalan. Mereka sangat berani berdagang disana, padahal jelas itu sangat rawan akan kecelakaan dan polusi. Anehnya, masih banyak saja yang membeli makanan-makanan itu sekalipun sudah tahu itu tidak higienis.

Pejalan kaki yang menyeberang seenaknya juga terpaksa membuat mobil-mobil sering berhenti mendadak. Seandainya mereka kena tabrak, pemilik kendaraan tidak bisa disalahkan kerena pejalan kaki itu tidak menyeberang di zebra cross.

“Lama-lama kota ini nggak ada bedanya dengan Jakarta.”

“Kau masih saja uring-uringan. Bernard bilang apa memangnya tadi?”

“Kenapa malah nyambung ke Bernard?” Wanita yang sedang mencengkeram setir itu menoleh dengan dahi berkerut.

“Del… Del… aku sudah kenal kau lebih dari sepuluh tahun. Kau nggak pernah protes hanya karena macet.”

“Ah, entahlah, aku masih belum bisa lepas dari playboy kampungan itu. Entah kapan bisnis ini selesai.”

“Usulmu ditolak lagi?”

“Hm-m. Ini sudah yang ketiga kalinya. Kenapa harus dia sih client kesayangan pak Handoko itu?”

“Biasalah Del, selama masih bisa diporotin, why not? Si Bernard-nya sendiri juga sepertinya nggak keberatan.”

Tiiinnnnnn! Livina silver itu disemprot pemilik Sirion dibelakangnya. Jalanan didepan sudah agak lempang, tapi Adel masih berjalan lambat lantaran sambil ngobrol dengan Weni. Perempuan itu lalu menginjak pedal gas sedikit kuat sampai kemudian mobilnya berjalan mulus keluar dari kerumunan yang sudah menjebak mereka lebih dari sepuluh menit.

“Iya, aku tau. Tapi harusnya atasan-atasan kita itu sadar kalau dia menyebalkan. Sementang jadi investor tetap, tingkahnya keterlaluan begitu.”

Weni tertawa sambil meletakkan majalah fashion di dashboard. “Ya sudah, daripada kau stres karena itu, bagaimana kalau kita belanja?”

“Aishh, bulan ini aku udah over budget Wen, No.”

“My treat dear.”

“What? Serius mau traktir aku?”

Weni mengangguk dan mengangkat alisnya membenarkan.

Adel mendadak hilang fokus menyetir sangking gembiranya. Ah… satu atau dua baju seharga jutaan rupiah bukan apa-apa untuk teman borjunya yang satu itu. Sejak mereka pertama kali bertemu di bangku kuliah dan sampai sekarang mereka sudah lumayan berumur, Weni selalu loyar kalau soal uang. Mungkin karena nasib baiknya yang merupakan anak tunggal dari sepasang pengusaha properti sukses di kota ini. Hidupnya seperti ada di dalam dogeng yang selalu bahagia.

Ya, uang membuat semuanya mungkin dan mudah untuknya. Kuliahnya lancar, fasilitas pendukung kuliah lengkap –Weni pernah menjadi orang pertama yang punya Iphone keluaran terbaru di waktu itu–, memilih pacar juga sama seperti memilih dress di butik, jika suka tinggal ambil, sudah bosan beli baru.

“Kalau gitu kita jemput Tasya dulu ya? Sudah jam satu siang.”

“Oh iya, aku lupa Del, kemarin dokter Hans titip pesan kalau hasil check up Tasya sudah bisa diambil.”

“Oya?” air muka Adel mendadak berubah.

*****

Adel memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah Tasya, putrinya. Karena babysitter-nya sedang pulang kampung, dia harus bisa membagi waktu kerja dengan putri kecilnya itu, sedikitnya untuk satu minggu kedepan. Ya, seperti sekarang ini, mumpung dia baru saja selesai meeting dengan kliennya dan tidak buru-buru kembali ke kantor, dia menjemput Tasya dulu dan rencananya akan dibawa ke mol dan ke kantor setelah itu.

“Berarti satu minggu kedepan kantor kita akan ramai selama jam makan siang hingga jam pulang kerja.” Weni berkomentar sambil memangku anak usia lima tahun itu di atas pahanya.

“Iya dong… dan kau harus sabar kalau sering kuminta menggantikan popoknya kalau aku sedang sangat sibuk.”

“Jadi kau kira aku juga begitu santai nyonya menejer? Ibunya aku apa kau?” Weni melotot tidak adil. Tentu saja dia juga sama sibuknya dengan Adel yang menjadi Guest Relation Manager di resort tempatnya bekerja, Happy Hour Resort. Weni sendiri bergabung di divisi SDM menjadi HRD Specialist.

“Hahaha… oke, kita sama-sama sibuk.” Adel tertawa. “Kalau begitu aku akan merepotkan ibu Nita lagi," lanjutnya sambil menyebutkan nama seorang office girl senior di kantor mereka.

Mereka memuaskan hasrat berbelanja di butik langganan Weni. Seperti janjinya, perempuan itu mentraktir Adel untuk baju kantor yang tidak sedang sale. Karena tidak enak hati, Adel hanya setuju Weni membayar setengah belanjaannya. Tapi sebagai gantinya Weni tetap bersikeras membelikan barang lain untuk Tasya.

“Kau harus belajar menabung Wen, kapan lagi kau menikah?”

“Menikah? Kau kan tau itu nggak ada di kamusku.”

“Trust me, you will regret it.”

“So how about you? Hahaha… aku cukup bercermin darimu sayang.” Adel tau maksud Weni apa dan itu diakuinya sedikit sensitif, tapi dia tetap tersenyum sambil menyerut kopinya. Mereka sudah duduk santai di Starbucks.

“Aku tidak pernah menyesal bercerai. Aku mungkin kehilangan cinta dan bahtera rumah tangga, tapi aku masih punya harta yang paling berharga dibandingkan semua omong kosong itu," Ujar Adel sambil melirik Tasya. Anak itu sedang menikmati es krim yang tadi sengaja dibeli untuknya dari luar.

“That’s it ! Semuanya omong kosong kan?”

“Buatku, tapi bisa jadi nasibmu baik Wen. Come on, sudah cukup gonta-ganti pacarnya. Cari yang benar-benar tulus.”

“Mana ada laki-laki yang seperti itu.”

“Itu karena kau belum menemukan saja Wen.”

Kedua perempuan itu membisu sesaat.

“Sebenarnya pernah ada, tapi dia silau dengan uangku. Maksudku, dia minder. Kau pasti ingat Veron.”

“Oh, iya. Apa kabar ya dia? Sudah lama nggak lihat.”

“Terakhir kudengar dia sudah menikah dan pindah ke Kalimantan.”

“What? Veron pacarmu tahun lalu bukan? Cepat juga dia menikah?”

Weni mengangkat bahu sambil memutar-mutar cangkir porselennya. Adel menangkap ekspresi wajah sahabatnya itu sedikit muram.

“Kau benar-benar menyukainya. Kenapa harus putus kemarin?” Lantaran sudah terlalu banyak, Adel memang kurang mengikuti semua sepak terjang putus-nyambung sahabatnya itu. Dia terkadang hanya tahu nama dan wajah para pria beruntung itu, tapi kurang hapal kapan jadian, kapan putus dan penyebab putusnya apa.

“Entah… mengingat dia toh menikah dengan anak orang kaya, aku kesal.” Wenipun mulai menceritakan penyebab dia dan Veron putus. Seperti yang sudah bisa ditebak : soal harga diri. Katanya Veron tidak tahan karena Weni selalu membantu urusan financial-nya, baik untuk hal pribadi maupun untuk kerjaan. Lama kelamaan Veron merasa Weni sudah bertindak terlalu jauh, mengontrolnya dan membuatnya seperti kehilangan harga diri sebagai seorang gentleman.

“Tapi itu terlalu klise untuk laki-laki yang tadi kau bilang tulus.”

“Hmmh… I don’t know. Mungkin istrinya sekarang nggak seperti aku yang terlalu agresif. Ah, sudahlah! Forget it…”

Adel tidak menimpali. Dia melihat Weni sedang tidak ingin membahas hal itu.

“Kau sendiri? Tidak mau mempertimbangkan pak Bernard?”

“Hahaha… mau jadi istri keberapa aku Wen? Lebih baik aku menjanda sampai mati bersama putriku.” Adel mengusap rambut Tasya lembut.

“Kenapa tidak menerima ajakan rujuk Aldo?”

“Astaga Wen, setelah semuanya yang sudah terjadi, kau pikir aku masih menganggapnya manusia?”

“Hahahaa… dia kan sudah mengakui semua kesalahannya. Kasihan Tasya. Dia pasti rindu ayahnya.”

“Oh God, kenapa sih harus membahas itu Weni?” Adel mulai tampak kesal.

“Oke, kalau begitu, hmm... bagaimana kalau kau bertemu mantan-mantanmu yang kece badai dulu? Kau masih tertarik nggak?”

“Mm… sama saja Wen. Kau lupa mereka semua juga sama seperti Aldo? Tukang selingkuh.”

"Ada satu yang enggak, kan?" Goda Weni.

Adel tau siapa yang temannya itu maksud, tapi dia mengelak untuk membahasnya.

*****

.

.

.

Author's Note :

**Hai haii...

Ketemu lagi dengan aku... ❤️❤️

Btw ini novel keduaku setelah "It's You, Kaina..." (Sudah tamat).

Ada yang sudah baca belum? 😚😚

Kalau belum, boleh singgah juga yahh ke novel yang itu, ceritanya seru juga 😍😍

Happy reading yah!

Jangan lupa vote, like dan komen kalau kalian suka. Tengkyu 😚😚

Oh iya, yang suka susah ngebayangin visual pemeran utamanya, aku kasih visual pilihanku aja yaa.

Ada yang bisa tebak dia siapa?

Dia salah satu food vlogger di Indonesia.

Cantik kan kalau Adel-nya dibayangin dia? 😍😍**

Terpopuler

Comments

Reiva Momi

Reiva Momi

mampir thor

2022-11-18

0

Khalisah Rochman

Khalisah Rochman

ini novelmu yg k4 yg aq bca thor.... sarah, amber, kaina n skrng adel.... bgus2 thor, tpi sejauh ini msih kisah amber yg no 1 d hatiku.... lanjut bca thor....

2021-06-25

0

Kendarsih Keken

Kendarsih Keken

haiii authorrr aq hadir nih , pertama baca karya nya authorr

2021-05-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!