Bagian IV

Sudah jelang pukul 11 siang, mama sedang repot-repotnya di dapur. Janjinya padaku akan menghadirkan gulai ayam dicampur talas. Aku tak bisa menolak dan tak ingin meminta menu apapun. Hanya memberikan persetujuan, apapun yang ditawarkan mama.

Talas yang dimaksud bukan seperti yang dikenal di Jakarta atau Bogor, berupa umbi talas. Talas yang digulai dengan ayam di sini adalah batangnya. Itupun bukan sembarang talas. Harus talas tertentu. Tidak semua talas bisa dikonsumsi. Di kampung kami disebut Talas Kamumu. Batangnya dipotong dengan ukuran panjang tertentu, sekira 3-4 cm. Lalu kulitnya dikelupaskan. Dimasukan ke dalam gulai beberapa saat sebelum matang.

Sudah terbayang betapa lezatnya. Tidak saja karena rasanya yang unik dan enak, tapi juga kenangan-kenangan manis dibalik gulai ayam dan talas yang selalu menggelantung di lemari memori. Itu lah salah satu menu yang sering dibuat mama saat menggulai ayam waktu kami masih kecil dulu.

Aku kembali duduk di ruang tamu. Melihat ponsel apakah ada pesan masuk atau pemberitahuan ini itu. Ternyata hanya pesan biasa dari kawan-kawan kantor, ditambah dengan rentetan percakapan di dalam puluhan grup aplikasi Whatsapp. Di atas meja, masih tersisa kopi sekira setengah gelas. Kopi kedua yang dibuatkan mama saat bercengkrama dengan papa pagi tadi. Asbak terlihat sudah bersih. Tak ada satupun puntung rokok di dalamnya. Nampaknya mama langsung beroperasi setelah aku dan papa selesai bercengkrama. Saat itu, puntung rokok hampir melimpah ke luar asbak.

Tak lama, sebuah motor mampir di depan teras rumah. Ada tumpukan koran di bawah setang bagian dalam dan di jok belakangnya. Nampaknya loper koran.

"Koran," ucapnya agak keras

"Siap," balasku

"Wah, Rudi anak uda yang di Jakarta yo? "

"Iyo"

"Makin gagah sajo"

"Hehe," aku tersipu

Mungkin papa juga ikut mendengar teriakan koran, tetiba saat aku hanya berjarak sekira satu meter dari si pengantar koran, papa sudah di belakangku

"Naih," sapanya

"Iko korannyo, Da," balas si Naih pengangar koran

Dua koran mampir ke tangan papa. Ada harian Singgalang dan Harian Haluan, dua koran daerah Sumatera Barat. Tanpa meminta uang, si pengantar koran langsung pergi lagi.

"Loh, Papa belum bayar korannya kok dia udah pergi"

"Papa emang langganan kedua koran ini"

"Oh, ok, baiklah"

Ya, akhirnya aku mengetahui bahwa papa yang sudah pensiun tentu tak bisa lagi membawa koran gratis dari sekolahnya seperti dulu. Dan kebiasaan membaca koran itu sudah terlanjur berurat berakar. Akhirnya aku bisa memaklumi, mengapa papa memilih untuk tak berhenti dengan kebiasaan itu. Ya mau tak mau, solusinya harus berlangganan.

Satu koran di letakan di atas meja tamu, lalu papa mulai membuka-buka lembaran koran yang satu lagi. Tanganku menyambar eksemplar yang sedang menganggur itu. Kami hanya saling diam. Papa memang begitu. Jika sedang membaca koran, suasana semestinya hening, jangan diajak bicara, nanti bisa kena semprot.

Seperti biasa, sebagaimana aku perhatikan sedari dulu, topik utama yang dicari papa adalah headline politik, baik nasional maupun lokal. Entah mengapa, papa memang doyan mengikuti perkembangan terkini dunia politik. Padahal pekerjaanya sedari dulu jauh dari urusan politik.

Sewaktu masih kuliah, saat pulang kampung, papa paling senang menyampaikan pengetahuan politik kontemporernya kepadaku, lalu memintaku untuk menanggapinya dari kacamata mahasiswa.

Dan papa akan semakin bersemangat kalau aku mulai mengeluarkan peristilahan atau terminologi baru dalam menginterpretasi cerita-cerita yang beliau tanyakan. Mungkin di dalam hatinya berkata, "Oh anaku ada kemajuan sejak duduk di bangku kuliah." Ya, mungkin begitu.

Sebenarnya hal yang sama juga papa lakukan kepada kakaku sewaktu kakaku masih jadi mahasiswa sebuah institut atau perguruan tinggi milik negara di Bogor. Kala itu aku masih duduk di bangka sekolah menengah atas.

"Nah, ini dia," gumam papa setelah membalik satu lembaran koran

"Siapa, Pa"

"Tulisan Pengamat Politik Muda Sumbar"

"Siapa dia, Pa? "

"Arifky Chaniago. Dia pengamat politik muda yang sering menulis opini di harian ini. Papa suka ulasan-ulasannya"

"Oh, papa suka juga sama pengamat muda?"

"Umur ndak penting. Yang penting papa suka ulasannya"

"Baiklah," jawabku singkat

Hampir 10 menit papa melahap ulasan opini pengamat politik muda itu. Barulah setelah itu papa meletakan korannya di atas meja. Lalu membenarkan posisi duduknya. Menyambar bungkusan rokok di sebelah gelas kopiku dan berteriak ke arah dapur.

"Ma... Kopi satu ya buat papa!! "

"Iyo, Da," balas mama dari dapur, tidak terlalu jelas terdengar.

Aku sudah pasang kuda-kuda. Nampaknya papa sudah terisi peluru selepas membaca koran. Besar kemungkinan, serangan sebentar lagi akan dilancarkan ke seorang anak yang duduk di hadapannya.

"Jadi, Pilkada besok, kira-kira siapa calon potensial yang akan menang? "

Benar dugaanku. Serangan tanpa pemberitahuan. Selepas meminta kopi, rokokpun baru hisapan pertama, peluru nyasar sudah sampai ke depan hidungku.

"He he he... Papa sudah punya jawabannya kan, setelah membaca ulasan pengamat politik muda favorit papa!!," balasku dengan nada kemenangan

"Ah, kamu"

"He he he"

"Kan Papa tanya kamu"

"Kan itu jawabanku"

"Ah"

"He he he..masih ada satu koran lagi yang belum papa baca. Baca lagi dong"

"Ah"

Kopi jelang siang kali ini berpihak kepadaku. Asap rokokku sungguh beraroma kemenangan. Papa kembali hening bersama koran kedua yang membentengi wajahnya dari tatapan kemenanganku. Ahay, betapa riang hati ini bisa bercanda ria dengan Papa.

Bahkan dulu, waktu masih kecil, kami sampai berguling-guling di lantai kalau lagi bercengkrama dan bercanda. Aku dan kakaku seringkali menjadi korban gelitikan papa yang berujung di atas lantai. Kemudian tawa kami membuncah.

Ada pula masa bermain gulat-gulatan, yang akhirnya juga di atas lantai. Kala itu, kami hanya sesekali dihadiahi kemenangan. Sama dengan olahraga bulutangkis. Papa sendiri yang turun tangan mengajarkan, sampai kakaku menjadi salah satu pemain bulutangkis yang terbaik di kampung kami.

Aku hanya kebagian sedikit, tapi masih terbilang ok dibanding orang-orang. Punya pukulan lumayan. Dan bisa mengembalikan pukulan lawan, beberapa kali. Tak buruk toh. Ya begitulah kami dan papa.

Di sisi lain, aku memang dikenal suka bercanda di rumah. Bahkan boleh jadi aku dikenal sebagai pemecah kebuntuan topik di tengah-tengah keluarga. Pun suka meledek dan mengisengi sodara-sodara dengan candaan-candaan ringan.

Terkadang kata-kata candaanku melewati batas umur adik-adikku. Saat sedang berkumpul bersama pada satu waktu, misalnya, adik bungsuku yang perempuan yang paling sering angkat tangan dan mengatakan bahwa kata-kataku "adult only".

Ya, hanya adik bungsuku yang menyela. Pasalnya kami hanya punya satu adik perempuan, itupun buah dari kesabaran panjang papa mama. Anak pertama sampai ke empat adalah pendekar alias lelaki. Sementara, dalam konstruksi budaya yang sangat matrilinial, melahirkan anak perempuan nyaris menjadi keharusan karena kepada anak perempuan "pusako tinggi" akan diturunkan.

Jikalah aku sebagai anak kedua dilahirkan dengan kelamin perempuan, boleh jadi anak papa mama hanya aku dan kakaku. Tapi memang garisan ilahi tak bisa ditolak. Keluarga ini sudah ditakdirkan untuk dihadiri oleh lima orang anak, empat lelaki satu perempuan. Maka di situlah ujungnya.

Tapi perjuangan mama dan papa memang tak mudah untuk satu si bungsu yang perempuan. Konon sudah berkonsultasi ke sana kemari, mulai kepada banyak bidan dan orang pintar, sampai kepada orang-orang tua sepuh. Dan saat didapat, prosesnya tak seperti biasanya. Kami berempat dilahirkan secara normal, hanya melalui sentuhan tangan seorang bidan di desa tetangga, yang kebetulan ibu dari kawan semasa SMP dan SMA ku juga.

Tapi untuk si bungsu, prosesnya ternyata berbeda. Si bungsu harus melalui operasi ceasar untuk lahir. Praktis di tahun itu, mama harus dibawa ke Padang Kota, karena di rumah sakit di kabupaten kami belum ada layanan sekelas itu. Syukurlah semuanya berjalan lancar, sampai akhirnya kami punya juga satu adik perempuan.

Bisa dibayangkan prestise statusnya di dalam keluarga, sudahlah bungsu, perempuan satu-satunya pula toh. Jika sampai dia minta bulan, aku yakin papa akan berjuang memberikannya.

Jika aku dalam posisi mampu, aku pun pasti akan berbuat apa saja untuk adikku, persis seperti yang dilakukan papa mama. Begitulah kira-kira sayangnya kami kepada si bungsu. Kendati demikian, kendati dicandra lebih manja dan lebih dimanja, otaknya masih turunan papa mama alias boleh diadu. Terbukti setelah tamat SMA, setelah melalui ujian kompetisi masuk perguruan tinggi secara nasional, namanya masuk daftar calon mahasiswa di kampus yang sama denganku dulu, bahkan fakultas yang sama pula, hanya berbeda program studi.

Bahkan saat aku dan papa bercandaria di ruang tamu siang ini, sembari menunggu waktu ke masjid untuk shalat Jumat, si bungsu sedang berjibaku menyelesaikan tesisya di salah satu kampus di Bogor.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!