Jam istirahat siang tiba.
Devi menyempatkan diri mengecek makeup-nya lewat cermin kecil. Ia tersenyum puas—makeup-nya masih awet, tak luntur sedikit pun.
“Mau makan siang?” tanya Ajeng sambil menghampiri meja kerjanya.
Devi mengangguk, lalu mereka berjalan bersama menuju kantin kantor. Saat menunggu lift, mereka berpapasan dengan Riki—anak bos yang katanya akan menjadi pemimpin perusahaan selanjutnya.
Pandangan Devi tak bisa lepas dari Riki. Entah kenapa, pria itu terlihat makin menawan saja. Devi buru-buru mengalihkan pikirannya, mencoba menepis segala rasa yang mulai muncul.
Ting!
Pintu lift terbuka.
“Devi... kita sampai. Ayo,” ajak Ajeng.
Devi tersentak dari lamunannya. Ia mengikuti Ajeng menuju kantin, sambil terus berusaha mengusir bayangan Riki dari benaknya.
Hari ini adalah kali pertama Devi makan siang di kantin kantor. Biasanya, ia menghindarinya karena tak tahan dengan bisik-bisik orang yang sering mempergunjingkan dirinya. Dan benar saja—saat ia mengambil makanan, beberapa orang mulai berbisik sambil tertawa kecil.
“Sepertinya dia bisa habisin semua nampan tuh,” bisik seseorang, diikuti cekikikan.
Ajeng yang mendengar itu langsung menoleh tajam.
“Jangan dengerin omongan mereka. Mereka itu cuma cari perhatian,” ucap Ajeng pelan tapi tegas.
Namun tampaknya, salah satu dari mereka tak terima.
BRAK!
Seseorang mendobrak meja mereka dengan keras. Makanan pun nyaris tumpah.
“Apa-apaan sih?!” Ajeng berdiri, kesal.
“Kamu tadi ngomong apa, hah?!” bentak si wanita.
“Lah, yang mulai duluan siapa?!” balas Ajeng, ikut mendobrak meja.
Keributan itu menarik perhatian seluruh karyawan kantin. Beberapa malah berteriak-teriak, seperti sedang menonton pertandingan tinju. Devi hanya bisa terdiam, bingung dan malu.
“Ajeng, sudahlah. Malu dilihat orang...” bisik Devi sambil memegang pundak sahabatnya.
Seorang satpam buru-buru datang dan melerai. “Ayo, minta maaf kalian!” katanya.
Ajeng menolak. “Dia yang duluan ngejek teman saya!” katanya, masih marah.
Devi berusaha menenangkan. Akhirnya, Ajeng menuruti permintaan Devi dan mereka keluar dari kantin. Beberapa penonton bersorak kecewa, merasa kehilangan hiburan.
Setibanya di ruang kerja, bisik-bisik kembali terdengar. Devi tahu apa yang sedang dibicarakan—pasti soal keributan di kantin tadi.
Ajeng memperhatikan sekeliling, lalu berseru, “Bisa nggak sih kalian berhenti ngomongin orang lain?!”
“Lah, kenapa lo yang sewot?” timpal salah satu dari mereka.
“Iya, sok banget jadi pahlawan!”
“Karena Devi itu temanku!” teriak Ajeng lantang.
Devi menoleh ke arah Ajeng dan para karyawan wanita itu. Ia hanya terdiam, tak tahu harus bersikap seperti apa.
Tiba-tiba, seorang wanita masuk dan membuat suasana hening. Semua orang langsung menyingkir.
“Devi!” panggilnya dengan nada tajam.
Ajeng dan yang lain langsung bungkam. Devi berusaha melepaskan genggaman tangannya dari Ajeng dan menjawab, “Ya, Bu?”
“Nanti setelah jam pulang, masuk ke ruangan saya,” perintah Bu Rita.
“Baik, Bu Rita.” Devi menunduk hormat.
Bu Rita pun berlalu, diikuti dua pria yang tampaknya adalah pengawalnya. Salah satu dari mereka membukakan pintu untuknya.
Bisik-bisik kembali terdengar. Devi merasa makin terpuruk—seolah apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata mereka.
Ajeng menghampiri Devi.
“Gak apa-apa, Jeng. Makasih udah belain gue tadi,” ucap Devi pelan sebelum Ajeng menepuk pundaknya.
Ajeng mengangguk singkat, lalu kembali ke mejanya dengan wajah muram.
“Hai kamu! Pergi kerja!” tegur atasannya dari kejauhan.
Ajeng cemberut, tapi tak berkata apa-apa dan kembali bekerja. Sesekali matanya masih mencuri pandang ke arah Devi.
