Ayana Diandra Qamira POV
" Ay, bantu Bibi di warung, jangan terus tidur kalau pulang sekolah, kamu ikut kami tidak gratis, " setiap kali aku selalu mendengar ucapan itu berulang baik dari mulut bibi maupun paman, tetapi aku tak pernah sakit hati, karena pada kedua anaknyapun mendapat perlakuan sama denganku.
Mereka mempunyai 2 anak perempuan yang pertama kerja di luar negeri sebagai perawat dan yang kedua juga sekolah perawat sebentar lagi mau menyusul kakaknya.
Paman Karwanto dan bibi mendidik kedua anaknya dan aku, tidak seperti keluarga lain yang bisa menuruti permintaan anak anak, kami sejak kecil telah dididik untuk membantu bekerja, oleh karenanya, mba Hanifah lulus dari sekolah perawat, ada dosen yang dokter punya adik di luar negeri, dokter juga terus di bawa, dan sekarang Paman dan Bibi telah menikmati hasil dari didikannya, dengan tak pernah memanjakan kami, bahkan mba Marwah juga dibiayai nya.
Sedang aku merasa bukan siapa siapa nya mereka tentulah tahu diri, tetapi aku tetap berterima kasih, karena didikannya aku menjadi kuat.
" Jadi anak perempuan baju nya harus tertutup, jangan ikut ikutan Dina, Meli, mereka anak anak orang kaya," aku selalu menurut seperti kedua anak nya juga menurut, makanya sekarang tinggal memetik hasilnya.
" Ay, ingat ya, kamu cantik tetapi banyak anak cantik yang tidak memiliki kecantikan hati, akibatnya malahan nasibnya tidak beruntung, "ucap Bibi, aku membenarkan kata katanya.
" Ay, kamu besok berangkat ke Jakarta, kuliah yang benar, jangan mikirin cowok dulu, " nasehat mba Marwah, yang dari awal mau mengantarkan aku cari kost, dan dia dua hari lagi mau terbang ke Eropa, karena sudah dijemput mba Hanifah, jadi sekalian nginep di kamar kost ku besok kalau sudah berada di Jakarta.
Dan mba Hanifah sembunyi sembunyi nyuruh aku supaya buka rekening bank.
" Dapat beasiswa nya berapa Ay, setiap bulan nya? "tanya mba Hanifah.
" Ya cukup untuk biaya hidup Mba, dengan cara hidup kayak di kampung, "ucapku lirih.
" Bisa beli baju? " tanya nya.
" Ya harus berhemat," kataku.
" Baju mu juga bladus, " ucapnya.
" Enggak apa apa Mba, kemaren aku di kasih baju bekas banyak kok dari anak Bu Jaenab, masih layak pakai lagi, untuk kuliah juga layak, " Mba Hanifah ikut melihat baju baju bekasnya, mata nya berkaca kaca menatapku lalu ia melengos.
" Yang penting kamu di kota besar hati hati ya, ingat pada didikan ketat dari Emak dan Bapak ku ya, abis kamu itu cantik Ay, " ucap mba Hanifah juga dibenarkan mba Marwah.
" Ay, kami keras ke kamu bukan berarti kejam, tetapi untuk melindungi kamu dari orang yang ingin memanfaatkan kecantikan mu, " ucap mba Marwah.
Aku berterima kasih dengan tidak dimanjakan, aku tetap sederhana seperti mba Hanifah yang punya uang banyak juga mba Marwah.
Dari balik gunung mentari di senja hari di kampung bibi, tidak secerah seperti di daerah dataran rendah, di kampung bibi langit sering tertutup awan, apalagi kalau sudah mulai sore, lalu tak lama lagi terus hujan.
Kampung bibi sebenarnya tidak jauh amat dengan Ibukota, apalagi dengan kampus terkenal, tetapi aku tetap ngekost, karena tidak mau kecapean dan repot di jalan.
Senja itu aku dibantu mba Marwah memasukkan baju ke koper, juga membawa beras, dan oleh bibi dibelikan penanak nasi kecil.
" Ay, sudah kucarikan kamar kost, dekat kampus, nih lihat kamar nya kayak gini, sudah lengkap kok, paling yang belum ada alat alat dapur, " ucap Mba Hanifah.
" Besok sekalian bawa bumbu dapur biar enggak keluar kamu Ay, bibi jadi enggak kepikiran kamu jauh dari kami, " mata bibi berkabut, tangan yang biasa untuk kerja keras diletakkan ke kepala ku lalu mengelus pucuk kepala.
" Hanifah sama Marwah jangan sampai kirim uang ke Ay, Bapak takut jadi suka jalan jalan," ucap Paman, sorot matanya tajam, menunjukkan kekhawatiran.
Kedua anak itu mengiyakan.
Waktu pun merangkak maju, langit yang tadinya masih terlihat pantulan sinar mentari berubah hitam pekat, ribuan bintang tak mampu menembuskan cahayanya ke bumi karena terhalang oleh awan tebal, sepi, karena tak ada aktivitas orang diluar, hanya sesekali suara katak mengorek di empang yang sering terdengar di malam hari.
Kami tidur satu kasur bertiga, yang sejak dulu selalu dilakukannya, besok akan meninggalkan kampung penuh kenangan masa kecil.
" Mba Hanifah, tadi usul pada Paman agar pindah saja bersama ku, tetapi baik Paman dan Bibi tidak mau menerima usul nya, mereka mending di kampung sambil bertani dengan menanam berbagai sayur mayur juga kentang," gumanku.
Besok ke Jakarta menyewa mobil tetangga sehingga Paman dan Bibi ikut mengantar.
" Sudah tidur, jangan ngelamun saja Ay, besok kesiangan, nanti enggak bisa bantu orang tua, besok ada pesanan makanan, kamu harus bantu, " ucap Mba Hanifah.
" Iya Mba, " mata di pejamkan, dan tentu berterima kasih pada Bibi, kini aku bisa bikin berbagai jenis makanan juga pinter masak, kata Mba Hanifah tadi siang masakannya enak.
" Ay, masakan mu mantap deh, ini yang kelak akan disayang suami, " aku mengamini.
Sudah mencoba memejam mata ini, masih sulit juga, otak sulit juga melepas untuk tidak memikirkan adikku Calla.
" Dimana kau Calla? Mba selalu kangen, " gumanku.
Mba Hanifah dulu selalu berjanji kalau sudah bisa cari uang banyak akan mencari Calla, syukur dia mau hidup bersama kami.
Cuman kata Bibi saat kedua orang tua ku di kebumikan ada ibu ibu yang menggendongnya tetapi bibi karena sibuk nya sehingga ia tidak memperhatikan nya dan tahu tahu Calla sampai sore tidak diserahkan ke Bibi.
" Aku ingat Bibi sama Paman kalang kabut mencari dan bertanya tanya ke tetangga sampai berbulan bulan bahkan sampai sekarang selalu bertanya pada orang yang di kenal kalau ketemu Calla, " gumanku.
Dan aku tahu Bibi orang yang serba kekurangan tetapi ikhlas pada ku, walau tegas cara mendidiknya, tetapi akupun ikhlas saja sama pendidikannya, karena menjadi kuat juga oleh mereka.
Kantuk pun mulai terasakan saat dini hari, dan bangkit saat tangan kokoh Bibi mengusap kepala.
" Hmmm, bantu Bibi donk, Ay, dengar tuh jago Paman sudah menyuruh mu bangun, jangan malas, rejeki nya jadi seret, " celoteh pagi ini, biasa dengan suara keras, tetapi karena sudah terbiasa telinga ini mendengarnya, aku anggap biasa.
Lalu cepat cepat bangkit dari kasur empuk yang baru dibelikan sama mba Hanifah, rumah juga telah diperbaiki jadi sudah sangat layak.
Ku tengok sebelah, Mba Hanifah dan Mba Marwah sudah tak ada.
" Wah, ngalamat nich kena ceramah Bibi maupun Paman, telinga harus tebal pagi ini, " gumanku sambil berlari menuju ke dapur.
" Hmmm, cewek cantik jadi males bantu kerja di dapur, " ucap Bibi lalu melengos.
" Awas lho, besok telinga mu bakal risih, setiap pagi dibangunkan, " ucap Paman.
Aku terus sibuk membantu disebelah Mba Hanifah yang sejak kecil selalu menyayangi.
" Makanya kalau mau tidur jangan banyak ngelamun, kosong kan otak mu biar gampang tidur ," nasehat Mba Hanifah, aku mengiyakan.
" Ay, kamu goreng ayam nich, aku mau mengambil beras lagi, " aku menggantikan Bibi mengorak arik ayam di penggorengan.
Angin pagi yang dingin menghembus masuk ke dapur, menggoyang goyang kan dahan dahan tanaman tomat dan cabe di tanah belakang dapur.
Dan kesibukan di rumah Mba Hanifah selesai sesuai jam yang disepakati Bibi. Kami bertiga baru istirahat dan menikmati sarapan pagi bersama.
" Mba Hanifah kangen masakan kampung kan? " tanya ku.
" Tentu Ay, kalau lagi kangen biasanya aku berhalu saja, hehehe," ucap nya.
Bibi oleh Mba Hanifah setelah anak anak tidak di rumah supaya jangan lagi menerima pesanan, tetapi tidak mau, alasan nya nanti Mba Jannah tetangga sebelah siap membantu nya.
" Ay, ini bumbu dapur dibawa sekalian, biar kamu tidak banyak keluar, " tandas Bibi.
" Iya Bi, sini aku jadikan satu dengan bahan bahan yang lain, " pintaku, lalu memasukkan ke tas plastik.
Author POV
Ay panggilan Ayana, ia cantik berkulit putih, bentuk matanya belo, serta ciri fisik lainnya yang menunjukkan bahwa ia tak kalah dengan Dina, Meli yang lebih modis, kalau di SMA nya ada kontes kecantikan tentu Ay termasuk dalam kategori 10 besar, hanya saja ia sangat culun.
" Aku tahulah si Ay, yang suka pakai baju kedodoran, jadinya kayak ondel ondel, " seloroh Tari, teman satu sekolah, sambil tertawa mengejek, yang lain juga ikut tertawa terbahak bahak bayangin Ay menggunakan pakaian yang diomongin Tari.
" Iya, terus hijab kepala tidak pernah ganti, di rumah dan ke sekolah hijabnya sama, juga tidak punya banyak teman, ia hanya berteman sama Fia, " celoteh Dara.
" Sekolah nya selalu gratis, sekarang juga dapat beasiswa di kampus terkenal di Jakarta, "ucap Mela.
" Ambil nya apa?" tanya Tari.
" Ekonomi, " ucap Mela.
" Cocok lah dia ambil prodi itu bisa mendukung usaha orang tua nya, " kata Tari.
Teman teman nya tahunya Pak Karwanto orang tua nya.
Dan apapun kata teman teman tentang dirinya, ia tetap kuat, tidak pernah kecil hati.
Seperti siang itu, udara yang tetap segar di lingkungan rumah pak Karwanto, Ay telah siap untuk berangkat ke Jakarta, yang akan diantar oleh keluarga.
Ay menggunakan baju bekas yang di kasih oleh anak nya bu Jaenab, sudah terlihat bladus juga kebesaran selain itu mata kakinya keliatan, karena lebih tinggi Ay daripada Lela nama anak bu Jaenab.
