Bagian II

Perjalanan menuju Lubuk Basung, Kabupaten Agam, dari bandara biasanya memakan waktu sekira dua setengah sampai tiga jam. Di dalam SUV keluaran awal tahun 2000 an, mobil travel yang menjemputku, aku duduk di tengah pas di sebelah pintu. Maklumlah, aku penumpang penggenap yang memenuhi ruangan mobil.

Di sebelah supir ada penumpang satu orang. Di sebelahku ada dua, alias satu baris berisi tiga orang. Di barisan kursi belakang pun sudah terisi penuh tiga orang. Dua adalah lelaki muda, bahkan terlihat masih sangat muda. Dan satu lagi adalah seorang bapak yang memangku tas punggung di atas dua pahanya. Terlihat berumur sekitar 45 tahun. Demikian tebakanku.

Sementara di depan terlihat seorang perempuan separuh baya, memakai kerudung dan memangku sebuah tas jinjing yang tidak terlalu besar. Duduk terpaku di sebelah supir. Tepatnya terpaku di depan layar ponselnya, sembari memainkan jempol untuk menarik atau scroll up beranda sosial media.

Dan dua orang di sebelahku, dugaanku, adalah sepasang suami istri. Berumur kisaran 30 an tahun keduanya. Tangan si perempuan memegang erat tangan sang lelaki. Sang lelakipun nampaknya membalas dengan hangat. Karena itulah aku menebak bahwa mereka adalah sepasang suami istri. Tapi keduanya terlihat sering diam. Kalau berbicara agak berbisik-bisik. Bisikan khas bahasa minang, sekalipun aku mendengar cukup baik semua bisikan mereka. Lalu Kembali saling diam. Yang satu menatap ke depan melalui sisi kiri sang supir. Sementara yang satu lagi menatap ke samping melalui kaca mobil.

Tak seorangpun yang ku kenal. Dan itu sangat wajar. Aku ini siapa toh. Aku memang tak terkenal di kabupatenku. Sekalipun aku menamatkan Sekolah Menengah Atas di pusat kabupaten, sekolah negeri terbaik ketika itu, tetap saja aku bukan siapa-siapa. Jadi tak ada alasan untuk aku dikenal banyak orang, pun mengenal banyak orang.

Setiap pembicaraan atau bisikan adalah seliweran bahasa Minang. Semuanya aku pahami dengan sangat baik. Nyaris tak ada satu kata Minang pun yang hilang dari memoriku. Semuanya masih sempurna layaknya dulu. Di kursi belakang terdengar dua orang lelaki muda yang sedang membicarakan kelakuan dosennya saat mengajar, lalu di sela-selanya ada cekikikan atau tawa kecil. Sudah bisa ditebak, keduanya berkemungkinan besar adalah mahasiswa dari kabupaten Agam yang berkuliah di Padang Kota.

Cukup rindu hati ini untuk berbicara lepas dalam bahasa Padang. Selama ini, jika bukan dengan saudara dekat atau kawan dekat, aku jarang berbahasa Padang, sekalipun berhadapan dengan orang Padang. Sering kali di rumah makan Padang, saat aku mulai berbahasa Padang, justru balasan yang aku dapat adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu aku akhirnya agak pelit berbahasa Padang ke sesama Orang Padang di perantauan.

"Turun di mana, Da? " aku mulai membuka pembicaraan dengan lelaki di sebelahku.

"Lubuk Basung, Dik"

"Owh, di mana Lubuk Basungnya, Da? "

"Padang Baru. Adik dimana? "

"Awak di Manggopoh, Da"

"Dari Jakarta?"

"Iya, Da"

"Marantau di Jakarta bararti ya. Kerja apa di Jakarta? Manggaleh (dagang)?"

"Bukan Da. Biasalah, awak berkuli saja di kantor orang," jawabku sembari tersenyum manis

"Kantor apa tu? "

"Di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, Da"

"Kuli kantoran dong ya. Dulu kuliah di mana? "

"Di Bandung, Da"

"Mantap mah"

"Biasa aja, Da. Uda kerja di Padang?"

