Adel berjalan menuju mobilnya di parkiran. Jam sembilan pagi, dia harus ke kantor Bernard dan langsung menjemput Tasya yang akan dibawanya hotel. Saat di basement –tempat parkir– dari kejauhan dia melihat dua tamu keagungannya itu sedang berjalan ke arahnya, menuju jalur masuk yang baru saja dilewatinya. Perempuan itu mencelos dalam hati. Mereka pasti harus bertegur sapa.
“Selamat siang ibu Adel…” Freddy yang berjalan di depan dengan antusias menghampiri Adel yang hendak masuk ke dalam mobil. Yang dibelakangnya terpaksa mengekor. William maksudnya.
Adel memasang senyum terbaiknya sambil memberi penghormatan kecil. “Selamat siang Bapak-bapak. Bagaimana istirahat malamnya? Nyenyak?”
“Tentu Bu. Kita senang disini. Kami juga baru selesai keliling resort. Tempat ini bagus. Ramai. Kami semakin optimis bisnis yang akan kita jalin bisa sukses.”
“Mudah-mudahan ya Pak. Saya juga berharap demikian. M… kalau ada complain, atau perlu sesuatu, bapak-bapak bisa langsung hubungi resepsionis, atau bisa juga langsung ke saya…”
Ketiganya berbincang sejenak. Tapi untuk saat itu sangat jelas Freddy yang lebih banyak bersuara dibanding William, bahkan sampai perbincangan janggal di arena parkir itu diakhiri oleh Adel. Dengan sungkan dia memberitahu bahwa dia sedang buru-buru. Untungnya lawan bicaranya itu memberi isyarat positif dan senyum pengertian.
Adel masuk ke dalam mobil diikuti tatapan dua lelaki dihadapannya. Satu tatapan manis bersahabat, yang satunya lagi tatapan dingin tak berarti.
Di dalam mobil Adel menepuk-nepuk dadanya dan menghembuskan nafas yang sedari tadi tercekat.
Beberapa jam kemudian perempuan berusia 29 tahun itu sudah berada di depan kelas putrinya bersama para ibu yang juga ingin menjemput buah hatinya masing-masing. Dibandingkan ibu-ibu lain, Adel masih tergolong muda. Ada juga beberapa ibu muda lain seperti Selmi, ibunya Tara, teman sebangku Tasya di kelasnya. Berhubung anak-anak mereka dekat, secara otomatis mereka berdua juga dekat.
Sekalipun Adel rutin menjemput Tasya baru-baru ini saja, dia dan Selmi sering berkomunikasi lewat ponsel. Tak jarang Adel mengajak Selmi jalan bareng setelah menjemput putri-putri mereka, atau weekend bareng ke taman atau kebun binatang. Karena Selmi lebih muda setahun darinya, Adel sudah menganggapnya seperti saudara perempuannya sendiri.
Selmi mengetahui sedikit tentang masa lalunya yang kelam bersama Aldo. Bagaimana kerasnya cobaan hidup yang pernah dialami Adel sebagai single parent juga Selmi sangat mengerti dan itu sangat kontras dengan rumahtangganya yang sangat harmonis.
“Mama!” Adel memalingkan wajah ke sumber suara melengking itu. Tasya dan Tara berlarian ke arah mereka berdua. Adel langsung mengangkat Tasya ke pangkuannya.
Kalau diingat-ingat mereka hanya berpisah kurang lebih empat jam tapi rasa rindu Adel pada putrinya itu rupanya sangat besar sampai-sampai dia menghujani Tasya dengan kecupan yang bertubi-tubi.
“Mba sudah makan siang? Bareng yuk?”
“Hmm… maaf Sel, aku lagi ada tugas di kantor, ada proyek baru di resort. Harus cepat-cepat balik. Lain kali ya Sel...” Adel memasang wajah menyesalnya.
“Tasya dibawa sekalian Mba?”
“He-em… sampai babysitter-nya pulang.”
