(Catatan Facebook untuk Sahabat, 2018)
Romi Defrial, anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertuanya perempuan, uni Desi namanya. Kakak laki-lakinya bernama Anto. Dan di antara ketiganya, Romi adalah anak yang paling kurus, mirip papanya, sekaligus anak yang paling berprestasi secara akademis karena Romi sering maraih gelar jaura kelas, atau setidaknya selalu masuk tiga besar di tiap jenjang kelas yang dia masuki.
Rumahnya berkisar 100 meter lebih sedikit dari rumah orang tuaku. Untuk ukuran kampung kami, keluarga Romi adalah salah satu keluarga terkaya. Jadi tak heran, fasilitas yang dimiliki di atas rata-rata orang kampung lainya. Sampai kelas dua SMA, kami tidak terlalu dekat. Tapi solidaritas sesama kawan se desa tentu tetap dia perlihatkan.
Aku masih ingat saat masih SMP. Beliau termasuk salah satu siswa yang memakai sepeda federal ke sekolah dan aku ketika itu hanya berjalan kaki saja. Nah saat pulang sekolah, beliau rela mengayuh sepeda lambat-lambat agar tetap bisa mengiringi langkah kakiku. Alias, sekalipun bersepeda, beliau tetap memilih pulang bersamaku sambil ngobrol ini dan itu.
Dalam jenjang pendidikan, Aku dan Romi satu sekolah saat masuk SMP. Sementara saat Sekolah Dasar, kami memilih SD yang berbeda. Aku menyelesaikan Sekolah Dasar di sekolah mudiak, masih di desa yang sama dengan rumah. Katakan saja sekolah dasar yang kurang tenar. Sementara Romi bersekolah di SD hilir, dulu disebut SD 1 Balai Satu. Jadi kami berkawan secukupnya saja, karena berdekatan rumah.
Waktu masih sekolah dasar, kami tak banyak bermain bersama. Saya terhitung sebagai anak yang cukup nakal, suka Malala (main ke mana-mana), bahasa Padangnya “malatah dari satu banda ka banda,” setidaknya begitu papaku menggambarkannya. Sementara Romi masuk kategori anak mama dan anak rumahan. Karena fasilitas yang terbilang cukup lengkap di rumahnya, beliau lebih sering berada di dalam rumah. Bahkan waktu musim awal datangnya parabola, aku justru sering ikut nonton di rumahnya, di balik kaca nako alias menonton dari luar rumah.
Pada tataran pergaulan, aku berada di kuadran anak-anak kelas menengah ke bawah, krasak-krusuk, slengek'an, dan sering kali dikategorikan anak nakal. Aku harus menanggung julukan yang lebih karena anak guru. Biasanya anak guru, kalau nakal, jatah sentilannya lebih sakit. "Anak guru kok nakal and bla bla bla."
Selepas SD, kami memasuki SMP yang sama, SMP Manggopoh. Seperti kataku tadi, kami tak terlalu dekat, tapi tetap berkawan. Berangkat sekolah terkadang bersama, pulangpun demikian, tapi terkadang saja. Di sekolah, pergaulan Romi lebih elit ketimbang pergaulanku. Beliau bergaul dengan raja-raja sekolah, mulai dari orang-orang yang disegani, sampai pada siswa-siswa kelas atas. Sementara aku, sudah bisa diduga, hanya bergaul dengan kawan-kawan selevelku. Intinya, kami ada di kuadran pergaulan yang berbeda.
Setamat SMP, kami pun memasuki SMA yang sama, yakni SMA Negeri di pusat ibukota kabupaten. Pada awalnya, sepanjang kelas satu, kami tak terlalu dekat. Jarang saling berbicara banyak, hanya "say hi" jika aku kebetulan satu angkutan dengan beliau. Oh ya, saat SMA, karena keluarga Romi memiliki faktor produksi bernama angkot, maka beliau biasanya nimbrung pergi ke sekolah bersama angkotnya. Jika aku tak ketinggalan jadwal, aku pun bersama angkot tersebut menuju sekolah.
Pada kelas dua SMA, kami ternyata didekatkan. Aku lupa seperti apa awal ceritanya. Tapi di kelas dua, kami mengukir cerita bersama. Kami mulai sangat dekat, kemana-kemana bersama. Sering juga bertiga dengan Hendra, kawan satu sekolah lainya, yang berasal dari desa berbeda dan agak jauh. Istilahnya, kami menjadi kawan satu kopi dan satu frame kenakalan.