"Indak. Uda kerja di Lubuak Basung. Asal uda dari Padang"

"Owh begitu toh, ok"

Pembicaraan kami terhenti saat istrinya menyela dan mengalihkan muka si lelaki dariku. Entah bisikan apa, kali ini kurang bisa kudengar dengan jelas. Beberapa saat, lalu lelaki tersebut berpaling kepadaku dan meminta maaf atas selaan istrinya. Aku pun tak tega mengganggu lagi. Kupersilahkan mereka melanjutkan dan kualihkan pandanganku ke kaca di sisi kiriku untuk melihat-lihat.

Rasanya sangat ingin sekali memetik sebatang rokok. Tapi pastilah tak diperbolehkan di dalam mobil travel ini. Terbukti, tak satupun yang mengepulkan asap sedari awal aku naik mobil ini. Aku memang cukup tergantung dengan rokok. Entahlah. Aku pun sebenarnya tak punya jawaban yang meyakinkan, apalagi semacam justifikasi logis, justifikasi etis, atau apapun lah namanya, soal mengapa aku merokok. Bahkan jika ada yang bertanya serius soal kebiasaan merokokku, aku hampir pasti tak mampu memberikan alasannya dengan meyakinkan.

Aku mulai terkena cumbuan nikotin saat masih duduk di bangku kelas dua SMP. Praktis, ketika itu merokok masih menjadi kebiasaan ilegal bagiku. Belum ada izin dari Papa Mama, apalagi dari pihak sekolah. Aku membeli sebatang dua batang rokok saat istirahat siang dengan uang jajan sekolah yang sengaja ku sisihkan. Bahkan tak jarang ku tahan rasa laparku untuk membeli sabatang dua batang rokok. Lalu ku pergi ke balik pagar belakang sekolah yang masih berupa hutan. Di sanalah anak-anak sepertiku mengepulkan asap ilegal.

Ketika itu rasanya merokok adalah bagian dari sinyal yang harus kukirim ke publik seumuranku bahwa aku adalah lelaki.

Begitulah keyakinanku saat itu. Keyakinan yang sudah pasti berlawanan dengan apa yang dipikirkan Papa Mama atau pihak sekolah. Saat itu, sisi nakalku juga sedang tumbuh. Aku sering bolos sekolah, melompat pagar, berkelahi, mangkir dari kelas, dan sejenisnya.

Yang lebih seru lagi saat itu, aku sampai memberanikan diri untuk ikut bekerja di sawah orang sebagai buruh tani agar dapat beberapa ribu perak untuk membeli rokok. Pekerjaan sampingan itu kulakukan tanpa sepengetahuan Papa Mama di hari Minggu. Ikut membantu panen sawah milik orang tua temanku. Selepas sore, aku diberi upah sekitar empat ribu perak. Saat itu, rentang waktu 1997an, angka sebesar itu bisa ditukar dua bungkus rokok lebih. Praktis di hari Senin sakuku cukup terisi saat pergi ke sekolah. Kubelikan rokok filter setengah bungkus dan kusembunyikan di bagian terdalam tasku.

Cukup beruntung, aku hanya terjebak di dalam dunia nikotin. Di saat beberapa teman sudah mulai terbiasa dengan alkohol, bahkan beberapa lagi di antaranya sudah bermain-main dengan daun ganja, aku hanya stuck di zona nikotin dan kopi. Keduanya sampai hari ini terpelihara dengan baik.

Namun jika ditilik ke belakang, kedua kebiasaan tersebut sebenarnya adalah dua kebiasaan Papa. Tapi harus kuperoleh di luaran karena tidak ada orang tua, sekalipun mereka adalah perokok berat, yang mengajarkan anaknya secara langsung untuk merokok. Bahkan Papa dengan keras melarangku.

Saat SMA, beberapa kali rokoku terciduk oleh Mama atau Papa. Tak pelak, aku harus menerima hukuman. Ya, itulah risikonya.

Bukan hanya oleh Papa dan Mama. Saat SMA, bahkan pihak sekolahpun beberapa kali mencidukku atas tuduhan merokok saat berseragam. Konon, ada sebungkus bekas rokokku yang masih dipajang di sekolahan, sebagai barang bukti. Begitulah sejarah ku dan rokok. Sangat dinamis.

