Tiga Hari Tiga Malaikat
Aku memilih tidur di pesawat dari Jakarta menuju Bandara Internasional Minangkabau. Biasanya tak demikian memang. Biasanya saat perjalanan udara dengan maskapai milik perusahaan negara ini, aku lebih memilih menikmati layar di depan tempat duduk ku, memilih salah satu judul film yang tersedia, lalu autis sampai ke tujuan.
Kali ini berbeda nampaknya. Boleh jadi karena aku ingin cepat sampai. Biarlah tertidur. Kalau bisa saat terjaga aku sudah ada di bandara tujuan. Aku hanya memasang headset untuk mendengar lagu pilihan, agar ada teman penikmat tidur. Tapi tidak dari layar kaca di depanku, langsung dari playlist ponsel. Lirik terakhir yang kuingat sebelum mimpi menyambangi adalah kepunyaan Green Day, salah satu grub band favoritku.
"You're better lost than to be seen."
Benar saja. Aku tersentak pas beberapa detik roda pesawat akan mencium dataran bandara Internasional Minangkabau. Lantunan Mp3 kuhentikan. Headset kulepas dari telinga. Inilah tanah yang sudah sepuluh tahun terakhir tak kuinjak lagi. Tak sedikit kawan-kawan SMA ku menjuluki dengan sebutan si anak hilang. Pergi merantau berkuliah, hanya dua kali pulang ke kampung saat masih di kampus, lalu menghilang.
Sejatinya tak benar-benar hilang. Setelah selesai kuliah, satu dua kawan dari kampung datang ke Jakarta atau Bandung, sesempat-sempatnya aku temui juga. Kadang bertemu di warung kopi, cafe, atau langsung kuminta datang ke kantor. Tergantung situasi.
Julukanku hanya si anak hilang, tak pakai embel-embel "sombong," atau alergi bertemu kawan-kawan. Lalu terkadang sesekali tersandung pepatah lama juga, pepatah yang membuatku dianggap macam-macam dan aneh-aneh. Ada pepatah lama di Minangkabau, jika belum sukses, rantau diperjauh saja alias tak pulang-pulang.
Tapi untunglah, aku tak memperjauh rantau. Dikatakan belum sukses tentu relatif jawabannya. Jika patokannya punya rumah besar mewah dan mobil mentereng, tentu aku belum mampu. Boleh jadi dalam parameter itu aku memang belum sukses. Ya, bagiku terserah saja. Setidaknya aku tak merugikan orang, tak menipu, apalagi mengorupsi uang negara. Mana pula aku bisa toh.
Pendaratan pesawat berlangsung mulus. Burung besi ini merapat dengan sempurna di bandara kebanggaan Sumatera Barat ini. Aku tak perlu repot-repot harus ke bagasi. Yang kubawa hanya satu tas punggung berisi beberapa baju buat beberapa hari saja. Hanya itu. Sisanya adalah isi dompet. Tak ada oleh-oleh, tak ada cendramata dari perantauan. Entahlah. Mungkin saja terkesan kurang ajar. Tapi biarlah. Aku sangat yakin, kepulanganku sudah cukup menjadi oleh-oleh tak terperi untuk kedua orang tuaku.
"Semoga saja," gumamku dalam hati.
Setelah ikut antri saat turun pesawat, aku menyusuri ruang bandara yang mengarah ke pintu keluar, mencari-cari petunjuk exit. Menuruni tangga, berbelok ke kiri. Sebelumnya, ada lukisan besar di sebelah kanan yang mempromosikan pariwisata Sumatera Barat. Konon dari cerita kawan-kawan, provinsi ini saat ini memang sedang gencar- gencarnya mempromosikan daerahnya untuk sektor pariwisata. Bahkan ada satu mantan menteri yang rela memperjuangkan sebuah kawasan untuk dijadikan destinasi andalan Sumbar.
Kawasan itu bernama Mandeh. Sudah pasti aku belum pernah ke sana. Secara sudah sepuluh tahun kaki ini tak menginjak tanah Ranah Minang. Sementara kawasan tersebut baru beberapa tahun belakangan digadang-gadang sebagai destinasi baru yang menjanjikan. Menurut beberapa cerita, kawasan tersebut diibaratkan Raja Ampat-nya Sumatera Barat.
Memang, dari beberapa ulasan yang kubaca, provinsi kami memiliki potensi pariwisata yang tak kalah dibanding daerah lain, termasuk kawasan baru yang satu itu. Semoga saja semakin berkembang, mendatangkan banyak pengunjung, menghasilkan banyak devisa, dan menyerap banyak tenaga kerja. Ya aku hanya bisa mendoakan. Toh aku ini siapa, tak mungkinlah ikut-ikut berdebat soal ini itu di daerah ini.
Setelah melewati pintu keluar bandara, seperti biasa aku mencari tempat untuk "ngopi" yang sekaligus bisa untuk merokok. Dari pintu keluar, belok ke arah kanan. Ada sebuah rumah makan Padang. Tertera jelas di bagian kaca depannya. Aku langsung saja mengarah ke sana, lalu menghampiri salah satu penjaganya.
"Uni, di sini ada smoking area-nya?"
"Ada da, di ruangan yang satu lagi, di sebelah sana," jawabnya, manis sekali sambil menunjuk satu pintu penghubung ke ruangan sisi kanan.
Aku langsung mengarah ke sana. Memesan segelas kopi hitam, sembari kutekankan kopi hitamnya bukan kopi sachet, tapi kopi asli Padang atau asli mana saja asal warnanya hitam. Kukeluarkan bungkusan rokok dari saku samping tasku, lalu merogoh kocek celana untuk mendapatkan korek api. Segera saja satu batang rokok parkir di antara dua bibirku. Asap mengepul, beterbangan di bawah langit-langit ruangan.
Segelas kopi hitam mampir ke mejaku. Diantar oleh penjaga rumah makan yang tadi kusapa. Namun sontak aku ingin memesan minuman satu lagi, minuman khas Ranah Minang. Dibilang tua yang aku ini masih pede lah mengatakan muda, tapi pakai acara lupa segala. Tapi ya sudah lah.
"Eh uni, teh talua ada ga?, " kataku
"Ado da."
"Saya juga pesan itu satu ya"
"Siap da"
Dia langsung melancong ke bagian pemesanan. Dan aku mulai meniup permukaan gelas kopi, setelah merasakan sisinya yang cukup panas. Lalu seteguk demi seteguk isi gelas kopi berpindah ke lambung. Sendawa pun tak terelakan. Saat satu puntung rokok kusedekahkan ke asbak, teh talua pesananku datang.
"Silakan da, teh taluanyo."
"Ok. Terima Kasih, Uni."
Teh talua alias teh telor adalah minuman khas Minangkabau. Keberadaannya sudah ada di mana-mana, setali tiga uang dengan keberadaan rumah Makan Padang. Tapi sejujurnya aku tak paham bagaimana proses pembuatannya. Pernah sekali dua melihat di kedai-kedai tongkrongan orang Padang, tapi selintas saja. Telur ayam kampung mentah atau telur itik dimasukan ke dalam sedikit air teh, lalu dikocok pakai sendok sampai menyatu dengan teh. Rasanya sangat khas, sedikit kental dengan aroma teh yang bercampur telur. Di atas permukaan teh talua terdapat busa berwarna putih kecoklatan. Seringkali busa itulah yang menempel di bibir bagian atas setelah tegukan pertama.
Sembari menikmati teh talua dan cumbuan asap rokok, aku memikirkan bagaimana cara pulang ke rumah dari bandara. Jarak dari sini ke kampungku sekira dua setengah jam perjalanan darat. Dulu, kami hanya menggunakan bus tiga perempat untuk pergi ke Padang Kota. Itu dulu, sebelum bangsa api menyerang. Tapi saat ini sudah banyak travel, berupa mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum.
Konon beberapa kali sempat terjadi ketegangan antara travel dan transportasi umum biasa. Begitu berita yang ku baca di portal-portal berita daerah sini beberapa waktu lalu. Banyak yang mempertanyakan bagaimana aturan mainnya, bagaimana kontribusi pajaknya, bagaimana status kendaraannya, dan lain-lain.
Tapi seiring berjalannya waktu, situasi akan adem kembali. Travel tetap beroperasi seperti semula, begitu pula dengan bus-bus lainya.
Badanku terasa lumayan cape, jadi tak mungkin lagi untuk keluar dari area bandara untuk menunggu bus di tepi jalan raya Padang Pariaman. Belum lagi di atas bus yang situasinya biasanya sumpek, justru akan semakin membuat badanku tambah capek.
Ku ambil ponsel lamaku, ponsel yang jarang kupakai sekaligus kujadikan ponsel kedua. Langsung masuk ke bagian daftar telefon untuk mencari nomor travel yang bisa kuhubungi. Sekira tiga tahun lalu, saat papa mama datang ke Jakarta, Mereka memberikan sebuah nomor telepon salah satu travel kepadaku, dengan embel- embel penutup omongan "kalau-kalau kamu kepikiran untuk pulang, itu nomor travel yang bisa kamu hubungi."
Kala itu aku tak terlalu menghiraukan embel-embel tersebut. Tapi saat kupikir lagi sekarang, rasanya kok itu sebagai sebuah pertanda bahwa papa dan mama secara halus memintaku untuk sering-sering pulang, atau minimal sesekali pulang kampung. Tapi ya sudahlah, sekarang aku sudah ada di bandara Internasional Minangkabau. Hanya beberapa jam lagi aku sudah bisa bertemu mama papa.
Nah, ini dia. Sebuah nomor dengan nama Haji Gindo Travel. Langsung saja kupencet tombol call. Tak lama kemudian suara seorang perempuan menjawab.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Maaf, apa benar ini dengan Haji Gindo Travel?"
"Iyo, betul"
"Bisa jemput saya engga, bu?"
"Uda posisi dimana? "
"Bandara, bu"
"Kalau uda mau menunggu sejam lagi, ada satu dari Padang."
"Oke uni, saya tunggu."
"Namo uda siapa?"
"Rudy."
"Oke, Da. Nanti sejam lagi ada yang akan jemput uda di bandara"
"Siap, Uni. Tarimokasih."
"Samo-samo."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Panggilan ponsel kuhentikan dan ponselnya kuparkir di atas meja. Rokok kembali kucumbui. Dan mendadak saja otak tersentak, ternyata aku belum menunaikan ibadah shalat Ashar. Aku langsung memanggil perempuan yang mengantarkan kopi tadi.
"Uni, Maaf. Di sini musholanya sebelah mana ya?"
"Ooo Mushola dari sini uda ambil kanan, lalu lurus saja sampai ujung. Nanti pas mentok ambil belok kiri. Di posisi paling ujung setelah toilet ada Mushola."
"Oke, tarimokasih Uni. Saya titip tas dulu boleh ya. Saya mau Ashar dulu."
"Silahkan uda."
Langsung saja puntung rokok kembali parkir di dalam asbak. Aku berdiri, lalu berjalan keluar rumah makan menuju Mushola bandara. Tak sampai lima menit, aku sudah di Mushola. Sepatu kulepas dan langsung menuju lokasi berwudhu di dekat Mushola. Tak bisa kupungkiri, suhu di sini jauh lebih panas ketimbang di Pulau Jawa. Sehingga bertemu curahan air untuk berwudhu serasa bertemu surga. Segarnya tak ketulungan. Selesai berwudhu, aku langsung menuju ruangan dalam Mushola. Lima menit menghadap penguasa dunia akhirat. Allahuakbar. Begitulah kami selalu memulai ritual teologis kami.
Sejujurnya baru beberapa waktu belakangan aku mulai agak religius. Sejak meninggalkan kampung, sholatku compang-camping. Bahkan tak jarang dalam rentang waktu lama aku tak menunaikan ibadah. Padahal sejak sekolah dasar sampai menamatkan sekolah menengah atas di sini, aku sangat religius. Ibadah lima kali sehari, sholat sunat, sholat malam, dan lain-lain.
Tapi terkadang tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan rasa sayang-Nya kepada kita. Ada saja jalan yang membuat kita kembali kepada-Nya. Dan aku sangat bersyukur, setahun belakangan aku seperti menemukan diriku yang dulu lagi. Di perantauan, tentu tak ada yang peduli. Tapi aku bangga. Ya, sangat bangga untuk memendam iman di dalam dada terdalamku, Menyimpan dan melukiskan lafas nama-Nya di dinding-dinding sanubariku.
Tentu ada saja godaan, gejolak intelektual, dan sejenisnya, yang datang mengganggu. Atau katakan saja tepatnya menguji. Tapi ya memang begitulah hidup. Hanya soal pilihan tentang keyakinan toh. Yang merasa yakin, silahkan berjalan bersamanya. Yang tidak pun demikian.
Sekalipun sila pertama dalam dasar negara kita mensyaratkan untuk berketuhanan, nyatanya perkara Tuhan bagaimanapun tak bisa dipaksakan. Dalam kartu identitas boleh tertulis agama apa saja, tapi dalam hati dan keyakinan hanya yang bersangkutan yang paham. Tak benar-benar ada pasal yang akan menjeratnya dan tak pula ada mekanisme pembuktian untuk mengetahui kepastian apakah seseorang benar-benar meyakini satu tuhan atau tidak.
Di Ranah Minang, kami terlahir dengan pilihan keyakinan yang tak beropsi. Adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Jadi sudah menjadi ketentuan adat bahwa kami terlahir sebagai seorang Muslim. Dalam keyakinan kami, semua manusia terlahir sebagai muslim. Dalam kitab kami dinyatakan bahwa semua roh manusia telah menyatakan kesetiaan keyakinannya kepada Tuhan, kecuali sebagian besar syaitan.
Tapi kembali lagi kepada konteks religiositas tadi, hal tersebut adalah keyakinan kami sebagai muslim di Ranah Minang. Tentu pemeluk keyakaninan yang berbeda dengan kami punya versi mereka pula. Tak perlu dijadikan bahan pertengkaran toh. Lagi-lagi ini adalah masalah keyakinan, adanya di bagian terdalam di sanubari kita. Di negara ini, kita sudah bersepakat untuk menghargai berbagai perbedaan, termasuk soal perbedaan keyakinan. Jadi perkara begituan memang semestinya dianggap selesai.
Sekira 10 menit kuhabiskan di mushola. Lantas kembali ke rumah makan tadi. Bertemu lagi dengan gelas kopiku yang sudah nyaris kosong. Namun teh talua masih tersisa sekira setengah gelas. Rokok ku ajak berkencan lagi, setelah gelas teh talua menggodaku untuk berciuman. Tak banyak yang bisa kulakukan sembari menunggu panggilan travel. Buka-buka ponsel, mengintip beranda sosial media, klik link-link berita yang menarik, atau membolak balik koran lokal yang sedari awal sudah parkir di mejaku. Tentu saja ditemani oleh teh talua, kopi hitam, dan kebulan asap rokok, serta teh talua untuk gelas kedua pastinya.
Pertanda satu jam sudah aku menunggu setelah sholat ashar adalah deringan ponsel dari nomor tak dikenal.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Dengan Uda Rudy."
"Betul, Saya sendiri."
"Awak dari travel, da. Uda menunggu di sebelah mana?"
"Saya di rumah makan di sekitar lobby kedatangan. Uda sudah di mana."
"Awak baru masuk bandara. Uda sebaiknya sudah berdiri di pick up area yo, biar awak bisa langsung jalan."
"Siap. Sekarang saya menuju pick up area."
Aku menutup panggilan. Lalu memanggil penjaga rumah makan untuk menanyakan jumlah total belanja.
"Rp.126 ribu," jawabnya dengan sopan.
"Ok."
Aku mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu, memberikan kepada beliau sembari mengikutinya berjalan menuju kasir untuk mengambil kembalian. Tak menunggu sampai lama, aku sudah berada di sisi bagian dalam pick up area. Ponselku berdering lagi, panggilan dari nomor yang sama.
"Hallo. Uda di sebelah Mana. Awak sudah di pick up area."
"Saya juga di pick up area. Uda pakai Mobil apa?"
Setelah menyebutkan merek dan nomor polisi mobilnya, si supir travel menutup panggilan. Aku langsung melihat sebuah mobil pribadi dengan pelat nomor berwarna hitam di sebelah kananku. Mobil tersebut menuju ke tempatku menunggu. Inilah Mobil yang akan mengantarkanku ke kampung halaman tercinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments