Gara-gara Makeup

Devi berdiri di depan cermin, mencoba kosmetik pemberian ayahnya. Ia belajar dari video YouTube semalam, berharap hasilnya memuaskan. Setelah memoles wajah, ia tersenyum ragu.

"Mami berangkat kerja dulu! Assalamualaikum!" serunya sambil merapikan kerudung.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya!" sahut ibunya dari dapur.

Devi melangkah keluar rumah dengan semangat baru. Ia menyusuri jalan komplek sambil menyesuaikan kaca matanya. Tanpa disadarinya, beberapa pejalan kaki menoleh, menahan tawa, saling berbisik.

Dari kejauhan, Jaka, pemuda berandalan di komplek itu, melihat Devi. Senyumnya sempat mengembang, tapi seketika menguap begitu melihat penampilan Devi dari dekat.

"Devi!!" serunya.

Devi menoleh, tersenyum senang.

Namun, ekspresi Jaka langsung berubah. Ia pura-pura melihat jam tangan dan berkata, "Maaf, aku ada urusan mendadak!" lalu buru-buru kabur.

Devi menatap kepergiannya, bingung. "Kenapa sih dia?"

Ia melanjutkan perjalanan ke halte Busway. Setibanya di sana, tatapan aneh kembali menyambutnya. Beberapa orang berbisik, tertawa kecil. Tapi Devi masih asyik dengan pikirannya sendiri, tak menyadari bahwa penampilannya mencuri perhatian, bukan karena kekaguman, tapi karena riasan yang terlalu tebal.

Di kantor, keanehan itu berlanjut. Tatapan heran datang dari berbagai arah. Ajeng, teman kerjanya, akhirnya menghampiri.

"Devi?"

"Iya, Ajeng. Gimana penampilan gue?" tanya Devi dengan senyum percaya diri.

Ajeng menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Senyum Devi perlahan luntur. Ia menoleh ke sekeliling, melihat beberapa rekan tertawa diam-diam.

Tanpa bicara, Devi melangkah mundur, meninggalkan tempat itu.

"Devi!" panggil Ajeng, merasa bersalah. Ia mengejar Devi yang mempercepat langkahnya.

BUK!

Tiba-tiba Devi menabrak seseorang. Tubuhnya terdorong ke belakang. Ketika menengadah, ia melihat seorang pria mengenakan jas hitam elegan. Wajah pria itu terciprat foundation dan blush on dari wajah Devi.

"Maaf! Maaf banget!" ucap Devi panik, berusaha menghapus noda dari jasnya.

"Apa yang kamu lakukan!?" bentak pria itu, menepis tangan Devi.

Devi terpaku. Sosok itu adalah Riki, pria yang pernah ia taksir diam-diam. Hatinya remuk.

Ia menunduk, berusaha menahan air mata, lalu berbalik hendak pergi.

"Devi!!" panggil Ajeng yang akhirnya tiba di tempat kejadian.

"Selamat pagi, Pak," sapanya canggung kepada Riki, lalu segera mengejar Devi.

Devi berdiri di depan cermin kamar mandi kantor, menangis. Riasannya luntur. Ia memandangi wajahnya—makeup terlihat abu-abu, terlalu tebal, dan membuatnya tampak lebih tua.

Ia teringat masa SMA, ketika penampilannya sering jadi bahan olokan. Warna kulit sawo matang dan jerawat membuatnya sering direndahkan. Luka lama itu terasa kembali.

Pintu toilet terbuka.

"Devi, aku minta maaf," ucap Ajeng lirih.

Devi menggeleng. "Nggak apa-apa. Emang dasarnya aku jelek."

"Siapa bilang kau jelek? Kamu cantik, Devi. Tapi... makeup-mu kayak ondel-ondel," ujar Ajeng polos.

Devi kembali menangis. Ajeng menyesal.

"Aduh, aku bodoh banget!" keluh Ajeng sambil memukul pelan kepalanya sendiri.

Melihat itu, Devi tertawa kecil.

