NovelToon NovelToon

Bojomu Semangatku

Serena Ajeng Puspita

Yuk, Kenalan sama Ajeng!

Note: Bukan soal pelakor ya, ehehehhe.

***

Sreng, sreng, sreng ....

Dibuka dengan ayunan tangan Ajeng yang tengah sibuk membuat masakan untuk anak-anak panti di desanya, setiap pagi inilah rutinitas Ajeng, dia belum menikah, tapi setiap pagi sudah masak untuk anak-anak.

Serena Ajeng Puspita, entah dari mana dan ide siapa hingga nama depan modern itu ada di nama Ajeng.

"Jeng!" bude Lastri.

"Panggil aku, Serena!"

Dia anak panti paling bongkot, bisa dibilang yang awal masuk jadi anak asuh di sini ya Ajeng, sampai detik ini, tepat diusianya yang sudah hampir menginjak angka tiga, dia masih di sana, mengabdikan diri dan belum mau menikah.

Standart pasangan idamannya tinggi, tapi dia yang tidak tinggi, ahahahaha.

Ajeng, itu yang sudah menjadi panggilan khasnya meskipun dia mau dipanggil Serena, abaikan.

Sejak dia kecil, dia tidak tahu di mana dan siapa kedua orang tuanya, yang jelas dia yakini kedua orang tuanya itu bukan orang berada karena sampai menitipkannya ke panti, katakan dan anggap saja begitu, kalau urusan sedang apa mereka saat ini, Ajeng tidak mau tahu, yang terpenting dia membaca doa setiap hari.

Ajeng hanya sebatas lulusan SMU, dia tak melanjutkan lagi mengingat bu panti sudah tua dan butuh bantuannya, bersama bude Lastri, kolaborasinya sangat nyata dan handal.

"Jeng, bu Tiwi minta sambalnya dipisah aja!"

"Lah, kok dipisah sih, enaknya disatukan, bersatu kita teguh, bercerai kita ... menyatukan diri ke yang lain!" balas Ajeng.

"Ahahahahah, kampret!"

Ajeng bawakan dua nampan besar ke depan, bu Tiwi itu wanita nomor satu di sini, ibu panti sekaligus wanita yang merawat Ajeng dari kecil, kalau mau tahu Ajeng, tinggal colek bu Tiwi, cuman sejauh ini belum ada pemuda yang mau tahu soal Ajeng.

"Mbok kamu itu pake make up, Jeng. Yang segeran jadi anak gadis, gini gimana mau laku kalau kamu nggak dandan, orang ngamen aja loh yang joget itu kemarin, dandanannya nge-dove!" maksudnya terlalu tebal sampai wajah asli tidak terlihat. "Kamu jangan kalah!"

Ajeng berdecih, "Lah, standartku itu ya, Bude Lastri, dengerin!" dia duduk mendekat. "Aku nggak suka sama cowok yang menyeh-menyeh cuman mukul kendang kayak gitu, giliran yang cewek muter, dia cuman tinggal Hek-ah-hek-ah, aku pengennya ya yang duduk di kursi besar, pake seragam kayak mas Hikam itu loh, ngerti kan?"

Plak!

"Lah yang bener, Jeng? Jangan ngomongin suaminya orang, mbak Dewi dibandingin kamu ya kayak air pantai sama air bak!"

"Hish, kan sama-sama airnya!" bela Ajeng.

Hikam Mahatma, bukan pria lajang yang jelas, dia sudah menikah dan usianya lima tahun diatas Ajeng. Dia sudah hampir tujuh tahun tinggal menetap di desa ini, kerjanya di balai desa, istrinya jangan ditanya, yang dikatakan bude Lastri itu benar sekali, gadis desa paling cantik seantero raya.

Sejak Hikam menetap dan aktif di kampung ini, sejak itu juga Ajeng menjadikan Hikam model dari pasangan idamannya, bahkan ketika dia lemah, begitu Hikam lewat, batreinya terisi penuh.

Hikam dan Dewi sudah dikaruniai dua orang anak yang tampan dan cantik, keluarga muda itu tampak harmonis, bahkan kedua anak mereka yang baru sekolah TK pun sudah dikenal baik oleh warga setempat, walau mereka termasuk golongan orang berada, tapi bukan berarti mereka tak mau bergabung dengan yang model-model Ajeng begini, mereka sering ke panti.

