Surat edaran!” teriak seseorang dari arah pintu masuk.
Seluruh karyawan spontan menoleh. Seorang pria dengan logat lemah gemulai berdiri sambil mengangkat sebuah amplop besar berstempel resmi. Suasana kantor mendadak riuh.
"Ciripa, cepat kasih lihat!" ujar salah satu rekan kerja.
"Nggak usah. Gue udah baca. Intinya, perusahaan sedang mencari manajer baru," ucap Ciripa sambil menekankan nada dramatis.
"Lho, Bu Rita ke mana?"
"Usia saya sudah saatnya beristirahat," jawab suara lembut dari arah belakang.
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan dan energik, Bu Rita, melangkah ke tengah ruangan. Meski usianya tak muda lagi, aura karismatiknya masih terpancar.
"Syarat menjadi manajer sudah tertulis di surat ini. Ciripa, tempel di papan pengumuman."
Ia berjalan menuju ruangannya, tapi berhenti sejenak dan menoleh ke arah seorang perempuan berkacamata yang sibuk di meja.
"Kamu yang pakai kacamata!"
Seluruh mata memandang ke arah Devi. Gadis itu berdiri gugup. "Saya, Bu?"
"Tadi pagi asisten saya kirim pesan. Sudah selesai dokumennya?"
"Sudah, Bu."
"Saat makan siang, bawa ke kantor saya."
"Baik, Bu."
Tatapan para karyawan menyorot ke Devi. Salah satu dari mereka berbisik pelan, "Wah, Devi. Kau tahu artinya?"
"Apa?"
"Kau harus makan cepat. Dia bilang 'saat makan siang', bukan 'setelah makan siang'."
"Nggak apa-apa, aku juga nggak pernah makan siang," jawab Devi datar sambil kembali duduk.
Perkataan itu membuat salah satu rekan perempuannya mencibir. "Jelek aja bangga," bisiknya sinis.
Devi mendengarnya, tapi memilih diam. Ia sudah kenyang dengan ejekan sejak sekolah dasar.
---
Saat jam makan siang tiba, kantor mendadak lengang. Semua karyawan keluar bersama kelompok masing-masing. Devi tetap duduk.
"Devi, nggak makan?" tanya seorang teman.
"Gue ada urusan sama Bu Rita. Duluan aja."
"Oke. Dah!"
Setelah ruangan benar-benar sepi, Devi menarik napas panjang. Ia berdiri, mengetuk pintu ruang manajer.
"Permisi, Bu."
"Hai Devi, kemarilah."
Devi menyerahkan dokumen. Rita menerimanya lalu menatap Devi sejenak.
"Berapa berat badanmu?"
"Tujuh puluh kilogram," jawab Devi polos.
"Saya ingin kamu ikut seleksi jabatan manajer."
Mata Devi melebar. "Tapi Bu... saya... saya tidak berpenampilan menarik. Itu sebabnya saya tidak ikut daftar."
"Saya ingin. Kamu sudah lima tahun di perusahaan ini. Kenapa tidak?"
Devi menunduk, bingung.
"Pikirkan saja. Tapi kalau kamu menolak, saya bakal marah. Selamat siang."
Bu Rita pergi, meninggalkan Devi sendirian.
Devi kembali ke meja kerjanya, disambut tatapan penasaran dari teman-teman.
"Gimana?"
"Nggak apa-apa, cuma kasih dokumen."
"Serius Bu Rita nggak nawarin lu ikut seleksi?"
"Nanti pulang kerja gue cerita."
---
"Devi, mau pulang?" tanya Ajeng.
"Iya."
"Naik apa?"
"Busway."
"Ikut, ya. Sambil nanya soal manajer itu."
Mereka berjalan ke lift. Devi tiba-tiba berhenti.
"Kenapa?"
"Itu... siapa ya pria yang ngobrol sama Bu Rita?"
Ajeng melirik. "Oh, itu Pak Riki Pratama."
"Lu kenal dia?"
"Yuk nongkrong. Gue jelasin semuanya."
Ajeng menarik Devi masuk lift. Mata Devi masih tertuju pada Riki yang tersenyum manis.
"Sekarang gue tau alasan Bu Rita pensiun."
"Kenapa?"
"Anak keduanya pulang dari luar negeri."
"Anak kedua? Terus anak pertama?"
"Lanjut sambil ngopi, yuk."
---
Tempat yang Ajeng pilih ternyata angkringan sederhana, bukan kafe. Devi tersenyum melihat jajanan khas masa kecil.
"Bang, es Milo dua!" seru Ajeng.
"Aku es teh aja."
"Tumben mau di tempat begini," kata Devi.
"Murah dan bisa cuci mata," Ajeng melirik ke arah pelayan yang semuanya laki-laki.
"Capek kerja, sesekali refreshing lah."
"Jadi, soal anak pertama?"
"Kabarnya kabur dari rumah gara-gara dijodohin. Makanya adiknya, Riki, yang gantiin."
"Riki?" wajah Devi murung.
Ajeng mengangguk. "Gue tau lu suka dia."
"Sok tau!" Devi menutupi pipi.
Ajeng tertawa puas.
---
Devi melambaikan tangan saat Ajeng turun lebih dulu. Hatinya hangat. Ia senang punya teman bicara seperti Ajeng.
Tapi senyumannya pudar saat ia ingat tentang Riki. Ia merasa terlalu biasa untuk pria seperti itu.
Langkahnya terhenti saat keluar dari halte. Seseorang berdiri bersandar pada tiang. Senyum jahil menghiasi wajahnya.
"Ngapain lu di sini?" tanya Devi.
"Nungguin Nona gemes."
Devi panik. "Bisa nggak, jangan panggil gue gitu!"
"Tapi emang kamu gemes."
"Jaka!!"
Devi mengejarnya, keduanya tertawa lepas.
---
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Gimana kerjaanmu?" tanya Mami di dapur.
"Alhamdulillah, lancar."
Devi ganti baju, lalu membantu Mami menyiapkan dagangan.
"Lanjutkan, Mami ke dapur."
"Oke."
Saat ia menyapu, Bapak pulang membawa plastik hitam.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Devi mencium tangan Bapak.
"Apa itu, Pak?"
"Barang yang kamu minta. Bapak minta karyawan toko yang beliin."
Devi membuka plastik. Isinya perlengkapan make-up. Senyumnya mengembang.
"Terima kasih, Pak."
Ia masuk ke kamar, menatap perlengkapan itu. Mungkin ini saatnya mengubah sesuatu. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirinya sendiri.
Di dalam kamar, Devi membuka isi kantong belanja satu per satu. Ada foundation, concealer, bedak tabur, pensil alis, maskara, lip cream, dan bahkan palet eyeshadow kecil dengan warna-warna netral.
Ia duduk di depan cermin kecil yang menempel di dinding, lalu memandangi wajahnya sendiri. Wajah bulatnya, pipi chubby-nya, dan mata yang selalu tampak kelelahan.
Dengan hati-hati, ia mencoba mengoleskan sedikit foundation ke pipi kanan. Warnanya pas. Tidak membuat kulitnya terlalu abu, juga tidak terlalu gelap.
Devi tersenyum kecil. Jarang sekali ia punya waktu atau keberanian untuk mencoba riasan wajah. Dulu, waktu SMA, ia pernah dirias teman sekelas untuk acara pentas seni. Tapi waktu itu, teman-temannya malah mentertawakannya.
“Lucu ya, kayak badut ulang tahun!”
Sejak saat itu, ia menghindari make up. Ia takut jadi bahan ejekan. Tapi kini, dengan dorongan Bu Rita, dan tatapan Riki Pratama yang terngiang-ngiang di kepalanya, ia merasa harus mulai berubah. Bukan untuk menjadi orang lain, tapi untuk menghargai dirinya sendiri.
Ia membuka laci meja dan mengeluarkan map berisi lembar formulir pendaftaran seleksi manajer. Ia memang tidak pernah menyerahkan formulir itu, karena merasa tidak pantas.
Tapi sekarang, ia menatapnya dalam-dalam.
“Kalau bukan aku yang percaya pada diriku sendiri, siapa lagi?”
Devi mulai menulis. Tangannya sempat gemetar, namun ia tetap melanjutkan. Ia mengisi setiap kolom dengan rapi, bahkan menambahkan keterangan tambahan tentang proyek-proyek yang pernah ia tangani selama lima tahun terakhir.
Setelah selesai, ia menatap formulir itu dan tersenyum. Tapi senyum itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar.
"Devi!" panggil Mami.
"Ya, Mi?" Devi keluar sambil membawa map itu.
"Kamu ngerjain apa, sih?" tanya Mami sambil melipat kantong plastik bekas belanja.
Devi ragu sejenak, lalu menjawab, "Aku mau daftar seleksi manajer di kantor."
Mami memandangnya, agak terkejut. "Beneran? Tapi kamu bilang kemarin nggak minat."
"Iya, tapi tadi siang Bu Rita nyuruh aku daftar. Katanya... aku punya potensi."
Mami terdiam, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu keputusanmu, Mami dukung. Tapi jangan terlalu mikirin penampilan, ya. Kamu cantik, asal percaya diri."
Devi mengangguk pelan. "Terima kasih, Mi."
Sementara itu, Bapak masuk ke ruang tengah dan meletakkan map pekerjaannya. Ia mendengar obrolan mereka dan ikut mendekat.
"Kalau kamu jadi manajer, berarti gajinya nambah dong?" tanya Bapak sambil bercanda.
"InsyaAllah, Pak. Doain aja."
"Ya udah, nanti Bapak bantu bikin surat referensi dari kepala bagian."
Devi menatap ayahnya dengan haru. Dukungan itu terasa seperti bahan bakar untuk semangatnya. Dulu, ia sempat ingin berhenti kerja karena sering dibully. Tapi Bapak bilang:
"Orang lain boleh meremehkanmu, tapi kamu jangan ikut-ikutan."
Kalimat itu kini kembali terngiang di telinganya.
---
Malam pun larut. Di atas kasurnya yang kecil, Devi menatap langit-langit. Lampu sudah dipadamkan, tapi pikirannya masih menyala.
Ia memikirkan seleksi manajer. Ia memikirkan persaingan, kemungkinan kalah, kemungkinan ditertawakan. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak merasa takut. Yang ia rasakan adalah harapan.
Dan sedikit... deg-degan karena besok ia akan bertemu lagi dengan Riki Pratama.
Devi berdiri di depan cermin, mencoba kosmetik pemberian ayahnya. Ia belajar dari video YouTube semalam, berharap hasilnya memuaskan. Setelah memoles wajah, ia tersenyum ragu.
"Mami berangkat kerja dulu! Assalamualaikum!" serunya sambil merapikan kerudung.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya!" sahut ibunya dari dapur.
Devi melangkah keluar rumah dengan semangat baru. Ia menyusuri jalan komplek sambil menyesuaikan kaca matanya. Tanpa disadarinya, beberapa pejalan kaki menoleh, menahan tawa, saling berbisik.
Dari kejauhan, Jaka, pemuda berandalan di komplek itu, melihat Devi. Senyumnya sempat mengembang, tapi seketika menguap begitu melihat penampilan Devi dari dekat.
"Devi!!" serunya.
Devi menoleh, tersenyum senang.
Namun, ekspresi Jaka langsung berubah. Ia pura-pura melihat jam tangan dan berkata, "Maaf, aku ada urusan mendadak!" lalu buru-buru kabur.
Devi menatap kepergiannya, bingung. "Kenapa sih dia?"
Ia melanjutkan perjalanan ke halte Busway. Setibanya di sana, tatapan aneh kembali menyambutnya. Beberapa orang berbisik, tertawa kecil. Tapi Devi masih asyik dengan pikirannya sendiri, tak menyadari bahwa penampilannya mencuri perhatian, bukan karena kekaguman, tapi karena riasan yang terlalu tebal.
Di kantor, keanehan itu berlanjut. Tatapan heran datang dari berbagai arah. Ajeng, teman kerjanya, akhirnya menghampiri.
"Devi?"
"Iya, Ajeng. Gimana penampilan gue?" tanya Devi dengan senyum percaya diri.
Ajeng menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Senyum Devi perlahan luntur. Ia menoleh ke sekeliling, melihat beberapa rekan tertawa diam-diam.
Tanpa bicara, Devi melangkah mundur, meninggalkan tempat itu.
"Devi!" panggil Ajeng, merasa bersalah. Ia mengejar Devi yang mempercepat langkahnya.
BUK!
Tiba-tiba Devi menabrak seseorang. Tubuhnya terdorong ke belakang. Ketika menengadah, ia melihat seorang pria mengenakan jas hitam elegan. Wajah pria itu terciprat foundation dan blush on dari wajah Devi.
"Maaf! Maaf banget!" ucap Devi panik, berusaha menghapus noda dari jasnya.
"Apa yang kamu lakukan!?" bentak pria itu, menepis tangan Devi.
Devi terpaku. Sosok itu adalah Riki, pria yang pernah ia taksir diam-diam. Hatinya remuk.
Ia menunduk, berusaha menahan air mata, lalu berbalik hendak pergi.
"Devi!!" panggil Ajeng yang akhirnya tiba di tempat kejadian.
"Selamat pagi, Pak," sapanya canggung kepada Riki, lalu segera mengejar Devi.
Devi berdiri di depan cermin kamar mandi kantor, menangis. Riasannya luntur. Ia memandangi wajahnya—makeup terlihat abu-abu, terlalu tebal, dan membuatnya tampak lebih tua.
Ia teringat masa SMA, ketika penampilannya sering jadi bahan olokan. Warna kulit sawo matang dan jerawat membuatnya sering direndahkan. Luka lama itu terasa kembali.
Pintu toilet terbuka.
"Devi, aku minta maaf," ucap Ajeng lirih.
Devi menggeleng. "Nggak apa-apa. Emang dasarnya aku jelek."
"Siapa bilang kau jelek? Kamu cantik, Devi. Tapi... makeup-mu kayak ondel-ondel," ujar Ajeng polos.
Devi kembali menangis. Ajeng menyesal.
"Aduh, aku bodoh banget!" keluh Ajeng sambil memukul pelan kepalanya sendiri.
Melihat itu, Devi tertawa kecil.
"Sudah, Ajeng. Aku maafin."
Ajeng tersenyum lega. "Beneran?"
Devi mengangguk.
"Ya ampun, Devi, kamu memang teman yang luar biasa!" katanya sambil memeluk Devi erat.
"Aduh... sesak, Ajeng," keluh Devi tertawa.
Ajeng melepas pelukan. "Kalau kamu mau dandan, aku bantu ya."
"Kamu bisa?"
"Tentu bisa! Nanti pulang kerja kita ke toko kosmetik langgananku."
Di kantor, Riki menghampiri Devi dan meletakkan paper bag di meja.
"Ini jas dan kemeja saya. Cuci bersih, dan kembalikan besok. Paham!?"
Devi menunduk. "Iya, Pak. Maaf."
"Bagus. Jangan sampai lupa. Kalau tidak, saya beri catatan buruk di evaluasi." Riki pergi dengan tatapan sulit dibaca.
Ajeng yang menyaksikan itu dari kejauhan merasa iba.
"Ih... ngeselin banget! Kirain wajah baby face-nya cocok sama sikapnya, ternyata nyebelin!" gerutu Ajeng.
Devi terdiam, menatap paper bag itu. Perasaannya campur aduk.
"Udah, jangan dipikirin," ujar Ajeng menepuk bahunya. "Ayo, kita ke toko kosmetik."
Di toko kosmetik, Devi terkagum-kagum melihat deretan produk rias. Ajeng menjelaskan dengan semangat.
"Aku pakai cushion, cepat dan ringan. Kamu harus coba."
Karyawan toko mendekati. "Kalau mau tahu warna cocok, bisa lihat dari warna nadi," katanya sambil memegang tangan Devi.
Setelah menentukan, karyawan menawarkan layanan makeup gratis untuk mencoba produk.
Devi dan Ajeng setuju. Dalam waktu singkat, Devi duduk di kursi rias. Lima menit kemudian, ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Cantik. Warna kulit sawo matang-nya terlihat cerah dan alami. Bekas jerawat tertutup sempurna, dan matanya tampak lebih hidup.
"Devi, kamu cantik banget!" puji Ajeng.
Devi tersenyum, nyaris tak percaya. "Beneran?"
Ajeng mengangguk mantap.
"Jadi, produk mana saja yang mau dibeli?" tanya karyawan toko.
Sore itu, Devi melambaikan tangan ke Ajeng dari halte. Saat Bus Transjakarta melaju pergi, ia berjalan keluar dengan percaya diri.
Tatapan orang-orang kali ini berbeda. Kekaguman tampak jelas di wajah mereka.
"Badannya gemuk, tapi cantik banget."
"Iya, keren sih dia."
Devi mendengarnya. Tapi kali ini, ia tersenyum—bukan sedih, melainkan bangga.
Lalu ia melihat Jaka berdiri di pojok jalan, tampak kikuk. Devi berpura-pura tidak mengenalnya, tapi hatinya luluh.
"Jaka," sapa Devi sambil menepuk pundaknya.
Jaka menoleh. "Maaf, apa aku kenal kamu?"
Devi terkekeh. "Jaka, ini aku, Devi."
Jaka memandangnya dari atas ke bawah. Matanya melebar.
"Nona gemes!? Beneran kamu!?"
Devi manyun. "Bisa nggak sih jangan panggil aku gitu?"
"Yah ampun, Devi! Sekarang kamu beneran kelihatan beda. Tapi tetap lucu kayak dulu. Eh, tapi cantiknya nambah banyak deh sekarang."
Devi hanya tersenyum malu. Di balik semua lelucon Jaka, terselip rasa bahagia yang sederhana—bahwa hari ini, untuk pertama kalinya, ia merasa cantik. Bukan hanya karena makeup, tapi karena keberanian untuk berubah dan mencintai dirinya sendiri.
Berikut lanjutan sebanyak 500 kata dari naskahmu:
---
..."Bisa tidak kau tidak memanggilku begitu?" Devi menyilangkan tangan di dada, setengah kesal namun juga geli melihat ekspresi Jaka yang seolah tidak percaya.
"Astaga... Devi! Ini beneran kamu? Kamu... kamu cantik banget! Aku sampai nggak ngenalin!" Jaka mendekat, nyaris melongo.
"Tuh, baru juga berubah dikit, kamu udah kayak liat hantu. Jangan lebay, ah," ujar Devi, setengah malu-malu.
Jaka menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Bukannya lebay, tapi serius, kamu bener-bener beda. Dandan gini cocok banget, sumpah deh. Nggak kayak pagi tadi... eh, maksudnya—"
"Maksud kamu?" Mata Devi menyipit curiga.
"Hehehe, nggak, nggak maksud apa-apa kok. Asli, kamu cakep banget sekarang." Jaka berusaha menyelamatkan keadaan dengan senyum cengengesan khasnya.
Devi menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Ya sudah, aku pulang dulu ya. Besok aku masih kerja."
"Eh, Devi," panggil Jaka cepat, menghentikan langkahnya. "Besok... boleh nggak aku antar kamu ke halte? Atau sekalian sarapan dulu? Aku tahu tempat bubur ayam enak, deket sini."
Devi berpikir sejenak. Dulu, Jaka adalah salah satu yang sering menggoda dan meledek dirinya. Tapi sekarang dia seperti berubah. Atau mungkin karena dirinya yang berubah, jadi orang lain juga mulai bersikap beda?
"Lihat besok aja ya, kalau aku nggak telat." Jawab Devi datar, tapi ujung bibirnya tersenyum.
"Siap, Nona Devi! Saya tunggu jam tujuh pagi. Kalau kamu datang jam delapan, aku tetap tungguin, janji!" Jaka memberi hormat ala tentara, membuat Devi tergelak.
Sepanjang perjalanan pulang, Devi tak henti-hentinya tersenyum. Ada rasa puas, lega, sekaligus haru. Bukan karena makeup-nya saja, tapi karena ia merasa diakui. Untuk pertama kalinya, orang-orang melihat dirinya bukan sebagai bahan lelucon, tapi sebagai seseorang yang layak dipuji, dihargai.
Sesampainya di rumah, ia membuka pintu perlahan. Di ruang tamu, Mami sedang menonton sinetron favoritnya sambil ngemil keripik.
"Assalamualaikum, Mi..." ucap Devi pelan.
Mami menoleh. Tatapannya terpaku pada wajah Devi yang kini bersih, segar, dan berbeda.
"Waalaikumsalam... Eh, Devi... Kamu... kamu cantik banget, Nak." Suara Mami bergetar. Mata tuanya berkaca-kaca.
"Masa sih, Mi?" Devi meletakkan tasnya dan duduk di samping sang ibu.
Mami mengangguk. "Iya... Mami sampai nggak percaya. Anak Mami cantik banget. Kamu tahu nggak, dari dulu Mami yakin kamu itu punya aura. Cuma orang-orang aja yang nggak bisa lihat."
Devi tersenyum. "Makasih ya, Mi. Makasih karena selalu percaya sama aku."
"Kamu ini anak Mami. Mau kamu item, putih, gemuk, kurus, kamu tetap Devi. Tapi Mami senang kamu sekarang berani tampil. Kamu pantas, Nak. Kamu pantas bahagia."
Pelukan hangat menyelimuti Devi malam itu. Di tengah kelelahan dan luka-luka lama yang mulai sembuh, dia merasa satu hal yang paling penting dari semuanya: ia mulai mencintai dirinya sendiri.
Devi tengah melipat mukena seusai salat Subuh.
"Mami, Devi mau olahraga, jadi—"
"Ya pergilah. Mami juga nggak ada yang perlu dibantu," jawab Mami sambil terus melayani pembeli.
Mendengar itu, Devi langsung masuk ke kamar untuk berganti dari piyama ke pakaian olahraga. Beberapa menit kemudian, ia melangkah keluar rumah.
"Eh, Neng Devi mau olahraga?" tanya salah satu tetangga yang sedang membeli nasi kuning Mami.
Devi mengangguk pelan. "Iya."
"Bagus deh, demi penampilan."
Devi melirik ke arah Mami. Sebenarnya, Mami bisa saja menepis komentar-komentar seperti itu, tapi Bapak pernah bilang: biarkan orang berkata sesukanya, biar Allah yang membalas.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut para pembeli serempak.
Devi pun mulai berlari kecil meninggalkan rumah.
Dari kejauhan, Jaka memperhatikannya. Ia pun mendekat.
"Selamat pagi, Nona Gemes," sapanya riang.
"Bisakah kau nggak panggil aku begitu?" protes Devi.
"Kenapa? Itu cocok kok buat kamu."
"Aku nggak suka."
"Baiklah. Jadi harusnya aku panggil apa?"
"Panggil aku Devi. Udah itu aja."
"Tapi aku lebih suka 'Nona Gemes'."
"Jaka!!" seru Devi kesal sambil mencoba memukul Jaka.
Jaka dengan cepat menghindar sambil tertawa. Namun tiba-tiba Devi kehilangan keseimbangan dan tersandung kakinya sendiri. Dengan sigap, Jaka menangkap tubuh Devi yang cukup berat—sekitar 70 kilogram. Tapi karena tidak kuat menahan beban, mereka berdua jatuh—Devi menimpa tubuh Jaka.
Devi langsung berdiri dan berlari menjauh, wajahnya merah padam karena malu.
"Kenapa dia?" gumam Jaka bingung.
---
Devi mengurung diri di kamar, menangis tersedu. Mami yang melihatnya jadi khawatir.
"Bapak sih, selalu bilang jangan membalas ocehan orang. Jadinya Devi yang sedih dan terpukul," gerutu Mami, menyalahkan nasihat suaminya.
"Biar Bapak yang bicara," ucap Bapak kemudian mengetuk pintu kamar Devi.
Tok! Tok! Tok!
"Devi, buka pintunya, Nak," panggil Bapak.
Devi hanya menenggelamkan wajah bulatnya ke bantal. Tapi napasnya sesak, membuat ia harus bangkit sebentar. Tiba-tiba ponselnya berbunyi—pesan dari Ajeng.
"Devi, ada Ajeng nih."
Devi membuka pintu kamar sedikit.
"Hai," sapa Ajeng sambil tersenyum.
---
Ajeng berhasil membujuk Devi keluar untuk menyelesaikan lari pagi yang sempat tertunda.
"Wah, angin pagi Minggu memang luar biasa, ya," ucap Ajeng, mencoba mencairkan suasana.
Namun Devi terus menoleh kanan-kiri, waspada seperti sedang menghindari seseorang.
"Kenapa sih, kayak lagi dikejar rentenir aja?"
"Gue takut dia ada."
"Dia siapa?"
"Hiiih!" Devi terkejut. Jaka terlihat sedang bermain dengan anak-anak kompleks. Seperti biasa, entah kenapa Jaka selalu menyadari kehadiran Devi.
Jaka menoleh, tersenyum, dan melambaikan tangan. "Hai, Devi!"
"Ayo Ajeng, kita pergi dari sini!" seru Devi panik.
"Hah? Emang kenapa?" tanya Ajeng.
"Hai, Nona Gemes," sapa Jaka yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka.
Devi buru-buru membuang pandangan, tak mau menatap Jaka.
"Hai, aku Ajeng," kata Ajeng sambil mengulurkan tangan.
"Jaka," jawab Jaka singkat tanpa membalas jabatan tangan Ajeng. Ajeng mendesah pelan, kecewa.
Devi langsung lari menjauh, meninggalkan mereka berdua.
"Eh, Devi! Tunggu!!" panggil Ajeng.
Jaka hanya bisa memandangi punggung Devi yang menjauh.
"Abang! Giliranmu!" teriak anak-anak memanggil Jaka kembali bermain.
---
"Devi!!" teriak Ajeng.
Teriakan itu menarik perhatian warga sekitar.
"Devi, ada apa, Nak?" tanya Mami panik saat melihat putrinya berlari pulang sambil menangis.
Ajeng menyusul masuk ke rumah. "Itu... gara-gara cowok."
"Cowok? Siapa?" tanya Mami.
"Anu... saya juga nggak tahu, Tante."
Ajeng sempat keluar sebentar untuk membereskan dagangan yang seharusnya dirapikan Mami, lalu kembali masuk.
"Devi, cerita dong. Jangan bikin Mami bingung."
Tak lama kemudian, Bapak pulang dari belanja. Suara barang belanjaannya terjatuh membuat semua kaget.
"Ada apa ini? Kok pada ngumpul?"
Ajeng cepat berdiri dan mencium tangan Bapak. "Saya temannya Devi, Pak."
"Ada apa sebenarnya?" tanya Bapak.
Ajeng menjawab cepat, "Tadi lari pagi, Devi tiba-tiba ngambek."
Mami menyela, "Eh, jangan-jangan ini gara-gara Jaka..."
"Jaka?" kata Mami dan Bapak serempak.
Devi menangis makin keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Tuh, bener!" ujar Ajeng sambil menunjuk Devi.
Akhirnya Devi mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita. Setelah mendengar penjelasan Devi, Bapak langsung keluar rumah.
"Bapak mau ke mana?" tanya Mami.
"Mencari anak itu. Jaka, ya namanya?"
Devi panik dan segera mengejar Bapak, diikuti oleh Mami dan Ajeng.
---
Jaka saat itu sedang membantu seorang ibu mendorong gerobak dagangannya.
"Abang!" panggil seorang remaja laki-laki.
"Eh, Joko, ada apa?"
"Ada yang nyari Abang. Bapak-bapak sama tiga cewek. Satunya kayaknya istri si Bapak, dua lainnya yang tadi Abang sapa."
Jaka langsung tahu siapa yang dimaksud. Ia pun menepikan gerobak.
"Bu, saya sampai sini aja ya. Ada urusan pribadi."
"Terima kasih, Nak."
"Sama-sama, Bu."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Jaka.
"Di warung Mbak Tuti."
---
Sementara itu, Devi sengaja memilih jalan berbeda, berharap bisa mencegat Jaka sebelum ia bertemu dengan Bapak.
"Jaka!" panggilnya saat melihat sosok pria itu dari kejauhan.
Jaka tersenyum. "Eh, Nona Gemes!"
"Plis... jangan lewat sini ya. Aku mohon."
"Kenapa?" Jaka mengernyit.
Remaja laki-laki di sebelah Jaka bertanya, "Jadi, Bapak berjenggot itu ayah Kakak, ya?"
"Iya... aku cerita soal kejadian kemarin. Yang aku jatuh itu..."
"Terus Bapak Kakak nggak terima Bang Jaka nyentuh Kakak?"
"Iya..." jawab Devi serba salah.
"Ihh... nih adek kamu ya?!" seru Devi sebal.
Jaka hanya tertawa geli melihat ekspresi Devi yang kesal. Menurutnya, itu justru yang membuat Devi... menggemaskan.
Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah belakang.
"Jadi kau yang namanya Jaka!!"
Devi menunduk. Ia tahu, itu suara Bapaknya, suara yang sedang marah.
"Jadi kau yang namanya Jaka!!" teriak seorang pria.
Devi menunduk takut karena ia tahu itu suara Bapaknya yang sedang marah. Langkah kaki Bapak terdengar mendekat dengan cepat, membuat jantung Devi berdegup kencang.
"Pak, jangan salah paham dulu—"
"Diam kamu!" bentak Bapak, menatap tajam ke arah Jaka. "Kau pikir pantas mempermainkan anak saya seperti itu? Sampai dia pulang menangis dan mengurung diri!?"
Jaka yang biasanya santai, kini menelan ludah gugup. Ia belum pernah dimarahi orang tua orang lain sebelumnya, apalagi di depan umum.
"Bapak, bukan begitu... saya sama sekali nggak bermaksud nyakitin Devi," ucap Jaka, menunduk sopan. "Saya cuma... nggak sengaja kepleset bareng dia waktu lari pagi. Sumpah, nggak lebih."
"Bapak, tolong... jangan marah di sini, malu..." bisik Devi pelan, menarik lengan Bapaknya. Tapi pria itu tetap berdiri tegak, wajahnya kaku penuh emosi.
"Wajah kamu itu," ujar Bapak sambil menunjuk Jaka, "membuat anak saya merasa diejek! Jangan pikir saya nggak tahu kamu suka panggil dia 'Nona gemes'. Kamu kira itu lucu?"
Jaka menggaruk belakang kepalanya. "Saya memang panggil Devi begitu, tapi bukan buat ngeledek. Saya... saya suka Devi."
Semua terdiam.
Bahkan Devi pun mendongak, menatap Jaka dengan mata membulat.
"Apa kamu bilang?" tanya Bapak, suaranya sedikit melemah karena terkejut.
"Aku suka Devi, Pak," ulang Jaka, kali ini lebih lantang. "Memang awalnya aku godain dia cuma iseng, tapi sekarang aku beneran suka. Aku nggak niat nyakitin dia, sumpah."
Ajeng yang baru sampai bersama Mami tertegun mendengar pengakuan itu. Mami hanya bisa menatap wajah putrinya yang kini mulai memerah.
"Devi..." gumam Jaka.
Namun Devi tidak menjawab. Ia hanya menunduk sambil menggenggam erat ujung baju olahraganya, bibirnya bergetar.
"Kalau kau memang serius," ujar Bapak pelan, "buktikan. Jangan cuma lewat kata-kata."
Jaka mengangguk mantap. "Saya akan buktikan, Pak."
Devi mengangkat kepalanya pelan, menatap Jaka dengan pandangan yang campur aduk—antara malu, bingung, dan entah bagaimana... sedikit berbunga.
Ajeng tersenyum kecil dan berbisik, "Duh, drama pagi hari gini bisa-bisa viral di TikTok kalau direkam."
Mami memelototi Ajeng, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang menyelinap di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!