Bojomu Semangatku
Yuk, Kenalan sama Ajeng!
Note: Bukan soal pelakor ya, ehehehhe.
***
Sreng, sreng, sreng ....
Dibuka dengan ayunan tangan Ajeng yang tengah sibuk membuat masakan untuk anak-anak panti di desanya, setiap pagi inilah rutinitas Ajeng, dia belum menikah, tapi setiap pagi sudah masak untuk anak-anak.
Serena Ajeng Puspita, entah dari mana dan ide siapa hingga nama depan modern itu ada di nama Ajeng.
"Jeng!" bude Lastri.
"Panggil aku, Serena!"
Dia anak panti paling bongkot, bisa dibilang yang awal masuk jadi anak asuh di sini ya Ajeng, sampai detik ini, tepat diusianya yang sudah hampir menginjak angka tiga, dia masih di sana, mengabdikan diri dan belum mau menikah.
Standart pasangan idamannya tinggi, tapi dia yang tidak tinggi, ahahahaha.
Ajeng, itu yang sudah menjadi panggilan khasnya meskipun dia mau dipanggil Serena, abaikan.
Sejak dia kecil, dia tidak tahu di mana dan siapa kedua orang tuanya, yang jelas dia yakini kedua orang tuanya itu bukan orang berada karena sampai menitipkannya ke panti, katakan dan anggap saja begitu, kalau urusan sedang apa mereka saat ini, Ajeng tidak mau tahu, yang terpenting dia membaca doa setiap hari.
Ajeng hanya sebatas lulusan SMU, dia tak melanjutkan lagi mengingat bu panti sudah tua dan butuh bantuannya, bersama bude Lastri, kolaborasinya sangat nyata dan handal.
"Jeng, bu Tiwi minta sambalnya dipisah aja!"
"Lah, kok dipisah sih, enaknya disatukan, bersatu kita teguh, bercerai kita ... menyatukan diri ke yang lain!" balas Ajeng.
"Ahahahahah, kampret!"
Ajeng bawakan dua nampan besar ke depan, bu Tiwi itu wanita nomor satu di sini, ibu panti sekaligus wanita yang merawat Ajeng dari kecil, kalau mau tahu Ajeng, tinggal colek bu Tiwi, cuman sejauh ini belum ada pemuda yang mau tahu soal Ajeng.
"Mbok kamu itu pake make up, Jeng. Yang segeran jadi anak gadis, gini gimana mau laku kalau kamu nggak dandan, orang ngamen aja loh yang joget itu kemarin, dandanannya nge-dove!" maksudnya terlalu tebal sampai wajah asli tidak terlihat. "Kamu jangan kalah!"
Ajeng berdecih, "Lah, standartku itu ya, Bude Lastri, dengerin!" dia duduk mendekat. "Aku nggak suka sama cowok yang menyeh-menyeh cuman mukul kendang kayak gitu, giliran yang cewek muter, dia cuman tinggal Hek-ah-hek-ah, aku pengennya ya yang duduk di kursi besar, pake seragam kayak mas Hikam itu loh, ngerti kan?"
Plak!
"Lah yang bener, Jeng? Jangan ngomongin suaminya orang, mbak Dewi dibandingin kamu ya kayak air pantai sama air bak!"
"Hish, kan sama-sama airnya!" bela Ajeng.
Hikam Mahatma, bukan pria lajang yang jelas, dia sudah menikah dan usianya lima tahun diatas Ajeng. Dia sudah hampir tujuh tahun tinggal menetap di desa ini, kerjanya di balai desa, istrinya jangan ditanya, yang dikatakan bude Lastri itu benar sekali, gadis desa paling cantik seantero raya.
Sejak Hikam menetap dan aktif di kampung ini, sejak itu juga Ajeng menjadikan Hikam model dari pasangan idamannya, bahkan ketika dia lemah, begitu Hikam lewat, batreinya terisi penuh.
Hikam dan Dewi sudah dikaruniai dua orang anak yang tampan dan cantik, keluarga muda itu tampak harmonis, bahkan kedua anak mereka yang baru sekolah TK pun sudah dikenal baik oleh warga setempat, walau mereka termasuk golongan orang berada, tapi bukan berarti mereka tak mau bergabung dengan yang model-model Ajeng begini, mereka sering ke panti.
Dag, dig, dug.
Ajeng berjinjit mengintip wajah mempesona itu, suami orang memang lebih menggoda, tapi dia tak terbesit niat menggoda Hikam hingga dia menjadi istri atau apa. Baginya, Hikam adalah pandangan, target idaman, dia harus berupaya untuk bisa mendapatkan yang sama seperti Hikam.
Salah satu upayanya ya paling tidak sedikit mirip dengan Dewi.
TIDAK MUNGKIN! (Batu-batu bahkan sampai ikut bersorak begitu.)
"Jeng, mau ke mana?" bu Tiwi tahu, hanya ingin memastikan.
"Mau nawarin cincau ke mbak Dewi, Bu. Heheheeheh, Ibu mau?"
"Cincau apa?" siapa yang masak cincau, bukannya sop kubis.
Ajeng beringsut mendekat, dia tunjukkan isian nampannya sambil cengar-cengir di depan bu Tiwi, masih belum lepas dari seleksi tahap awal.
"Jangan bikin mbak Dewi males ke sini loh, mata ini jangan asal kedip-kedip ke mas Hikam!"
"Iya, Bu. Ajeng nggak kedip godain mas Hikam, kan ini kedip alami, masa aku nggak kedip, kan nakutin!"
Ahahahah, benar. Bu Tiwi sampai tak bisa menjawab lagi, kalah sudah dengan Ajeng.
Langkah lebarnya berubah saat dia sampai di depan ruangan di mana Hikam dan Dewi berada, semua orang di sana tampak senang dengan sesi berbagi dari Hikam, bukan cuman sembako, tapi juga tanya-jawab akan hal-hal masalah pribadi, sebisa mungkin Hikam dan Dewi jawab, dulu Dewi itu mantan psikolog, begitu yang Ajeng tahu.
Tidak, dia tidak gentar, lululusan SMU itu sama, malah pengalaman jadi psikolog lebih leluasa dan lama.
Kenapa? Banyak teman galau di sekolah, sesi curhat sampai bibir pecah-pecah, belum lagi kalau curhat baru putus atau nyambung, bisa semua jam pelajaran dia saja yang mendominasi.
Ada yang menulis nama kekasihnya di tangan pakai silet, sampai tangan perih semua. Ada yang melamun di dekat jendela sambil nyanyi-nyanyi, yang lebih trend lagi, uji coba bunuh diri karena diselingkuhin pacar.
Untung Ajeng tidak pernah, lah dia tidak pernah ada yang nge-fans.
Sawo keriting, itu julukan Ajeng.
"Mas Hikam dan Mbak Dewi, jangan cuman jawab mereka aja, ayo di makan cincaunya!" Ajeng letakkan pelan-pelan bak putri Solo.
"Makasi ya, Jeng. Ini kan, sop kubis, mana ada cincau?" balas Hikam.
Cincau karena hatiku dibuat kacau sama kamu, Mas Hikam!
Auuuhh, mau berteriak sambil jingkrak-jingkrak, ingat harus jaga image.
"Bahasa keren ini, Yah!" timpal mbak Dewi.
Hikam tersenyum, dia cicipi sop kubis yang Ajeng sajikan, dia akui sambil manggut-manggut, memuji Ajeng lewat jempol yang dia angkat tinggi ke depan Ajeng.
Oh My God!
Plak!
"Jeng." bude Lastri menekan sedikit bahu Ajeng selepas memukulnya.
"Apa?"
Bude Lastri membungkuk, "Kamu jangan di sini, kan mereka mau buka sesi konsul, kok malah nontonin orang makan, sana!"
Ajeng mencebik singkat, ingat, tidak boleh berwajah jelek di depan Hikam, dia harus tampil bak Dewi, walaupun seujung kuku.
Malam harinya,
Bu Tiwi sampai lelah mencari Ajeng di mana, begitu dia ke luar ke samping panti.
"Tri, Lastriiiiiiiii!" teriaknya, bude Lastri berlari mendekat, tehnya hampir jatuh.
"Apa, Bu?"
"Itu loh, kok malah adu ayam si Ajeng!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
buk e irul
ngekek ngekek wes 🤣🤣
2022-09-12
0
Trisna
baru Pertama bca udh ngakak aku 😅😅😅😅
2022-04-04
1
Adfazha
Hai serena.. aq sofi 😁
2022-03-14
2