Jalanan ini selalu padat dan sesak. Wanita itu sampai berkali-kali menekan klakson agar mobilnya tidak harus berjalan selelet itu. Panas matahari yang terik turut memberikan sumbangsih untuk suasana hatinya yang sedang tidak baik. Macet, panas, bising.
Mobil-mobil pribadi yang baru keluar dari satu pertokoan dan diarahkan oleh tukang parkir yang kurang profesional juga sering menambah parah kemacetan yang sering terjadi di jalan-jalan yang sempit itu. Belum lagi pedagang kaki lima yang berserakan di sepanjang bahu jalan. Mereka sangat berani berdagang disana, padahal jelas itu sangat rawan akan kecelakaan dan polusi. Anehnya, masih banyak saja yang membeli makanan-makanan itu sekalipun sudah tahu itu tidak higienis.
Pejalan kaki yang menyeberang seenaknya juga terpaksa membuat mobil-mobil sering berhenti mendadak. Seandainya mereka kena tabrak, pemilik kendaraan tidak bisa disalahkan kerena pejalan kaki itu tidak menyeberang di zebra cross.
“Lama-lama kota ini nggak ada bedanya dengan Jakarta.”
“Kau masih saja uring-uringan. Bernard bilang apa memangnya tadi?”
“Kenapa malah nyambung ke Bernard?” Wanita yang sedang mencengkeram setir itu menoleh dengan dahi berkerut.
“Del… Del… aku sudah kenal kau lebih dari sepuluh tahun. Kau nggak pernah protes hanya karena macet.”
“Ah, entahlah, aku masih belum bisa lepas dari playboy kampungan itu. Entah kapan bisnis ini selesai.”
“Usulmu ditolak lagi?”
“Hm-m. Ini sudah yang ketiga kalinya. Kenapa harus dia sih client kesayangan pak Handoko itu?”
“Biasalah Del, selama masih bisa diporotin, why not? Si Bernard-nya sendiri juga sepertinya nggak keberatan.”
Tiiinnnnnn! Livina silver itu disemprot pemilik Sirion dibelakangnya. Jalanan didepan sudah agak lempang, tapi Adel masih berjalan lambat lantaran sambil ngobrol dengan Weni. Perempuan itu lalu menginjak pedal gas sedikit kuat sampai kemudian mobilnya berjalan mulus keluar dari kerumunan yang sudah menjebak mereka lebih dari sepuluh menit.
“Iya, aku tau. Tapi harusnya atasan-atasan kita itu sadar kalau dia menyebalkan. Sementang jadi investor tetap, tingkahnya keterlaluan begitu.”
Weni tertawa sambil meletakkan majalah fashion di dashboard. “Ya sudah, daripada kau stres karena itu, bagaimana kalau kita belanja?”
“Aishh, bulan ini aku udah over budget Wen, No.”
“My treat dear.”
“What? Serius mau traktir aku?”
Weni mengangguk dan mengangkat alisnya membenarkan.
Adel mendadak hilang fokus menyetir sangking gembiranya. Ah… satu atau dua baju seharga jutaan rupiah bukan apa-apa untuk teman borjunya yang satu itu. Sejak mereka pertama kali bertemu di bangku kuliah dan sampai sekarang mereka sudah lumayan berumur, Weni selalu loyar kalau soal uang. Mungkin karena nasib baiknya yang merupakan anak tunggal dari sepasang pengusaha properti sukses di kota ini. Hidupnya seperti ada di dalam dogeng yang selalu bahagia.
Ya, uang membuat semuanya mungkin dan mudah untuknya. Kuliahnya lancar, fasilitas pendukung kuliah lengkap –Weni pernah menjadi orang pertama yang punya Iphone keluaran terbaru di waktu itu–, memilih pacar juga sama seperti memilih dress di butik, jika suka tinggal ambil, sudah bosan beli baru.
“Kalau gitu kita jemput Tasya dulu ya? Sudah jam satu siang.”
“Oh iya, aku lupa Del, kemarin dokter Hans titip pesan kalau hasil check up Tasya sudah bisa diambil.”
“Oya?” air muka Adel mendadak berubah.
*****
Adel memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah Tasya, putrinya. Karena babysitter-nya sedang pulang kampung, dia harus bisa membagi waktu kerja dengan putri kecilnya itu, sedikitnya untuk satu minggu kedepan. Ya, seperti sekarang ini, mumpung dia baru saja selesai meeting dengan kliennya dan tidak buru-buru kembali ke kantor, dia menjemput Tasya dulu dan rencananya akan dibawa ke mol dan ke kantor setelah itu.
“Berarti satu minggu kedepan kantor kita akan ramai selama jam makan siang hingga jam pulang kerja.” Weni berkomentar sambil memangku anak usia lima tahun itu di atas pahanya.
“Iya dong… dan kau harus sabar kalau sering kuminta menggantikan popoknya kalau aku sedang sangat sibuk.”
“Jadi kau kira aku juga begitu santai nyonya menejer? Ibunya aku apa kau?” Weni melotot tidak adil. Tentu saja dia juga sama sibuknya dengan Adel yang menjadi Guest Relation Manager di resort tempatnya bekerja, Happy Hour Resort. Weni sendiri bergabung di divisi SDM menjadi HRD Specialist.
“Hahaha… oke, kita sama-sama sibuk.” Adel tertawa. “Kalau begitu aku akan merepotkan ibu Nita lagi," lanjutnya sambil menyebutkan nama seorang office girl senior di kantor mereka.
Mereka memuaskan hasrat berbelanja di butik langganan Weni. Seperti janjinya, perempuan itu mentraktir Adel untuk baju kantor yang tidak sedang sale. Karena tidak enak hati, Adel hanya setuju Weni membayar setengah belanjaannya. Tapi sebagai gantinya Weni tetap bersikeras membelikan barang lain untuk Tasya.
“Kau harus belajar menabung Wen, kapan lagi kau menikah?”
“Menikah? Kau kan tau itu nggak ada di kamusku.”
“Trust me, you will regret it.”
“So how about you? Hahaha… aku cukup bercermin darimu sayang.” Adel tau maksud Weni apa dan itu diakuinya sedikit sensitif, tapi dia tetap tersenyum sambil menyerut kopinya. Mereka sudah duduk santai di Starbucks.
“Aku tidak pernah menyesal bercerai. Aku mungkin kehilangan cinta dan bahtera rumah tangga, tapi aku masih punya harta yang paling berharga dibandingkan semua omong kosong itu," Ujar Adel sambil melirik Tasya. Anak itu sedang menikmati es krim yang tadi sengaja dibeli untuknya dari luar.
“That’s it ! Semuanya omong kosong kan?”
“Buatku, tapi bisa jadi nasibmu baik Wen. Come on, sudah cukup gonta-ganti pacarnya. Cari yang benar-benar tulus.”
“Mana ada laki-laki yang seperti itu.”
“Itu karena kau belum menemukan saja Wen.”
Kedua perempuan itu membisu sesaat.
“Sebenarnya pernah ada, tapi dia silau dengan uangku. Maksudku, dia minder. Kau pasti ingat Veron.”
“Oh, iya. Apa kabar ya dia? Sudah lama nggak lihat.”
“Terakhir kudengar dia sudah menikah dan pindah ke Kalimantan.”
“What? Veron pacarmu tahun lalu bukan? Cepat juga dia menikah?”
Weni mengangkat bahu sambil memutar-mutar cangkir porselennya. Adel menangkap ekspresi wajah sahabatnya itu sedikit muram.
“Kau benar-benar menyukainya. Kenapa harus putus kemarin?” Lantaran sudah terlalu banyak, Adel memang kurang mengikuti semua sepak terjang putus-nyambung sahabatnya itu. Dia terkadang hanya tahu nama dan wajah para pria beruntung itu, tapi kurang hapal kapan jadian, kapan putus dan penyebab putusnya apa.
“Entah… mengingat dia toh menikah dengan anak orang kaya, aku kesal.” Wenipun mulai menceritakan penyebab dia dan Veron putus. Seperti yang sudah bisa ditebak : soal harga diri. Katanya Veron tidak tahan karena Weni selalu membantu urusan financial-nya, baik untuk hal pribadi maupun untuk kerjaan. Lama kelamaan Veron merasa Weni sudah bertindak terlalu jauh, mengontrolnya dan membuatnya seperti kehilangan harga diri sebagai seorang gentleman.
“Tapi itu terlalu klise untuk laki-laki yang tadi kau bilang tulus.”
“Hmmh… I don’t know. Mungkin istrinya sekarang nggak seperti aku yang terlalu agresif. Ah, sudahlah! Forget it…”
Adel tidak menimpali. Dia melihat Weni sedang tidak ingin membahas hal itu.
“Kau sendiri? Tidak mau mempertimbangkan pak Bernard?”
“Hahaha… mau jadi istri keberapa aku Wen? Lebih baik aku menjanda sampai mati bersama putriku.” Adel mengusap rambut Tasya lembut.
“Kenapa tidak menerima ajakan rujuk Aldo?”
“Astaga Wen, setelah semuanya yang sudah terjadi, kau pikir aku masih menganggapnya manusia?”
“Hahahaa… dia kan sudah mengakui semua kesalahannya. Kasihan Tasya. Dia pasti rindu ayahnya.”
“Oh God, kenapa sih harus membahas itu Weni?” Adel mulai tampak kesal.
“Oke, kalau begitu, hmm... bagaimana kalau kau bertemu mantan-mantanmu yang kece badai dulu? Kau masih tertarik nggak?”
“Mm… sama saja Wen. Kau lupa mereka semua juga sama seperti Aldo? Tukang selingkuh.”
"Ada satu yang enggak, kan?" Goda Weni.
Adel tau siapa yang temannya itu maksud, tapi dia mengelak untuk membahasnya.
*****
.
.
.
Author's Note :
**Hai haii...
Ketemu lagi dengan aku... ❤️❤️
Btw ini novel keduaku setelah "It's You, Kaina..." (Sudah tamat).
Ada yang sudah baca belum? 😚😚
Kalau belum, boleh singgah juga yahh ke novel yang itu, ceritanya seru juga 😍😍
Happy reading yah!
Jangan lupa vote, like dan komen kalau kalian suka. Tengkyu 😚😚
Oh iya, yang suka susah ngebayangin visual pemeran utamanya, aku kasih visual pilihanku aja yaa.
Ada yang bisa tebak dia siapa?
Dia salah satu food vlogger di Indonesia.
Cantik kan kalau Adel-nya dibayangin dia? 😍😍**
Adelina Paraswati, seorang ibu muda dengan peri kecil yang senantiasa ada di sampingnya bernama Tasya. Dia bekerja sebagai Guest Relation Manager di sebuah resort yang perkembangannya sedang maju pesat di daerah Lembang.
Sejak menikah enam tahun yang silam, dia dan Aldo, mantan suaminya, pindah dari Jakarta karena Aldo dimutasikan ke Bandung. Adel yang saat itu baru lulus kuliah langsung diterima di resort tempatnya bekerja sekarang sebagai resepsionis.
Setelah melahirkan dia tetap bekerja dan mempekerjakan babysitter untuk menjaga Tasya –dengan resiko dia selalu berselisih paham dengan Aldo.
Setiap kali mengingat bagaimana dia dulu, Adel sangat mensyukuri keputusannya untuk tetap bekerja, sehingga dia cepat dapat promosi dan memiliki kedudukan yang bagus sekarang. Apalagi setelah tiga tahun yang lalu dia bercerai dan mendapatkan hak asuh Tasya sepenuhnya, dia bisa menghidupi putrinya itu tanpa harus mengharapkan Aldo. Dia samasekali tidak berharap anaknya dinafkahi seorang penghianat seperti laki-laki itu.