Dag, dig, dug.

Ajeng berjinjit mengintip wajah mempesona itu, suami orang memang lebih menggoda, tapi dia tak terbesit niat menggoda Hikam hingga dia menjadi istri atau apa. Baginya, Hikam adalah pandangan, target idaman, dia harus berupaya untuk bisa mendapatkan yang sama seperti Hikam.

Salah satu upayanya ya paling tidak sedikit mirip dengan Dewi.

TIDAK MUNGKIN! (Batu-batu bahkan sampai ikut bersorak begitu.)

"Jeng, mau ke mana?" bu Tiwi tahu, hanya ingin memastikan.

"Mau nawarin cincau ke mbak Dewi, Bu. Heheheeheh, Ibu mau?"

"Cincau apa?" siapa yang masak cincau, bukannya sop kubis.

Ajeng beringsut mendekat, dia tunjukkan isian nampannya sambil cengar-cengir di depan bu Tiwi, masih belum lepas dari seleksi tahap awal.

"Jangan bikin mbak Dewi males ke sini loh, mata ini jangan asal kedip-kedip ke mas Hikam!"

"Iya, Bu. Ajeng nggak kedip godain mas Hikam, kan ini kedip alami, masa aku nggak kedip, kan nakutin!"

Ahahahah, benar. Bu Tiwi sampai tak bisa menjawab lagi, kalah sudah dengan Ajeng.

Langkah lebarnya berubah saat dia sampai di depan ruangan di mana Hikam dan Dewi berada, semua orang di sana tampak senang dengan sesi berbagi dari Hikam, bukan cuman sembako, tapi juga tanya-jawab akan hal-hal masalah pribadi, sebisa mungkin Hikam dan Dewi jawab, dulu Dewi itu mantan psikolog, begitu yang Ajeng tahu.

Tidak, dia tidak gentar, lululusan SMU itu sama, malah pengalaman jadi psikolog lebih leluasa dan lama.

Kenapa? Banyak teman galau di sekolah, sesi curhat sampai bibir pecah-pecah, belum lagi kalau curhat baru putus atau nyambung, bisa semua jam pelajaran dia saja yang mendominasi.

Ada yang menulis nama kekasihnya di tangan pakai silet, sampai tangan perih semua. Ada yang melamun di dekat jendela sambil nyanyi-nyanyi, yang lebih trend lagi, uji coba bunuh diri karena diselingkuhin pacar.

Untung Ajeng tidak pernah, lah dia tidak pernah ada yang nge-fans.

Sawo keriting, itu julukan Ajeng.

"Mas Hikam dan Mbak Dewi, jangan cuman jawab mereka aja, ayo di makan cincaunya!" Ajeng letakkan pelan-pelan bak putri Solo.

"Makasi ya, Jeng. Ini kan, sop kubis, mana ada cincau?" balas Hikam.

Cincau karena hatiku dibuat kacau sama kamu, Mas Hikam!

Auuuhh, mau berteriak sambil jingkrak-jingkrak, ingat harus jaga image.

"Bahasa keren ini, Yah!" timpal mbak Dewi.

Hikam tersenyum, dia cicipi sop kubis yang Ajeng sajikan, dia akui sambil manggut-manggut, memuji Ajeng lewat jempol yang dia angkat tinggi ke depan Ajeng.

Oh My God!

Plak!

"Jeng." bude Lastri menekan sedikit bahu Ajeng selepas memukulnya.

"Apa?"

Bude Lastri membungkuk, "Kamu jangan di sini, kan mereka mau buka sesi konsul, kok malah nontonin orang makan, sana!"

Ajeng mencebik singkat, ingat, tidak boleh berwajah jelek di depan Hikam, dia harus tampil bak Dewi, walaupun seujung kuku.

Malam harinya,

Bu Tiwi sampai lelah mencari Ajeng di mana, begitu dia ke luar ke samping panti.

"Tri, Lastriiiiiiiii!" teriaknya, bude Lastri berlari mendekat, tehnya hampir jatuh.

"Apa, Bu?"

"Itu loh, kok malah adu ayam si Ajeng!"

Sandiwara

Aduh!

