"Surat edaran!!" teriak seseorang.
Seluruh karyawan melihat seorang pria yang logatnya lemah gemulai. Mereka mendekat pada pria tersebut, bahkan mereka yang duduk pun berdiri untuk mengetahui apa isi dari surat tersebut.
"Ciripa cepat kasih liat kami."
"Nggak usah, gua udah baca isi suratnya, intinya sedang mencari Manajer baru."
"Lah, terus Bu Rita ke mana?"
"Usia saya sudah saatnya untuk beristirahat."
Mereka semua terkejut saat seorang wanita paruh baya namun masih terlihat fresh berjalan mendekati kumpulan para karyawan.
"Syarat untuk menjadi Manajer sudah tertulis di surat, nanti Ciripa akan menempelkannya di dinding pengumuman." Ia melangkah menuju ruang pribadi, namun saat sampai di depan pintu, wanita yang bernama Rita itu menoleh melihat Devi yang sibuk mengerjakan pekerjaannya.
"Kamu yang pakai kacamata!"
Seluruh mata melihat ke arah Devi, dengan cepat Devi berdiri. "Saya Bu?"
"Ya, tadi pagi asisten saya mengirim pesan, apa dokumennya sudah selesai?" tanyanya.
"Ya Bu, sudah."
"Saat makan siang, bawa ke kantor saya."
"Baik Bu."
Rita pun masuk ke dalam ruang pribadinya, seluruh mata melihat Devi.
"Wah Devi kau tau artinya?"
"Apa?"
"Kau harus makan secepatnya, karena dia bilang saat jam makan siang, bukan selesai makan siang."
"Tidak apa-apa, aku juga tidak pernah makan siang." Devi kembali duduk.
Ucapan Devi membuat karyawan wanita itu cemberut tidak suka dengan ucapan Devi barusan.
"Jelek aja bangga!" Umpatnya pelan.
Sebenarnya Devi mendengar namun wanita itu sepertinya sudah tidak terpengaruh dengan kata-kata kasar seperti itu. Karena ia sudah merasakan ejekan itu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.
~*~
Saat jam makan siang tiba. Seluruh karyawan meninggalkan meja kerja mereka berjalan beriringan dengan teman kerja keluar dari ruangan kantor. Tinggal Devi sendiri di kantor.
"Devi, lu nggak pergi makan?" tanya salah satu rekan kerjanya.
Devi menggeleng. "Gua ada perlu sama Bu Rita." jawabannya.
"Oke, gua duluan ya, dah..." Melambaikan tangan, Devi membalas lambaian tangan tersebut.
Hingga akhirnya ia mengambil napas panjang lalu menghembuskan kembali, bertujuan menangkap rasa keberanian untuk menemui ibu Manajer.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi Bu." Devi mencoba membuka pintu ruangan tersebut.
"Hai Devi kemarilah."
Devi pun melangkah masuk membawa dokumen yang diminta ibu manajer, Rita pun menerima dokumen tersebut.
"Berapa berat badanmu?" tanya Rita
"70kg." ucap Devi polos.
"Saya ingin kau ikut mengambil jabatan ini."
Mendengar itu Devi sangat terkejut.
"Tapi Bu saya tidak berpenampilan menarik, itu sebabnya saya tidak ikut serta."
"Tapi saja ingin. Lagi pula kamu sudah 5 tahun di perusahaan ini, kenapa tidak?"
Devi menunduk memikirkan sesuatu.
"Pikirkan saja dulu, tapi jika kamu menolak saya sangat marah. Selamat siang." Rita melangkah meninggalkan Devi sendiri dengan tatapan binggung.
Dengan langkah berat Devi keluar dari ruang pribadi manajer Rita, dilihatnya semua rekan kerja yang sama sedang memperhatikan dirinya, dengan cepat Devi melangkah lebar menuju meja kerja.
"Bagaimana?" tanya salah satu teman kerja.
"Tidak apa-apa, cuma kasih dokumen doang ko, nggak lebih dari itu." jelas Devi membuat seluruh karyawan kecewa.
"Serius Bu Rita kagak nawarin lu buat ikut serta dalam pemilihan Manajer baru?" tanya salah satu teman kerjanya.
"Nanti pulang kerja aku beritahu."
"Oke." Rekan kerjanya pun kembali ke tempatnya.
~*~
"Devi mau pulang?" tanya Ajeng.
"Iya."
"Naik apa?"
"Busway."
"Gua ikut ya. Sembari nanya-nanya soal jabatan manajer itu."
Devi mengangguk setuju. Ajeng pun berjalan bersama dengan Devi keluar dari kantor menuju lift.
Langkah Devi terhenti.
"Kenapa?" tanya Ajeng sama menghentikan langkahnya.
Devi melihat ibu manajer sedang mengobrol dengan seorang pria, entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai membuat lesung pipi pria itu timbul dari permukaan wajahnya yang sempurna. Jujur Devi menjadi tertarik padanya.
"Ohh...Pak Riki Pratama."
"Lu kenal dia?"
"Yuk nongkrong, gua bakal kasih tau semuanya." Ajeng menarik tangan Devi untuk masuk ke dalam lift.
Ia pun menurut, mata masih melihat pria bernama Riki itu untuk terakhir kali saat pintu lift perlahan tertutup.
"Sekarang gua tau alasan kenapa Bu Rita mengundurkan diri dari jabatannya."
Devi melihat Ajeng.
"Karena anak keduanya sudah pulang ke Indonesia."
"Anak kedua? Lalu anak pertamanya?"
Ting!
"Lanjut kita sembari ngopi, oke."
"Kaya bapak-bapak aja harus ngopi segala, baru cerita." Devi mengikuti langkah Ajeng dari belakang.
~*~
Devi melihat tempat tongkrongan Ajeng. Ia pikir akan di cafe, ternyata ia diajak di sebuah angkringan pinggir jalan.
"Bang es Milo ya. Lu apa Dev?"
"Es teh aja."
Devi melihat semua hidangan di atas meja, sebenarnya ia sudah pernah merasakan tempat seperti ini saat ia masih remaja bersama kakak-kakaknya.
"Ko tumben lu mau di sini?" tanya Devi.
"Selain harganya murah, gua juga sekalian cuci mata." Ajeng melirik memberi isyarat. Devi pun menoleh melihat apa maksudnya, ternyata para pekerja di sana keseluruhan pria yang cukup lumayan menurut Devi.
"Capek kerja, sekali-kali cuci mata." Goda Ajeng. Devi hanya memberi senyuman tipis.
"Terus gimana soal yang tadi?"
"Oh ya, sampe di mana tadi?"
"Anak pertama?"
"Oh ya anak pertama. Sayangnya kalau soal anak pertama gua nggak terlalu tau yang gua dengar-dengar dia kabur dari rumah."
"Kabur? Kabur kenapa?"
"Katanya sih soal perjodohan, itu sebabnya adiknya yang gantiin kakaknya.".
"Riki?"
Ajeng mengangguk, dengan bersamaan pula raut wajah Devi kecewa.
"Gua tau lu suka sama Tuan Riki Pratama."
Mendengar itu membuat pipi Devi yang sawo matang bertambah gelap saja.
"Sok tau lu!" Memegang kedua pipinya.
Ajeng tertawa terbahak-bahak.
~*~
Dah...
Devi melambaikan tangan pada Ajeng yang lebih dulu turun darinya. Devi mulai bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki teman bicara apalagi kalau obrolan mereka menyambung satu sama lain itu membuat Devi merasa nyaman, bahkan tidak terasa tadi ia menghabiskan sejam bersama Ajeng, senyumannya terlukis pertanda ia senang. Namun senyuman Devi kembali menghilang saat mengingat kisah pria misterius itu, kini Devi tau semua tentangnya.
Langkah Devi terhenti saat ia berhasil keluar dari halte Transjakarta. Seorang pria berdiri bersandar pada tiang, memberikan senyuman saat melihat dirinya keluar dari sana.
"Ngapain lu di sini?" tanya Devi pada pria itu.
"Nungguin Nona gemes."
Devi melihat sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada yang mendengar panggilan tersebut.
"Bisa tidak, lu kgak manggil gua seperti itu!"
"Wah gimana ya?" Berjalan ke depan dengan sikap pura-pura berpikir, pria itu melihat Devi yang melototi dirinya.
"Tapi kau kan memang Nona gemes."
"Jaka!!" teriak Devi mengejar Jaka.
~*~
"Assalamualaikum."
"waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana pekerjaan mu?" tanya Mami yang sibuk menyiapkan bahan untuk dagang besok pagi.
"Alhamdulillah lancar." Melangkah masuk ke dalam kamar untuk menganti pakaian kerjaan dengan piyama. Selesai itu Devi mencoba membantu Mami.
"Lanjutkan Mami mau urus yang lain." pinta Mami berjalan menuju dapur.
"Oke."
Butuh sejam untuk selesai persiapan itu semua, saat Devi mencoba untuk menyapu Bapak pulang membawa plastik hitam yang entah apa isinya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Dengan cepat Devi mencium tangan Bapak.
"Apa itu pak?" tanya Devi.
"Ini barang yang kamu minta di chat. Bapak nggak tau itu benar apa nggak, soalnya Bapak juga nyuruh karyawan tokonya."
Devi mencoba membuka kantong tersebut yang ternyata isinya adalah peralatan makeup, senyum Devi terlukis membuat pipi tembemnya menjadi chubby.
"Terima kasih pak." ucap Devi membawa peralatan makeup itu ke dalam kamar.
Devi mencoba kosmetik pemberian Bapak untuk bersiap berangkat kerja. Belajar melalui video YouTube yang ia tonton.
"Mami berangkat kerja! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam, hati-hati ya!!" balas Mami dari dapur.
Devi mencoba memakai kacamatanya menyusuri jalan komplek, tanpa di sadari semua mata pejalan kaki melihat ke arahnya dan mulai tertawa kecil.
Dari kejauhan Jaka berandalan kompleks melihat sosok Devi, senyumannya merekah mencoba mendekati.
"Devi!!" teriaknya dari jauh.
Devi pun menoleh, Jaka begitu terkejut saat melihat sosok wanita di depannya dengan berpura-pura ia melihat jam tangannya.
"Maaf aku ada keperluan mendadak." ucapnya melarikan diri dari Devi.
Wanita itu melihat kepergian Jaka dengan raut muka binggung. "Ada apa dengannya?" Devi melanjutkan perjalanan menuju halte Busway.
Ia belum menyadari jika dirinya menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung halte, walaupun mereka membicarakan tentangnya itu tidak membuat Devi merasa jika mereka membicarakan dirinya, ia masih menikmati dunianya sendiri.
~*~
Sesampai di kantor perhatian itu terus berlanjut sampai akhirnya Ajeng teman kerjanya mendekati dirinya dengan tatapan terkejut dengan perubahan Devi.
"Devi?"
"Iya, Ajeng bagaimana penampilan gua?" tanya Devi meminta pendapat.
Ajeng menahan tawanya dengan menutup mulut. Mendapat reaksi Ajeng membuat senyuman Devi berangsur menghilang, tatapan menjadi nanar menatap ke setiap karyawan yang ada di sana, benar-benar menahan tawa seperti apa yang di lakukan Ajeng.
Devi melangkah mundur dan memilih meninggalkan tempatnya berdiri.
"Devi!!" teriak Ajeng merasa bersalah, ia pun mengejar teman kerjanya itu.
Devi terus berlari menghindari semua orang yang melihat dirinya.
BUK!
Hantaman keras tepat mengenai wajah Devi, sakit sekali rasanya saat ia berusaha melihat siapa orang yang ada di depan. Tepat berdiri seorang pria itu terlihat style kemeja dengan jas hitam yang lebih mengejutkan Devi adalah di mana semua hiasan makeup menempel pada jas dan kemeja pria tersebut.
"Hah ... maafkan saya." Berusaha menghapus noda makeup tersebut.
"Apa yang kau lakukan!?" Pria itu marah pada Devi mencoba menepis tangan gempal-nya.
Devi melihat siapa pria yang begitu jahat padanya itu, saat mengetahui siapa pria itu hati Devi kembali lebih sakit dari sebelumnya, ya dia adalah Riki cinta pandangan pertamanya.
Devi menahan sedih melangkah mundur untuk meninggalkan tempat tersebut, pria bernama Riki terdiam melihat kepergian Devi dengan tatapan binggung.
"Devi!!" teriak Ajeng yang masih mengejar dan mencari Devi.
"Selamat pagi pak." Sapa Ajeng saat melihat Riki berdiri melihat kedatangannya lalu berlari kembali mengejar Devi.
"Devi!!" teriaknya membuat seluruh karyawan melihat padanya.
~*~
Devi mencoba menghapus air matanya.
Melihat diri di depan cermin, memang makeup-nya terlihat medok dan abu-abu di wajah. Usianya yang 25 tahun terlihat sudah 30an.
Ia ingat saat SMA menjadi bulan-bulanan warga sekolah karena penampilannya. Sawo matang gelap begitu dipandang rendah oleh mereka, Devi kembali menangis walaupun ia mendengar pintu terbuka tetap ia akan memperlihatkan kesedihannya itu pada mereka yang berkunjung ke toilet.
"Devi, aku minta maaf." ucap seseorang.
Devi menoleh. "Tidak apa-apa, aku memang jelek." ucap Devi merendahkan diri.
"Kata siapa kau jelek! Kau cantik kok, hanya saja makeup mu itu seperti ondel-ondel." celetuk Ajeng jujur.
Devi kembali menangis.
"Hah! Maaf aduh aku jujur banget, iihh ... bodoh - bodoh." Melihat Ajeng memukul-mukul kepalanya itu membuat Devi luluh dan tertawa kecil.
"Sudah Ajeng, aku memaafkan mu."
Ajeng tersenyum. " Benarkah? Kau memaafkan aku?" tanya Ajeng senang.
Devi mengangguk.
"Huh, terima kasih Devi, kau memang teman kerja yang luar biasa." Memeluk Devi dengan erat dan kuat pula.
Devi menahan sesak, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Ajeng yang gemas padanya.
"Kau ingin berdandan? Aku akan membantu mu." tawar Ajeng.
"Kau bisa?"
"Tentu saja. Ayo sekarang hapus makeup mu, nanti pulang kerja kita ke toko kosmetik langganan ku."
Devi tersenyum senang, ia merasa bersyukur masih ada orang yang peduli dengannya selain keluarganya sendiri.
~*~
Devi melihat Riki Pratama berjalan mendekati dirinya, meletakkan sebuah paper bag di atas meja tepat di mana ia berdiri.
"Ini kemeja dan jas saya, kau cuci sampai bersih besok kau kembalikan lagi, kau mengerti!"
Devi melihat paper bag tersebut.
"Kau mengerti tidak!?" tegas Riki.
Devi terkejut. "Hah! Iya pak, saya mengerti, maafkan saya." Menunduk.
"Bagus, jangan sampai lupa, jika itu terjadi, saya tidak akan segan-segan akan memberimu points jelek." Selesai berbicara Riki Pratama pun melangkah meninggalkan Devi dengan tatapan sayu seperti menahan sedih.
Semua karyawan termaksud Ajeng pun melihat kejadian itu, membuat ia merasa kasihan pada Devi.
~*~
"Ihh ... menyebalkan, aku pikir sifatnya sesuai dengan muka baby face nya itu, ternyata ngeselin!" Oceh Ajeng.
Devi masih menunduk memikirkan kesalahan hari ini. Ajeng menyadari itu.
"Devi! Udahlah jangan dipikirkan."
"Huh, tapi gua kaga enak sama pak Riki."
"Udah nggak usah mikirin itu lagi, nih kita udah sampe, yuk." Ajak Ajeng menggandeng tangan Devi masuk ke dalam toko kosmetik.
"Selamat datang." Sambut karyawan toko.
Devi melihat penampakan isi toko yang luar biasa membuatnya kagum.
"Kemarilah," Ajak Ajeng menuntun Devi.
"Kalau aku pribadi pakai cousion aja, selain simpel dia cepet juga."
Devi mendengarkan setiap ocehan Ajeng yang menurutnya penting tidak segan-segan ia pun mencatat semua yang dijelaskan.
"Mbak, maaf apa kau punya warna kulitnya?" tanya Ajeng pada karyawan toko.
Karyawan toko pun mencoba mencari warna yang cocok dengan melihat nadi tangan Devi. Devi terlihat kebingungan.
Selesai melihat nadi tangan, ia pun mencoba mencari cousion yang cocok.
"Coba pakai ini, dioleskan sedikit jika warna menyatu itu artinya cocok." Jelasnya.
Ajeng menerima. "Apa ada tester dengan warna yang sama?" tanya Ajeng.
"Kalau kalian mau coba makeup yang cocok kami bisa mendandani, jika hasilnya memuaskan kalian bisa membelinya." jelas karyawan toko.
Devi dan Ajeng pun mengangguk setuju, mereka mengikuti karyawan tersebut ke depan. Di sana ada beberapa wanita yang sedang di dandani dengan hasil yang membuat kedua wanita itu berdecak kagum.
"Warna kulitku sawo matang apa bisa mengikuti? Walaupun tidak bisa makeup?" tanya Devi.
"Bisa ko kak, kita punya channel untuk belajar, di sana kakak bisa cari dengan warna kulit yang sama seperti kakak." jelas tukang makeup.
Penjelasan itu membuat Devi tertarik, ia pun mencoba untuk didandani oleh si tukang makeup. Setelah lima menit selesai. Dengan cepat Devi melihat hasilnya itu membuat Ajeng dan dirinya ikut kagum. Tentu saja, walaupun warna kulit sawo matang wajah Devi terlihat mulus tanpa cacat bekas jerawat, bahkan matanya yang sipit karena kacamata pun menjadi lebih belo namun itu terlihat cantik.
"Wah Devi kau cantik sekali." Puji Ajeng.
"Benarkah?"
Ajeng mengangguk semangat.
"Jadi berapa barang yang anda mau?" tanya karyawan toko.
~*~
Devi melambaikan tangan pada Ajeng yang ada di dalam Bus Transjakarta, saat Bus tersebut melaju pergi barulah Devi melangkah keluar dari halte, ia bisa merasakan seluruh mata memandangi dirinya. Namun pandangan ini lain dengan tadi pagi ini adalah pandangan kagum.
"Badannya gemuk, tapi cantik banget."
"Iya, cantik banget."
Devi bisa mendengar ucapan mereka tentang dirinya, itu membuat Devi tersenyum di dalam hati. Matanya tiba-tiba menangkap sosok Jaka menunggu di tempat biasa. Devi berpura-pura tidak mengenal benar saja Jaka tidak memanggil dirinya, niat ingin meninggalkan Jaka itu tidak terjadi karena Devi masih ada perasaan kasihan.
"Jaka." Panggil Devi menepuk pundak Jaka yang gagah.
Pria itu melihat Devi. "Maaf apa aku mengenal anda?" tanya Jaka kembali melihat pintu keluar halte.
Devi tertawa tertahan.
"Jaka, ini aku Devi."
Jaka melihat Devi, memandangi dirinya dari atas sampai bawah.
"Ini beneran Nona gemes?" tanya Jaka.
Devi cemberut. "Bisa tidak kau tidak memanggilku seperti itu."
Jaka tertawa terbahak-bahak.
Devi mencoba melipat mukena setelah selesai shalat subuh.
"Mami, Devi mau olahraga, jadi-"
"Ya pergilah, Mami juga tidak ada barang yang harus dibantu."
Mendengar itu Devi langsung bergegas menuju kamar untuk menganti piyama dengan baju olahraga.
Beberapa menit Devi melangkah keluar dari kamar berjalan menuju luar rumah.
"Eh, Neng Devi mau olahraga?" tanya tetangga yang membeli nasi kuning Mami.
Devi mengangguk pelan. "Iya."
"Bagus deh, demi penampilan."
Devi melihat Mami, sebenarnya beliau bisa saja menepis semua omongan pembelinya. Namun Bapak pernah berbicara untuk tidak menepis setiap perkataan orang, biar Allah yang membalas.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Kompak.
Devi pun mulai berlari meninggalkan tempatnya berdiri.
Dari kejauhan Jaka memperhatikan Devi yang berolahraga, ia pun mendekat.
"Selamat pagi Nona gemes." Sapa-nya.
"Bisakah kau tidak memanggil ku dengan sebutan itu!?"
"Memang kenapa? Itu cocok untuk mu."
"Tapi aku tidak suka."
"Baiklah, jadi aku harus memanggil mu apa?"
"Devi, panggil aku Devi."
"tapi aku lebih suka Nona gemes."
"Jaka!!" teriak Devi mencoba memukul Jaka.
Jaka pun berlari menghindar dari pukulan Devi.
"Aakk!" Tiba-tiba keseimbangan Devi kacau. Membuat dirinya tersandung kaki sendiri, melihat itu dengan cepat Jaka menangkap tubuh Devi yang gemuk, menahan beban 70kg. Karena tidak kuat lagi, Jaka terjatuh dan tertindih tubuh Devi yang gemuk, itu membuat Devi merasa bersalah. Ia pun berlari menjauh dari Jaka membuat pria itu melihatnya dengan bingung.
"Kenapa dia?"
~*~
Devi terus menangis di dalam kamar, itu membuat Mami khawatir.
"Bapak sih nggak boleh ijinkan aku membalas semua ocehan tetangga, jadinya Devi sedih, dia pasti merasa terpukul." Protes Mami pada pemikiran Bapak.
"Biar Bapak yang bicara." Bapak pun melangkah menuju kamar Devi.
Tok! Tok! Tok!
"Devi, buka pintunya nak." Panggil Bapak dari luar.
Devi yang ada di kamar menangis kembali menyembunyikan wajahnya yang bulat ke dalam permukaan bantal.
Tetap saja itu tidak bisa ia lakukan karena napasnya tidak bisa menahan lama.
Tiba-tiba ponselnya berdering tanda pesan masuk dengan cepat Devi membukanya, ternyata dari Ajeng.
"Devi ada Ajeng nih."
Devi pun membuka pintu kamar sedikit.
"Hai." Sapa Ajeng di balik pintu.
~*~
Akhirnya Ajeng berhasil membuat Devi keluar dari kamar untuk melanjutkan lari pagi yang sempat tertunda.
"Wah...angin pagi hari Minggu memang luar biasa." ucap Ajeng mencairkan suasana.
Devi tetap waspada melihat sekitar mencari sosok Jaka, tentu saja ia masih merasa malu pada pria itu dengan apa yang terjadi.
"Kenapa sih, lu udah kaya diincar aja."
"Gua takut dia ada."
"Hah? Dia siapa?"
"Hih!" Devi terkejut saat melihat sosok Jaka yang sedang bermain dengan para bocah kompleks. Namun entah kenapa setiap Devi ada pasti Jaka menyadari kehadirannya, pria itu menoleh melihat Devi memberikan lambaian dan senyuman.
"Hai Devi." Panggilnya.
"Ayo Ajeng kita pergi dari sini." Ajak Devi.
"Hah? Emang kenapa?" tanya Ajeng kebingungan.
"Hai Nona gemes." Sapa Jaka yang sudah sampai di tempat mereka berdiri.
Dengan cepat Devi membuang pandangan untuk tidak melihat Jaka, membuat pria itu semakin penasaran apa yang terjadi pada temannya itu.
"Hai aku Ajeng." Memberikan jabat tangan pada Jaka.
"Jaka." Tanpa membalas jabat tangan Ajeng membuat wanita itu kecewa.
Devi masih menunduk, ia pun mencoba berlari kembali meninggalkan Ajeng bersama Jaka.
"Eh Devi!! Tunggu!!"
Jaka hanya bisa melihat kepergian Devi.
"Abang! Giliran mu!" teriak para bocah.
~*~
"Devi!!" Teriak Ajeng.
Teriaknya membuat menarik perhatian para warga yang sedang sibuk di pagi hari Minggu.
"Devi ada apa nak?" tanya Mami yang kebingungan melihat putrinya berlari masuk ke rumah sambil menangis.
Mami pun melihat Ajeng yang sudah sampai di sana. "Ada apa ini?" tanya Mami."
"Itu gara-gara cowok."
"Cowok? Cowok siapa?"
"Anu, saya juga kagak tau Tante."
Mami masuk ke dalam, begitu pula Ajeng. Namun ia kembali lagi untuk mengambil barang yang seharusnya Mami rapikan dan meletakkannya di atas meja ruang tengah.
"Devi ada apa?" tanya Mami.
"Iya ada apa sih? Ko malah kabur?" tanya Ajeng.
"Eh Ajeng kamu masukkan semua barang dagangan Tante?"
"Iya, hehehehe..."
"Ya ampun terima kasih loh jadi ngerepotin."
"Kagak apa-apa ko Tante."
Devi kembali menangis menutup wajahnya.
"Ayo cerita! Jangan bikin Mami binggung."
Tiba-tiba Bapak yang baru pulang belanja muncul membuat kami terkejut dengan suara bantingan dari barang yang ia bawa.
"Ada apa ini kumpul-kumpul?" tanya Bapak kebingungan.
Dengan cepat Ajeng berdiri memberi salam dengan mencium tangan Bapak.
"Teman kerjanya Devi ya?" tanya Bapak.
"Iya pak benar."
"Ada apa ini?" tanya Bapak lagi.
"Kagak tau Devi tadi lari pagi bareng, tiba-tiba ngambek." jelas Ajeng dengan nada khas-nya.
"Mang nggak ada yang aneh?" tanya Mami.
"Eh, jangan-jangan Devi ada masalah sama Jaka."
"Jaka!" ucap Mami dan Bapak bersamaan.
Mendengar itu Devi kembali menangis menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Tuh kan." Tunjuk Ajeng.
Devi mengambil napas panjang.
Mencoba menceritakan semua saat Bapak mengetahui alasan putrinya seperti itu, Bapak keluar rumah berniat mencari pria bernama Jaka itu. Itu membuat Devi panik, ia pun mengejar Bapak diikuti Mami dan Ajeng.
~*~
Jaka mencoba membantu salah satu ibu-ibu yang keberatan mendorong gerobak dagangannya.
"Abang!!" teriak seorang remaja laki-laki.
"Eh Joko ada apa?" tanya Jaka.
"Ada yang cari Abang, bapak-bapak sama tiga cewek, satu kayanya istri bapak itu dan yang dua cewek yang Abang sapa." jelasnya.
Jaka tau siapa orang yang dijelaskan remaja itu, ia pun memakirkan gerobak milik ibu tersebut.
"Tanjakannya sudah habis Bu, saya tidak bisa lanjut karena ada masalah pribadi."
"Terima kasih Nak."
"Sama-sama."
Merasa ibu tersebut sudah menjauh, Jaka pun berjalan meninggalkan tempatnya berdiri.
"Di mana mereka?" tanya Jaka.
"Di warung mbak Tuti."
~*~
Devi mencoba menunggu Jaka di jalan berbeda agar Jaka tidak bertemu dengan Bapak, jika mereka bertemu maka kesalahpahaman akan terjadi.
"Jaka!" Panggil Devi saat melihat Jaka dari jauh, ia pun berlari mendekatinya.
"Eh Nona gemes."
"Pliss ... jangan lewat sini ya, aku mohon."
"Kenapa?" tanya Jaka penasaran.
"Jadi Bapak berjenggot itu ayah kakak ya?" tanya remaja laki-laki yang bersama Jaka.
"I-Iya, aku menceritakan masalah kita kemarin yang aku jatuh itu."
"Lalu, Bapak mu tidak terima kakak disentuh bang Jaka?" tanya remaja laki-laki itu lagi.
"Iya, ihhh ... nih adek mu ya!?" ucap Devi kesal karena sedari tadi remaja laki-laki itu terus bertanya.
Jaka hanya bisa tersenyum geli melihat raut kesal Devi, baginya itu terlihat lucu dan menggemaskan itu sebabnya ia memanggil Devi dengan sebutan Nona gemes.
"Jadi kau yang namanya Jaka!!" teriak seorang pria.
Devi menunduk takut karena ia tau itu adalah suara bapaknya yang sedang marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!