Bukan Aku Yang Jadi Istrimu
Ayana Diandra Qamira POV
" Ay, bantu Bibi di warung, jangan terus tidur kalau pulang sekolah, kamu ikut kami tidak gratis, " setiap kali aku selalu mendengar ucapan itu berulang baik dari mulut bibi maupun paman, tetapi aku tak pernah sakit hati, karena pada kedua anaknyapun mendapat perlakuan sama denganku.
Mereka mempunyai 2 anak perempuan yang pertama kerja di luar negeri sebagai perawat dan yang kedua juga sekolah perawat sebentar lagi mau menyusul kakaknya.
Paman Karwanto dan bibi mendidik kedua anaknya dan aku, tidak seperti keluarga lain yang bisa menuruti permintaan anak anak, kami sejak kecil telah dididik untuk membantu bekerja, oleh karenanya, mba Hanifah lulus dari sekolah perawat, ada dosen yang dokter punya adik di luar negeri, dokter juga terus di bawa, dan sekarang Paman dan Bibi telah menikmati hasil dari didikannya, dengan tak pernah memanjakan kami, bahkan mba Marwah juga dibiayai nya.
Sedang aku merasa bukan siapa siapa nya mereka tentulah tahu diri, tetapi aku tetap berterima kasih, karena didikannya aku menjadi kuat.
" Jadi anak perempuan baju nya harus tertutup, jangan ikut ikutan Dina, Meli, mereka anak anak orang kaya," aku selalu menurut seperti kedua anak nya juga menurut, makanya sekarang tinggal memetik hasilnya.
" Ay, ingat ya, kamu cantik tetapi banyak anak cantik yang tidak memiliki kecantikan hati, akibatnya malahan nasibnya tidak beruntung, "ucap Bibi, aku membenarkan kata katanya.
" Ay, kamu besok berangkat ke Jakarta, kuliah yang benar, jangan mikirin cowok dulu, " nasehat mba Marwah, yang dari awal mau mengantarkan aku cari kost, dan dia dua hari lagi mau terbang ke Eropa, karena sudah dijemput mba Hanifah, jadi sekalian nginep di kamar kost ku besok kalau sudah berada di Jakarta.
Dan mba Hanifah sembunyi sembunyi nyuruh aku supaya buka rekening bank.
" Dapat beasiswa nya berapa Ay, setiap bulan nya? "tanya mba Hanifah.
" Ya cukup untuk biaya hidup Mba, dengan cara hidup kayak di kampung, "ucapku lirih.
" Bisa beli baju? " tanya nya.
" Ya harus berhemat," kataku.
" Baju mu juga bladus, " ucapnya.
" Enggak apa apa Mba, kemaren aku di kasih baju bekas banyak kok dari anak Bu Jaenab, masih layak pakai lagi, untuk kuliah juga layak, " Mba Hanifah ikut melihat baju baju bekasnya, mata nya berkaca kaca menatapku lalu ia melengos.
" Yang penting kamu di kota besar hati hati ya, ingat pada didikan ketat dari Emak dan Bapak ku ya, abis kamu itu cantik Ay, " ucap mba Hanifah juga dibenarkan mba Marwah.
" Ay, kami keras ke kamu bukan berarti kejam, tetapi untuk melindungi kamu dari orang yang ingin memanfaatkan kecantikan mu, " ucap mba Marwah.
Aku berterima kasih dengan tidak dimanjakan, aku tetap sederhana seperti mba Hanifah yang punya uang banyak juga mba Marwah.
Dari balik gunung mentari di senja hari di kampung bibi, tidak secerah seperti di daerah dataran rendah, di kampung bibi langit sering tertutup awan, apalagi kalau sudah mulai sore, lalu tak lama lagi terus hujan.
Kampung bibi sebenarnya tidak jauh amat dengan Ibukota, apalagi dengan kampus terkenal, tetapi aku tetap ngekost, karena tidak mau kecapean dan repot di jalan.
Senja itu aku dibantu mba Marwah memasukkan baju ke koper, juga membawa beras, dan oleh bibi dibelikan penanak nasi kecil.
" Ay, sudah kucarikan kamar kost, dekat kampus, nih lihat kamar nya kayak gini, sudah lengkap kok, paling yang belum ada alat alat dapur, " ucap Mba Hanifah.
" Besok sekalian bawa bumbu dapur biar enggak keluar kamu Ay, bibi jadi enggak kepikiran kamu jauh dari kami, " mata bibi berkabut, tangan yang biasa untuk kerja keras diletakkan ke kepala ku lalu mengelus pucuk kepala.
" Hanifah sama Marwah jangan sampai kirim uang ke Ay, Bapak takut jadi suka jalan jalan," ucap Paman, sorot matanya tajam, menunjukkan kekhawatiran.
Kedua anak itu mengiyakan.
Waktu pun merangkak maju, langit yang tadinya masih terlihat pantulan sinar mentari berubah hitam pekat, ribuan bintang tak mampu menembuskan cahayanya ke bumi karena terhalang oleh awan tebal, sepi, karena tak ada aktivitas orang diluar, hanya sesekali suara katak mengorek di empang yang sering terdengar di malam hari.
Kami tidur satu kasur bertiga, yang sejak dulu selalu dilakukannya, besok akan meninggalkan kampung penuh kenangan masa kecil.
" Mba Hanifah, tadi usul pada Paman agar pindah saja bersama ku, tetapi baik Paman dan Bibi tidak mau menerima usul nya, mereka mending di kampung sambil bertani dengan menanam berbagai sayur mayur juga kentang," gumanku.
Besok ke Jakarta menyewa mobil tetangga sehingga Paman dan Bibi ikut mengantar.
" Sudah tidur, jangan ngelamun saja Ay, besok kesiangan, nanti enggak bisa bantu orang tua, besok ada pesanan makanan, kamu harus bantu, " ucap Mba Hanifah.
" Iya Mba, " mata di pejamkan, dan tentu berterima kasih pada Bibi, kini aku bisa bikin berbagai jenis makanan juga pinter masak, kata Mba Hanifah tadi siang masakannya enak.
" Ay, masakan mu mantap deh, ini yang kelak akan disayang suami, " aku mengamini.
Sudah mencoba memejam mata ini, masih sulit juga, otak sulit juga melepas untuk tidak memikirkan adikku Calla.
" Dimana kau Calla? Mba selalu kangen, " gumanku.
Mba Hanifah dulu selalu berjanji kalau sudah bisa cari uang banyak akan mencari Calla, syukur dia mau hidup bersama kami.
Cuman kata Bibi saat kedua orang tua ku di kebumikan ada ibu ibu yang menggendongnya tetapi bibi karena sibuk nya sehingga ia tidak memperhatikan nya dan tahu tahu Calla sampai sore tidak diserahkan ke Bibi.
" Aku ingat Bibi sama Paman kalang kabut mencari dan bertanya tanya ke tetangga sampai berbulan bulan bahkan sampai sekarang selalu bertanya pada orang yang di kenal kalau ketemu Calla, " gumanku.
Dan aku tahu Bibi orang yang serba kekurangan tetapi ikhlas pada ku, walau tegas cara mendidiknya, tetapi akupun ikhlas saja sama pendidikannya, karena menjadi kuat juga oleh mereka.
Kantuk pun mulai terasakan saat dini hari, dan bangkit saat tangan kokoh Bibi mengusap kepala.
" Hmmm, bantu Bibi donk, Ay, dengar tuh jago Paman sudah menyuruh mu bangun, jangan malas, rejeki nya jadi seret, " celoteh pagi ini, biasa dengan suara keras, tetapi karena sudah terbiasa telinga ini mendengarnya, aku anggap biasa.
Lalu cepat cepat bangkit dari kasur empuk yang baru dibelikan sama mba Hanifah, rumah juga telah diperbaiki jadi sudah sangat layak.
Ku tengok sebelah, Mba Hanifah dan Mba Marwah sudah tak ada.
" Wah, ngalamat nich kena ceramah Bibi maupun Paman, telinga harus tebal pagi ini, " gumanku sambil berlari menuju ke dapur.
" Hmmm, cewek cantik jadi males bantu kerja di dapur, " ucap Bibi lalu melengos.
" Awas lho, besok telinga mu bakal risih, setiap pagi dibangunkan, " ucap Paman.
Aku terus sibuk membantu disebelah Mba Hanifah yang sejak kecil selalu menyayangi.
" Makanya kalau mau tidur jangan banyak ngelamun, kosong kan otak mu biar gampang tidur ," nasehat Mba Hanifah, aku mengiyakan.
" Ay, kamu goreng ayam nich, aku mau mengambil beras lagi, " aku menggantikan Bibi mengorak arik ayam di penggorengan.
Angin pagi yang dingin menghembus masuk ke dapur, menggoyang goyang kan dahan dahan tanaman tomat dan cabe di tanah belakang dapur.
Dan kesibukan di rumah Mba Hanifah selesai sesuai jam yang disepakati Bibi. Kami bertiga baru istirahat dan menikmati sarapan pagi bersama.
" Mba Hanifah kangen masakan kampung kan? " tanya ku.
" Tentu Ay, kalau lagi kangen biasanya aku berhalu saja, hehehe," ucap nya.
Bibi oleh Mba Hanifah setelah anak anak tidak di rumah supaya jangan lagi menerima pesanan, tetapi tidak mau, alasan nya nanti Mba Jannah tetangga sebelah siap membantu nya.
" Ay, ini bumbu dapur dibawa sekalian, biar kamu tidak banyak keluar, " tandas Bibi.
" Iya Bi, sini aku jadikan satu dengan bahan bahan yang lain, " pintaku, lalu memasukkan ke tas plastik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
🍁KAT❣️💋🅷🅰🆁🅸🅶🆄🆁🆄👻ᴸᴷ
Semangat Thor.👍😊
2022-04-19
1