Bu Tiwi tarik telinga Ajeng, tidak hanya satu, tapi keduanya, di depan banyak anak kecil dan beberapa warga yang ikut adu ayam malam ini.

Mau jadi seperti Dewi yang bagaimana, istri mas Hikam itu jago di rumah, ibu rumah tangga sejati, makanya punya suami sebaik itu, sempurna.

Lah, ini?

"Kamu itu loh, kok malah adu ayam, kam udah tahu kalau itu dilarang, kamu ya ngaji, masa iya malah ikutan, Jeng, kasih contoh yang baik sama anak-anak, bukannya ngajak adu ayam juga, kamu itu lagi butuh uang?" dari barat ke timur ocehan bu Tiwi.

Bisa sampai lumutan kalau tidak Ajeng iyakan.

"Udah, gini aja ya, kalau kamu nggak mau berubah yang bener, gimana kalau ibu jodohin kamu sama-"

"Eits, nggak ada yang namanya bakat pencarian jodoh, Bu Tiwi yang terhormat!" langsung memotong, dia sensitif dengan kata perjodohan, sekalipun belum laku. "Ibu tahu kan kriteria Ajeng itu kayak gimana, emas berlian, Bu. Jadi, cuman Ajeng yang bisa seleksi!"

"Iya, seleksi ya nggak sama adu ayam, model mas Hikam mana mau istrinya suka adu ayam, kayak nggak ada stok cewek lagi aja, jangan banyak alesan kamu ya, malu-maluin Ibu aja!"

Heuh, Ajeng memutar kedua bola matanya jengah, begini sudah kalau ibu negaranya marah, bisa meledak sampai dia dikunci di dalam kamar kalau parah.

Ya, bukan masalah dan bukan salah bu Tiwi, Ajeng tahu itu, wanita itu hanya bertanggung jawab, tidak, lebih tepatnya dia mencoba terus menjalankan tanggung jawabnya sebagai wanita yang pertama kali menerima Ajeng saat bayi, dia merasa mempunyai tanggung jawab atas masa depan Ajeng.

Bude Lastri diam-diam masuk ke kamar bu Tiwi, setelah dia pastikan Ajeng ke luar ruangan dan kembali ke kamarnya.

"Kenapa, Bu Tiwi?" tanyanya, suka gosip di malam hari.

Bu Tiwi membuang napas kasar berulang kali, dia tak akan tinggal diam dalam urusan hidup Ajeng, mana dia mau kalau nanti Ajeng jadi janda seperti bude Lastri, dia punya bayangan masa depan cerah untuk Ajeng.

Yang dipikirkan masa depannya malah adu ayam, rese!

"Sama anaknya pak Kades, Bu?" syok, mendekap dadanya, takut langsung serangan jantung mendadak, bahaya. "Gini loh, Bu!" mendekat, siap gosip lagi.

Bude Lastri berikan gambaran akan anak pak Kades yang akan dikenalkan pada Ajeng.

"Loh, yang dimaksud itu anaknya pak Kades siapa sih?"

"Loalah, dari tadi kamu dengerin aku itu nggak paham, Triiii ... bukan yang anaknya pak Kades kemarin, yang kemarinnya lagi!" maksudnya bu Tiwi mantan pak Kades, begitu saja susah dia menyebutnya.

Gubrak!

Bude Lastri justru terjungkal dua kali dari duduknya, maklum cuman kursi plastik grade bawah, plastiknya suka melengkung, bikin bokong bergoyang.

"Mas Arya, yang keluar masuk ajeb-ajeb itu? Yang pernah salah tahanan itu? Yang pernah jadi bencong buat ngamen itu? Yang-"

"Sssttttt, kok malah disebutin?!"

"Gini, Bu Tiwi-" lah, kok setan ketemu setan, kolaborasi ekstrim. "Begini loh, Bu. Coba Ibu lihat si Ajeng, dia itu udah demit banget, lah kalau sama mas Arya, kan jadi demit kuadrat, anaknya? Apa mau cetak demit?"

"Emangnya Arya itu kenapa? Pak Kades yang itu bilang kalau Arya sekarang baik, tiap kali ke masjid, terus dia suka bagi kue, dia udah jadi anak baik!"

"Duh, Bu Tiwiiiii ... kalau cuman ke masjid sama bagi kue aja ya Tarno nggak kalah, tapi ya miring dia, alias edan. Kenapa nggak sekalian Bu Tiwi kenalin Ajeng sama Tarno, biar klop, satu demit satunya lagi dibayangin demit, nanti anaknya jadi dedemit group." emosi sendiri dengan ide bu Tiwi.

Apa di kampung ini cuman mas Hikam yang baik? Kok bisa kepikiran anaknya pak mantan Kades?

***

"Halah, lo biasanya mangkal di taman kota kan?"

Ajeng berkacak pinggang, "Heh, aku itu jelek emang, Mas, tapi ya nggak doyan kerjaan mangkal, kayak nggak ada kerjaan lain aja, daripada manggal ya baikkan aku adu ayam!"

Arya Pratama, anak mantan pak Kades yang kedua, nakalnya jangan diukur lagi, habis penggaris hanya untuk mengukur kenakalannya, entah penjara mana yang belum dia kunjungi, sejauh ini hanya masalah obat-obatan yang dia hindari, lainnya sikat sampai habis.

Termasuk menyewa wanita, mungkin disuruh masak di kos-nya.

"Nggak sudi aku jalan sama kamu malam ini, apalagi ngaku jadi pacar kamu di depan buapakmu itu, rusak harga diri Ajeng!"

"Halah, lagian lo juga pasti udah nggak perawan, nggak usah jual mahal!" balas Arya.

Nggak perawan?!

Penghinaan sejati ini namanya, jangankan ada yang merobek selaput keperawanannya, yang mendekat bilang suka saja satu tidak ada,

Brak!!

"Seleraku itu nggak kayak kamu yang iblis sejati, Mas Arya harus tahu, kiblatku itu ke mas Hikam, suaminya mbak Dewi, itu malaikat," jelasnya.

"Ahahahahahahahaha, dekil kayak lo mau sama Hikam, beuuuhhhh ... bisa gantung diri Hikam cuman gara-gara lo sukain, bego!"

"Lah, kenapa gantung diri?" meletakkan kembali sapunya, mendekat penasaran. "Selama ini mas Hikam biasa aja ketemu aku kok!"

"Ya, biasa, ditahanlah, dia kan imagenya baik di sini!" jawab Arya.

Cih,

Ajeng berikan sapunya pada Arya, meminta pemuda itu pergi dari pandangannya, malas dan merusak mood bertemu dengan titisan demit satu itu, bapaknya saja sampai turun jabatan karena dia.

Masih teringat jelas saat pertama kali Ajeng melihat Hikam, jantungnya berdegub sangat kencang, bertalu-talu, keringatnya bercucuran, rambutnya gatal semua, dadanya sesak, tangan dan kakinya kesemutan.

Dia baru merasakan sengatan cinta yang katanya teman SMU dulu sampai seperti ada yang mencubit dalam hati, itu ya karena melihat Hikam.

Dia langsung menjadikan Hikam itu karakter suami atau gambaran suami masa depannya.

"Dari mana, Jeng?"

"Eh, Mas Hikam, ya ampun perhatian deh!"

"Ahahahag, enggak gitu, kan kita ketemu di jalanan ini-"

"Iya, ini jalan kenangan Mas Hikam kan?"

'Kenangan apa?"

"Ketemu bidadari kayak-" sadar, dia sudah seperti orang gila di depan Hikam. "Kayak mbak Dewi, masa lupa gimana dulu ketemunya, aku aja masih inget beritanya waktu itu!"

Untung ada alasan!

Hikam terdiam sebentar sebelum akhirnya dia tertawa dan tersenyum lebar, dia iyakan pertemuannya dengan Dewi memang di jalan, tapi bukan jalan ini, intinya sama di jalanan.

"Kiat dapat suami baik?" Hikam lipat keningnya. "Suami baik itu menurut kamu yang kayak gimana?"

Les hati dimulai!

Malu-malu Ajeng menjawab, " Yang kayak Mas Hikam gini, se-kampung tahu sebaik apa Mas Hikam jadi suami di sini, sumpah!"

"Aku nggak sebaik itu, Jeng!"

Hmm, ucapan orang yang sebenarnya baik.

Tawaran Kencan

Eh, Ajeng kira tak akan tersadar dari lamunannya, Dewi berjalan dan duduk di depannya, membawa nampan berisi dua mangkok bubur penuh, sudah seperti datang ke hajatan orang hamil muda saja.

"Mbak Dewi, permisi loh, ini ada apa kok pake dikasih bubur, ada apa?" celingukan bingung, kan tadi mau diajari soal kiat mendapatkan suami yang baik setara sama Hikam.

Srup!

Dasar tidak tahu malu, gambaran jadi dewi hancur seketika, belum dijawab buburnya buat apa, sudah main sruput.

Dewi tertawa sampai giginya terlihat semua, dia tepuk lutut Ajeng.

"Jeng, maksudnya ini buat latihan kamu jalan bawa nampan penuh sama latihan makan yang cewek banget, kan katanya mau belajar dapat suami idaman, jangan dimakan dulu!"

Lah,

Brak, Ajeng letakkan bubur yang tinggal setengah itu, berjalan membawa nampan, pikirannya melayang ke mana-mana, mencari hubungan suami idaman dengan berjalan membawa nampan.

"Jadi, ibu aku sering bilang dulu, kesan pertama cowok kalau ketemu cewek itu dilihat dari jalannya, kalau bawa nampan berat itu dia pasti sedikit nunduk, itu tandanya malu, terus dia kayak bungkuk, itu tandanya dia hormat, terus langkahnya pasti kecil dan cepat, itu tandanya dia nggak suka jadi pusat perhatian, cowok pasti langsung jeduar-jeduar kalau ketemu cewek gitu!" jelas Dewi, dia pun memperagakan.

Gluk,

Jalan nunduk, bungkuk, langkah kecil cepat, lah apa ya gila Ajeng selama ini begitu, jangankan nunduk, dia justru melihat dengan jelas, buru-buru membungkuk, dadanya membusung dengan penuh percaya diri, lalu langkah kecil, dia lari sambil ngomel.

Ahahahahahah, Ajeng salah alamat sepertinya di sini, dia bertanya pada orang yang tepat, tapi dia yang salah, bebek kok disamain sama merpati, kan ya beda.

"Sudah belajarnya sama Ajeng, Nda?"

"Ahahahahah, yang ada aku ketawa sama Ajeng, gimana mau belajar, buburnya malah dimakan sama dia, terus yang satu mau dibungkus bawa pulang, katanya dia salah alamat, Yah!" Dewi tak kuasa menahan tawa di depan Hikam.

Hikam intip dari jendela, gadis yang kerap memanggilnya dan bertanya aktif kepadanya itu memang berbeda dari gadis kebanyakan, gadis desa itu pemalu puluhan persennya, kalau Ajeng dia nomor satu berani malu.

Gelengan kepala Hikam dan decakannya, jangan berpikiran Hikam perhatian lebih, dia memikirkan bu Tiwi yang sempat sedih bila pergi sebelum Ajeng menikah, Hikam ingat ucapan wanita pengurus utama panti asuhan itu.

"Ayah tahu yang bikin dia semangat belajar jadi gadis desa setiap hari itu siapa?" Dewi mau tertawa lagi.

"Siapa lagi, ya suamimu ini yang jadi semangatnya!"

"Ahahahahahaahah, kamu punya fans di sini loh, Yah!"

"Lah, kamu kok malah ketawa, apa nggak cemburu?"

"Gimana aku mau cemburu, yang Ajeng mau kan yang mirip sama kamu, bukan kamu!"

Hikam raup wajahnya, setiap hari akan ada sesuatu yang baru dari Ajeng, entah tanya masalah apa dan apa yang tidak jauh beda dari tujuan utamanya tadi, bagaimana cara memikat hati pria seperti Hikam.

Bahkan, baru saja Dewi meminta suaminya memberikan tips yang ringan, yang sekiranya Ajeng itu mudah mencerna dan mempraktekkannya

"Lah, apa sih, Bu? Beratnya di mana?"

"Ya, berat buat Ajeng, dia malem masih adu ayam, ahahahahahah. Tapi, emang dia itu jadi semangat apa-apa demi dapat yang kayak kamu, Yah!"

"Kasih tahu dia, kan sosoknya ada di kamu!" Hikam menunjuk istrinya.

"Ya itu tadi, buburnya dimakan!" astaga, mereka tertawa lagi.

***

Bu Tiwi tersingkap kaget, mantan pak Kades yang kemarin dia bahas bersama bude Lastri mendadak datang ke panti.

Bukan, bukan pak Kadesnya, maklum bu Tiwi sudah tua jadi lupa-lupa dan sedikit rabun.

"Mas Arya mau ajak Ajeng kencan?" kan, ibu pengasuh dari kecil saja mau mati bunuh diri mendengar Ajeng diajak kencan.

"Iya, kemarin saya sudah ketemu Ajeng, dia di mana ya sekarang?" Arya tidak punya pilihan lain selain Ajeng, dia harus membatalkan pertunangannya dengan gadis nomor satu desa sebelah, dengan membawa pasangan lain, yang di bawah standart, biar sekalian dia tidak dijodohkan lagi dan otomatis orang tuanya tidak suka ke Ajeng. "Tadi-"

"Gini, Mas Arya-" duh, anak asuhnya kalau malam itu adu ayam, ahahahahah. Bu Tiwi tolah-toleh mencari bude Lastri, sudah ketemu belum si Ajeng ini. "Sebentar lagi pasti pulang anaknya, Ajeng itu kalau malem, sukanya les bikin kue-"

Brak!

Ayam? Suara ayam siapa?

Bu Tiwi sontak berdiri tanpa tongkatnya, les kue gundulmu, yang datang bukan bawa kue tapi bawa ayam, bahkan dapat ayam bonus karena menang, ada uang dikucir di jambulnya lagi.

"Mas Arya, anu ini Ajeng itu-"

Ajeng menoleh pada Arya, pemuda yang terkenal sampai penduduk bawah tanah, begitu juga Arya, dari puluhan penjara yang dia masuki, baru kali ini ada manusia yang membuat dia syok berat.

Ini yang katanya mau sama Hikam, adu ayam berjambul uang?

"Lastri, ambil ayamnya, Tri!" bu Tiwi geram, mau tidak mau bude Lastri rebut ayam jagoan dan bonus dari tangan Ajeng.

Baunya, jangan ditanya, Arya sampai mual.

Tapi, dia butuh Ajeng di kencan malam ini. Dia harus membawa Ajeng, dia harus membuat bapak dan ibunya urung menjodohkan dia dengan gadis desa nomor satu desa sebelah itu.

"Heh, Mas Arya apa nggak denger aku nolak kemarin, hah?" kedua tangan di pinggang. "Aku jadi dandan bagus gini ya cuman karena pengen narik perhatian cowok kayak mas Hikam, kok yang dateng malah kamu sih?"

"Semangat lo sama usaha lo itu loh beda jalan, satu ke surga satu ke neraka, adu ayam kok mau Hikam, ya masih untung orang turunan kota kayak gue masih mau ajakin lo kencan, siapa yang mau sama model kayak lo?!" Arya melipat kedua tangannya ke depan dada.

Lah, kok malah perang? Bu Tiwi bingung mau membela siapa, panti ini juga pernah disumbang ayahnya Arya.

Wajah Ajeng memerah, ini mau ngajak kencan atau adu panco sampai mengusik keyakinannya mendapatkan yang seperti Hikam, merendahkan dia lagi.

"Kamu mau bukti aku dapet kayak mas Hikam, iya? Hiloooo, jangan ngeremehin aku ya, Mas Arya!" dia tepuk dadanya yang membusung. "Kalau bukan karena motivasi yang mas Hikam bawa, bekupon di belakang panti itu nggak akan jadi, aku nggak bakal rendah diri atau malu kayak gadis desa yang jalannya kayak siput, itu dulu, kitab lama, aku bangkit waktu mas Hikam masuk kampung ini!"

Duar!

Dulu, bu Tiwi akui itu, sempat Ajeng down, banyak yang meledeknya dan dia merasa tak sama seperti anak-anak lain, gadis muda lain, ada yang meledek fisiknya terkadang.

Tapi, begitu Hikam datang, disapa Hikam, meledak semua.

"Aku nggak mau kencan sama kamu, dibayar ember-ember ya nggak mau!" tolaknya, menghindari Arya.

"Jeng!" Arya keluarkan dompetnya, ada uang setumpuk di sana. "Uang ini cukup buat beli kandang ayam baru, gimana?"

Waduh, kandang ayamnya lapuk!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!