Sindiran.

Suasana lapangan mulai tenang, tapi tatapan para siswa masih menempel di wajah Devi dan Jaka. Beberapa guru berdiri tak jauh, pura-pura tak memperhatikan tapi jelas penasaran. Angin pagi menyapu rambut Devi, membuat poni yang menutupi matanya sedikit terangkat.

"Jaka," suara Mami pelan tapi tegas, "Kamu tahu kamu baru saja membuat seluruh keluarga kami jadi pusat perhatian? Kamu pikir semua ini lucu?"

Jaka menunduk sopan. "Maaf, Bu. Tapi saya nggak main-main. Saya benar-benar suka sama Devi."

Devi memejamkan mata sebentar. Hatinya berkecamuk. Rasa malu, senang, dan takut bercampur aduk seperti es campur yang dilempar ke udara.

Ajeng merangkul bahu Devi, berbisik di telinganya, "Yah, minimal cowoknya nggak kabur. Itu poin plus."

"Bukan itu masalahnya, Jeng," bisik Devi dengan suara serak. "Aku nggak tahu harus gimana. Aku bahkan nggak tahu aku suka dia juga atau nggak…"

Jaka menatap Devi. "Kalau kamu belum yakin, nggak apa-apa. Aku nggak maksa. Tapi izinkan aku buktiin. Aku pengen kenal kamu lebih dalam, bukan cuma Nona Gemes yang suka marah-marah."

Ucapan itu terdengar tulus. Dan entah kenapa, kali ini Devi tidak merasa tersindir. Ia merasa dilihat. Dikenal.

Bapak masih terlihat ragu, tapi Mami menepuk lengannya pelan. "Udah, Pak. Anak muda zaman sekarang memang aneh-aneh. Tapi kalau niatnya baik, kita kasih kesempatan."

"Kesempatan itu mahal, Bu," sahut Bapak masih dingin. "Dan harus ditebus dengan sikap."

"Siap, Pak," jawab Jaka mantap. "Mulai hari ini, saya akan bersikap seperti laki-laki sejati. Bukan cuma tukang lari pagi."

Ajeng tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan. "Eh, drama pagi hari ini cocok banget jadi FTV judulnya 'Cinta Di Balik Lapangan Basket'."

Devi mendengus. Tapi untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, dia tersenyum. Hanya seulas. Tapi cukup untuk membuat hati Jaka berdebar tak karuan.

Dan di pagi yang semula kacau itu, mungkin, sesuatu yang baru saja mulai tumbuh. Perlahan. Tapi pasti.

~*~

Mata Devi tampak sembab. Semalaman ia menangis saat mengingat kejadian siang kemarin, kejadian yang membuatnya malu bukan main. Bagaimana ia bisa menghadapi Jaka lagi setelah semua orang tahu pengakuan perasaan itu?

“Huh...” Ia menutup wajahnya dengan bantal, berusaha menghapus bayangan kemarin dari kepalanya. Tapi usahanya sia-sia.

Belum juga sembuh dari rasa malu, pagi itu Devi mendapat kabar mengejutkan dari Ajeng. Teman kerjanya itu rupanya tertarik dengan teman Jaka yang ikut datang saat di lapangan kemarin. Ajeng bahkan meminta tolong pada Devi untuk menanyakan nomor pria itu.

“Gimana ya caranya?” gumam Devi bingung sambil menghadap cermin. Perlahan ia membuka cushion yang baru saja ia beli bersama Ajeng minggu lalu.

“Wow...” gumamnya pelan saat melihat hasil pulasan pertamanya. Bintik jerawat dan kulit kusamnya tersamarkan seketika.

Segera Devi membuka ponselnya, mencari nama channel beauty YouTube yang disarankan oleh karyawan toko saat itu. Jemarinya menari semangat, wajahnya memancarkan rasa percaya diri yang perlahan tumbuh.

Butuh waktu dua puluh menit untuk merias wajah, itupun belum selesai. Ia beberapa kali harus menghapus bagian yang dianggapnya kurang rapi dan memulaskannya kembali. Tapi ia tidak keberatan. Rasanya seperti sedang mengukir ulang versi dirinya yang baru.

“Devi, kau tidak kerja? Ini sudah jam tujuh lewat!” terdengar suara Mami dari bawah.

“Iya, Mam!” sahutnya sambil buru-buru menyusun barang ke dalam tas kecil. Hari ini ia memilih tas selempang elegan—tak seperti biasanya yang membawa ransel besar. Ia menggenggam dokumen di tangan seperti para seniornya di kantor, mencoba tampil lebih profesional dan ringkas.

“Mami, Devi berangkat kerja ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Kau nggak mau sarapan dulu?”

“Nggak sempat, aku ada rapat pagi.”

“Kalau begitu bawa bekal ini.” Mami menyerahkan kotak makan pink bergambar beruang lucu.

“Mi... aku udah besar.”

“Alah, cuma gambar. Kagak ngaruh sama isinya.”

Devi tertawa kecil. Meski enggan, akhirnya ia menerima kotak bekal itu juga. Ada rasa hangat terselip dalam perhatian Maminya yang sederhana.

Saat tiba di halte, Devi sempat melihat pantulan wajahnya di kaca halte. Ia mengangguk kecil, puas.

“Cantik banget ya... coba langsing,” bisik seseorang yang lewat. Pujian itu tak sepenuhnya manis, tapi cukup membuat pipi Devi merona. Ia tertawa kecil. Ada pahit, tapi juga geli.

Entah kenapa pagi itu terasa ganjil. Devi menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok yang biasanya selalu ada di pagi-pagi seperti ini.

“Jaka ke mana ya?”

Jam tangan menunjukkan pukul 07.30. Tak biasanya Jaka tak muncul. Hatinya sedikit kecewa. Bus jurusannya tiba, dan dengan berat hati Devi melangkah masuk.

~*

Sesampainya di kantor, hampir semua mata memandang Devi dengan tatapan berbeda.

“Devi?”

“Iya?”

“Kau cantik sekali,” kata seorang rekan dengan suara tulus.

“Terima kasih,” jawabnya sopan, namun belum sempat tersenyum lebih lama—

“Alah, percuma cantik kalau badannya masih bulat kayak bakpao!” sindir Sarah, karyawan yang sejak awal memang tak pernah akur dengannya.

Devi tetap tersenyum. “Terima kasih, Sarah. Saya berubah demi menutup mulut jelek yang susah diam.”

Beberapa orang tertawa pelan. Sarah tampak meradang, tapi tak bisa membalas. Ajeng datang tak lama kemudian.

“Devi, wow! Kamu glowing banget.”

“Ini juga berkat kamu,” sahut Devi.

“Kamu udah masukin suara buat pemilihan jabatan baru?”

“Belum.”

“Ayo, aku antar ke ruang rapat.”

Devi mengikuti Ajeng masuk ke ruangan yang sudah disiapkan. Di sana ada sebuah kotak besar, tempat para karyawan memasukkan nama sebagai kandidat.

“Kau tulis namamu, lalu masukkan,” kata Ajeng.

“Lho, kamu nggak ikut?”

Ajeng menggeleng. “Nggak tertarik. Aku lebih suka kerja di balik layar.”

“Tapi kamu juga sudah lama di sini, kamu layak, tahu.”

Ajeng tersenyum lebar, tapi tetap menggeleng. “Nggak, aku tim dukungan aja. Ayo, tulis aja namamu.”

Tanpa banyak pikir, Devi menulis namanya dan memasukkan kertas ke dalam kotak. Ajeng pura-pura cemberut, lalu menarik tangannya keluar ruangan.

~*~

Saat jam makan siang, Devi sempat mengecek wajahnya di cermin kecil di meja. Riasannya masih utuh. Ia tersenyum puas.

“Mau makan siang?” tanya Ajeng.

Devi mengangguk. Mereka berjalan menuju kantin bersama. Saat di lift, mereka berpapasan dengan Riki, anak direktur yang sebentar lagi akan menjabat. Riki terlihat menawan hari itu, dan Devi tak bisa menahan diri untuk melirik. Tapi cepat-cepat ia menepis pikirannya. Jangan mikirin yang enggak-enggak, Devi!

“Devi, kita sampai. Ayo,” ajak Ajeng membuyarkan lamunannya.

Ini pertama kalinya Devi makan di kantin kantor, biasanya ia menghindar karena khawatir dijadikan bahan gosip. Tapi hari itu ia nekat. Meski belum semua berubah, setidaknya ia ingin mencoba menjadi diri yang lebih berani.

Beberapa suara bisik-bisik terdengar ketika ia mengambil makan.

“Lihat deh, makeup doang yang berubah. Makannya masih kayak tukang gali sumur.”

“Paling juga abis semua sama nampan-nampannya.” Disusul tawa mengejek.

Ajeng mendengarnya. Ia melirik tajam ke arah sumber suara.

“Jangan didengar. Mereka cuma sirik karena hidupnya kosong,” katanya, berusaha membuat Devi tetap tenang.

Devi menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum kecil. Bukan karena tak sakit hati, tapi karena hari itu, ia memilih untuk tak mundur.

Terpopuler

Comments

Masih Polos ><

Masih Polos ><

Semangat kak Riska😚

2022-04-29

0

Lisa Z

Lisa Z

masih terselpit cemoohan dibalik pujian, sabar ya devi

2022-04-29

0

Lisa Z

Lisa Z

bacot banget dah bocahh

2022-04-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!