---
Sore hari.
Gedung mulai sepi, dan lampu-lampu jalan di Jakarta menyala. Ajeng menghampiri meja Devi.
“Mau pulang?” tanyanya.
Devi menggeleng. “Enggak. Gue masih ada janji sama Bu Rita.”
Ajeng cemberut. “Oh iya... soal tadi siang, ya. Dev, maaf ya. Gue cuma nggak tahan denger lo dijelekin. Padahal lo udah kelihatan cantik banget hari ini.”
Devi tersenyum. “Gak apa-apa, kok. Makasih banyak udah belain gue. Udah sana pulang!”
“Lah, lo ngusir gue?” Ajeng manyun.
“Emangnya lo mau nungguin gue?”
“Yaa... enggak juga sih. Males lembur,” balas Ajeng, lalu melambaikan tangan. “Dah, Dev!”
“Dah!”
Dari sudut matanya, Devi melihat seseorang keluar dari ruangan Bu Rita. Ternyata itu pengawal pribadinya. Devi membungkuk hormat, lalu kembali duduk.
“Nona Devi?” panggil pria itu.
“Ya!?” Devi cepat berdiri.
Ia memberi isyarat agar Devi ikut, dan membawanya ke ruangan Bu Rita. Devi sempat ragu, karena dari luar ruangan itu tampak gelap.
“Bu... ini nggak apa-apa?” tanyanya pelan.
Ia mengintip dari pintu—dan matanya membelalak. Ternyata ruangan itu terang benderang. Ia menoleh ke arah luar, bingung.
“Ada apa, Devi?” tanya Bu Rita dari dalam, sedikit bingung.
“Maaf, Bu. Dari luar saya kira ruangannya gelap,” jawab Devi gugup, sambil menunjuk ke arah pengawal. “Saya... takut sama mereka.”
Bu Rita terkekeh. “Saya pakai kaca film gelap. Bukan masalah. Masuklah.”
Devi melangkah masuk dengan menunduk hormat pada para pengawal. Sikapnya membuat Bu Rita tertawa kecil. Devi pun duduk di depan meja kerja.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Bu Rita, kini serius.
“Karena saya bertengkar dengan karyawan lain?” tebak Devi.
Bu Rita mengerutkan kening, lalu tersenyum geli. “Devi, kamu ini lucu, ya.”
“Kalau bukan soal itu... terus kenapa?” tanya Devi polos.
“Hari ini kamu terlihat cantik. Pertahankan itu,” ujar Bu Rita memuji.
Pipi Devi memerah.
“Apa ini karena jabatan itu?” tanya Bu Rita lagi.
Devi mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
“Kamu ada niatan menurunkan berat badan?”
Devi kembali mengangguk.
Rita tersenyum. “Kalau begitu, mulai minggu depan, kamu cuti. Berlibur, dan kerjakan tugas-tugas dari rumah. Itu perintah.”
Devi menatapnya tak percaya. "Serius, Bu?"
"Serius. Tapi satu syarat: kamu harus pulang ke kantor ini dengan lebih percaya diri dari hari ini."
Untuk pertama kalinya hari itu, Devi merasa dihargai bukan karena bentuk tubuh atau wajahnya. Tapi karena keberaniannya untuk mencoba.
"Terima kasih, Bu Rita."
Rita tersenyum. "Kamu pantas mendapat lebih dari yang mereka bilang.
Devi melangkah keluar dari ruangan Bu Rita dengan dada bergemuruh. Dunia luar tampak berbeda lampu-lampu koridor seperti lebih hangat, dan suara mesin fotokopi di ujung ruangan tidak lagi mengganggu pikirannya. Untuk pertama kalinya sejak ia diterima bekerja di kantor ini, Devi merasa ringan. Seolah-olah beban yang selama ini menggumpal di pundaknya perlahan-lahan menguap.
Di lift, ia menatap bayangan dirinya di dinding logam yang memantulkan cahaya. Ia masih Devi yang sama, dengan tubuh yang tidak sesuai standar kebanyakan orang, dengan bekas luka kepercayaan diri yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi ada sesuatu yang berubah—cara ia memandang dirinya sendiri.
Begitu keluar dari gedung kantor, udara malam menyentuh pipinya lembut. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi catatan.
"Target minggu ini: bangun lebih pagi, jalan kaki 20 menit, dan minum air putih cukup."
Ia menulisnya cepat, lalu tersenyum kecil.
Langkahnya menuju halte malam itu terasa lebih mantap. Ia tahu, perubahan tidak terjadi dalam semalam. Tapi hari ini, seseorang mempercayainya. Dan itu cukup untuk jadi awal yang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments