Harta, Tahta, Glow Up

Harta, Tahta, Glow Up

Dua pilihan untuk perubahan

Surat edaran!” teriak seseorang dari arah pintu masuk.

Seluruh karyawan spontan menoleh. Seorang pria dengan logat lemah gemulai berdiri sambil mengangkat sebuah amplop besar berstempel resmi. Suasana kantor mendadak riuh.

"Ciripa, cepat kasih lihat!" ujar salah satu rekan kerja.

"Nggak usah. Gue udah baca. Intinya, perusahaan sedang mencari manajer baru," ucap Ciripa sambil menekankan nada dramatis.

"Lho, Bu Rita ke mana?"

"Usia saya sudah saatnya beristirahat," jawab suara lembut dari arah belakang.

Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan dan energik, Bu Rita, melangkah ke tengah ruangan. Meski usianya tak muda lagi, aura karismatiknya masih terpancar.

"Syarat menjadi manajer sudah tertulis di surat ini. Ciripa, tempel di papan pengumuman."

Ia berjalan menuju ruangannya, tapi berhenti sejenak dan menoleh ke arah seorang perempuan berkacamata yang sibuk di meja.

"Kamu yang pakai kacamata!"

Seluruh mata memandang ke arah Devi. Gadis itu berdiri gugup. "Saya, Bu?"

"Tadi pagi asisten saya kirim pesan. Sudah selesai dokumennya?"

"Sudah, Bu."

"Saat makan siang, bawa ke kantor saya."

"Baik, Bu."

Tatapan para karyawan menyorot ke Devi. Salah satu dari mereka berbisik pelan, "Wah, Devi. Kau tahu artinya?"

"Apa?"

"Kau harus makan cepat. Dia bilang 'saat makan siang', bukan 'setelah makan siang'."

"Nggak apa-apa, aku juga nggak pernah makan siang," jawab Devi datar sambil kembali duduk.

Perkataan itu membuat salah satu rekan perempuannya mencibir. "Jelek aja bangga," bisiknya sinis.

Devi mendengarnya, tapi memilih diam. Ia sudah kenyang dengan ejekan sejak sekolah dasar.

---

Saat jam makan siang tiba, kantor mendadak lengang. Semua karyawan keluar bersama kelompok masing-masing. Devi tetap duduk.

"Devi, nggak makan?" tanya seorang teman.

"Gue ada urusan sama Bu Rita. Duluan aja."

"Oke. Dah!"

Setelah ruangan benar-benar sepi, Devi menarik napas panjang. Ia berdiri, mengetuk pintu ruang manajer.

"Permisi, Bu."

"Hai Devi, kemarilah."

Devi menyerahkan dokumen. Rita menerimanya lalu menatap Devi sejenak.

"Berapa berat badanmu?"

"Tujuh puluh kilogram," jawab Devi polos.

"Saya ingin kamu ikut seleksi jabatan manajer."

Mata Devi melebar. "Tapi Bu... saya... saya tidak berpenampilan menarik. Itu sebabnya saya tidak ikut daftar."

"Saya ingin. Kamu sudah lima tahun di perusahaan ini. Kenapa tidak?"

Devi menunduk, bingung.

"Pikirkan saja. Tapi kalau kamu menolak, saya bakal marah. Selamat siang."

Bu Rita pergi, meninggalkan Devi sendirian.

Devi kembali ke meja kerjanya, disambut tatapan penasaran dari teman-teman.

"Gimana?"

"Nggak apa-apa, cuma kasih dokumen."

"Serius Bu Rita nggak nawarin lu ikut seleksi?"

"Nanti pulang kerja gue cerita."

---

"Devi, mau pulang?" tanya Ajeng.

"Iya."

"Naik apa?"

"Busway."

"Ikut, ya. Sambil nanya soal manajer itu."

Mereka berjalan ke lift. Devi tiba-tiba berhenti.

"Kenapa?"

"Itu... siapa ya pria yang ngobrol sama Bu Rita?"

Ajeng melirik. "Oh, itu Pak Riki Pratama."

"Lu kenal dia?"

"Yuk nongkrong. Gue jelasin semuanya."

Ajeng menarik Devi masuk lift. Mata Devi masih tertuju pada Riki yang tersenyum manis.

"Sekarang gue tau alasan Bu Rita pensiun."

"Kenapa?"

"Anak keduanya pulang dari luar negeri."

"Anak kedua? Terus anak pertama?"

"Lanjut sambil ngopi, yuk."

---

Tempat yang Ajeng pilih ternyata angkringan sederhana, bukan kafe. Devi tersenyum melihat jajanan khas masa kecil.

"Bang, es Milo dua!" seru Ajeng.

"Aku es teh aja."

"Tumben mau di tempat begini," kata Devi.

"Murah dan bisa cuci mata," Ajeng melirik ke arah pelayan yang semuanya laki-laki.

"Capek kerja, sesekali refreshing lah."

"Jadi, soal anak pertama?"

"Kabarnya kabur dari rumah gara-gara dijodohin. Makanya adiknya, Riki, yang gantiin."

"Riki?" wajah Devi murung.

Ajeng mengangguk. "Gue tau lu suka dia."

"Sok tau!" Devi menutupi pipi.

Ajeng tertawa puas.

---

Devi melambaikan tangan saat Ajeng turun lebih dulu. Hatinya hangat. Ia senang punya teman bicara seperti Ajeng.

Tapi senyumannya pudar saat ia ingat tentang Riki. Ia merasa terlalu biasa untuk pria seperti itu.

Langkahnya terhenti saat keluar dari halte. Seseorang berdiri bersandar pada tiang. Senyum jahil menghiasi wajahnya.

"Ngapain lu di sini?" tanya Devi.

"Nungguin Nona gemes."

Devi panik. "Bisa nggak, jangan panggil gue gitu!"

"Tapi emang kamu gemes."

"Jaka!!"

Devi mengejarnya, keduanya tertawa lepas.

---

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Gimana kerjaanmu?" tanya Mami di dapur.

"Alhamdulillah, lancar."

Devi ganti baju, lalu membantu Mami menyiapkan dagangan.

"Lanjutkan, Mami ke dapur."

"Oke."

Saat ia menyapu, Bapak pulang membawa plastik hitam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Devi mencium tangan Bapak.

"Apa itu, Pak?"

"Barang yang kamu minta. Bapak minta karyawan toko yang beliin."

Devi membuka plastik. Isinya perlengkapan make-up. Senyumnya mengembang.

"Terima kasih, Pak."

Ia masuk ke kamar, menatap perlengkapan itu. Mungkin ini saatnya mengubah sesuatu. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirinya sendiri.

Di dalam kamar, Devi membuka isi kantong belanja satu per satu. Ada foundation, concealer, bedak tabur, pensil alis, maskara, lip cream, dan bahkan palet eyeshadow kecil dengan warna-warna netral.

Ia duduk di depan cermin kecil yang menempel di dinding, lalu memandangi wajahnya sendiri. Wajah bulatnya, pipi chubby-nya, dan mata yang selalu tampak kelelahan.

Dengan hati-hati, ia mencoba mengoleskan sedikit foundation ke pipi kanan. Warnanya pas. Tidak membuat kulitnya terlalu abu, juga tidak terlalu gelap.

Devi tersenyum kecil. Jarang sekali ia punya waktu atau keberanian untuk mencoba riasan wajah. Dulu, waktu SMA, ia pernah dirias teman sekelas untuk acara pentas seni. Tapi waktu itu, teman-temannya malah mentertawakannya.

“Lucu ya, kayak badut ulang tahun!”

Sejak saat itu, ia menghindari make up. Ia takut jadi bahan ejekan. Tapi kini, dengan dorongan Bu Rita, dan tatapan Riki Pratama yang terngiang-ngiang di kepalanya, ia merasa harus mulai berubah. Bukan untuk menjadi orang lain, tapi untuk menghargai dirinya sendiri.

Ia membuka laci meja dan mengeluarkan map berisi lembar formulir pendaftaran seleksi manajer. Ia memang tidak pernah menyerahkan formulir itu, karena merasa tidak pantas.

Tapi sekarang, ia menatapnya dalam-dalam.

“Kalau bukan aku yang percaya pada diriku sendiri, siapa lagi?”

Devi mulai menulis. Tangannya sempat gemetar, namun ia tetap melanjutkan. Ia mengisi setiap kolom dengan rapi, bahkan menambahkan keterangan tambahan tentang proyek-proyek yang pernah ia tangani selama lima tahun terakhir.

Setelah selesai, ia menatap formulir itu dan tersenyum. Tapi senyum itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar.

"Devi!" panggil Mami.

"Ya, Mi?" Devi keluar sambil membawa map itu.

"Kamu ngerjain apa, sih?" tanya Mami sambil melipat kantong plastik bekas belanja.

Devi ragu sejenak, lalu menjawab, "Aku mau daftar seleksi manajer di kantor."

Mami memandangnya, agak terkejut. "Beneran? Tapi kamu bilang kemarin nggak minat."

"Iya, tapi tadi siang Bu Rita nyuruh aku daftar. Katanya... aku punya potensi."

Mami terdiam, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu keputusanmu, Mami dukung. Tapi jangan terlalu mikirin penampilan, ya. Kamu cantik, asal percaya diri."

Devi mengangguk pelan. "Terima kasih, Mi."

Sementara itu, Bapak masuk ke ruang tengah dan meletakkan map pekerjaannya. Ia mendengar obrolan mereka dan ikut mendekat.

"Kalau kamu jadi manajer, berarti gajinya nambah dong?" tanya Bapak sambil bercanda.

"InsyaAllah, Pak. Doain aja."

"Ya udah, nanti Bapak bantu bikin surat referensi dari kepala bagian."

Devi menatap ayahnya dengan haru. Dukungan itu terasa seperti bahan bakar untuk semangatnya. Dulu, ia sempat ingin berhenti kerja karena sering dibully. Tapi Bapak bilang:

"Orang lain boleh meremehkanmu, tapi kamu jangan ikut-ikutan."

Kalimat itu kini kembali terngiang di telinganya.

---

Malam pun larut. Di atas kasurnya yang kecil, Devi menatap langit-langit. Lampu sudah dipadamkan, tapi pikirannya masih menyala.

Ia memikirkan seleksi manajer. Ia memikirkan persaingan, kemungkinan kalah, kemungkinan ditertawakan. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak merasa takut. Yang ia rasakan adalah harapan.

Dan sedikit... deg-degan karena besok ia akan bertemu lagi dengan Riki Pratama.

Terpopuler

Comments

GendatsZal -

GendatsZal -

.

2022-04-30

0

Om Rudi

Om Rudi

Om Rudi Hadir

Panggil Om Rudi buat like dan komen dg cara like komen di "Perjalanan Alma Mencari Ibu"

2022-04-26

2

Lisa Z

Lisa Z

Halo kak, semangat ya nulisnyaa

2022-04-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!