"Sudah, Ajeng. Aku maafin."

Ajeng tersenyum lega. "Beneran?"

Devi mengangguk.

"Ya ampun, Devi, kamu memang teman yang luar biasa!" katanya sambil memeluk Devi erat.

"Aduh... sesak, Ajeng," keluh Devi tertawa.

Ajeng melepas pelukan. "Kalau kamu mau dandan, aku bantu ya."

"Kamu bisa?"

"Tentu bisa! Nanti pulang kerja kita ke toko kosmetik langgananku."

Di kantor, Riki menghampiri Devi dan meletakkan paper bag di meja.

"Ini jas dan kemeja saya. Cuci bersih, dan kembalikan besok. Paham!?"

Devi menunduk. "Iya, Pak. Maaf."

"Bagus. Jangan sampai lupa. Kalau tidak, saya beri catatan buruk di evaluasi." Riki pergi dengan tatapan sulit dibaca.

Ajeng yang menyaksikan itu dari kejauhan merasa iba.

"Ih... ngeselin banget! Kirain wajah baby face-nya cocok sama sikapnya, ternyata nyebelin!" gerutu Ajeng.

Devi terdiam, menatap paper bag itu. Perasaannya campur aduk.

"Udah, jangan dipikirin," ujar Ajeng menepuk bahunya. "Ayo, kita ke toko kosmetik."

Di toko kosmetik, Devi terkagum-kagum melihat deretan produk rias. Ajeng menjelaskan dengan semangat.

"Aku pakai cushion, cepat dan ringan. Kamu harus coba."

Karyawan toko mendekati. "Kalau mau tahu warna cocok, bisa lihat dari warna nadi," katanya sambil memegang tangan Devi.

Setelah menentukan, karyawan menawarkan layanan makeup gratis untuk mencoba produk.

Devi dan Ajeng setuju. Dalam waktu singkat, Devi duduk di kursi rias. Lima menit kemudian, ia menatap pantulan dirinya di cermin.

Cantik. Warna kulit sawo matang-nya terlihat cerah dan alami. Bekas jerawat tertutup sempurna, dan matanya tampak lebih hidup.

"Devi, kamu cantik banget!" puji Ajeng.

Devi tersenyum, nyaris tak percaya. "Beneran?"

Ajeng mengangguk mantap.

"Jadi, produk mana saja yang mau dibeli?" tanya karyawan toko.

Sore itu, Devi melambaikan tangan ke Ajeng dari halte. Saat Bus Transjakarta melaju pergi, ia berjalan keluar dengan percaya diri.

Tatapan orang-orang kali ini berbeda. Kekaguman tampak jelas di wajah mereka.

"Badannya gemuk, tapi cantik banget."

"Iya, keren sih dia."

Devi mendengarnya. Tapi kali ini, ia tersenyum—bukan sedih, melainkan bangga.

Lalu ia melihat Jaka berdiri di pojok jalan, tampak kikuk. Devi berpura-pura tidak mengenalnya, tapi hatinya luluh.

"Jaka," sapa Devi sambil menepuk pundaknya.

Jaka menoleh. "Maaf, apa aku kenal kamu?"

Devi terkekeh. "Jaka, ini aku, Devi."

Jaka memandangnya dari atas ke bawah. Matanya melebar.

"Nona gemes!? Beneran kamu!?"

Devi manyun. "Bisa nggak sih jangan panggil aku gitu?"

"Yah ampun, Devi! Sekarang kamu beneran kelihatan beda. Tapi tetap lucu kayak dulu. Eh, tapi cantiknya nambah banyak deh sekarang."

Devi hanya tersenyum malu. Di balik semua lelucon Jaka, terselip rasa bahagia yang sederhana—bahwa hari ini, untuk pertama kalinya, ia merasa cantik. Bukan hanya karena makeup, tapi karena keberanian untuk berubah dan mencintai dirinya sendiri.