Aldo kepergok tidur dengan sekretarisnya saat Adel sedang lembur di hotel untuk menangani komplain tamu VIP resort. Babysitter-nya Tasya memergoki mereka di ruangan kerja Aldo dan langsung mengubungi Adel agar segera pulang.
Entah sial entah beruntung, setibanya di rumah, permainan suaminya itu belum selesai sehingga dia mempunyai bukti yang sangat akurat ketika sidang perceraian diadakan.
Adel sempat terpuruk, namun dia tetap lebih memilih berpisah. Untuk yang satu ini ‘harga diri’ bukanlah sesuatu yang klise untuk dijadikan alasan untuk bercerai. Seorang laki-laki yang sudah pernah melakukan perselingkuhan dan masih mendapatkan pengampunan dari pasangannya akan lebih jahat di hari-hari yang akan datang. Adel tidak mau lagi menjadi korban kekerasan Aldo yang sudah mulai kelihatan bibit-bibitnya sejak dua tahun rumah tangga mereka. Belum lagi kalau dia akan sering menyaksikan permainan suaminya itu dengan perempuan lain, lagi dan lagi.
Adel menghela napas sambil membelai rambut Tasya yang terlelap di pelukannya. Kalau bukan karena ada malaikat kecilnya itu, mungkin dia tidak akan sanggup bertahan dengan status rumahtangganya yang sangat kacau dengan Aldo waktu itu. Ibarat mentari yang setia bersinar setiap pagi dan memberikan harapan-harapan baru bagi semua insan di bumi, begitupun Tasya dalam hidup Adel.
Hari-hari buruk yang dialaminya bersama laki-laki yang sejujurnya tidak dia cintai mulai sedikit berwarna sejak malaikat kecil itu hadir dalam rumah tangga mereka. Pikiran Adel mulai bisa terbagi antara Aldo, pekerjaan dan anak.
Sebenarnya Aldo sedikit mengurangi sifat kerasnya karena dia tahu Adel perlu sehat, demi anaknya. Pertumbuhan Tasya terbilang cepat, dia mulai merangkak, berguling, berdecak. Aldo semakin menyayanginya tapi masih sedikit keras ke Adel.
Sungguh sangat disayangkan, rumah tangga Adel dan Aldo hanya bertahan tiga tahun. Terakhir Tasya sudah mulai melafalkan kalimat dengan terbata-bata dan sudah aktif belajar serta bermain saat palu sidang mengesahkan perceraian mereka.
Aldo mengaku menyesal dan menyayangkan gugatan cerai Adel waktu itu. Berulangkali dia meminta Adel mengagalkan niatnya dengan alasan Tasya. Namun saat itu tekad Adel sudah bulat. Tidak ada kata rujuk di dalam kamusnya.
Aldo mengalah. Namun dia berjanji untuk tetap menjadi ayah yang bertanggungjawab bagi Tasya dengan sering mengunjungi kediaman Adel dan memberikan nafkah rutin sesuai ketetapan hasil persidangan.
Sekarang sudah tahun ke tiga Adel menjadi single parent untuk Tasya dan dia menikmati setiap kebersamaannya bersama putri sematawayangnya itu. Sekarang Tasya sudah memasuki jejang pendidikan awalnya di taman kanak-kanak. Umurnya masih empat tahun, tetapi bakat dan kepintarannya membuatnya bisa diterima di sekolah itu tanpa harus tersandung syarat usia. Toh dia terbukti mampu belajar bersama anak-anak yang masuk TK dengan umur yang pas. Dia pintar menggambar dan sudah bisa menirukan bunyi maupun suara. Apalagi menyanyikan sebuah lagu yang sangat sering dia dengarkan.
Adel sangat bersyukur, Nisa, babysitter Tasya sejak lahir itu, betah bekerja untuknya. Sepertinya anak gadis berusia duapuluh itu juga sudah terlanjur sangat menyayangi Tasya dan sangat membantu agar Adel bisa tetap bekerja dengan fokus di jam kerjanya dan menjadi ibu sepenuhnya sekembalinya dari kantor.
Ponsel di sebelah bantal berbunyi. Lamunan Adel buyar dan dia berbalik meraih benda mungil itu. Sesaat kemudian hatinya mencelos. Aldo lagi.
“Halo? M. Sudah, dia sudah tidur… Iya… iya… aku nggak terlalu sibuk tadi… Minggu depan… oh, nggak perlu, aku masih bisa menjemputnya sendiri. Iya, aku sehat…M… iya, besok kusampaikan…” Hening sebentar “Iya… selamat malam". Klik.
Setelah meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, dia memeluk Tasya yang terlelap. Pikirannya tidak tenang membayangkan suatu saat nanti Aldo berniat mengambil Tasya darinya. Hak asuh atas Tasya waktu itu diperolehnya karena putrinya itu masih dibawah umur dan masih sangat membutuhkan ibu untuk tumbuh kembangnya. Saat Tasya nanti sudah cukup umur, Adel harus siap kalau Aldo akan kembali mengajukan persidangan perihal hak asuh anak mereka. Itu menakutkan.
Dia tidak bisa membayangkan, bahkan tidak mau membayangkan Tasya tinggal bersama Aldo. Apalagi orangtua Aldo, mertuanya sangat menginginkan hal tersebut.
Air mata Adel menetes kecil membayangkan jika suatu hari dia harus berpisah dengan Tasya. Tidak! Tidak bisa! Sekalipun mama mertuanya bilang ini itu segala macamnya, Adel bisa menghidupi Tasya dengan penghasilannya sendiri, tidak butuh mereka. Bahkan semisalpun Aldo tidak menafkahinya, Adel tidak keberatan. Justru dia malas jika pria itu menjadi punya alasan untuk menghubunginya setiap bulan.
Jika saja menjauhkan anak dari ayah tirinya bukan dosa, Adel pasti sudah pergi dari Bandung dan tinggal tentram di kota lain. Tidak harus diusik oleh orang-orang yang mengaku menyayangi mereka namun kenyataannya tidak.
Adel mengusap lagi pipi gembul anak gadisnya itu. Gelembung-gelembung kecil keluar dari mulutnya saat bernafas dalam tidurnya. Kaina tersenyum sambil mencium keningnya lembut.
"Mama sayang kamu, nak." Ucapnya pelan.
Sebelum tidur, Adel memikirkan besok akan merepotkan office girl-nya lagi untuk menjaga Tasya. Adel bersyukur, setiap ia membawa Tasya ke kantor, semua rekan kerjanya baik yang satu divisi maupun beda divisi, selalu berebutan menggendong anaknya itu. Mereka senang ada mainan yang bisa mengalihkan pikiran mereka dari pekerjaan. Oke, sebutan mainan memang cukup kasar untuk anak imut itu. Namun kenyataannya teman-temannya sangat suka bermain dengan Tasya.
Setidaknya masih banyak yang benar-benar tulus menyayangi mereka berdua. Itu yang membuat Adel masih meyakini jika akan ada pelangi sehabis hujan. Dia dan Tasya akan memiliki masa depan yang cerah.
Namun setiap kali wajah mantan suaminya itu muncul di benaknya, Adel kembali pesimis lagi.
*****
Lobi hotel sudah ramai oleh tamu yang ingin bepergian meninggalkan kamarnya maupun yang baru masuk alias check in. Para resepsionis yang baru berganti shift tampak melakukan pekerjaannya dengan baik.
Tim pagi ini ada Devi, Shanty, Robi, Ivan dan Shila. Mereka adalah tim satu. Sedangkan di tim dua, atau shift malam –jam delapan malam hingga jam delapan pagi– ada Arif, Kesya, Andini, Abi dan Fe. Supervisor dua tim ini juga berbeda, ada pak Bambang untuk tim satu dan pak Rendy untuk tim dua. Mereka ini juga adalah supervisor Adel saat dia masih berada di balik meja resepsionis itu dan punya banyak andil dalam promosi Adel untuk pindah divisi dan naik jabatan. Itu sebabnya, sampai sekarang Adel sangat menghormati dan respect kepada kedua orang itu. Tetap sering sharing dan menimba ilmu untuk memperdalam pengetahuannya tentang manajemen divisinya.
Adel menghampiri pak Bambang yang sedang berbincang dengan salah seorang tamu di sofa. Sepertinya tamu VIP dari luar kota yang check in minggu lalu.
“Selamat pagi bapak-bapak, maaf saya mengganggu obrolannya.”
“Selamat pagi Adel... tidak apa-apa. Mau lihat daftar tamu VIP yang akan datang?”
“Tepat sekali Pak. Boleh saya cek ke reservasinya Pak?”
“Silahkan Adel.”
“Terimakasih Pak, saya permisi dulu.” Adel tersenyum kepada kedua pria di depannya kemudian menghampiri meja resepsionis. Dia menyapa semua bawahan pak Bambang itu dan meminta daftar tamu yang sudah reservasi dan akan check in hari ini. Sejauh ini ada lima tamu, ada empat yang perorangan dan ada satu yang grup.
“Pak Yadi dan ibu Laras sudah datang belum?” Dia menanyakan bawahannya -Guest Realtion Officer- kepada Shanti.
“Ibu Laras sudah Bu, sepertinya sedang memeriksa kesiapan kamar tamu VIP yang akan datang setengah jam lagi.”
“Oh ya? Kamar 4021 ya?” Adel membaca rincian data tamu yang dimaksud Shanti. Calon tamu kamar itu berasal dari Jepang dan sudah booking untuk dua minggu ke depan. Masih single, seorang akuntan dan menginap untuk keperluan bisnis.
“Naomi sudah di tempat?” Tanyanya lagi. Naomi itu special service room yang khusus menangani tamu-tamu dari Jepang, China, Korea dan Thailand. Dia menguasai bahasa empat negara itu.
“Sudah Bu, sebentar lagi akan turun bersama ibu Laras.”
“Baiklah. Tamu dari Jakarta sampai jam sebelas ya?”
“Iya Bu, nanti pak Yadi yang sambut mereka.”
“Baiklah. Terimakasih informasinya, Shan."
Yadi dan Laras adalah bawahan Adel sebagai Guest Relation Officer (GRO). Mereka berdua terpaut dua tahun lebih muda darinya. Sebagai atasan ataupun manager, Adel sering menangani tamu VVIP yang dianggap sangat penting, sedangkan Yadi dan Laras ditugaskan untuk tamu-tamu biasa.
Seperti hari ini, dia akan menyambut rombongan tamu dari Jakarta yang punya keperluan dengan direktur utama mereka, yaitu pak Handoko. Sepertinya urusan bisnis lagi.
Adel berharap dia tidak akan terlibat seperti hubungan bisnis atasannya itu dengan Bernard, si pemilik retail yang telah lama bekerjasama dengan mereka melalui pembukaan supermarketnya di resort ini.
“Adel…” Suara berat dari balik punggungnya membuat perempuan itu berbalik.
“Selamat pagi Pak.” Adel member hormat. Dirutnya, Handoko.
“Bagaimana meeting kamu dengan bapak Bernard?”
“Saran saya ditolak lagi Pak. Saya jadi bingung harus kasih masukan apa lagi.”
Lelaki tua itu tersenyum. “Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kemarin siang beliau sudah menghubungi saya untuk mengatur pertemuan berikutnya. Mereka akan memperpanjang kontrak retailnya".
“Serius Pak? Tapi kemarin beliau seperti tidak tertarik__" Adel tidak melanjutkan kata-katanya.
“Saya juga kurang mengerti Adel. Tapi yang pasti besok kamu harus kesana lagi jam sepuluh pagi."
“Oh begitu, baiklah Pak.”
Setelah selesai berbincang dengan atasannya itu, Adel berkeliling mengawasi lobi hotel, berjalan menyusuri taman di luar, singgah di restoran, tempat fitness, arena bermain anak dan beberapa wahana lainnya untuk mengawasi tamu-tamu. Barangkali saja ada yang memerlukan dirinya atau sekedar ingin bercengkrama dengan para tamu. Tidak lupa dia memberikan semangat serta dukungan penuh kepada seluruh karyawan yang dia temui.
Sebelum jam sebelas tepat, dia kembali ke hotel untuk memeriksa kembali kesiapan penyambutan tamu VVIP dari Jakarta itu. Mulai dari jenis kamar yang di pesan, jumlah kamar, perlengkapan dan kebersihan kamar, room service, bellboy hingga resepsionis yang bertugas dalam proses check-in nantinya.
Berdasarkan info dari pak Handoko, tamu dari perusahaan tekstil itu sedang dalam proses perbincangan kesepakatan dengan resort mereka tentang pembukaan toko baju merek perusahaan mereka yang sudah cukup terkenal dan sangat laris di pasaran. Hampir sama dengan perusahaan retailnya Bernard. Bedanya perwakilan perusahaan yang akan datang kurang dari sepuluh menit lagi itu berencana membuat event besar di resort ini saat pembukaan perdananya.
Oleh karena itu, Adel diminta oleh pak Handoko untuk ikut ambil andil dalam perencanaan itu nantinya sekalipun dia sudah menolak karena tidak tahu menahu soal event organizer.
“Mereka akan membawa EO langsung dari Jakarta Del, kamu hanya perlu mendampingi EO tersebut untuk mempersiapkan semuanya. Lebih tepatnya kamu sebagai guide-lah. Mereka pasti kurang menguasai kota ini.” Begitu jelas pak Handoko. Adel sangat tidak setuju tapi tidak berdaya menolak sang direktur utama itu.
“Bu Adel…” Devi mengagetkannya.
“Iya Dev?”
“Maaf Bu, pihak perusahaan Glory Tekstil barusan menelepon dan membatalkan dua kamar. Katanya mereka akan membayar ganti rugi kamar yang sudah sempat di booking.”
Adel seperti di ulur dan di tarik dalam waktu yang bersamaan. “Oya? So siapa yang akan datang? Berapa orang?”
“Dua orang Bu? Direktur bersama Event Organizer-nya Bu.”
“Dua kamar?” tanyanya lagi dan resepsionisnya itu mengangguk.
“Baiklah, terimakasih Devi." Adel merogoh sakunya dan segera menghubungi pak Bambang dan mememberitahukan situasi ter-update dari meja resepsionis mereka. Maksudnya supaya pak Bambang segera datang untuk mereview calon tamu yang sedang dalam daftar antrian booking untuk kamar tersebut.
Pak Bambang yang diberi informasi itu malah memberkan informasi yang lebih mengejutkan, bahwa tamu VVIP itu sudah tiba dan pak Bambang kebetulan tadi berpapasan dengan mereka di lobi depan.
Adel dengan sigap bergerak ke arah pintu utama untuk memastikan petugas valet dan bellboy sudah di tempat dan sudah mengangkat perlengkapan tamu high class itu. Matanya juga sempat nanar mencari pelayan yang harusnya sudah bersiap-siap dengan sajian penyambutan, tapi belum satupun yang memunculkan batang hidungnya. Mereka memang datang lebih awal dari jam yang dijanjikan. Pantas saja belum pada stand by.
Saat dia berhenti di depan pintu utama yang besar itu dia mengurungkan niatnya melihat pak Bambang yang sedang berbincang-bincang dengan dua pria bertubuh tinggi dan membelakanginya. Dia tidak berniat untuk mengganggu pembicaraan mereka.
Namun apes, pak Bambang malah melihatnya duluan dan melambaikan tangan seperti meminta untuk datang. Kedua pria di hadapan pak Bambang itupun berbalik dengan bersamaan dan….
DEG!
Adel sempat tidak sanggup mengangkat kakinya ketika dia beradu pandang dengan salah satu dari laki-laki itu. Keterkejutannya tidak bisa disembunyikan karena dia sempat terbelalak dan senyum di wajahnya seketika menghilang.
Kesadarannya sempat melayang entah kemana sebelum pak Bambang mengejutkannya dengan lambaian tangan. Laki-laki yang sama terkejut dengannya itupun tidak berhenti berkedip sambil mengiringi lagkah Adel menghampiri mereka.