Sampai akhirnya, saat menjelang akhir masa kuliah, yang kebetulan saat itu akupun sudah terbilang sedikit mampu untuk berpenghasilan dengan magang di salah satu media cetak mingguan di Bandung, barulah aku memberanikan diri untuk merokok di depan Papa. Itupun setelah Papa terlebih dahulu menawarkan rokoknya kepadaku saat berkunjung ke Bandung. Melihat kesempatan itu datang, akupun tak mau kalah. Alih-alih mengambil rokok yang ditawarkan Papa, justru akupun akhirnya mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celanaku. Begitulah awalnya nikotin itu berubah statusnya menjadi legal untukku di mata Papa.

Sembari menatap ke kaca mobil bagian samping, aku tersenyum-senyum kecil saat ingatanku melayang ke sejarah rokok yang ku alami. Ingat pada kawan-kawan SMP dan SMA yang kini sudah bersama hidupnya masing-masing. Ingat pada masa yang cukup berat dan menantang di mana aku harus menjawab harapan-harapan Papa dan Mama.

Mereka punya cita-cita yang tinggi untuk anaknya. Bukan untuk menjadi anak yang sukses dengan segepok uang atau segudang harta serta jabatan, tapi dengan segudang ilmu dan pengetahuan. Oleh karena itulah mengapa masa itu menjadi cukup berat karena berkaitan dengan prestasi akademik yang harus kami penuhi di sekolahan. Jika dipikir-pikir saat ini, aku terbilang gagal di masa itu. Nilaiku ya secukupnya saja.

Beberapa kali juara kelas, tapi dengan nilai juara yang biasa saja. Belum lagi kenakalan-kenakalan yang aku perbuat yang sempat memusingkan kedua orang tuaku. Laporan-laporan yang kurang bagus dari guru tentangku. Cerita-cerita tentang sikap dan perilaku tak baiku saat bersekolah sering kali melukai hati Papa dan Mama. Dan aku bisa sampai ke hari ini berkat persediaan maaf mereka yang tak pernah habis untuk setiap kesalahaku di masa lalu.

Mereka tetap menjaga konsistensi atas cita-citanya. Berjuang terus memotivasiku untuk terus menjaga cita-cita tinggi dengan cara menempa pendidikan sampai selesai sekolah menengah atas dan melanjutkan pendidikan ke salah satu kampus negeri di daerah Priangan, Jawa Barat. Oleh karena itu mereka adalah orang tua terbaik, orang tua yang tak pernah kehabisan alasan untuk mendoakanku dan sodara-sodaraku, sekalipun jalan kehidupan kami tak persis sama dengan yang mereka cita-citakan.

Dalam perjalanan menjemput memori tersebut, pandanganku dihiasi lautan. Pantainya cukup familiar di mataku, salah satu sisi pantai yang sering kukunjungi bersama kawan-kawan sekolahku dulu. Kami menyebut pantainya dengan sebutan Pantai Banda Gadang.

Banyak anak muda yang berdatangan ke pantai ini, terutama anak muda yang sedang dilanda kasmaran. Mereka datang dengan kendaraan bermotor, berboncengan layaknya dalam film-film romantis. Membawa bekal makanan kecil dan beberapa botol minuman ringan, lalu mojok di salah satu pohon di tepi pantai sambil menikmati pemandangan ombak yang datang dan pergi.

Pantai ini sedari dulu memang tak terlalu terawat. Dibanding dulu, tak banyak perbedaan yang tampak. Hanya terlihat agak terang alias tidak terlalu banyak semak belukar di sekitar jalan masuk. Kondisi pantainya ku kira juga demikian. Belum terlalu banyak fitur tambahan. Dan satu lagi, selain pantai, tak ada atraksi wisata menarik lainya sebagai pelengkap semisal atraksi buatan, even, dan sejenisnya.

Pantai Banda Gadang menjadi tanda bahwa aku tinggal sekira 15-20 menit lagi untuk sampai di rumah. Bahkan dulu, demi menyingkat pembicaraan, saat ada yang bertanya berapa jarak dari kampung kami ke pantai Tiku atau Banda Gadang, rerata jawaban semua orang di kampung ku sama, yakni 10 KM. Perkara lebih atau kurang, tak ada juga yang benar-benar pernah mengukurnya. Toh kalau ada yang benar-benar ingin membuktikan apakah benar 10 KM atau tidak, dipastikan komentar yang akan diterimanya tak akan apresiatif. Paling banter mendapat tanggapan, "Ah kurang karajo ang, yuang!!" atau komentar sejenis.

Ya, memang sekira 15 menit, mobil travel yang aku tumpangi memasuki daerah Pasar Durian. Ada belokan ke kanan, sebelum jembatan Pasar Durian, ke sanalah kami berbelok. Mahasiswa yang duduk di belakangku ternyata harus diantar ke daerah ini. Dari jalan raya jarak rumahnya hanya sekitar 500 m. Rumah tersebut terlihat cukup modern dengan balutan arsitektural minimalis. Sebuah mobil SUV dan satu motor matik terlihat parkir di depannya. Ku menduga, orang tuanya bekerja di salah satu institusi pemerintahan daerah kabupaten. Ah, tapi apa urusanku toh. Cukup bersyukur dan berterima kasih saja bahwa orang tuanya telah mengirimkan anaknya untuk berkuliah. Itu sudah lebih dari cukup

Lalu tak lama berselang, mobil sudah kembali ke jalan raya, melewati pertigaan Simpang Gudang. Belok kiri berarti mobil akan mengarah ke daerah Pasaman. Lurus berarti ke pusat kabupaten, Lubuk Basung. Bisa juga sampai di Danau Maninjau, bahkan Bukittinggi. Karena tak ada penumpang yang harus di antar ke daerah via belok kiri, mobil terus melaju lurus.

Sekira 1 Km, belokan ke kampungku sudah menanti. Namanya simpang Batam, alias Simpang Batu Hampar. Sebagai salah satu penumpang, maka tak bisa tidak, mobil ini harus berbelok ke kanan agar aku bisa sampai di rumah orang tuaku. Dan tak lebih dari lima menit, aku sudah membuka pintu mobil, lalu mengeluarkan uang sebesar Rp. 50.000,- dan memberikannya kepada supir via jendela depan bagian kiri. Melihat uang yang ku sodorkan, sang supir langsung merogoh kocek dan membalasnya dengan uang kembalian Rp. 20.000,

"Tarimo Kasih, Da," ucapku, sembari meletakan tangan di depan jidat, seperti tentara hormat

"Samo-samo, Sanak", jawabnya sembari berlalu.

Ku berbalik badan, bersiap melangkah mendekati teras rumah. Papa, mama, dan keponakanku sudah berdiri di sana. Boleh jadi mereka kaget, terheran-heran, atau bahasa kekiniannya excited, atau malah bingung, karena kepulanganku tak berkabar sebelumnya. Ibarat emak-emak naik motor di Jakarta, tak ada sen kiri atau kanan, tetiba belok begitu saja ke salah satu sisi. Apapunlah yang mereka rasakan, yang penting aku telah di rumah, selangkah lagi masuk ke dalam. Dan papa mama pun nampaknya tak peduli dengan apapun alasanku yang tetiba pulang. Wajah mereka merekah, mata berbinar.

"Rudy," ucap mama sumbringah

Aku hanya membalasnya dengan senyum manis, layaknya papa yang juga menawarkan senyum yang sama. Dan kami bertiga berpelukan. Keponakanku pun nampaknya ikut menampik berbagai pertanyaan di balik kepulangan pamannya sembari melemparkan pertanyaan lain

"Om bawa oleh-oleh apa buat aku," celetuknya dengan manja

Aku, papa, dan mama, berpaling serentak ke arah keponakan, sembari secara bersamaan memanggil namanya dengan nada dan ekspresi yang gemas. Kesamaan reaksi tersebut meyakinkanku bahwa aku sudah berada di antara kedua orang tuaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!