Adel mengecup Tara juga sebelum pergi karena anak manis itu terlihat tidak rela dipisahkan dengan Tasya. Tasya juga demikian. Sepanjang jalan menuju parkiran dia sibuk ngedumel dan bertanya kenapa mereka tidak pulang bareng. Adel hanya menjawab dengan jawaban yang semakin membuat Tasya gemas dan malah semakin banyak bertanya.
Obrolan kecil seperti itu menjadi hiburan yang sangat berarti bagi Adel mengingat dalam waktu setengah jam kedepan dia sudah harus berkutat lagi dengan pekerjaan yang akan mengungkungnya sampai jam kerja usai. Belum lagi nanti dia akan bertemu… William.
Tasya mendekam di ruangan Adel ketika ibunya itu sudah harus memasuki ruang meeting. Ibu Nita, si office girl yang sedang tidak sibuk akhirnya turun tangan untuk menjaga Tasya sebentar.
Seperti biasanya, dia membawa anak itu berkeliling resort dan bermain di wahana bermain anak. Seperti bertemu dengan dunia aslinya, Tasya langsung berbaur dengan anak-anak lain. Bu Nita juga tidak malu untuk ikut bermain bersama mereka. Karena umurnya yang bisa dikatakan sudah cukup tua, rekan-rekannya di bagian service officer tidak membebankan banyak pekerjaan kepadanya sehingga waktu senggangnya banyak. Adel juga berani meminta bantuannya karena tahu perempuan paruh baya itu tidak suka berdiam diri tanpa pekerjaan.
Dari kejauhan Adel yang sedang menemani rombongannya berkeliilng melihat Tasya dan bu Nita. Senyumnya terkembang. Baru kali ini dia bisa bekerja sambil mengawasi Tasya sekaligus. Hal yang sejak dulu diharapkannya bisa terjadi. Selama ini resort sudah menariknya terlalu jauh dari putri sematawayangnya itu. Andai Aldo dan keluarganya tahu, bisa-bisa dia terancam kehilangan hak asuh Tasya.
Ketika pak Handoko sedang menunjukkan lahan untuk proyek Will, Adel menarik diri menghampiri Tasya. Adel menganggap kalau dirinya tidak seharusnya berada berada dalam rombongan itu. Keberadaannya di sana seratus persen hanya atas permintaan direkturnya, pak Handoko, bukan karena kapasitasnya sebagai Business Relation resort. Dia hanya seorang GRM yang bertanggungjawab akan kenyamanan tamu VVIP-nya, bukan proyeknya.
Oleh karena itu, baginya sah-sah saja kalau sekarang dia ingin bermain dengan putrinya sampai urusan para pria itu selesai.
“Ehm…” Tidak ada sepuluh menit, kebahagiaan Adel harus berhenti. Dia berbalik. Percaya atau tidak, dia shock.
“Pak William…?” Dia buru-buru berdiri dari rumput hijau yang menjadi tempat Tasya bermain.
“Sedang sibuk?” Laki-laki itu berujar dingin. Kedua matanya disipitkan melawan kilauan cahaya Si Raja Siang. Adel tidak menyahut dan dia berharap laki-laki itu tahu mengapa dia tidak harus menyahut.
“Freddy mendadak harus kembali ke Jakarta siang ini dan hanya meninggalkan catatan. Pak Bambang merekomendasikan ibu sebagai satu-satunya orang yang bisa membaca isinya.” Will mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang agenda yang tidak terlalu tebal.
“Maaf Pak, saya tidak faham soal event organizer.”
“Saya yakin pak Bambang tidak keliru. Atau Ibu punya rekomendasi siapa saja yang bisa, kabari saya secepatnya.” William meletakkan agenda tersebut di atas meja bermain dan bersiap untuk pergi.
Namun sebelum membalikkan badannya, dia berhenti sebentar dan melirik anak kecil yang bersembunyi di balik tubuh Adel. Setelah memandangi anak itu beberapa saat dia menaikkan arah pandangnya ke ibu sang anak yang langsung dibalas dengan wajah tanpa ekspresi.
