“Aku baik baik saja. Ada apa kamu datang kemari?” tanya Li Shuwang penasaran. “Li Shuwang aku turut berduka cita atas kepergian nenekmu,” ucap Yong menunduk. “Terimakasih Yong,” sahutnya menghela napas. “Li Shuwang setelah ini kamu akan kemana?”
“Aku akan ke Wang Jian Li,” mata Yong membulat. “Wang Jian Li? Aku ikut,” Li Shuwang menggeleng. “Kamu tidak usah ikut. Aku ada urusan kesana,” Yong menunduk sayu. “Lagipula kamu memiliki kehidupan di sini. Orangtuamu masih memerlukanmu,” ujar Li Shuwang sendu dia memegang pundaknya erat. Tatapan kebencian Yong terpancar.
“Maaf Li Shuwang. Aku hanya tidak ingin berpisah darimu. Bagiku kamu kekasihku,” ucap Yong telak. Telinga Do Jian memerah. Dia menatap intens. “Yong, mengapa kamu begitu baik padaku? Di saat mereka bilang aku adalah monster. Kamu tetap menyayangiku. Tapi, Yong aku tidak bisa bersamamu dan perasaanmu itu aku sungguh minta maaf,” ucap Li Shuwang yang sukses membuat Do Jian tersenyum puas.
Yong terpaku mendengarnya. “Apakah aku tidak ada dihatimu?” Li Shuwang menggeleng. “Aku hanya menganggapmu teman,” Yong tersenyum pahit. “Sudahlah Yong jangan memaksakan perasaan Shuwang padamu,” ucap Do Jian penuh penekanan. Alis mata Yong bertaut mendengar perkataan Do Jian. Terutama, dibagian Shuwang. Sejak kapan pria ini dekat dengan Li Shuwang?, batin Yong penasaran.
“Heh, tau apa kamu sampai berani menasihatiku. Kamu baru kenal Li Shuwang sedangkan aku sahabat masa kecilnya,” tukas Yong. “Kamu hanya temannya. Asal kamu tau aku tu …”
Grab!
Li Shuwang menahan lengannya. “Hentikan Do Jian! Aku tak mau ada keributan disini,” ujar Li Shuwang tegas yang diangguki mereka. “Yong terimakasih sudah menjengukku dan mengenai besok mungkin aku akan segera pergi ke Wang Jian Li,” ujar Li Shuwang sedih.
Akhirnya, aku akan pergi meninggalkan nostalgia indah ini, batin Li Shuwang. Yong terdiam ditatapnya lamat Li Shuwang. “Hei, jangan melihatnya seperti itu!” bentak Do Jian. Yong mendengus dan membuang muka.
“Jika kamu pergi besok sebagai sahabatmu aku akan menyiapkan kuda untuk kalian,” ucapnya. “Terimakasih Yong,” seulas senyum terukir dibibir tipisnya. Membuat jantung pria manapun berdetak. Wajah Yong memerah. “Jangan sungkan begitu. Aku dengan senang hati akan menyiapkan segala keperluanmu.”
Do Jian mengepalkan tangan. Giginya bergemulutuk geram. Namun, terbesit sebuah ide di benaknya. Dia menyeringai. “Kalau begitu kami juga membutuhkan uang untuk melanjutkan perjalanan.”
“Tentu saja. Asal itu demi Li Shuwang akan kulakukan,” ucapnya mengecup punggung tangan Li Shuwang.
Cup!
“Kamu …” tunjuk Do Jian kemarahannya sudah memuncak. “Kenapa? Aku hanya melakukannya untuk salam perpisahan sahabatku,” ujar Yong santai. “Tapi, kamu tidak perlu melakukan seperti itu,” Yong mengedikkan bahu.
“Do Jian sudahlah. Lagipula, hari ini terakhir kami bertemu,” ucap Li Shuwang sendu. Do Jian berdecik membuang muka.
…
Suara derap langkah kuda mengiringi perjalanan kami. Aku menghirup napas yang menyejukkan. Mengedarkan pandangan melihat pemandangan di sekitar. Kami menuju arah utara. Sepanjang jalan hanya dataran tandus yang kami lewati.
Bukan gurun tapi sebuah desa tertinggal. Bangunannya sudah runtuh dan menyisakan lahan kosong. “Shuwang, apa kamu lelah?” aku menggeleng. “Do Jian bisakah aku bertanya?”
Aku sangat penasaran kenapa sejak bertemu Do Jian memanggilku Shuwang. Belum lagi mimpi itu menghampiriku. Dan wajahnya terekam jelas di mimpiku.
“Tentu saja. Katakanlah,” aku menghirup napas dalam. “Kenapa kamu memanggilku Shuwang? Sedangkan yang lain memanggilku Li Shuwang,” langkahnya terhenti wajah sayu dan sedihnya membuatku bersalah. “Apakah aku tidak boleh memanggilmu seperti itu?”
“Bukan tidak boleh. Hanya saja …” kutelan saliva susah payah. “Apa kamu tidak membenciku?”
“Mengapa aku harus membencimu?”
“Karena aku … aku sudah membuatmu dalam masalah dan aku juga sudah membuatmu kesakitan. Seharusnya, aku tidak-,” Do Jian meletakkan jari telunjuknya di bibirku. Sontak membuatku terdiam.
Dibalik topeng itu iris safirnya bersinar. Aku terhanyut dengan sinarnya. Perasaanku hancur sekaligus senang. Aku tak mengerti kenapa aku selalu seperti ini? Dan bayangan siapa yang kulihat di sana?
“Jangan salahkan dirimu Shuwang. Aku tak pernah menganggapmu sebagai masalah. Karena bagiku kamu adalah alasan aku tetap hidup.”
Lagi perkataan itu terulang. Entah sudah berapa kali dia mengatakannya. Dan setiap perasaan itu datang. Hatiku bergejolak seakan ada perkataan yang tertahan.
“Terimakasih Do Jian. Selama ini orang selalu menganggapku monster,” ujarku tersenyum. “Karena kamu bukan monster,” ujarnya mengelus suraiku.
Deg!
Jantung berpacu cepat, darah berdesir dan tubuhku menghangat. Ingin rasanya, aku menyembunyikan wajah memerah ini.
Perkataannya bertambah membuatku melayang jauh. Aku menepis jauh. “Tidak Li Shuwang! Sadarlah kamu tadi hampir membuatnya tewas,” gumamku menepuk pipi.
“Ayo, kita harus cepat. Sepertinya hujan akan turun,” ujar Do Jian khawatir. “Iya,” kupacu kuda mengikutinya yang sudah lebih dulu. Aku mensejajari langkahnya. Samar kulihat senyum dibibirnya.
“Aku pikir kamu tidak bisa mendahuluiku,” ledek Do Jian. “Jangan meremehkan wanita. Kamu akan tau saat aku mendului langkahmu,” tukasku. “Kita lihat saja,” Do Jian memacu kuda lebih cepat. Dia sudah meninggalkanku.
Aku tersenyum miring mempercepat laju kuda. Kudaku berlari kencang mendului Do Jian. Senyumku kian mengembang saat aku berhasil mengimbangi langkahnya.
Kulirik dia yang masih fokus. Kupacu kuda lebih cepat dan kini sudah berada didepannya. Aku menoleh dan terkekeh. Dia terperanjat kaget. Aku menjulurkan lidah.
Tanpa terasa kami sudah menjauh dari desa mati. Dan hari yang gelap ini kami masih beruntung berada di pinggiran kota. “Berapa lama kita akan tiba?” tanyaku tak sabar. “Biasanya dua hari,” sahutnya melihat keramaian. Malam ini sedang ada pasar malam. Aku menopang dagu memperhatikan dari kejauhan.
“Sepertinya ada festival,” ucapnya meneguk tandas arak. Aku berdehem menelungkupkan wajah. “Kamu tidak minum?” tawarnya. “Tidak! Aku tidak suka minum,” sahutku.
“Huft, ternyata waktu mengubah segalanya,” kudongakkan wajah bingung. “Apa maksudmu?” dia menggeleng menggoyangkan gelas arak.
“Aku hanya merindukan seorang teman,” dia menatap segelas arak lamat. “Lalu, kenapa kamu tidak mengajaknya? Sepertinya, kalian dekat,” ucapku dia menghela napas.
“Dia sudah tiada,” sahutnya sedih. Aku terkejut dan diam. “Maaf aku membuatmu mengenangnya,” ujarku lirih. “Tidak apa. Mengenang saja cukup membuatku bahagia,” ujarnya menuangkan aku teh. “Minumlah,” titahnya.
Aku minum teh habis. Do Jian terlihat putus asa. Bahkan, sorot matanya penuh kesedihan. Dan dia sudah banyak minum. Mungkin sebaiknya aku menghentikannya.
“Do Jian aku lelah,” gerakannya terhenti dan menatapku. “Maaf aku terlalu egois sampai tidak menyadari hal itu,” aku mengusap dada. Setidaknya, dia mendengarku bicara.
“Dan juga sekalian kamu juga tidur,” ujarku. “Aku tidak bisa tidur,” aku menggaruk pelipis bingung. “Kenapa? Besok kita harus melanjutkan perjalanan.”
“Aku tau tapi untuk berjaga. Aku tidak akan tidur.”
“Lalu, kamu?”
Dia tersenyum membuat jantungku tanpa sadar berpacu cepat. Tuhan, kenapa aku bisa begini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
TraiN HeartNet🔰π¹¹™
bom like 5
2021-03-21
0