Berikut lanjutan sebanyak 500 kata dari naskahmu:

---

..."Bisa tidak kau tidak memanggilku begitu?" Devi menyilangkan tangan di dada, setengah kesal namun juga geli melihat ekspresi Jaka yang seolah tidak percaya.

"Astaga... Devi! Ini beneran kamu? Kamu... kamu cantik banget! Aku sampai nggak ngenalin!" Jaka mendekat, nyaris melongo.

"Tuh, baru juga berubah dikit, kamu udah kayak liat hantu. Jangan lebay, ah," ujar Devi, setengah malu-malu.

Jaka menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Bukannya lebay, tapi serius, kamu bener-bener beda. Dandan gini cocok banget, sumpah deh. Nggak kayak pagi tadi... eh, maksudnya—"

"Maksud kamu?" Mata Devi menyipit curiga.

"Hehehe, nggak, nggak maksud apa-apa kok. Asli, kamu cakep banget sekarang." Jaka berusaha menyelamatkan keadaan dengan senyum cengengesan khasnya.

Devi menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Ya sudah, aku pulang dulu ya. Besok aku masih kerja."

"Eh, Devi," panggil Jaka cepat, menghentikan langkahnya. "Besok... boleh nggak aku antar kamu ke halte? Atau sekalian sarapan dulu? Aku tahu tempat bubur ayam enak, deket sini."

Devi berpikir sejenak. Dulu, Jaka adalah salah satu yang sering menggoda dan meledek dirinya. Tapi sekarang dia seperti berubah. Atau mungkin karena dirinya yang berubah, jadi orang lain juga mulai bersikap beda?

"Lihat besok aja ya, kalau aku nggak telat." Jawab Devi datar, tapi ujung bibirnya tersenyum.

"Siap, Nona Devi! Saya tunggu jam tujuh pagi. Kalau kamu datang jam delapan, aku tetap tungguin, janji!" Jaka memberi hormat ala tentara, membuat Devi tergelak.

Sepanjang perjalanan pulang, Devi tak henti-hentinya tersenyum. Ada rasa puas, lega, sekaligus haru. Bukan karena makeup-nya saja, tapi karena ia merasa diakui. Untuk pertama kalinya, orang-orang melihat dirinya bukan sebagai bahan lelucon, tapi sebagai seseorang yang layak dipuji, dihargai.

Sesampainya di rumah, ia membuka pintu perlahan. Di ruang tamu, Mami sedang menonton sinetron favoritnya sambil ngemil keripik.

"Assalamualaikum, Mi..." ucap Devi pelan.

Mami menoleh. Tatapannya terpaku pada wajah Devi yang kini bersih, segar, dan berbeda.

"Waalaikumsalam... Eh, Devi... Kamu... kamu cantik banget, Nak." Suara Mami bergetar. Mata tuanya berkaca-kaca.

"Masa sih, Mi?" Devi meletakkan tasnya dan duduk di samping sang ibu.

Mami mengangguk. "Iya... Mami sampai nggak percaya. Anak Mami cantik banget. Kamu tahu nggak, dari dulu Mami yakin kamu itu punya aura. Cuma orang-orang aja yang nggak bisa lihat."

Devi tersenyum. "Makasih ya, Mi. Makasih karena selalu percaya sama aku."

"Kamu ini anak Mami. Mau kamu item, putih, gemuk, kurus, kamu tetap Devi. Tapi Mami senang kamu sekarang berani tampil. Kamu pantas, Nak. Kamu pantas bahagia."

Pelukan hangat menyelimuti Devi malam itu. Di tengah kelelahan dan luka-luka lama yang mulai sembuh, dia merasa satu hal yang paling penting dari semuanya: ia mulai mencintai dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Lisa Z

Lisa Z

jujur itu emang kadang menyakitkan, tapi jujur itu perlu

2022-04-24

0

pecinta COGAN 💋

pecinta COGAN 💋

bang jaka jail😂😂

2022-04-17

1

Sedang Sibuk

Sedang Sibuk

Thor ngetiknya berapa kata sih? Panjang banget 😁

2022-03-27

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!