Will berbalik dan beranjak pergi diikuti Adel dibelakangnya. Sebelum meninggalkan Tasya, Adel kembali menitipkan putri kecilnya itu ke ibu Nita. Dia berjalan sedikit lambat agar tidak menyamai posisi Will.
“Saya bisa mengandalakan Anda, ibu Adel?” William mendadak bersuara tanpa menoleh ke arah wanita itu.
“Saya akan memberikan rekomendasi EO secepatnya Pak.”
“Seharusnya jam tiga sore nanti Freddy akan memimpin rapat perdana panitia, tapi kali ini saya akan ambil alih meeting-nya. Sebaiknya EO cadangan rekomendasi ibu bisa menemui saya satu jam lagi.”
“Baik Pak.” Adel berhenti melangkah karena Will mendadak berhenti dan berbalik menghadapnya. Pria itu tidak menjawab untuk beberapa saat, hanya memperhatikan Adel dengan dahi yang sedikit berkerut dan kedua tangan disilangkan di belakang badan.
*****
William menghempaskan tubuh di atas sofa di dalam kamar hotel VVIP-nya. Masih ada waktu dua jam sebelum meeting perdana panitia event besar perusahaannya di resort ini. Barusan Bambang sudah membawanya berkeliling untuk menunjukkan potensi resort itu sebagai mitra bisnis Glory Tekstil.
Perusahannya adalah salah satu perusahaan tekstil yang sedang maju pesat dan mulai dipandang di negeri ini. Brand pakaian yang dikenal dengan ‘Glory’ itu mulai bisa bersaing dengan merek terkenal dan sudah memasuki pasar department store alias mol. Sekalipun pabriknya masih hanya ada di Jakarta, distribusinya sudah menjangkau luar pulau Jawa.
Saat ini ayahnya sebagai owner dan dia sebagai direktur muda perusahaan itu sedang bekerja keras untuk penetrasi di pasar internasional dengan dimulai dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.
Ide untuk membuka outlet di resort-resort di pulau Jawa merupakan salah satu rencana awal mengingat resort adalah tempat yang sudah pasti banyak dikunjungi wisatawan luar maupun lokal, termasuk kota Bandung.
Udara kota Bandung yang bersih dan sejuk seolah-olah menjadi magnet kuat yang selalu berhasil menarik wisatawan untuk datang berbondong-bondong. Terutama turis lokal yang mulai kehilangan gairahnya untuk berakhir pekan di ibu kota. Omset yang tinggi sudah terbayang jelas di pikiran Will sekalipun belum ada realisasi apa-apa.
Mendadak alur pikirannya terputus saat wajah Adel melintas di benaknya. Kelopak matanya yang tadi tertutup seketika melebar. Wajah gugup wanita itu dan ekspresi tidak sukanya. Tidak suka entah segan, Will tidak tahu. Yang pasti kalau bukan karena kewajibannya sebagai GRM, sangat jelas perempuan itu tidak ingin berada dekat-dekat dengannya.
William kembali memejamkan mata untuk memutar ulang rekaman pertemuan pertamanya dengan perempuan itu. Wajah Adel yang samasekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tangannya yang gemetar ketika bersalaman dan wajahnya yang selalu berusaha disembunyikan ketika berada di dalam lift.
Diantara puluhan resort di Bandung, kenapa perusahaannya harus memilih resort ini sebagai calon partner pertama mereka? Kebetulan yang sangat mengganggu. Walaupun itu sudah bertahun-tahun lamanya, dia tidak yakin bisa professional dengan Adel. Buktinya saja, hal yang seharusnya tidak perlu menarik perhatiannya barusan –Tasya– malah berhasil membuatnya penasaran setengah mati memikirkan siapa anak kecil itu..
Tok…tok…tok... ketukan di luar pintu lagi-lagi membuyarkan lamunannya. Saat dia membuka pintu raut wajahnya sedikit berubah mendapati perempuan yang sedari tadi ia lamunkan tau-tau sudah berdiri tepat di hadapannya. Melihat Adel menggenggam agenda yang diberikannya tadi, Will tahu apa yang akan mereka bicarakan.
“Maaf Pak, saya mengganggu…”
“Oh… tidak. Anda membawa kabar baik bu Adel?"
“Ehm… sepertinya tidak ada yang bersedia jadi EO dadakan. Kalau pak William tidak keberatan, saya akan mencoba membantu semampu yang saya bisa sampai pak Freddy kembali.” Adel menawarkan sesungging senyum ke arah pria itu. Senyumnya sangat mirip dengan anak kecil tadi, nilai Will. Salah fokus.
“Baiklah, terimakasih. Saya berjanji tidak akan lepas tangan. Kalau begitu, sampai bertemu di ruang meeting sekitar...mm...," Will melirik arlojinya sebentar, "Setengah jam lagi," katanya kemudian. Adel mengangguk dan pamit diri. Will mengamatinya sampai hilang di ujung lorong.
*****
“Halo Wen, masih sibuk?”
“Sudah agak longgar sedikit Del, Tasya kau kemanakan?”
“Sama ibu Nita. Kau bisa menjaganya sebentar? Aku harus meeting dengan tamu VVIP dari Jakarta itu. Ini diluar schedule. Bu Nita sudah harus kembali ke pantry.”
“Oke, aku jemput kemana? Atau kau antar ke sini?”
“Tadi dia sudah dibawa ke pantry sama bu Nita. Bisa kau jemput kesana sayang? Please… aku sudah diruang meeting.”
“Oke, kau bisa meeting dengan tenang sekarang.”
“Thank’s Weni, bye !”
Adel berbalik setelah mematikan ponselnya. Dia langsung mendapati Will mengamatinya dari tempatnya duduk dan langsung mengalihkan pandangannya beberapa detik kemudian. Kegugupan Adel bertambah. Apalagi dia harus duduk bersebelahan dengan Will.
Laki-laki itu menepati janjinya untuk tidak lepas tangan, tidak seperti dirut kebanyakan yang mempercayakan semuanya pada anak buahnya. Adel memilih untuk berpikir positif : bisa jadi Will sebenarnya tidak akan ikut kalau Freddy sudah ada mewakili Glory, jadi karena Freddy-nya tidak ada dia terpaksa ikut. Bisa jadi Will memang atasan yang sangat-sangat bertanggungjawab atas anak buahnya sampai semuanya harus dipantau satu per satu demi meminimalisir kesalahan. Apalagi ini rapat perdana.
Rapat dimulai dengan pembukaan yang dipimpin oleh Will sendiri –ini hal posiif lainnya yang membuat Adel mengerti keberadaan William saat itu. Freddy memang sudah menuliskan dengan lengkap dan jelas latar belakang, landasan, maksud dan tujuan diadakannya acara yang akan mereka garap tersebut, tapi tetap saja yang paling mengerti adalah si empunya agenda dan tuannya, William sendiri. Untuk itu Adel hanya bertugas untuk memaparkan susunan kepanitiaan beserta jobdesk masing-masing. Mendiskusikan konsep acara, dekorasi, katering, sovenir dan lain-lain.
Tenggelam dalam diskusi membuat Adel lupa siapa pria yang ada disebelahya. Profesionalitas keduanya sedang diuji dan hasilnya membuktikan kalau keduanya bisa diandalkan. Tidak ada waktu untuk merasakan sensasi skinship yang beberapa kali terjadi tanpa disengaja, seperti saat lengan mereka bersentuhan, atau saat Will mendikte Adel menggambar skema, jemari Will yang menunjuk-nunjuk kertas seringkali menyentuh jemari perempuan itu. Tidak ada waktu untuk merasakan itu sebagai sesuatu yang ‘waw’ seperti yang biasa terjadi di televisi. Semuanya serius dan fokus di ruangan ini. Itu sebabnya di akhir pertemuan Will sempat menyatakan pujiannya dengan tulus, terkhusus kepada Adel, si EO dadakan.
Mendapat pujian tidak langsung membuat Adel melayang dan lantas merasa bisa ‘dekat’ dengan William. Apresiasi itu hal yang wajar di dunia kerja. Jadi bukan berarti Will punya maksud yang khusus dengan itu. Justru pujian itu dianggapnya sebagai beban karena harus melakukan yang terbaik di hari yang akan datang. Dia sudah terlanjur terlibat.
“Adel… bisa bicara sebentar?” Will menghentikan langkah Adel yang sudah hampir melewati ambang pintu. Perempuan itu berbalik. Dia mengitari ruangan sekilas untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar dia hanya dipanggil dengan nama tanpa embel-embel ‘Bu’ sebagaimana seperti selama meeting tadi berlangsung.
“Iya Pak?”
Will berjalan kearahnya. Adel tanpa sadar mencengkeram agendanya lebih kuat.
“Maaf kalau ini akan merepotkan. Seharusnya ini adalah tugas Freddy, tapi sepertinya sekarang saya harus minta tolong kepada anda."
“Tugas apa ya Pak? Apa ada tugas lain yang belum disebutkan Freddy di agenda ini?”
“Tidak… hanya menemani saya ke kampus ITB.”
Kening Adel berkerut. Ke kampus ITB? Buat apa?
“Sebenarnya ini diluar urusan bisnis. Saya meminta Freddy bukan karena ini tugas event organizer. Tapi karena hanya dia yang akan menemani saya selama di Bandung, saya sudah meminta tolong sebelumya. Seperti yang sudah kita ketahui, dia tiba-tiba dipanggil pulang, saya jadi bingung harus pergi kesana dengan siapa. Kalau anda tidak sibuk, maksud saya tidak harus hari ini, saya minta tolong untuk ditemani kesana.”
Adel menangkap keseriusan dalam permintaan tolong Will dan sopan santunnya. Dia mempertimbangkan sambil sedikit penasaran tujuan Will kesana. Tapi diurungkannya untuk menebak apapun itu.
“Saya akan kabari kalau saya ada waktu senggang.”
“Terimakasih Bu Adel." Kalimat itu dianggap Adel sebagai ijin untuk kembali berpamitan.
Will lagi-lagi mendapati dirinya mengawasi perempuan itu hingga hilang dari pandangannya. Sadar dirinya sedang diawasi, Adel mempercepat langkahnya.
Suara nyaring dari saku dalam jasnya mengingatkan Will kalau dia seharusnya menelepon Freddy untuk menanyakan sesuatu, tapi orang yang dimaksud sudah menelepon duluan. Anak buah yang pintar, pikir Will.
"Freddy, kau harus berterimakasih kepada Adel karena dia sudah melakukan awal yang baik hari ini... Ya ya... Kau juga pasti melakukan hal yang sama kalau kau disini... Bagaimana? Oh... Tidak ada masalah kan? Oke baik aku percaya kau bisa mengaturnya dengan baik. Oke. Oke. Nanti kabari aku perkembangan selanjutnya." Klik. Will kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan keluar dari ruang meeting.
Saat berjalan menuju lift tanpa sengaja Will menangkap pemandangan baru lagi di lobi hotel. Adel dan seorang temannya sedang bercengkrama deegan anak kecil itu lagi. Sangat jelas bukan ibu-ibu yang dilihatnya di taman bermain tadi.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Reiva Momi
Tasya Anak nya Will ??
2022-11-19
0
anis saeful liyah
tasya kaya'a anak adel sm willi ya thor
2021-01-13
1
Rini Widyaningsih
Penasaran sama hubungan Adel dgn Will dulu gmn
2020-11-18
1