Saat itulah, aku dan Romi bisa sebatang rokok berdua, segelas kopi berdua, dan berbagi uang saku. Kami sebatang rokok berdua ketika kocek mulai sempit. Mengapa? Karena merek rokok kami berbeda. Jadi kalau saku sedang dalam, kami menghisap rokok sesuai selera. Romi menghisap Gudang Garam Surya, sementara aku mencumbui rokok Gudang Garam Filter.
Gegara rokok, kami bareng-bareng masuk ruang BP. Gegara bolos pun demikian. Panjat pagar pun sama. Dan gegera hal sepele karena tak pakai kaos kaki pun, kami digiring ke ruang BP bersama.
Kemana kami pergi kalau bolos? Ke warkop di pojok terjauh Pasar Baru, pasar induk di kabupaten. Pemiliknya bernama Uda Am. Kalau kami bolos, kami menghabiskan waktu sampai jam dua di sana. Main domino, ngopi, “lapuak lapak merokok,” tiduran, dan lain-lain.
Pernah juga kami bertiga, aku, Romi, dan Hendra, bolos, lalu berjalan kaki dari Pasar Baru ke Pasar Lama, melalui jalur alternatif belakang. Pekerjaan tak bermanfaat, hanya untuk menghabiskan waktu, dan ketawa-ketiwi sepanjang jalan. Lalu sesampai di Pasar Lama, kami malah berbalik pulang naik angkot atau berbalik ke Pasar Baru. Pekerjaan sia-sia. Pengisi kebosanan.
Kadang pula, kalau kami bolos, sesekali kami pergi ke Danau Maninjau, sekedar cuci mata. Dan bagiku ketika itu, ke Danau Maninjau adalah ajang untuk menyempurnakan bahasa inggrisku. Di sana bisa ketemu bule-bule, dan aku bisa praktek bahasa Inggris langsung, mempraktekan apa yang sudah kudapatkan di Lembaga Kursus.
Pengalaman berdua yang paling berkesan bersama Beliau adalah saat kami dikeroyok di depan sekolah hanya berdua. Semua orang terasa entah dimana, hanya kami berdua. Lalu mendadak siswa-siswa dari beberapa sekolah lain menyerang kami. Beruntung, aku tidak apa-apa. Tapi Romi, kepala bagian belakangnya kena jatah, konon kena tonjokan yang mana si tangan pemukul memakai alat bantu berupa besi.
Pendeknya, kami akhirnya menamatkan SMA bersama. Hebatnya, Romi mengantongi nilai NEM tertinggi di semua kelas IPS. Wow. Dan aku ada di bawah beliau sedikit. Romi memutuskan kuliah di Universitas Bung Hatta, jurusan Teknik mesin. Dan aku memutuskan ke Bandung. Setelah itu, praktis komunikasi kami sangat terbatas. Ketika itu belum ada facebook atau sosial media sejenis, bahkan internet pun belum booming.
Pernah suatu waktu, di saat masih sama-sama jadi anak kampus, Romi mendatangiku di Bandung. Beliau menumpahkan kerisauannya kepadaku. Sudah tiga kali ajuan skripsinya diajukan, tak jua kunjung lolos. Di Bandung kami carikan akal dan alhamdulillah hasilnya bagus. Beberapa bulan kemudian, Beliau jadi sarjana. Sangat menggembirakan.
Sayang beberapa hari itu adalah beberapa hari terakhir kami bersama. Kami tak sempat bertemu lagi. Dan kini, saat aku pulang kampung, praktis aku hanya akan bertemu pusara, ya pusara Romi, sahabat terdekatku sejak SMA. "It'll be so sad, right."
Pertama mendapat berita tentang Romi, hatiku luluh, badan lemas, air mata menghangati kedua pipiku. Aku takut membayangkan bahwa beliau sudah tidak ada. Tapi kenyataan tak bisa ditolak. "Malang ndak dapek ditolak. Mujur ndak dapek diraiah." Begitu pepatah Minangnya. Sudah jadi garisan hidup setiap orang bahwa umur adalah domain Tuhan. Aku tak bisa berkata-kata, hanya bisikan dalam hati. "Selamat jalan. Istirahat yang tenang, Body. We'll be gona miss you. And we'll be gona remember you".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments