Harta, Tahta, Glow Up
"Surat edaran!!" teriak seseorang.
Seluruh karyawan melihat seorang pria yang logatnya lemah gemulai. Mereka mendekat pada pria tersebut, bahkan mereka yang duduk pun berdiri untuk mengetahui apa isi dari surat tersebut.
"Ciripa cepat kasih liat kami."
"Nggak usah, gua udah baca isi suratnya, intinya sedang mencari Manajer baru."
"Lah, terus Bu Rita ke mana?"
"Usia saya sudah saatnya untuk beristirahat."
Mereka semua terkejut saat seorang wanita paruh baya namun masih terlihat fresh berjalan mendekati kumpulan para karyawan.
"Syarat untuk menjadi Manajer sudah tertulis di surat, nanti Ciripa akan menempelkannya di dinding pengumuman." Ia melangkah menuju ruang pribadi, namun saat sampai di depan pintu, wanita yang bernama Rita itu menoleh melihat Devi yang sibuk mengerjakan pekerjaannya.
"Kamu yang pakai kacamata!"
Seluruh mata melihat ke arah Devi, dengan cepat Devi berdiri. "Saya Bu?"
"Ya, tadi pagi asisten saya mengirim pesan, apa dokumennya sudah selesai?" tanyanya.
"Ya Bu, sudah."
"Saat makan siang, bawa ke kantor saya."
"Baik Bu."
Rita pun masuk ke dalam ruang pribadinya, seluruh mata melihat Devi.
"Wah Devi kau tau artinya?"
"Apa?"
"Kau harus makan secepatnya, karena dia bilang saat jam makan siang, bukan selesai makan siang."
"Tidak apa-apa, aku juga tidak pernah makan siang." Devi kembali duduk.
Ucapan Devi membuat karyawan wanita itu cemberut tidak suka dengan ucapan Devi barusan.
"Jelek aja bangga!" Umpatnya pelan.
Sebenarnya Devi mendengar namun wanita itu sepertinya sudah tidak terpengaruh dengan kata-kata kasar seperti itu. Karena ia sudah merasakan ejekan itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.
~*~
Saat jam makan siang tiba. Seluruh karyawan meninggalkan meja kerja mereka berjalan beriringan dengan teman kerja keluar dari ruangan kantor. Tinggal Devi sendiri di kantor.
"Devi, lu nggak pergi makan?" tanya salah satu rekan kerjanya.
Devi menggeleng. "Gua ada perlu sama Bu Rita." jawabannya.
"Oke, gua duluan ya, dah..." Melambaikan tangan, Devi membalas lambaian tangan tersebut.
Hingga akhirnya ia mengambil napas panjang lalu menghembuskan kembali, bertujuan menangkap rasa keberanian untuk menemui ibu Manajer.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi Bu." Devi mencoba membuka pintu ruangan tersebut.
"Hai Devi kemarilah."
Devi pun melangkah masuk membawa dokumen yang diminta ibu manajer, Rita pun menerima dokumen tersebut.
"Berapa berat badanmu?" tanya Rita
"70kg." ucap Devi polos.
"Saya ingin kau ikut mengambil jabatan ini."
Mendengar itu Devi sangat terkejut.
"Tapi Bu saya tidak berpenampilan menarik, itu sebabnya saya tidak ikut serta."
"Tapi saja ingin. Lagi pula kamu sudah 5 tahun di perusahaan ini, kenapa tidak?"
Devi menunduk memikirkan sesuatu.
"Pikirkan saja dulu, tapi jika kamu menolak saya sangat marah. Selamat siang." Rita melangkah meninggalkan Devi sendiri dengan tatapan binggung.
Dengan langkah berat Devi keluar dari ruang pribadi manajer Rita, dilihatnya semua rekan kerja yang sama sedang memperhatikan dirinya, dengan cepat Devi melangkah lebar menuju meja kerja.
"Bagaimana?" tanya salah satu teman kerja.
"Tidak apa-apa, cuma kasih dokumen doang ko, nggak lebih dari itu." jelas Devi membuat seluruh karyawan kecewa.
"Serius Bu Rita kagak nawarin lu buat ikut serta dalam pemilihan Manajer baru?" tanya salah satu teman kerjanya.
"Nanti pulang kerja aku beritahu."
"Oke." Rekan kerjanya pun kembali ke tempatnya.
~*~
"Devi mau pulang?" tanya Ajeng.
"Iya."
"Naik apa?"
"Busway."
"Gua ikut ya. Sembari nanya-nanya soal jabatan manajer itu."
Devi mengangguk setuju. Ajeng pun berjalan bersama dengan Devi keluar dari kantor menuju lift.
Langkah Devi terhenti.
"Kenapa?" tanya Ajeng sama menghentikan langkahnya.
Devi melihat ibu manajer sedang mengobrol dengan seorang pria, entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai membuat lesung pipi pria itu timbul dari permukaan wajahnya yang sempurna. Jujur Devi menjadi tertarik padanya.
"Ohh...Pak Riki Pratama."
"Lu kenal dia?"
"Yuk nongkrong, gua bakal kasih tau semuanya." Ajeng menarik tangan Devi untuk masuk ke dalam lift.
Ia pun menurut, mata masih melihat pria bernama Riki itu untuk terakhir kali saat pintu lift perlahan tertutup.
"Sekarang gua tau alasan kenapa Bu Rita mengundurkan diri dari jabatannya."
Devi melihat Ajeng.
"Karena anak keduanya sudah pulang ke Indonesia."
"Anak kedua? Lalu anak pertamanya?"
Ting!
"Lanjut kita sembari ngopi, oke."
"Kaya bapak-bapak aja harus ngopi segala, baru cerita." Devi mengikuti langkah Ajeng dari belakang.
~*~
Devi melihat tempat tongkrongan Ajeng. Ia pikir akan di cafe, ternyata ia diajak di sebuah angkringan pinggir jalan.
"Bang es Milo ya. Lu apa Dev?"
"Es teh aja."
Devi melihat semua hidangan di atas meja, sebenarnya ia sudah pernah merasakan tempat seperti ini saat ia masih remaja bersama kakak-kakaknya.
"Ko tumben lu mau di sini?" tanya Devi.
"Selain harganya murah, gua juga sekalian cuci mata." Ajeng melirik memberi isyarat. Devi pun menoleh melihat apa maksudnya, ternyata para pekerja di sana keseluruhan pria yang cukup lumayan menurut Devi.
"Capek kerja, sekali-kali cuci mata." Goda Ajeng. Devi hanya memberi senyuman tipis.
"Terus gimana soal yang tadi?"
"Oh ya, sampe di mana tadi?"
"Anak pertama?"
"Oh ya anak pertama. Sayangnya kalau soal anak pertama gua nggak terlalu tau yang gua dengar-dengar dia kabur dari rumah."
"Kabur? Kabur kenapa?"
"Katanya sih soal perjodohan, itu sebabnya adiknya yang gantiin kakaknya.".
"Riki?"
Ajeng mengangguk, dengan bersamaan pula raut wajah Devi kecewa.
"Gua tau lu suka sama Tuan Riki Pratama."
Mendengar itu membuat pipi Devi yang sawo matang bertambah gelap saja.
"Sok tau lu!" Memegang kedua pipinya.
Ajeng tertawa terbahak-bahak.
~*~
Dah...
Devi melambaikan tangan pada Ajeng yang lebih dulu turun darinya. Devi mulai bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki teman bicara apalagi kalau obrolan mereka menyambung satu sama lain itu membuat Devi merasa nyaman, bahkan tidak terasa tadi ia menghabiskan sejam bersama Ajeng, senyumannya terlukis pertanda ia senang. Namun senyuman Devi kembali menghilang saat mengingat kisah pria misterius itu, kini Devi tau semua tentangnya.
Langkah Devi terhenti saat ia berhasil keluar dari halte Transjakarta. Seorang pria berdiri bersandar pada tiang, memberikan senyuman saat melihat dirinya keluar dari sana.
"Ngapain lu di sini?" tanya Devi pada pria itu.
"Nungguin Nona gemes."
Devi melihat sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada yang mendengar panggilan tersebut.
"Bisa tidak, lu kgak manggil gua seperti itu!"
"Wah gimana ya?" Berjalan ke depan dengan sikap pura-pura berpikir, pria itu melihat Devi yang melototi dirinya.
"Tapi kau kan memang Nona gemes."
"Jaka!!" teriak Devi mengejar Jaka.
~*~
"Assalamualaikum."
"waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana pekerjaan mu?" tanya Mami yang sibuk menyiapkan bahan untuk dagang besok pagi.
"Alhamdulillah lancar." Melangkah masuk ke dalam kamar untuk menganti pakaian kerjaan dengan piyama. Selesai itu Devi mencoba membantu Mami.
"Lanjutkan Mami mau urus yang lain." pinta Mami berjalan menuju dapur.
"Oke."
Butuh sejam untuk selesai persiapan itu semua, saat Devi mencoba untuk menyapu Bapak pulang membawa plastik hitam yang entah apa isinya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Dengan cepat Devi mencium tangan Bapak.
"Apa itu pak?" tanya Devi.
"Ini barang yang kamu minta di chat. Bapak nggak tau itu benar apa nggak, soalnya Bapak juga nyuruh karyawan tokonya."
Devi mencoba membuka kantong tersebut yang ternyata isinya adalah peralatan makeup, senyum Devi terlukis membuat pipi tembemnya menjadi chubby.
"Terima kasih pak." ucap Devi membawa peralatan makeup itu ke dalam kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
GendatsZal -
.
2022-04-30
0
Om Rudi
Om Rudi Hadir
Panggil Om Rudi buat like dan komen dg cara like komen di "Perjalanan Alma Mencari Ibu"
2022-04-26
2
Lisa Z
Halo kak, semangat ya nulisnyaa
2022-04-23
1