“Selamat pagi bapak-bapak. Saya meminta maaf karena seharusnya saya yang menyambut kedatangan bapak-bapak di hotel ini.”
“Tidak apa-apa Ibu. Kami juga datang lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan.”
Adel kembali berbasa-basi sebentar kemudian memperkenalkan diri. Pria yang sudah berbicara tadi bernama Freddy dan dia adalah Event Organizer yang namanya disebut di meja resepsionis tadi. Berarti… pria yang satunya lagi ini… direktur utama Glory?
Adel melirik pria yang sudah tidak memperhatikannya lagi itu sambil mengulurkan tangan.
“Saya Adelina, GRM hotel ini. Terimakasih sudah mempercayakan kami sebagai mitra perusahaan anda.”
“Saya William Priyanto Alexius. Glad to see you, miss Adel. Mari kita bekerjasama dengan baik.” Mereka berdua berjabat tangan dengan canggung. Adel berusaha menutupi grogi yang mulai melanda. Tangannya gemetar ketika William menjabatnya. Karena itu dia cepat-cepat menarik tangannya kembali karena tidak ingin ketahuan sedang gugup.
Pak Bambang memisahkan diri saat Adel mengantarkan dua tamunya ke kamar yang telah dipersiapkan. Selama di dalam lift Adel memutar otak mencari bahan pembicaraan yang mendadak lenyap sejak dia dikejutkan dengan kehadiran William di hadapannya. Padahal sebelumnya dia sudah punya banyak pertanyaan.
Untungnya Freddy mau mengajaknya mengobrol tentang hotel. Dia seperti ingin memperjelas informasi yang telah dikumpulkannya tentang resort tersebut. Mulai dari jenis wahana dan fasilitas yang ada, banyaknya pengunjung harian wahana maupun hotel, hingga peluang bisnis yang akan mereka bicarakan sebentar lagi. Adel menjawab dengan jelas dengan cara tutur bahasa yang sangat sopan.
William yang berdiri paling depan tidak ikut menimpali. Pria itu malah sedang memandangi bayangan Adel yang terpantul di pintu lift dengan cara pandang yang sulit untuk dimengerti.
Petugas layanan kamar sudah menunggu di depan kamar tamu spesial itu saat mereka keluar dari lift. Adel langsung mempersilahkan kedua pria itu memasuki kamarnya masing-masing.
Freddy sang EO mempersilahkan Adel untuk menemani William ke kamarnya dan mengatakan kalau dia tidak perlu diantar. Perut Adel mendadak mulas, namun diakuinya itu cukup logis.
Dia membukakan pintu untuk William dan pria itu masuk dengan sangat berwibawa. Adel mengikutinya dari belakang sambil mejelaskan hak-hak mereka atas fasilitas hotel sebagai tamu VVIP.
William mendengarkan sambil berkeliling. Mengecek kamar mandi, shower, bathtub, wastafel dan semua perabot kamar. Sepertinya dia sangat detil, apalagi soal kebersihan.
“Sepertinya semuanya sudah jelas, anda bisa meninggalkan saya sendiri.”
“Baik Pak William, silahkan beristirahat dengan nyaman. Resepsionis VVIP ada di line satu.” Setelah menunjuk telepon dengan gerakan kepalanya, Adel beringsut keluar dari kamar dan menutup pintu.
Seiring dengan daun pintu yang terhempas, dia menghembuskan nafas panjang. Saat berjalan menuju lift, pikirannya penuh dengan wajah pria yang baru saja ditinggalkannya di kamar tersebut. Dengan cepat dia merogoh saku dan menelepon Weni.
*****
.
.
.
Author's Greetings
Hai-haii...
Sejauh ini suka ceritanya nggak?
Mudah-mudahan suka yaaa..
Kalau suka jangan lupa kasih like, comment dan vote nya yahh.
Oh iya, sekarang author mau kasih visual William versi author.
Coba tebak dia siapa? 😁😁😁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!