Author POV
Ay panggilan Ayana, ia cantik berkulit putih, bentuk matanya belo, serta ciri fisik lainnya yang menunjukkan bahwa ia tak kalah dengan Dina, Meli yang lebih modis, kalau di SMA nya ada kontes kecantikan tentu Ay termasuk dalam kategori 10 besar, hanya saja ia sangat culun.
" Aku tahulah si Ay, yang suka pakai baju kedodoran, jadinya kayak ondel ondel, " seloroh Tari, teman satu sekolah, sambil tertawa mengejek, yang lain juga ikut tertawa terbahak bahak bayangin Ay menggunakan pakaian yang diomongin Tari.
" Iya, terus hijab kepala tidak pernah ganti, di rumah dan ke sekolah hijabnya sama, juga tidak punya banyak teman, ia hanya berteman sama Fia, " celoteh Dara.
" Sekolah nya selalu gratis, sekarang juga dapat beasiswa di kampus terkenal di Jakarta, "ucap Mela.
" Ambil nya apa?" tanya Tari.
" Ekonomi, " ucap Mela.
" Cocok lah dia ambil prodi itu bisa mendukung usaha orang tua nya, " kata Tari.
Teman teman nya tahunya Pak Karwanto orang tua nya.
Dan apapun kata teman teman tentang dirinya, ia tetap kuat, tidak pernah kecil hati.
Seperti siang itu, udara yang tetap segar di lingkungan rumah pak Karwanto, Ay telah siap untuk berangkat ke Jakarta, yang akan diantar oleh keluarga.
Ay menggunakan baju bekas yang di kasih oleh anak nya bu Jaenab, sudah terlihat bladus juga kebesaran selain itu mata kakinya keliatan, karena lebih tinggi Ay daripada Lela nama anak bu Jaenab.
" Ay, pakai kaos kaki biar kaki enggak keliatan, " ucap Hanifah, ia menyodorkan kaos kaki untuk para pengguna hijab. Dalam hati Hanifah ingin mengajak ke pasar Tanah Abang untuk membelikan baju baru, biar lebih modis, tetapi disisi lain ia takut kalau Ay dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
" Diingat ingat ya Ay, di tempat baru kamu juga harus ikut nyari Calla, kayak Mba Hanifah, juga Marwah," ucap Bibi.
Mobil telah standby di halaman rumah Pak Karwanto, Ay di bantu kakak kakak nya telah memasukkan barang barang ke bagasi.
Bagi Karwanto dan keluarga tidak asing ke Jakarta, karena adik Karwanto ada di Jakarta, mereka juga sering berkunjung, apalagi Karwanto sering ikut juragan kirim sayur mayur ke pasar pasar di Jakarta, jadi sudah hafal betul tentang kota teramai di negara ini.
Rombongan keluarga Karwanto berangkat dari kampungnya, melewati jalan di kanan kiri kebun sayur, dan hamparan kebun teh yang menghijau, kesejukan kotanya menjadi daya tarik orang orang Jakarta untuk mengunjungi setiap weekend atau liburan panjang, bahkan orang orang kaya banyak yang punya rumah atau villa di kampung nya.
Hampir dua jam sampai ke kost yang sudah di boking oleh Hanifah lewat online.
Mereka menyusuri lorong di kanan kiri yang berupa kamar kamar kost, gelak tawa di salah satu kamar, menambah suasana hangat.
Sementara Hanifah yang sudah janjian menemui bapak kost nya.
Ay ikut keluarga yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, walau mendidiknya tegas, tetapi tidak pernah melakukan kdrt, hanya ngomong nya yang pedes tetapi agar tidak jadi anak manja, terutama pada Ay yang sebenarnya cantik, tetapi Bibi dan Paman hanya ingin melindunginya, sehingga untuk menutupi kecantikannya, Ay di larang menggunakan baju baju yang modis, seperti Hanifah dan Marwah juga sama selalu pakai baju apa adanya, disamping itu Paman dan Bibi orang tak mampu.
Paman serta Bibi sengaja lebih protektif pada Ay, mereka hanya takut saja kalau dia dimanfaatkan oleh orang jahat yang akan menghancurkan hidupnya.
Negosiasi yang dilakukan oleh Hanifah sudah klir, maka semua barang dimasukkan ke kamar.
" Mba, mahal ya kontrakannya? apa nanti uang beasiswaku cukup untuk bayar kamar seperti ini? " bisik Ay.
" Kamu bayar sesuai yang dianggarkan saja, " ucap Hanifah.
" Mba, cuman aku minder lho, seperti nya disini kebanyakan anak orang kaya, apa mereka mau menerima ku anak culun?"ucap Ay.
" Kamu kalau pakai baju kayak mereka, tentu jadi rebutan cowok, kamu modis nya nanti kalau sudah punya suami, tetapi tentunya untuk suami, " celetuk Bibi, Ay mengiyakan nasehat Bibi.
" Laptop Mba Marwah tadi kok enggak ada ya, padahal sudah kumasukan tas, Mba, gimana ini? " Ay sampai menangis saking takutnya.
" Ay, tadi aku lupa enggak ngomong kamu, kalau laptop nya banyak file penting, jadi ku ambil lagi, "ucap Marwah, dada Ay serasa lega mendengar ucapan Marwah.
" Besok dipinjami uang dulu sama mba Hanifah, kalau kamu sudah punya uang dikembalikan, " ucap Paman.
" Uang mu kan, di simpan Bibi, ini aku bawa, harga nya berapa?" ucap Bibi.
Ay karena selalu membantu Bibi maka setiap hari dapat upah, seperti Hanifah dan Marwah juga sama.
" Itu tadi aku lihat ada gerai laptop, di kios kios mau masuk jalan depan kost ini,"ucap Marwah.
Senja pertama di Jakarta, terlihat semburat warna jingga di langit sebelah barat di antara gedung gedung yang menjulang tinggi, Ay hanya mampu mengintip panorama alam yang selalu dikaguminya lewat ruang sempit untuk jemuran di belakang kamar kost yang baru di lantai dua, pandangannya sebenarnya terhalang oleh bangunan tingkat disebelah kamarnya, cuman karena batas sebelah kamar berupa ruang kosong diakibatkan dibawahnya berupa aliran pembuangan air, sehingga kamarnya mendapatkan penyinaran matahari serta udara, maka tak merasakan pengabnya ruangan oleh terhimpit nya bangunan bangunan disebelahnya.
" Ay, kamu bisa saling bertatap mata dengan penghuni kamar di balik jemuran ini, " seloroh Marwah, ia suka sekali menggodanya, kadang Ay menjadi cemberut oleh candaannya.
" Eeemmm, adikku kalau cemberut tambah cantik, " seloroh nya kemudian.
" Mba, aku jadi kangen dua hari lagi tak di godain kamu, " bales Ay, sedikit memble ngebayangin mau ditinggal oleh kedua kakak angkat nya yang pernah hidup diantara suka duka mendapatkan didikan dari Paman dan Bibi Karwanto yang disiplin.
" Ay, kenapa memble, mesti Marwah ngeledek yang nyakitin hatimu ya, " ucap Hanifah yang ikut ikutan menikmati panorama alam yang tidak bisa terlihat full kayak di kampung nya.
" Ala, paling memble karena dua hari lagi enggak ada yang ngeledek kan, Ay? "seloroh bibi yang ikut mendekati mereka bertiga, Bibi yang kesehariannya sangat kuat dan tegar ternyata matanya berkaca kaca membayangkan mau tinggal berdua dengan suaminya di kampung, Paman ikut bergabung juga, berempat terisak lirih tanpa berucap kata, hanya dalam hati penuh dengan berbagai rangkaian kata yang tidak mampu dikeluarkan.
" Ay, kamu setiap akhir pekan harus pulang lho, nengok orang tua," ucap Hanifah disela sela isakannya.
" Iiiyaa mba, " jawab Ay terisak isak.
" Atau kami yang selalu nengok kesini, " ucap Bibi yang pipinya terbanjiri air mata, Bibi saat masuk ke areal kost kostan ini sambil menatap setiap perempuan yang bertemu, dalam angannya membayangkan Calla.
Waktu bergulir, Paman dan Bibi meninggalkan ketiga anaknya yang mereka didik dengan perjuangan besar, karena keterbatasan biaya, yang diandalkan hanya tenaga, dan mereka hanya mampu mengiringi doa agar ketiga anaknya hidup nya lebih baik darinya.
" Ay, belum punya alat masak ya, kita keluar yuk mumpung masih jam segini, "ajak Hanifah.
" Sekalian beli laptop ya Mba, " pinta Ay.
" Ya ayo cepetan, " bertiga melangkah kan kaki dengan cepat, Ay bawa uang yang tadi diserahkan semua oleh Bibi, yang ia tabung dengan cara dititipin ke Bibi.
" Udah Ay, uangmu untuk biaya hidup selama beasiswa mu belum keluar, nanti pakai uang ku saja, " ucap Hanifah.
" Biarin Mba, nanti utangku kebanyakan, " ucap Ay.
" Tidak perlu membayar donk, aku juga masih banyak kok, " ucap Hanifah.
" Aku juga pengin belikan kok Ay, " ucap Marwah.
" Kan kamu belum dapat gajian mba, " ucap Ay.
" Ya besok kalau dapat gaji pertama, ku kirim uang untuk beli baju, biar kamu pakai baju baru, enggak kaya sekarang kita hanya dapat baju bekas, " ucap Marwah, di kedua bola matanya berembun sehingga penglihatannya menjadi kabur, ia cepat cepat menyapu nya dengan telapak tangan yang agak kasar, seperti telapak tangan Ay walau lentik jari jarinya tetapi agak kasar karena seharian selalu bekerja bantu orang tua.
Bertiga berjalan kaki dengan langkah cepat dan membutuhkan waktu satu jam mereka berbelanja.
Selesai membeli semua yang dibutuhkan kan bahkan lemari pendingin satu pintu dibelikan juga oleh Hanifah.
" Biar kamu enggak minder banget lho De, di kost kost an yang rata rata kamarnya komplit, " ucap Hanifah.
" Biar tak kelihatan orang kampung juga De, tapi ingat De, kamu bajunya harus tetap tertutup jangan ngikutin cewek di kamar lain lho, " ucap Hanifah tegas.
" Iya Ay, lihat mba Hanifah yang hidup di Eropa tetap pakai Hijab, tidak ketat juga, pokoknya kita harus jaga deh warisan nasehat orang tua ya, biarin aja dikatain culun," ucap Marwah.
" Iya mba, insya Allah akan aku jaga, " ucap Ay.
Sambil ngobrol pekerjaan beberes kamar selesai, setelah belanja di kios kios yang berderet dekat kost kostannya, bahkan kulkas yang langsung dikirim telah diisi bahan bahan mentah yang dibawakan oleh Bibi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments