Pagi belum kelar benar. Cahaya matahari masih terlihat malu-malu, membuat langit menjadi agak kekuningan. Ditambah awan sisa hujan deras kemaren sore yang masih menggelantung di angkasa. Akibatnya, entah kenapa, sepagi ini, hatiku jadi terbawa sendu.
Kopi yang disiapkan mama sudah menunggu di meja. Aromanya sampai ke hati. Swear. Ya, itu lah kopi buatan mama, si penguasa gelas kopi papa.
"Rudi, kenapa kopinya belum dijamah juga? " tanya mama penasaran.
Aku terkaget, tersentak dari pandangan yang melena ke jendela kamar .
"Iya, Ma, tunggu agak dingin dulu, biar ga perlu tiap-tiup," jawabku pendek, sekenanya
"Hoalah, kopi ya enaknya panas, Rud. Kamu ini sekembali dari kota banyak ngaurnya. Kopi itu ya enaknya saat panas. Tiap-tiup itu seninya. Kalau terlalu panas, ya dituang dulu ke piring kecil. Kalau nunggu agak dingin, ya sekalian minta pakai es saja dari tadi"
"Hehe," balasku pelan, pura-pura terlihat terhibur
Di kampungku, mungkin tak berbeda dengan kampung-kampung lainya, mendinginkan kopi yang baru saja disajikan adalah dengan cara menuangkan sebagian ke dalam piring kecil, yang sebelumnya dijadikan tatakan gelas kopi. Dan kebiasaan lelaki dewasa di sini adalah minum kopi di kadai alias warung kopi kampung. Tapi tak di kadai atau di rumah, cara meminum kopinya sama. Kopi panas dituang ke dalam piring kecil, ditiup beberapa kali, baru diseruput.
"Buruan diminum. Malah rokok yang disentuh duluan, pakai acara ngelamun pula. Kamu ini ya kenapa? Ada yang salah dengan kami yang orang kampung ini? " seringai mama yang terus saja menggodaku.
"Salah bagaimana sih, Ma. Mama ini ada-ada aja," sembari wajahku kembali memberi senyum kepada mama, orang yang tiada duanya selama ini.
"Ya sudah. Itu kopi sudah menunggumu dari tadi"
Tanpa basa-basi, mama langsung melangkah ke dapur. Akupun langsung merangsek ke kursi tamu di mana kopi sudah menyerah pasrah di atas meja. Tangan menyambar cangkir, kurabakan ke bibir, panasnya masih di atas rata-rata. Untuk itu, aku harus menggunakan rumus ngopi ala kampung. Piring kecil di bawah gelas kupisahkan, kopi dari dalam gelas kutuangkan ke dalamnya, lalu mulai tiap-tiup, dan seruput seteguk kecil demi seteguk kecil. Ternyata rumus mama ada benarnya. Begitulah seni minum kopi di sini. Dan dengan cara itu pula nikmatnya mampu menyosor sampai ke dalam sukma.
Dari kamar depan, Papa muncul dan melongok ke arahku. Papa terlihat masih perkasa, sekalipun sudah pensiun dengan angka mutahir 65 tahun saat ini. Kain sarung memeluk pinggangnya dengan erat. Memakai kaos oblong yang kubelikan sekira setahun lalu. Di tangannya erat tergenggam sebungkus rokok mild.
"Gimana, Rud. Baru sehari di kampung, masih betah kan di rumah".
Nampaknya Papa tak pakai peringatan, langsung memberondong pertanyaan seberat itu sepagi ini.
"Betah dong, Pa. Adem. Sejuk sampai ke hati".
"Ya Alhamdulillah, Nak, jika begitu. Lantas mengapa kamu terlihat seperti orang murung, kehilangan arah, wajah kosong? Ada masalah"
"Ga ko, Pa. Aku cuma teringat masa-masa kecil dan remaja di sini dulu saat Papa dan Mama berjibaku mengajariku matematika, mewejangiku pituah-pituah adat dari para tetua, dan menitipkan banyak nilai-nilai luhur kehidupan"
Papa terlihat diam sembari mengambil posisi bangku tamu yang langsung berhadapan dengan wajahku. Lalu mulai bicara.
"Kamu masih mengingatnya? "
“Masih lah Pa. Masih sangat jelas"
"Alhamdulillah. Biarkan tetap seperti itu"
Aku tersenyum saja mendengar jawaban Papa. Dan mulai meniup lagi kopi di dalam piring kecil yang masih di tersisa.
"Kamu tau, Nak," Papa memulai kembali pembicaraan
"Kamu tau, sejak kamu bersekolah ke tanah Jawa, sejak kau tinggalkan pakaian SMA mu di rumah sebagai kenang-kenangan jika kami rindu, kampung ini ya masih seperti itu saja sampai kini"
Aku masih terdiam dan berharap Papa menambah penjelasannya agar aku paham kemana arah pembicaraannya. Tapi ternyata hanya itu saja.
"Ma, kopi Papa mana? " teriak Papa ke arah dapur. Dan sautan lembut mama tak berjeda lama sebagai jawabnya.
Aku masih diam. Masih dalam kapasitas menunggu. Siapa tau Papa memang memotong penjelasannya karena teringat kopi. Tapi ternyata tak jua bersambung setelah Papa meminta kopi kepada mama di dapur.
Tanpa menunggu, ku perjelas isi kepalaku, sebelum pikiran bingung semakin menggumpal di kepala.
"Jadi maksudnya gimana ya, Pa?"
"Indak ada maksud. Papa cuma ingin menegaskan. Kampung ini, ya masih seperti dulu, nyaris tak berbeda dengan waktu kamu masih di sini dulu. Itu saja"
"Oh"
Sembari masih bingung, tapi aku tak punya daya untuk memperpanjang pertanyaan. Memang harus kuakui, semua nyatanya tak terlalu berbeda dibanding dulu saat aku meninggalkan kampung ini. Memang agak susah juga diproyeksikan peta jalannya.
Hampir semua anak muda yang tumbuh, setamat sekolah menengah atas, pergi merantau menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Baik mengikut sonak saudara yang sudah terlebih dahulu berada di rantau, atau terpengaruh kawan, tetangga, saudaranya kawan, saudaranya tetangga, dan lain-lain. Padahal jika berkaca pada sejarah-sejarah perubahan dan kemajuan, peran anak muda sangat krusial sifatnya.
Di Jakarta, misalnya, saat ini sedang rajin dibicarakan tentang peran industri berbasis digital. Ada platform pemesanan barang, alat transportasi, tiket, pinjaman, dan lainya, yang semuanya diinisiasi dan digawangi anak muda. Pun perubahan arah politik nasional di tahun 1997-1998 lalu. Pelaku lapangan yang dikenang adalah anak muda, para mahasiswa, aktifis, dan sejenisnya, yang di hari ini sebagian di antara mereka sudah jadi koruptor atau tersangka korupsi. Termasuk korban jiwanya pun berasal dari para anak muda. Nah, di sini, di kampungku ini, pun rerata di daerah lain se-Sumateta Barat, dijangkiti masalah yang sama, yakni pengeringan sumber daya manusia muda.
Yang sudah terlanjur merantau, harapan untuk kembali pulang dan menetap di kampung semakin tipis. Yang merantau untuk berdagang, mau tak mau, penghidupanya ada di perantauan. Tak mungkin berpindah ke kampung, siapa yang akan membelinya. Pun yang pergi merantau untuk alasan pendidikan, hal yang mirip juga terjadi. Ada satu dua yang pulang, berusaha menemukan lapangan pekerjaan atau peluang usaha di kampung. Dan sejauh pantauanku, rerata perantau kategori ini akhirnya masuk dan bekerja di pemerintah daerah, minimal mereka bercita-cita demikian. Jadi guru, menjadi bagian dari dinas ini dan itu, atau menjadi bagian di sekretariat kepala daerah, dan sejenisnya.
Satu dua di antaranya memilih berbisnis. Ada yang jadi kontraktor daerah, ada yang membuka usaha ini dan itu, ada pula yang meneruskan usaha orang tua mengelola toko dan sejenisnya. Salah satunya adalah kawan karib ku. Namanya Romi. Kami bersama sejak SMP sampai SMA, tapi mulai jadi kawan karib sejak SMA. Beliau mengembangkan dan melebarkan usaha orang tuanya, kemudian memberanikan diri menjadi kontraktor di daerah. Untuk ukuran daerah kami, Romi sudah terbilang sukses di jalur itu. Sayang, umurnya tak panjang, beliau meninggalkan kami beberapa tahun lalu. Ya begitulah. Intinya, tak banyak yang kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments