Aku memilih tidur di pesawat dari Jakarta menuju Bandara Internasional Minangkabau. Biasanya tak demikian memang. Biasanya saat perjalanan udara dengan maskapai milik perusahaan negara ini, aku lebih memilih menikmati layar di depan tempat duduk ku, memilih salah satu judul film yang tersedia, lalu autis sampai ke tujuan.
Kali ini berbeda nampaknya. Boleh jadi karena aku ingin cepat sampai. Biarlah tertidur. Kalau bisa saat terjaga aku sudah ada di bandara tujuan. Aku hanya memasang headset untuk mendengar lagu pilihan, agar ada teman penikmat tidur. Tapi tidak dari layar kaca di depanku, langsung dari playlist ponsel. Lirik terakhir yang kuingat sebelum mimpi menyambangi adalah kepunyaan Green Day, salah satu grub band favoritku.
"You're better lost than to be seen."
Benar saja. Aku tersentak pas beberapa detik roda pesawat akan mencium dataran bandara Internasional Minangkabau. Lantunan Mp3 kuhentikan. Headset kulepas dari telinga. Inilah tanah yang sudah sepuluh tahun terakhir tak kuinjak lagi. Tak sedikit kawan-kawan SMA ku menjuluki dengan sebutan si anak hilang. Pergi merantau berkuliah, hanya dua kali pulang ke kampung saat masih di kampus, lalu menghilang.
Sejatinya tak benar-benar hilang. Setelah selesai kuliah, satu dua kawan dari kampung datang ke Jakarta atau Bandung, sesempat-sempatnya aku temui juga. Kadang bertemu di warung kopi, cafe, atau langsung kuminta datang ke kantor. Tergantung situasi.
Julukanku hanya si anak hilang, tak pakai embel-embel "sombong," atau alergi bertemu kawan-kawan. Lalu terkadang sesekali tersandung pepatah lama juga, pepatah yang membuatku dianggap macam-macam dan aneh-aneh. Ada pepatah lama di Minangkabau, jika belum sukses, rantau diperjauh saja alias tak pulang-pulang.
Tapi untunglah, aku tak memperjauh rantau. Dikatakan belum sukses tentu relatif jawabannya. Jika patokannya punya rumah besar mewah dan mobil mentereng, tentu aku belum mampu. Boleh jadi dalam parameter itu aku memang belum sukses. Ya, bagiku terserah saja. Setidaknya aku tak merugikan orang, tak menipu, apalagi mengorupsi uang negara. Mana pula aku bisa toh.
Pendaratan pesawat berlangsung mulus. Burung besi ini merapat dengan sempurna di bandara kebanggaan Sumatera Barat ini. Aku tak perlu repot-repot harus ke bagasi. Yang kubawa hanya satu tas punggung berisi beberapa baju buat beberapa hari saja. Hanya itu. Sisanya adalah isi dompet. Tak ada oleh-oleh, tak ada cendramata dari perantauan. Entahlah. Mungkin saja terkesan kurang ajar. Tapi biarlah. Aku sangat yakin, kepulanganku sudah cukup menjadi oleh-oleh tak terperi untuk kedua orang tuaku.
"Semoga saja," gumamku dalam hati.
Setelah ikut antri saat turun pesawat, aku menyusuri ruang bandara yang mengarah ke pintu keluar, mencari-cari petunjuk exit. Menuruni tangga, berbelok ke kiri. Sebelumnya, ada lukisan besar di sebelah kanan yang mempromosikan pariwisata Sumatera Barat. Konon dari cerita kawan-kawan, provinsi ini saat ini memang sedang gencar- gencarnya mempromosikan daerahnya untuk sektor pariwisata. Bahkan ada satu mantan menteri yang rela memperjuangkan sebuah kawasan untuk dijadikan destinasi andalan Sumbar.
Kawasan itu bernama Mandeh. Sudah pasti aku belum pernah ke sana. Secara sudah sepuluh tahun kaki ini tak menginjak tanah Ranah Minang. Sementara kawasan tersebut baru beberapa tahun belakangan digadang-gadang sebagai destinasi baru yang menjanjikan. Menurut beberapa cerita, kawasan tersebut diibaratkan Raja Ampat-nya Sumatera Barat.
Memang, dari beberapa ulasan yang kubaca, provinsi kami memiliki potensi pariwisata yang tak kalah dibanding daerah lain, termasuk kawasan baru yang satu itu. Semoga saja semakin berkembang, mendatangkan banyak pengunjung, menghasilkan banyak devisa, dan menyerap banyak tenaga kerja. Ya aku hanya bisa mendoakan. Toh aku ini siapa, tak mungkinlah ikut-ikut berdebat soal ini itu di daerah ini.
Setelah melewati pintu keluar bandara, seperti biasa aku mencari tempat untuk "ngopi" yang sekaligus bisa untuk merokok. Dari pintu keluar, belok ke arah kanan. Ada sebuah rumah makan Padang. Tertera jelas di bagian kaca depannya. Aku langsung saja mengarah ke sana, lalu menghampiri salah satu penjaganya.
"Uni, di sini ada smoking area-nya?"
"Ada da, di ruangan yang satu lagi, di sebelah sana," jawabnya, manis sekali sambil menunjuk satu pintu penghubung ke ruangan sisi kanan.
Aku langsung mengarah ke sana. Memesan segelas kopi hitam, sembari kutekankan kopi hitamnya bukan kopi sachet, tapi kopi asli Padang atau asli mana saja asal warnanya hitam. Kukeluarkan bungkusan rokok dari saku samping tasku, lalu merogoh kocek celana untuk mendapatkan korek api. Segera saja satu batang rokok parkir di antara dua bibirku. Asap mengepul, beterbangan di bawah langit-langit ruangan.
Segelas kopi hitam mampir ke mejaku. Diantar oleh penjaga rumah makan yang tadi kusapa. Namun sontak aku ingin memesan minuman satu lagi, minuman khas Ranah Minang. Dibilang tua yang aku ini masih pede lah mengatakan muda, tapi pakai acara lupa segala. Tapi ya sudah lah.
"Eh uni, teh talua ada ga?, " kataku
"Ado da."
"Saya juga pesan itu satu ya"
"Siap da"
Dia langsung melancong ke bagian pemesanan. Dan aku mulai meniup permukaan gelas kopi, setelah merasakan sisinya yang cukup panas. Lalu seteguk demi seteguk isi gelas kopi berpindah ke lambung. Sendawa pun tak terelakan. Saat satu puntung rokok kusedekahkan ke asbak, teh talua pesananku datang.
"Silakan da, teh taluanyo."
"Ok. Terima Kasih, Uni."
Teh talua alias teh telor adalah minuman khas Minangkabau. Keberadaannya sudah ada di mana-mana, setali tiga uang dengan keberadaan rumah Makan Padang. Tapi sejujurnya aku tak paham bagaimana proses pembuatannya. Pernah sekali dua melihat di kedai-kedai tongkrongan orang Padang, tapi selintas saja. Telur ayam kampung mentah atau telur itik dimasukan ke dalam sedikit air teh, lalu dikocok pakai sendok sampai menyatu dengan teh. Rasanya sangat khas, sedikit kental dengan aroma teh yang bercampur telur. Di atas permukaan teh talua terdapat busa berwarna putih kecoklatan. Seringkali busa itulah yang menempel di bibir bagian atas setelah tegukan pertama.
Sembari menikmati teh talua dan cumbuan asap rokok, aku memikirkan bagaimana cara pulang ke rumah dari bandara. Jarak dari sini ke kampungku sekira dua setengah jam perjalanan darat. Dulu, kami hanya menggunakan bus tiga perempat untuk pergi ke Padang Kota. Itu dulu, sebelum bangsa api menyerang. Tapi saat ini sudah banyak travel, berupa mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum.
Konon beberapa kali sempat terjadi ketegangan antara travel dan transportasi umum biasa. Begitu berita yang ku baca di portal-portal berita daerah sini beberapa waktu lalu. Banyak yang mempertanyakan bagaimana aturan mainnya, bagaimana kontribusi pajaknya, bagaimana status kendaraannya, dan lain-lain.
Tapi seiring berjalannya waktu, situasi akan adem kembali. Travel tetap beroperasi seperti semula, begitu pula dengan bus-bus lainya.
Badanku terasa lumayan cape, jadi tak mungkin lagi untuk keluar dari area bandara untuk menunggu bus di tepi jalan raya Padang Pariaman. Belum lagi di atas bus yang situasinya biasanya sumpek, justru akan semakin membuat badanku tambah capek.
Ku ambil ponsel lamaku, ponsel yang jarang kupakai sekaligus kujadikan ponsel kedua. Langsung masuk ke bagian daftar telefon untuk mencari nomor travel yang bisa kuhubungi. Sekira tiga tahun lalu, saat papa mama datang ke Jakarta, Mereka memberikan sebuah nomor telepon salah satu travel kepadaku, dengan embel- embel penutup omongan "kalau-kalau kamu kepikiran untuk pulang, itu nomor travel yang bisa kamu hubungi."
Kala itu aku tak terlalu menghiraukan embel-embel tersebut. Tapi saat kupikir lagi sekarang, rasanya kok itu sebagai sebuah pertanda bahwa papa dan mama secara halus memintaku untuk sering-sering pulang, atau minimal sesekali pulang kampung. Tapi ya sudahlah, sekarang aku sudah ada di bandara Internasional Minangkabau. Hanya beberapa jam lagi aku sudah bisa bertemu mama papa.
Nah, ini dia. Sebuah nomor dengan nama Haji Gindo Travel. Langsung saja kupencet tombol call. Tak lama kemudian suara seorang perempuan menjawab.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Maaf, apa benar ini dengan Haji Gindo Travel?"
"Iyo, betul"
"Bisa jemput saya engga, bu?"
"Uda posisi dimana? "
"Bandara, bu"
"Kalau uda mau menunggu sejam lagi, ada satu dari Padang."
"Oke uni, saya tunggu."
"Namo uda siapa?"
"Rudy."
"Oke, Da. Nanti sejam lagi ada yang akan jemput uda di bandara"
"Siap, Uni. Tarimokasih."
"Samo-samo."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Panggilan ponsel kuhentikan dan ponselnya kuparkir di atas meja. Rokok kembali kucumbui. Dan mendadak saja otak tersentak, ternyata aku belum menunaikan ibadah shalat Ashar. Aku langsung memanggil perempuan yang mengantarkan kopi tadi.
"Uni, Maaf. Di sini musholanya sebelah mana ya?"
"Ooo Mushola dari sini uda ambil kanan, lalu lurus saja sampai ujung. Nanti pas mentok ambil belok kiri. Di posisi paling ujung setelah toilet ada Mushola."
"Oke, tarimokasih Uni. Saya titip tas dulu boleh ya. Saya mau Ashar dulu."
"Silahkan uda."
Langsung saja puntung rokok kembali parkir di dalam asbak. Aku berdiri, lalu berjalan keluar rumah makan menuju Mushola bandara. Tak sampai lima menit, aku sudah di Mushola. Sepatu kulepas dan langsung menuju lokasi berwudhu di dekat Mushola. Tak bisa kupungkiri, suhu di sini jauh lebih panas ketimbang di Pulau Jawa. Sehingga bertemu curahan air untuk berwudhu serasa bertemu surga. Segarnya tak ketulungan. Selesai berwudhu, aku langsung menuju ruangan dalam Mushola. Lima menit menghadap penguasa dunia akhirat. Allahuakbar. Begitulah kami selalu memulai ritual teologis kami.
Sejujurnya baru beberapa waktu belakangan aku mulai agak religius. Sejak meninggalkan kampung, sholatku compang-camping. Bahkan tak jarang dalam rentang waktu lama aku tak menunaikan ibadah. Padahal sejak sekolah dasar sampai menamatkan sekolah menengah atas di sini, aku sangat religius. Ibadah lima kali sehari, sholat sunat, sholat malam, dan lain-lain.
Tapi terkadang tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan rasa sayang-Nya kepada kita. Ada saja jalan yang membuat kita kembali kepada-Nya. Dan aku sangat bersyukur, setahun belakangan aku seperti menemukan diriku yang dulu lagi. Di perantauan, tentu tak ada yang peduli. Tapi aku bangga. Ya, sangat bangga untuk memendam iman di dalam dada terdalamku, Menyimpan dan melukiskan lafas nama-Nya di dinding-dinding sanubariku.
Tentu ada saja godaan, gejolak intelektual, dan sejenisnya, yang datang mengganggu. Atau katakan saja tepatnya menguji. Tapi ya memang begitulah hidup. Hanya soal pilihan tentang keyakinan toh. Yang merasa yakin, silahkan berjalan bersamanya. Yang tidak pun demikian.
Sekalipun sila pertama dalam dasar negara kita mensyaratkan untuk berketuhanan, nyatanya perkara Tuhan bagaimanapun tak bisa dipaksakan. Dalam kartu identitas boleh tertulis agama apa saja, tapi dalam hati dan keyakinan hanya yang bersangkutan yang paham. Tak benar-benar ada pasal yang akan menjeratnya dan tak pula ada mekanisme pembuktian untuk mengetahui kepastian apakah seseorang benar-benar meyakini satu tuhan atau tidak.
Di Ranah Minang, kami terlahir dengan pilihan keyakinan yang tak beropsi. Adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Jadi sudah menjadi ketentuan adat bahwa kami terlahir sebagai seorang Muslim. Dalam keyakinan kami, semua manusia terlahir sebagai muslim. Dalam kitab kami dinyatakan bahwa semua roh manusia telah menyatakan kesetiaan keyakinannya kepada Tuhan, kecuali sebagian besar syaitan.
Tapi kembali lagi kepada konteks religiositas tadi, hal tersebut adalah keyakinan kami sebagai muslim di Ranah Minang. Tentu pemeluk keyakaninan yang berbeda dengan kami punya versi mereka pula. Tak perlu dijadikan bahan pertengkaran toh. Lagi-lagi ini adalah masalah keyakinan, adanya di bagian terdalam di sanubari kita. Di negara ini, kita sudah bersepakat untuk menghargai berbagai perbedaan, termasuk soal perbedaan keyakinan. Jadi perkara begituan memang semestinya dianggap selesai.
Sekira 10 menit kuhabiskan di mushola. Lantas kembali ke rumah makan tadi. Bertemu lagi dengan gelas kopiku yang sudah nyaris kosong. Namun teh talua masih tersisa sekira setengah gelas. Rokok ku ajak berkencan lagi, setelah gelas teh talua menggodaku untuk berciuman. Tak banyak yang bisa kulakukan sembari menunggu panggilan travel. Buka-buka ponsel, mengintip beranda sosial media, klik link-link berita yang menarik, atau membolak balik koran lokal yang sedari awal sudah parkir di mejaku. Tentu saja ditemani oleh teh talua, kopi hitam, dan kebulan asap rokok, serta teh talua untuk gelas kedua pastinya.
Pertanda satu jam sudah aku menunggu setelah sholat ashar adalah deringan ponsel dari nomor tak dikenal.
"Hallo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Dengan Uda Rudy."
"Betul, Saya sendiri."
"Awak dari travel, da. Uda menunggu di sebelah mana?"
"Saya di rumah makan di sekitar lobby kedatangan. Uda sudah di mana."
"Awak baru masuk bandara. Uda sebaiknya sudah berdiri di pick up area yo, biar awak bisa langsung jalan."
"Siap. Sekarang saya menuju pick up area."
Aku menutup panggilan. Lalu memanggil penjaga rumah makan untuk menanyakan jumlah total belanja.
"Rp.126 ribu," jawabnya dengan sopan.
"Ok."
Aku mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu, memberikan kepada beliau sembari mengikutinya berjalan menuju kasir untuk mengambil kembalian. Tak menunggu sampai lama, aku sudah berada di sisi bagian dalam pick up area. Ponselku berdering lagi, panggilan dari nomor yang sama.
"Hallo. Uda di sebelah Mana. Awak sudah di pick up area."
"Saya juga di pick up area. Uda pakai Mobil apa?"
Setelah menyebutkan merek dan nomor polisi mobilnya, si supir travel menutup panggilan. Aku langsung melihat sebuah mobil pribadi dengan pelat nomor berwarna hitam di sebelah kananku. Mobil tersebut menuju ke tempatku menunggu. Inilah Mobil yang akan mengantarkanku ke kampung halaman tercinta.
Perjalanan menuju Lubuk Basung, Kabupaten Agam, dari bandara biasanya memakan waktu sekira dua setengah sampai tiga jam. Di dalam SUV keluaran awal tahun 2000 an, mobil travel yang menjemputku, aku duduk di tengah pas di sebelah pintu. Maklumlah, aku penumpang penggenap yang memenuhi ruangan mobil.
Di sebelah supir ada penumpang satu orang. Di sebelahku ada dua, alias satu baris berisi tiga orang. Di barisan kursi belakang pun sudah terisi penuh tiga orang. Dua adalah lelaki muda, bahkan terlihat masih sangat muda. Dan satu lagi adalah seorang bapak yang memangku tas punggung di atas dua pahanya. Terlihat berumur sekitar 45 tahun. Demikian tebakanku.
Sementara di depan terlihat seorang perempuan separuh baya, memakai kerudung dan memangku sebuah tas jinjing yang tidak terlalu besar. Duduk terpaku di sebelah supir. Tepatnya terpaku di depan layar ponselnya, sembari memainkan jempol untuk menarik atau scroll up beranda sosial media.
Dan dua orang di sebelahku, dugaanku, adalah sepasang suami istri. Berumur kisaran 30 an tahun keduanya. Tangan si perempuan memegang erat tangan sang lelaki. Sang lelakipun nampaknya membalas dengan hangat. Karena itulah aku menebak bahwa mereka adalah sepasang suami istri. Tapi keduanya terlihat sering diam. Kalau berbicara agak berbisik-bisik. Bisikan khas bahasa minang, sekalipun aku mendengar cukup baik semua bisikan mereka. Lalu Kembali saling diam. Yang satu menatap ke depan melalui sisi kiri sang supir. Sementara yang satu lagi menatap ke samping melalui kaca mobil.
Tak seorangpun yang ku kenal. Dan itu sangat wajar. Aku ini siapa toh. Aku memang tak terkenal di kabupatenku. Sekalipun aku menamatkan Sekolah Menengah Atas di pusat kabupaten, sekolah negeri terbaik ketika itu, tetap saja aku bukan siapa-siapa. Jadi tak ada alasan untuk aku dikenal banyak orang, pun mengenal banyak orang.
Setiap pembicaraan atau bisikan adalah seliweran bahasa Minang. Semuanya aku pahami dengan sangat baik. Nyaris tak ada satu kata Minang pun yang hilang dari memoriku. Semuanya masih sempurna layaknya dulu. Di kursi belakang terdengar dua orang lelaki muda yang sedang membicarakan kelakuan dosennya saat mengajar, lalu di sela-selanya ada cekikikan atau tawa kecil. Sudah bisa ditebak, keduanya berkemungkinan besar adalah mahasiswa dari kabupaten Agam yang berkuliah di Padang Kota.
Cukup rindu hati ini untuk berbicara lepas dalam bahasa Padang. Selama ini, jika bukan dengan saudara dekat atau kawan dekat, aku jarang berbahasa Padang, sekalipun berhadapan dengan orang Padang. Sering kali di rumah makan Padang, saat aku mulai berbahasa Padang, justru balasan yang aku dapat adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu aku akhirnya agak pelit berbahasa Padang ke sesama Orang Padang di perantauan.
"Turun di mana, Da? " aku mulai membuka pembicaraan dengan lelaki di sebelahku.
"Lubuk Basung, Dik"
"Owh, di mana Lubuk Basungnya, Da? "
"Padang Baru. Adik dimana? "
"Awak di Manggopoh, Da"
"Dari Jakarta?"
"Iya, Da"
"Marantau di Jakarta bararti ya. Kerja apa di Jakarta? Manggaleh (dagang)?"
"Bukan Da. Biasalah, awak berkuli saja di kantor orang," jawabku sembari tersenyum manis
"Kantor apa tu? "
"Di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, Da"
"Kuli kantoran dong ya. Dulu kuliah di mana? "
"Di Bandung, Da"
"Mantap mah"
"Biasa aja, Da. Uda kerja di Padang?"
"Indak. Uda kerja di Lubuak Basung. Asal uda dari Padang"
"Owh begitu toh, ok"
Pembicaraan kami terhenti saat istrinya menyela dan mengalihkan muka si lelaki dariku. Entah bisikan apa, kali ini kurang bisa kudengar dengan jelas. Beberapa saat, lalu lelaki tersebut berpaling kepadaku dan meminta maaf atas selaan istrinya. Aku pun tak tega mengganggu lagi. Kupersilahkan mereka melanjutkan dan kualihkan pandanganku ke kaca di sisi kiriku untuk melihat-lihat.
Rasanya sangat ingin sekali memetik sebatang rokok. Tapi pastilah tak diperbolehkan di dalam mobil travel ini. Terbukti, tak satupun yang mengepulkan asap sedari awal aku naik mobil ini. Aku memang cukup tergantung dengan rokok. Entahlah. Aku pun sebenarnya tak punya jawaban yang meyakinkan, apalagi semacam justifikasi logis, justifikasi etis, atau apapun lah namanya, soal mengapa aku merokok. Bahkan jika ada yang bertanya serius soal kebiasaan merokokku, aku hampir pasti tak mampu memberikan alasannya dengan meyakinkan.
Aku mulai terkena cumbuan nikotin saat masih duduk di bangku kelas dua SMP. Praktis, ketika itu merokok masih menjadi kebiasaan ilegal bagiku. Belum ada izin dari Papa Mama, apalagi dari pihak sekolah. Aku membeli sebatang dua batang rokok saat istirahat siang dengan uang jajan sekolah yang sengaja ku sisihkan. Bahkan tak jarang ku tahan rasa laparku untuk membeli sabatang dua batang rokok. Lalu ku pergi ke balik pagar belakang sekolah yang masih berupa hutan. Di sanalah anak-anak sepertiku mengepulkan asap ilegal.
Ketika itu rasanya merokok adalah bagian dari sinyal yang harus kukirim ke publik seumuranku bahwa aku adalah lelaki.
Begitulah keyakinanku saat itu. Keyakinan yang sudah pasti berlawanan dengan apa yang dipikirkan Papa Mama atau pihak sekolah. Saat itu, sisi nakalku juga sedang tumbuh. Aku sering bolos sekolah, melompat pagar, berkelahi, mangkir dari kelas, dan sejenisnya.
Yang lebih seru lagi saat itu, aku sampai memberanikan diri untuk ikut bekerja di sawah orang sebagai buruh tani agar dapat beberapa ribu perak untuk membeli rokok. Pekerjaan sampingan itu kulakukan tanpa sepengetahuan Papa Mama di hari Minggu. Ikut membantu panen sawah milik orang tua temanku. Selepas sore, aku diberi upah sekitar empat ribu perak. Saat itu, rentang waktu 1997an, angka sebesar itu bisa ditukar dua bungkus rokok lebih. Praktis di hari Senin sakuku cukup terisi saat pergi ke sekolah. Kubelikan rokok filter setengah bungkus dan kusembunyikan di bagian terdalam tasku.
Cukup beruntung, aku hanya terjebak di dalam dunia nikotin. Di saat beberapa teman sudah mulai terbiasa dengan alkohol, bahkan beberapa lagi di antaranya sudah bermain-main dengan daun ganja, aku hanya stuck di zona nikotin dan kopi. Keduanya sampai hari ini terpelihara dengan baik.
Namun jika ditilik ke belakang, kedua kebiasaan tersebut sebenarnya adalah dua kebiasaan Papa. Tapi harus kuperoleh di luaran karena tidak ada orang tua, sekalipun mereka adalah perokok berat, yang mengajarkan anaknya secara langsung untuk merokok. Bahkan Papa dengan keras melarangku.
Saat SMA, beberapa kali rokoku terciduk oleh Mama atau Papa. Tak pelak, aku harus menerima hukuman. Ya, itulah risikonya.
Bukan hanya oleh Papa dan Mama. Saat SMA, bahkan pihak sekolahpun beberapa kali mencidukku atas tuduhan merokok saat berseragam. Konon, ada sebungkus bekas rokokku yang masih dipajang di sekolahan, sebagai barang bukti. Begitulah sejarah ku dan rokok. Sangat dinamis.
Sampai akhirnya, saat menjelang akhir masa kuliah, yang kebetulan saat itu akupun sudah terbilang sedikit mampu untuk berpenghasilan dengan magang di salah satu media cetak mingguan di Bandung, barulah aku memberanikan diri untuk merokok di depan Papa. Itupun setelah Papa terlebih dahulu menawarkan rokoknya kepadaku saat berkunjung ke Bandung. Melihat kesempatan itu datang, akupun tak mau kalah. Alih-alih mengambil rokok yang ditawarkan Papa, justru akupun akhirnya mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celanaku. Begitulah awalnya nikotin itu berubah statusnya menjadi legal untukku di mata Papa.
Sembari menatap ke kaca mobil bagian samping, aku tersenyum-senyum kecil saat ingatanku melayang ke sejarah rokok yang ku alami. Ingat pada kawan-kawan SMP dan SMA yang kini sudah bersama hidupnya masing-masing. Ingat pada masa yang cukup berat dan menantang di mana aku harus menjawab harapan-harapan Papa dan Mama.
Mereka punya cita-cita yang tinggi untuk anaknya. Bukan untuk menjadi anak yang sukses dengan segepok uang atau segudang harta serta jabatan, tapi dengan segudang ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itulah mengapa masa itu menjadi cukup berat karena berkaitan dengan prestasi akademik yang harus kami penuhi di sekolahan. Jika dipikir-pikir saat ini, aku terbilang gagal di masa itu. Nilaiku ya secukupnya saja.
Beberapa kali juara kelas, tapi dengan nilai juara yang biasa saja. Belum lagi kenakalan-kenakalan yang aku perbuat yang sempat memusingkan kedua orang tuaku. Laporan-laporan yang kurang bagus dari guru tentangku. Cerita-cerita tentang sikap dan perilaku tak baiku saat bersekolah sering kali melukai hati Papa dan Mama. Dan aku bisa sampai ke hari ini berkat persediaan maaf mereka yang tak pernah habis untuk setiap kesalahaku di masa lalu.
Mereka tetap menjaga konsistensi atas cita-citanya. Berjuang terus memotivasiku untuk terus menjaga cita-cita tinggi dengan cara menempa pendidikan sampai selesai sekolah menengah atas dan melanjutkan pendidikan ke salah satu kampus negeri di daerah Priangan, Jawa Barat. Oleh karena itu mereka adalah orang tua terbaik, orang tua yang tak pernah kehabisan alasan untuk mendoakanku dan sodara-sodaraku, sekalipun jalan kehidupan kami tak persis sama dengan yang mereka cita-citakan.
Dalam perjalanan menjemput memori tersebut, pandanganku dihiasi lautan. Pantainya cukup familiar di mataku, salah satu sisi pantai yang sering kukunjungi bersama kawan-kawan sekolahku dulu. Kami menyebut pantainya dengan sebutan Pantai Banda Gadang.
Banyak anak muda yang berdatangan ke pantai ini, terutama anak muda yang sedang dilanda kasmaran. Mereka datang dengan kendaraan bermotor, berboncengan layaknya dalam film-film romantis. Membawa bekal makanan kecil dan beberapa botol minuman ringan, lalu mojok di salah satu pohon di tepi pantai sambil menikmati pemandangan ombak yang datang dan pergi.
Pantai ini sedari dulu memang tak terlalu terawat. Dibanding dulu, tak banyak perbedaan yang tampak. Hanya terlihat agak terang alias tidak terlalu banyak semak belukar di sekitar jalan masuk. Kondisi pantainya ku kira juga demikian. Belum terlalu banyak fitur tambahan. Dan satu lagi, selain pantai, tak ada atraksi wisata menarik lainya sebagai pelengkap semisal atraksi buatan, even, dan sejenisnya.
Pantai Banda Gadang menjadi tanda bahwa aku tinggal sekira 15-20 menit lagi untuk sampai di rumah. Bahkan dulu, demi menyingkat pembicaraan, saat ada yang bertanya berapa jarak dari kampung kami ke pantai Tiku atau Banda Gadang, rerata jawaban semua orang di kampung ku sama, yakni 10 KM. Perkara lebih atau kurang, tak ada juga yang benar-benar pernah mengukurnya. Toh kalau ada yang benar-benar ingin membuktikan apakah benar 10 KM atau tidak, dipastikan komentar yang akan diterimanya tak akan apresiatif. Paling banter mendapat tanggapan, "Ah kurang karajo ang, yuang!!" atau komentar sejenis.
Ya, memang sekira 15 menit, mobil travel yang aku tumpangi memasuki daerah Pasar Durian. Ada belokan ke kanan, sebelum jembatan Pasar Durian, ke sanalah kami berbelok. Mahasiswa yang duduk di belakangku ternyata harus diantar ke daerah ini. Dari jalan raya jarak rumahnya hanya sekitar 500 m. Rumah tersebut terlihat cukup modern dengan balutan arsitektural minimalis. Sebuah mobil SUV dan satu motor matik terlihat parkir di depannya. Ku menduga, orang tuanya bekerja di salah satu institusi pemerintahan daerah kabupaten. Ah, tapi apa urusanku toh. Cukup bersyukur dan berterima kasih saja bahwa orang tuanya telah mengirimkan anaknya untuk berkuliah. Itu sudah lebih dari cukup
Lalu tak lama berselang, mobil sudah kembali ke jalan raya, melewati pertigaan Simpang Gudang. Belok kiri berarti mobil akan mengarah ke daerah Pasaman. Lurus berarti ke pusat kabupaten, Lubuk Basung. Bisa juga sampai di Danau Maninjau, bahkan Bukittinggi. Karena tak ada penumpang yang harus di antar ke daerah via belok kiri, mobil terus melaju lurus.
Sekira 1 Km, belokan ke kampungku sudah menanti. Namanya simpang Batam, alias Simpang Batu Hampar. Sebagai salah satu penumpang, maka tak bisa tidak, mobil ini harus berbelok ke kanan agar aku bisa sampai di rumah orang tuaku. Dan tak lebih dari lima menit, aku sudah membuka pintu mobil, lalu mengeluarkan uang sebesar Rp. 50.000,- dan memberikannya kepada supir via jendela depan bagian kiri. Melihat uang yang ku sodorkan, sang supir langsung merogoh kocek dan membalasnya dengan uang kembalian Rp. 20.000,
"Tarimo Kasih, Da," ucapku, sembari meletakan tangan di depan jidat, seperti tentara hormat
"Samo-samo, Sanak", jawabnya sembari berlalu.
Ku berbalik badan, bersiap melangkah mendekati teras rumah. Papa, mama, dan keponakanku sudah berdiri di sana. Boleh jadi mereka kaget, terheran-heran, atau bahasa kekiniannya excited, atau malah bingung, karena kepulanganku tak berkabar sebelumnya. Ibarat emak-emak naik motor di Jakarta, tak ada sen kiri atau kanan, tetiba belok begitu saja ke salah satu sisi. Apapunlah yang mereka rasakan, yang penting aku telah di rumah, selangkah lagi masuk ke dalam. Dan papa mama pun nampaknya tak peduli dengan apapun alasanku yang tetiba pulang. Wajah mereka merekah, mata berbinar.
"Rudy," ucap mama sumbringah
Aku hanya membalasnya dengan senyum manis, layaknya papa yang juga menawarkan senyum yang sama. Dan kami bertiga berpelukan. Keponakanku pun nampaknya ikut menampik berbagai pertanyaan di balik kepulangan pamannya sembari melemparkan pertanyaan lain
"Om bawa oleh-oleh apa buat aku," celetuknya dengan manja
Aku, papa, dan mama, berpaling serentak ke arah keponakan, sembari secara bersamaan memanggil namanya dengan nada dan ekspresi yang gemas. Kesamaan reaksi tersebut meyakinkanku bahwa aku sudah berada di antara kedua orang tuaku.
Pagi belum kelar benar. Cahaya matahari masih terlihat malu-malu, membuat langit menjadi agak kekuningan. Ditambah awan sisa hujan deras kemaren sore yang masih menggelantung di angkasa. Akibatnya, entah kenapa, sepagi ini, hatiku jadi terbawa sendu.
Kopi yang disiapkan mama sudah menunggu di meja. Aromanya sampai ke hati. Swear. Ya, itu lah kopi buatan mama, si penguasa gelas kopi papa.
"Rudi, kenapa kopinya belum dijamah juga? " tanya mama penasaran.
Aku terkaget, tersentak dari pandangan yang melena ke jendela kamar .
"Iya, Ma, tunggu agak dingin dulu, biar ga perlu tiap-tiup," jawabku pendek, sekenanya
"Hoalah, kopi ya enaknya panas, Rud. Kamu ini sekembali dari kota banyak ngaurnya. Kopi itu ya enaknya saat panas. Tiap-tiup itu seninya. Kalau terlalu panas, ya dituang dulu ke piring kecil. Kalau nunggu agak dingin, ya sekalian minta pakai es saja dari tadi"
"Hehe," balasku pelan, pura-pura terlihat terhibur
Di kampungku, mungkin tak berbeda dengan kampung-kampung lainya, mendinginkan kopi yang baru saja disajikan adalah dengan cara menuangkan sebagian ke dalam piring kecil, yang sebelumnya dijadikan tatakan gelas kopi. Dan kebiasaan lelaki dewasa di sini adalah minum kopi di kadai alias warung kopi kampung. Tapi tak di kadai atau di rumah, cara meminum kopinya sama. Kopi panas dituang ke dalam piring kecil, ditiup beberapa kali, baru diseruput.
"Buruan diminum. Malah rokok yang disentuh duluan, pakai acara ngelamun pula. Kamu ini ya kenapa? Ada yang salah dengan kami yang orang kampung ini? " seringai mama yang terus saja menggodaku.
"Salah bagaimana sih, Ma. Mama ini ada-ada aja," sembari wajahku kembali memberi senyum kepada mama, orang yang tiada duanya selama ini.
"Ya sudah. Itu kopi sudah menunggumu dari tadi"
Tanpa basa-basi, mama langsung melangkah ke dapur. Akupun langsung merangsek ke kursi tamu di mana kopi sudah menyerah pasrah di atas meja. Tangan menyambar cangkir, kurabakan ke bibir, panasnya masih di atas rata-rata. Untuk itu, aku harus menggunakan rumus ngopi ala kampung. Piring kecil di bawah gelas kupisahkan, kopi dari dalam gelas kutuangkan ke dalamnya, lalu mulai tiap-tiup, dan seruput seteguk kecil demi seteguk kecil. Ternyata rumus mama ada benarnya. Begitulah seni minum kopi di sini. Dan dengan cara itu pula nikmatnya mampu menyosor sampai ke dalam sukma.
Dari kamar depan, Papa muncul dan melongok ke arahku. Papa terlihat masih perkasa, sekalipun sudah pensiun dengan angka mutahir 65 tahun saat ini. Kain sarung memeluk pinggangnya dengan erat. Memakai kaos oblong yang kubelikan sekira setahun lalu. Di tangannya erat tergenggam sebungkus rokok mild.
"Gimana, Rud. Baru sehari di kampung, masih betah kan di rumah".
Nampaknya Papa tak pakai peringatan, langsung memberondong pertanyaan seberat itu sepagi ini.
"Betah dong, Pa. Adem. Sejuk sampai ke hati".
"Ya Alhamdulillah, Nak, jika begitu. Lantas mengapa kamu terlihat seperti orang murung, kehilangan arah, wajah kosong? Ada masalah"
"Ga ko, Pa. Aku cuma teringat masa-masa kecil dan remaja di sini dulu saat Papa dan Mama berjibaku mengajariku matematika, mewejangiku pituah-pituah adat dari para tetua, dan menitipkan banyak nilai-nilai luhur kehidupan"
Papa terlihat diam sembari mengambil posisi bangku tamu yang langsung berhadapan dengan wajahku. Lalu mulai bicara.
"Kamu masih mengingatnya? "
“Masih lah Pa. Masih sangat jelas"
"Alhamdulillah. Biarkan tetap seperti itu"
Aku tersenyum saja mendengar jawaban Papa. Dan mulai meniup lagi kopi di dalam piring kecil yang masih di tersisa.
"Kamu tau, Nak," Papa memulai kembali pembicaraan
"Kamu tau, sejak kamu bersekolah ke tanah Jawa, sejak kau tinggalkan pakaian SMA mu di rumah sebagai kenang-kenangan jika kami rindu, kampung ini ya masih seperti itu saja sampai kini"
Aku masih terdiam dan berharap Papa menambah penjelasannya agar aku paham kemana arah pembicaraannya. Tapi ternyata hanya itu saja.
"Ma, kopi Papa mana? " teriak Papa ke arah dapur. Dan sautan lembut mama tak berjeda lama sebagai jawabnya.
Aku masih diam. Masih dalam kapasitas menunggu. Siapa tau Papa memang memotong penjelasannya karena teringat kopi. Tapi ternyata tak jua bersambung setelah Papa meminta kopi kepada mama di dapur.
Tanpa menunggu, ku perjelas isi kepalaku, sebelum pikiran bingung semakin menggumpal di kepala.
"Jadi maksudnya gimana ya, Pa?"
"Indak ada maksud. Papa cuma ingin menegaskan. Kampung ini, ya masih seperti dulu, nyaris tak berbeda dengan waktu kamu masih di sini dulu. Itu saja"
"Oh"
Sembari masih bingung, tapi aku tak punya daya untuk memperpanjang pertanyaan. Memang harus kuakui, semua nyatanya tak terlalu berbeda dibanding dulu saat aku meninggalkan kampung ini. Memang agak susah juga diproyeksikan peta jalannya.
Hampir semua anak muda yang tumbuh, setamat sekolah menengah atas, pergi merantau menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Baik mengikut sonak saudara yang sudah terlebih dahulu berada di rantau, atau terpengaruh kawan, tetangga, saudaranya kawan, saudaranya tetangga, dan lain-lain. Padahal jika berkaca pada sejarah-sejarah perubahan dan kemajuan, peran anak muda sangat krusial sifatnya.
Di Jakarta, misalnya, saat ini sedang rajin dibicarakan tentang peran industri berbasis digital. Ada platform pemesanan barang, alat transportasi, tiket, pinjaman, dan lainya, yang semuanya diinisiasi dan digawangi anak muda. Pun perubahan arah politik nasional di tahun 1997-1998 lalu. Pelaku lapangan yang dikenang adalah anak muda, para mahasiswa, aktifis, dan sejenisnya, yang di hari ini sebagian di antara mereka sudah jadi koruptor atau tersangka korupsi. Termasuk korban jiwanya pun berasal dari para anak muda. Nah, di sini, di kampungku ini, pun rerata di daerah lain se-Sumateta Barat, dijangkiti masalah yang sama, yakni pengeringan sumber daya manusia muda.
Yang sudah terlanjur merantau, harapan untuk kembali pulang dan menetap di kampung semakin tipis. Yang merantau untuk berdagang, mau tak mau, penghidupanya ada di perantauan. Tak mungkin berpindah ke kampung, siapa yang akan membelinya. Pun yang pergi merantau untuk alasan pendidikan, hal yang mirip juga terjadi. Ada satu dua yang pulang, berusaha menemukan lapangan pekerjaan atau peluang usaha di kampung. Dan sejauh pantauanku, rerata perantau kategori ini akhirnya masuk dan bekerja di pemerintah daerah, minimal mereka bercita-cita demikian. Jadi guru, menjadi bagian dari dinas ini dan itu, atau menjadi bagian di sekretariat kepala daerah, dan sejenisnya.
Satu dua di antaranya memilih berbisnis. Ada yang jadi kontraktor daerah, ada yang membuka usaha ini dan itu, ada pula yang meneruskan usaha orang tua mengelola toko dan sejenisnya. Salah satunya adalah kawan karib ku. Namanya Romi. Kami bersama sejak SMP sampai SMA, tapi mulai jadi kawan karib sejak SMA. Beliau mengembangkan dan melebarkan usaha orang tuanya, kemudian memberanikan diri menjadi kontraktor di daerah. Untuk ukuran daerah kami, Romi sudah terbilang sukses di jalur itu. Sayang, umurnya tak panjang, beliau meninggalkan kami beberapa tahun lalu. Ya begitulah. Intinya, tak banyak yang kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!