Dia mengulurkan tangan dengan ragu aku menerimanya. “Sebuah kebetulan kita bertemu di sini,” aku mengangguk menoleh ke belakang. Berharap jika mereka berhenti mengejarku. “Ada apa?” dia ikut melihat ke arah yang kutuju. “Tidak ada,” ucapku.
“Dan terimakasih,” aku melenggang pergi tapi dia menarik lenganku. Membuat aku terjatuh ke dalam pelukannya. “Jangan pergi,” bisiknya lirih tubuhku terpaku.
“A-apa yang kamu lakukan?” aku mendorongnya dengan sekuat tenaga. “Shuwang, mengapa kamu melupakanku begitu mudah? Padahal dulu kita … kita …” dia menelan ludah menunduk.
“Maaf tapi aku saat ini-,” aku terkejut melihat mereka disini. “Cepat cari dia! Jangan sampai tidak ketemu.”
Aku pikir mereka tidak akan mengejar sampai kesini. “Aku harus pergi,” kudorong tubuhnya menjauh. Dia mencekal lenganku. Aku terjatuh lagi dalam pelukannya. “Apa yang kamu-,”
Dia menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Diamlah,” aku terdiam meringkuk di pelukannya. Di tengah keramaian orang semua mata tertuju pada kami. Aku membenamkan wajah di dada bidangnya.
Wajahku memerah menahan malu. Kenapa aku menuruti perkataan pria ini? Umpatku. Suara derap kaki terdengar mendekat tubuhku gemetar. Dia mengelus punggungku lembut.
“Maaf pak. Apa anda melihat seorang gadis lewat sini?” mata mereka melirikku curiga. “Tidak,” sahutnya singkat. Mereka saling tatap kemudian pergi. “Percuma saja. Mereka tengah bercumbu di tengah keramaian. Sungguh tak tau malu.”
Begitu mereka menjauh. Aku menghela napas panjang. “Siapa mereka? Dan kenapa mengejarmu?”
“Mereka …” aku baru sadar jika kami sedang dipasar. Bisa bahaya jika mereka mendengar obrolan kami. “Ikut aku,” aku menarik lengannya. “Kemana?” aku memutar bola mata malas.
“Rumah,” sahutku singkat. Dia ber oh pelan mengikuti langkahku. Rumahku berada di pinggiran kota. Kota kecil yang kumuh dan dihuni oleh rakyat miskin.
Sangat menyedihkan. Setiap akhir bulan para prajurit datang dan memungut pajak. Tak ayal sebagian dari mereka membawa cambuk. Jika ada rakyat yang tidak membayar mereka takkan segan mencambuk mereka.
Keringat mengucur begitu aku tiba di rumah. Hari sudah beranjak sore. Tetangga yang melihat kami berbisik. Dia menyunggingkan senyum. Aku mendengus menyikut lengannya.
“Maaf,” ucapnya cengengesan. Aku mengetuk pintu terlebih dahulu. Tapi, pintu tak kunjung dibuka. Dahiku berkernyit melirik tetangga yang menjauh. Sesuatu mencurigakan disini, batinku.
Kubuka pintu pelan dan terkejut. Seisi rumah berantakan aku terkesiap. “Nenek! Nenek!” pekikku memanggil beliau. Tapi, tak ada jawaban. Aku berkeliling mencari di seluruh ruangan.
Dia juga ikut membantu. “Coba geledah semua tempat. Aku yakin nenekmu ada di suatu tempat,” air mata mengucur deras. Gelisah dan takut menyergap hati. Aku berusaha menenangkan pikiran. Tapi pikiranku semakin kacau.
Kulangkahkan kaki menuju dapur. “Nenek!” pekikku kencang sontak dia datang dan menghampiriku. Memelukku erat mengirim ketenangan dan kehangatan.
Tangisku semakin keras beberapa tetangga masuk. Mereka saling tatap dan diam. Aku mendekati nenek yang sudah terbujur kaku. Tubuhnya memucat dan di lehernya ada bekas gigitan.
“Itu ulah vampir Xiedee,” bisiknya lirih. “Tapi, mengapa mereka melakukannya?” tanyaku di sela isak tangis. “Kapan kejadian ini terjadi?”
“Semalam,” ucap mereka gugup. “Apa kalian melihat siapa pembunuhnya?” mereka menggeleng. “Kami hanya mendengar teriakan. Tapi, kami tak berani masuk. Kami takut mereka perampok.”
“Baiklah,kalau begitu aku akan membawa mayatnya pergi,” ucapnya. “Kamu mau membawanya kemana? Aku ingin nenekku disini,” dia tersenyum.
“Tidak, aku harus membawa nenekmu ke tempat yang layak. Tenang saja,” ucapnya berdiri. “Semuanya bubar. Biar aku yang mengurus masalah ini,” dalam sekejap mereka bubar.
Aku memeluk nenek erat. Air mataku tak berhenti mengalir. “Nenek, bangun. Jangan tinggalkan Li Shuwang sendirian,” aku mengguncang tubuh nenek berharap dia sadar. Tapi usahaku sia sia belaka. Dia menyentuh pundakku. “Shuwang, sudahlah jangan menangis lagi. Arwah nenekmu tidak akan tenang jika kamu menangis terus,” aku menoleh.
“Tidak! Aku tak percaya nenek pergi meninggalkanku. Nenek janji akan terus bersamaku. Aku tidak akan membiarkanmu membawa nenek,” dia menggelengkan kepala. “Shuwang kamu hanya membuat nenekmu tersiksa. Relakan saja biarkan dia tenang di sana,” ujarnya membujukku.
Dia mengusap air mataku dan tersenyum. “Jangan sedih Shuwang. Kamu takkan sendiri aku akan terus menemanimu,” aku menunduk dalam.
…
Di pemakaman kota Min Li tak ada keluarga dan tetangga yang datang. Hanya aku dan Do Jian yang disini. Pikiranku hampa menyaksikan semuanya.
Do Jian mengelap peluh yang menetes. Dia melaksanakan pemakaman sendirian. Dia menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Berdoalah Shuwang,” aku mengangguk memanjatkan doa.
“Do Jian terima-,” pandanganku buram. Tubuhku terhuyung dan
BUK!
Semuanya gelap samar kudengar suaranya memanggil. “Shuwang, bangun! Bangun! Astaga, sadarlah!”
Aku membuka mata perlahan. Menghela napas panjang. “Sepertinya dia membawaku lagi,” gumamku beranjak bangkit. Ruangan ini sama seperti kemarin aku pingsan. Aku memegang kepala yang terasa sakit. “Ugh,” keluhku.
“Shuwang sudah sadar?” dia masuk dan duduk di dekatku. “Iya,” sahutku singkat. Tenggorokanku terasa kering dan leher ini di cekik sampai susah bernapas. Aku memegang leher Do Jian panik.
Deru napasku tidak beraturan. Tubuhku melemah. Apa yang terjadi? Apa ini sudah bulan purnama? Aku menatapnya khawatir. “Ting … galkan … aku … sen … diri,” ucapku terbata.
Rasa sakit itu kian mendera. Aku semakin menderita. “Sakit,” gumamku menahannya. “Tenang saja Shuwang. Aku ada disini. Jangan takut,” aku menggeleng.
Bodoh! Bukan aku takut seharusnya kamu yang takut. Apalagi sekarang aku mulai di kuasai oleh makhluk itu, batinku. Perlahan, wujudku berubah dan rasa sakit itu berubah menjadi haus. “ARGH!” erangku.
Dan seperti yang kutakutkan wujud itu mengendalikanku. Aku memiringkan wajahnya dan menyeringai. Taring yang mencuat dan kuku yang panjang.
“Shuwang,” ucap Do Jian bergetar. “Sudah kubilang pergi. Tapi kamu tidak mendengarkanku,” ucapku mengalungkan lenganku ke lehernya. Mengendus aroma madu dari tubuhnya.
“Aromamu sama seperti dulu, Do Jian,” ucapku tersenyum. Dia menarik pinggangku. Kedua iris kami bertemu. “Sepertinya, dia mengendalikanmu dengan sempurna seperti dulu,” bisiknya.
“Tentu saja. Aku tetaplah orang yang sama,” aku membuka hanfunya sedikit, menggigit tengkuknya. Tubuhnya menegang. “Rasa sakitnya akan sebentar sayang,” Do Jian terkekeh. “Kamu menggodaku,” sarkasnya aku berdecih.
Cairan kental merah itu membasahi kerongkonganku. Rasa haus itu hilang begitu saja. “Do Jian kamu tau?” alis mata Do Jian terangkat. Setelah menghisap darahnya aku merasa tenang. Kutatap lekat pemilik manik safir.
“Apa?” tanyanya penasaran. “Kamu itu mempunyai aroma darah yang memikat,” ujarku. “Jadi kamu hanya menginginkan darahku?” aku tertawa kecil dan mengusap bibirnya. Wajahnya memerah tapi seulas senyum tersungging di bibirnya. “Kamu menggodaku lagi.”
“Aku tidak menggodamu,” alis matanya terangkat. “Lalu?” aku menggeleng. Kurebahkan diriku di kasur yang empuk. Kutarik selimut menutup diri. Do Jian menatap bingung.
“Hari hampir pagi. Aku harus tidur dulu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Serenarara
Dulu kita apa? Teman main bekel? apa gimana?
2025-02-12
0
chonurv
kasihan jadi hidup sebatang kara. tapi ada dua cowok yang bisa menemani sih ya.
2020-09-08
1
M.A
ini aku mei datang berkunjung
2019-10-18
2