" Ay, pakai kaos kaki biar kaki enggak keliatan, " ucap Hanifah, ia menyodorkan kaos kaki untuk para pengguna hijab. Dalam hati Hanifah ingin mengajak ke pasar Tanah Abang untuk membelikan baju baru, biar lebih modis, tetapi disisi lain ia takut kalau Ay dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
" Diingat ingat ya Ay, di tempat baru kamu juga harus ikut nyari Calla, kayak Mba Hanifah, juga Marwah," ucap Bibi.
Mobil telah standby di halaman rumah Pak Karwanto, Ay di bantu kakak kakak nya telah memasukkan barang barang ke bagasi.
Bagi Karwanto dan keluarga tidak asing ke Jakarta, karena adik Karwanto ada di Jakarta, mereka juga sering berkunjung, apalagi Karwanto sering ikut juragan kirim sayur mayur ke pasar pasar di Jakarta, jadi sudah hafal betul tentang kota teramai di negara ini.
Rombongan keluarga Karwanto berangkat dari kampungnya, melewati jalan di kanan kiri kebun sayur, dan hamparan kebun teh yang menghijau, kesejukan kotanya menjadi daya tarik orang orang Jakarta untuk mengunjungi setiap weekend atau liburan panjang, bahkan orang orang kaya banyak yang punya rumah atau villa di kampung nya.
Hampir dua jam sampai ke kost yang sudah di boking oleh Hanifah lewat online.
Mereka menyusuri lorong di kanan kiri yang berupa kamar kamar kost, gelak tawa di salah satu kamar, menambah suasana hangat.
Sementara Hanifah yang sudah janjian menemui bapak kost nya.
Ay ikut keluarga yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, walau mendidiknya tegas, tetapi tidak pernah melakukan kdrt, hanya ngomong nya yang pedes tetapi agar tidak jadi anak manja, terutama pada Ay yang sebenarnya cantik, tetapi Bibi dan Paman hanya ingin melindunginya, sehingga untuk menutupi kecantikannya, Ay di larang menggunakan baju baju yang modis, seperti Hanifah dan Marwah juga sama selalu pakai baju apa adanya, disamping itu Paman dan Bibi orang tak mampu.
Paman serta Bibi sengaja lebih protektif pada Ay, mereka hanya takut saja kalau dia dimanfaatkan oleh orang jahat yang akan menghancurkan hidupnya.
Negosiasi yang dilakukan oleh Hanifah sudah klir, maka semua barang dimasukkan ke kamar.
" Mba, mahal ya kontrakannya? apa nanti uang beasiswaku cukup untuk bayar kamar seperti ini? " bisik Ay.
" Kamu bayar sesuai yang dianggarkan saja, " ucap Hanifah.
" Mba, cuman aku minder lho, seperti nya disini kebanyakan anak orang kaya, apa mereka mau menerima ku anak culun?"ucap Ay.
" Kamu kalau pakai baju kayak mereka, tentu jadi rebutan cowok, kamu modis nya nanti kalau sudah punya suami, tetapi tentunya untuk suami, " celetuk Bibi, Ay mengiyakan nasehat Bibi.
" Laptop Mba Marwah tadi kok enggak ada ya, padahal sudah kumasukan tas, Mba, gimana ini? " Ay sampai menangis saking takutnya.
" Ay, tadi aku lupa enggak ngomong kamu, kalau laptop nya banyak file penting, jadi ku ambil lagi, "ucap Marwah, dada Ay serasa lega mendengar ucapan Marwah.
" Besok dipinjami uang dulu sama mba Hanifah, kalau kamu sudah punya uang dikembalikan, " ucap Paman.
" Uang mu kan, di simpan Bibi, ini aku bawa, harga nya berapa?" ucap Bibi.
Ay karena selalu membantu Bibi maka setiap hari dapat upah, seperti Hanifah dan Marwah juga sama.
" Itu tadi aku lihat ada gerai laptop, di kios kios mau masuk jalan depan kost ini,"ucap Marwah.
Senja pertama di Jakarta, terlihat semburat warna jingga di langit sebelah barat di antara gedung gedung yang menjulang tinggi, Ay hanya mampu mengintip panorama alam yang selalu dikaguminya lewat ruang sempit untuk jemuran di belakang kamar kost yang baru di lantai dua, pandangannya sebenarnya terhalang oleh bangunan tingkat disebelah kamarnya, cuman karena batas sebelah kamar berupa ruang kosong diakibatkan dibawahnya berupa aliran pembuangan air, sehingga kamarnya mendapatkan penyinaran matahari serta udara, maka tak merasakan pengabnya ruangan oleh terhimpit nya bangunan bangunan disebelahnya.
" Ay, kamu bisa saling bertatap mata dengan penghuni kamar di balik jemuran ini, " seloroh Marwah, ia suka sekali menggodanya, kadang Ay menjadi cemberut oleh candaannya.
" Eeemmm, adikku kalau cemberut tambah cantik, " seloroh nya kemudian.
" Mba, aku jadi kangen dua hari lagi tak di godain kamu, " bales Ay, sedikit memble ngebayangin mau ditinggal oleh kedua kakak angkat nya yang pernah hidup diantara suka duka mendapatkan didikan dari Paman dan Bibi Karwanto yang disiplin.
" Ay, kenapa memble, mesti Marwah ngeledek yang nyakitin hatimu ya, " ucap Hanifah yang ikut ikutan menikmati panorama alam yang tidak bisa terlihat full kayak di kampung nya.
" Ala, paling memble karena dua hari lagi enggak ada yang ngeledek kan, Ay? "seloroh bibi yang ikut mendekati mereka bertiga, Bibi yang kesehariannya sangat kuat dan tegar ternyata matanya berkaca kaca membayangkan mau tinggal berdua dengan suaminya di kampung, Paman ikut bergabung juga, berempat terisak lirih tanpa berucap kata, hanya dalam hati penuh dengan berbagai rangkaian kata yang tidak mampu dikeluarkan.
" Ay, kamu setiap akhir pekan harus pulang lho, nengok orang tua," ucap Hanifah disela sela isakannya.
" Iiiyaa mba, " jawab Ay terisak isak.
" Atau kami yang selalu nengok kesini, " ucap Bibi yang pipinya terbanjiri air mata, Bibi saat masuk ke areal kost kostan ini sambil menatap setiap perempuan yang bertemu, dalam angannya membayangkan Calla.
Waktu bergulir, Paman dan Bibi meninggalkan ketiga anaknya yang mereka didik dengan perjuangan besar, karena keterbatasan biaya, yang diandalkan hanya tenaga, dan mereka hanya mampu mengiringi doa agar ketiga anaknya hidup nya lebih baik darinya.
" Ay, belum punya alat masak ya, kita keluar yuk mumpung masih jam segini, "ajak Hanifah.
" Sekalian beli laptop ya Mba, " pinta Ay.
" Ya ayo cepetan, " bertiga melangkah kan kaki dengan cepat, Ay bawa uang yang tadi diserahkan semua oleh Bibi, yang ia tabung dengan cara dititipin ke Bibi.
" Udah Ay, uangmu untuk biaya hidup selama beasiswa mu belum keluar, nanti pakai uang ku saja, " ucap Hanifah.
" Biarin Mba, nanti utangku kebanyakan, " ucap Ay.
" Tidak perlu membayar donk, aku juga masih banyak kok, " ucap Hanifah.
" Aku juga pengin belikan kok Ay, " ucap Marwah.
" Kan kamu belum dapat gajian mba, " ucap Ay.
" Ya besok kalau dapat gaji pertama, ku kirim uang untuk beli baju, biar kamu pakai baju baru, enggak kaya sekarang kita hanya dapat baju bekas, " ucap Marwah, di kedua bola matanya berembun sehingga penglihatannya menjadi kabur, ia cepat cepat menyapu nya dengan telapak tangan yang agak kasar, seperti telapak tangan Ay walau lentik jari jarinya tetapi agak kasar karena seharian selalu bekerja bantu orang tua.
Bertiga berjalan kaki dengan langkah cepat dan membutuhkan waktu satu jam mereka berbelanja.
Selesai membeli semua yang dibutuhkan kan bahkan lemari pendingin satu pintu dibelikan juga oleh Hanifah.
" Biar kamu enggak minder banget lho De, di kost kost an yang rata rata kamarnya komplit, " ucap Hanifah.
" Biar tak kelihatan orang kampung juga De, tapi ingat De, kamu bajunya harus tetap tertutup jangan ngikutin cewek di kamar lain lho, " ucap Hanifah tegas.
" Iya Ay, lihat mba Hanifah yang hidup di Eropa tetap pakai Hijab, tidak ketat juga, pokoknya kita harus jaga deh warisan nasehat orang tua ya, biarin aja dikatain culun," ucap Marwah.
" Iya mba, insya Allah akan aku jaga, " ucap Ay.
Sambil ngobrol pekerjaan beberes kamar selesai, setelah belanja di kios kios yang berderet dekat kost kostannya, bahkan kulkas yang langsung dikirim telah diisi bahan bahan mentah yang dibawakan oleh Bibi.
Malam telah larut, tetapi penghuni kamar masih ada yang berceloteh dengan duduk duduk di balkon depan kamarnya.
Cuman yang nyaman dari kost kostan ini, setiap dua kamar ada tangga sehingga para penghuni kamar kalau keluar masuk tidak lewat balkon kamar lain, demikian untuk kamar bawah.
Malam ini Ay hanya mencoba alat alat dapur dengan bikin mie goreng dari bahan bahan yang dibawa kan Bibi, juga buat minuman jeruk hangat.
" Ay, ngangenin banget nich masakan mu, kayaknya klo aku dah di UK selalu berhalu masakan mu," ucap Marwah, sambil makan dengan lahap.
" Paling klo jauhan gitu ya, tapi klo dekat terus mba nyebelin sukanya bikin aku cemberut, " jawab Ay.
" Dasar kamunya yang sensi, " ucap Marwah lagi.
" Hmmm, mulai, mulai ribut," kilah Hanifah.
Kamar kamar sudah mulai sepi, obrolan tetangga kamar di balkon juga sudah tak terdengar lagi. Ay mulai merebahkan diri, karena besok hari pertama ke kampus, jam pertama lagi, sehingga ia tak menghiraukan Hanifah dan Marwah yang masih bicara pelan pelan, dan lama lama mereka juga menyusul mendekur di sebelah Ay dengan menggelar karpet karet yang dibawa dari rumah karena kasur lantai yang disediakan hanya cukup untuk satu orang sehingga untuk di jadikan bantal, biar bertiga ngerasa tubuh separuh di kasur separuh di karpet, kasur busanya juga tak tinggi amat.
Suara Adzan Shubuh terdengar dari kamar Ay, ia membuka mata pelan pelan, lalu duduk di karpet, matanya menatap 2 kakak angkat nya yang sejak kecil bersama nya, walau sering membuat menangis tetapi mereka hanya ngeledek saja, katanya mereka hanya gemes. Dan semuanya pun bangun lalu melaksanakan kewajiban.
" Mba, tidur lagi aja, biar aku yang masak, mau bikin nasi goreng, " Ay mau di tinggal kedua kakak nya maka ia ingin memanjakan dengan memasak.
Kedua kakak nya pun tidur kembali, dan bangun karena mencium bau masakan Ay.
" Mba, cuci muka dulu, baru makan, " celoteh Ay, karena dua kakaknya bangun langsung nyendok nasi goreng.
" Waaah besok akan bikin kita hanya mampu berhalu ya Mba, " seloroh Marwah.
" Itulah, aku mumpung masih ada waktu dua hari, ingin manjain kamu mba, " ucap Ay, sambil menyuapkan nasi ke mulut.
" Nanti, nyampe jam brapa Sayang di kampusnya?" tanya Hanifah.
" Nyampe pukul 12.00, paling nanti goreng ayam, " ucap Ay.
" Udah kamu mikirin kuliah aja, biar nanti aku goreng sendiri, ok, " ucap Hanifah.
Jam berangkat kuliah pun tiba, Ay pakai baju bekas dari Lela, tentu sudah bladus cuman masih layak pakai. Masih kayak kemaren bawahan nya setinggi diatas mata kaki, juga kedodoran karena badannya lebih besar Lela, dan oleh Ay bawahannya dikasih peniti, kalau atasannya dibiarkan kebesaran dengan lengan ia tutup pakai kaos lengan biar lebih ketutup.
" Iya kaya gitu Ay, kulit putih mu biar enggak terlihat orang," celetuk Marwah.
" Selamat berjuang ya Ay, semoga sukses, " ucap kedua kakak nya, setelah Ay mencium punggung tangan sambil minta doa.
Ay membuka pintu kamar, lalu menuju tangga, dan berpapasan dengan teman kamar sebelah yang menggunakan baju ketat, Ay memberi senyuman manis, tetapi ia hanya menatap dengan pandangan menusuk, dan tiba tiba tertawa terbahak bahak.
Ay tahu, ia menertawakannya, Ay abai saja dengan perlakuannya, toh ia sejak sekolah selalu saja ditertawakan, terutama cara berpakaian yang kampungan.
" Permisi mba, numpang lewat, " ucap Ay, karena jalannya dihalang halangi.
" Iihhh, kok culun banget sih, hai, nyadar enggak sih kamu, jamannya dah beda Mba! " ledek dia, punggungnya di dorong, untung Ay berpegangan pada pegangan tangga.
Ay merasa jadi penghuni baru tak memiliki keberanian untuk memprotesnya, Ay malah tersenyum.
" Iihhh, kok tersenyum, jijik aku lihat cewek bladus dan kampungan jadi tetangga kamarku, mending aku pindah kamar deh, " cerocosnya lantang.
Hanifah dan Marwah mendengar keributan ditangga, lalu keluar untuk melihat Ay.
" Kasihan Ay, mba, sering oleh teman temannya di perlakukan kayak gitu, seharusnya cari kost yang selevel dengan kondisi orang tua kita lho mba, dan aku takut kalau dia sendirian dibully, " ucap Marwah.
" Kenapa kamu dari kemarin enggak bilang sih, " kata Hanifah.
" Aku tidak tega Mba, mau cerita padamu, " ucap Marwah.
" Biarin, toh cewek itu yang mau nyingkir dari kamar sebelah, " ucap Hanifah.
****
Ayana POV
Dengan perasaan takut, aku berjalan cepat di lorong kamar lantai bawah.
" Mba, absen keluar dulu, " seru Satpam di pos pintu gerbang, jari jariku sempat gemeteran melihat cewek yang tadi menghardik ditangga mendekat di pos.
" Mas Hardi, hidungmu enggak bau busuk dekat cewek tengil? " ejeknya. Hardi hanya tertawa terkekeh kekeh dengar omongan Clara.
" Aku sampai mau muntah lho Mas, kesel lagi kamarnya disebelah ku, pengin pindah kamar deh jadinya, " ucap Clara kesal.
" Clara, Clara, aku enggak bau kok, cuman cewek itu beda sih sama kamu," ucap Satpam, telapak tangan yang tak sehalus cewek yang ku tahu namanya Clara sampai berkeringat dingin. Aku sengaja masih berada di dekat pos satpam.
" Bedanya apa hayo Mas? " kencang suara Clara sampai aku merasakan berdengung telinganya.
" Lebih modis kamu, dilihat dari bajunya, " ucap Hardi apa adanya.
Lama lama risih dengar mereka lalu berjalan menuju ke kampus dengan jalan kaki, walau aku sama mba Marwah telah bolak balik ke kampus, katanya biar tidak bingung nantinya, cuman sering nya aku naik angkot sampai masuk ke kampus. Dan pagi ini mumpung masih pagi aku ingin jalan kaki, apalagi banyak teman teman nya yang berjalan.
Melewati jalan diantara kios kios yang berjejer jejer, tidak merasa membosankan, tadi malam bertiga ke lokasi ini, suasana ramai, tetapi pagi ini kios kios masih tutup, hanya warung makan Padang yang sudah buka dengan ramai pengunjung, yang kulihat rata rata anak anak seusia ku, mungkin para mahasiswa di kampus sama dengan ku.
Kalau aku rencana nya setiap akhir pekan pulang, berarti akan membawa bahan mentah dari rumah, di pekarangan banyak tanaman sayur mayur, juga Paman punya empang, serta memelihara ayam kampung, karena kini pekarangan Paman bertambah, di kanan kiri sampai kebelakang sudah menjadi miliknya, dibeli dari uang kiriman Mba Hanifah.
" Mba, jangan melamun di jalan, " aku terkejut tanpa menyadari mau menabrak motor yang parkir di pinggir jalan.
Sempat tubuh sempoyongan, tetapi aku bukan cewek lemah, dengan sigap kaki mampu mengimbanginya.
Masuk ke areal kampus melewati pepohonan dengan dedaunan lebat menjadikan areal kampus sangat rindang. Pagi inipun udaranya sangat sejuk, apalagi burung burung pipit bunyinya meramaikan areal kampus yang sangat luas, terlihat suasana nya sangat alami, seperti di kampungku.
" Mba, kamu mau ke Fakultas Ekonomi? " seorang cewek berhijab di belakang ku berusaha mengejar langkah ku yang terbiasa jalan cepat.
" Iiya, kamu sama tujuan nya dengan ku? " tanya ku. Ia mengangguk dan mengajak jalan bareng, karena ia juga mahasiswa baru seperti ku.
Akhirnya punya teman, setelah berkenalan dia bernama Andina asalnya dari perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
" Kostnya dimana mba Andin? " tanya ku.
" Di belakang kios kios, " jawabnya.
" Mba, kok memilih di Jakarta, " ucapku.
" Iya, pengin mengadu nasib disini juga kelak klo sudah selesai, " jawab nya.
Sambil ngobrol tidak merasa capek, dan tahu tahu sampai ke ruang yang di tuju.
" Belum ada yang berangkat ya mba teman teman kita, " kataku dengan celingukan serta mencari tempat duduk di taman.
" Iya, kita masih keawalan berangkat nya, nich masih kurang setengah jam lagi, " ucapnya.
" Hari ini kan belum ada kuliah ya? " tanya ku.
" Belum, kita dikumpulkan dulu, lalu menemui dosen wali, " ucapnya.
" Iya betul mba, yang kubaca dari e-mail begitu, " kataku.
" Ponselnya baru mba Ay? " tanya nya. Aku tersenyum dan mengiyakan, tadi malam sekalian mengganti ponsel bladus nya, walau masih bisa di pakai tetapi aplikasi nya sudah penuh sehingga sering lelet.
Dan lagi lagi mba Hanifah yang membayar.
" Beli di konter dekat kost ku? " tanyanya, Andina juga berniat mau ganti ponsel lamanya, karena sama dengan ponsel bladusku.
" Iya mba, lumayan lah, aku cari yang paling murah tapi di kantongku ya mahal," kataku nyengir.
" Bagus kok, nanti pulang nya temani aku ya ke konter, pengin beli yang kaya punya mu, " pinta nya, aku menyanggupi.
Waktunya berkumpul di ruang yang bisa menampung sekitar 100 mahasiswa, aku dengar ini selalu di pakai untuk kuliah umum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!