Perjalanan Hati Aini
Mentari pagi mulai bersinar di ufuk timur. Sinarnya yang menghangatkan bumi, memberikan beribu kebaikan bagi setiap hal yang dilaluinya. Sinar jingganya yang menghiasi langit pagi, memberikan semangat yang berbeda-beda bagi setiap asa yang masih terjaga.
"Bu', Aini pulang dulu ya! Aini harus nyiapin sarapan buat Mas Adit sebelum berangkat kerja." Pamit seorang wanita berparas lembut yang tangannya sibuk memakaikan jaket pada putranya yang berusia tiga tahun.
"Iya. Tolong sampaikan maaf Ibu untuk Adit karena sering merepotkan kalian." Jawab wanita paruh baya yang mulai renta fisiknya.
"Ibu ini bilang apa? Mana ada orang tua yang merepotkan anaknya. Lagian, Mas Adit kan juga tahu kondisi Ibu. Jadi dia nggak pernah keberatan kalau Aini kesini."
"Yasudah, hati-hati ya! Salam buat Adit."
"Iya Bu'. Aini sama Umar pulang dulu ya Bu'!" Pamit wanita itu sambil menggendong putranya.
Tiga orang berbeda generasi itu pun saling menjabat tangan. Saling mengucapkan salam perpisahan dan menyimpan kenangan sebagai obat rindu untuk beberapa hari kedepan.
Khadijah Isnaini. Wanita sederhana dengan paras yang cantik. Wajahnya selalu terlihat meneduhkan hati bagi siapa saja yang menatapnya. Bola matanya yang hitam dan tidak terlalu besar, menambah kesan lembut pada wajah dari seorang ibu beranak satu itu. Kulitnya yang kuning langsat, tertutup sempurna oleh gamis dan jilbab yang selalu ia kenakan.
Aini adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang kakak perempuan yang kini juga telah memiliki kehidupan rumah tangganya sendiri. Kakaknya yang lebih dulu menikah, hidup bersama suaminya di kota kelahiran sang suami, Semarang.
Sedang Aini, dulu tinggal bersama ibunya di kota kelahirannya, Yogyakarta. Kini, Aini juga masih tinggal di kota itu. Hanya saja, ia kini tinggal bersama suami dan putra semata wayangnya, Umar El-Farizqi. Buah pernikahannya bersama sang suami, Aditya Eka Subrata.
Adit merupakan anak tunggal dari pemilik bisnis kuliner yang sukses di berbagai kota. Bebek Goreng Bharata. Rumah makan itu telah memiliki lebih dari lima puluh cabang yang tersebar di kota-kota yang ada di Indonesia. Dan masih terus berkembang hingga kini. Bisnis itu dirintis oleh ayah Adit setelah rumah makan baksonya gulung tikar saat Adit masih duduk di bangku SMP.
Sedangkan Aini, adalah putri dari pasangan petani biasa yang hidup serba pas-pasan sejak kecil. Ayah Aini sudah tiada sejak Aini masih duduk di bangku SD. Ibunya, Ratmini, yang setelah itu membiayai hidupnya. Ia bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah pasangan dosen sebuah universitas kenamaan di kota Yogyakarta.
Tapi kini, Ratmini sudah tak lagi bekerja. Tubuhnya yang sudah sering sakit-sakitan dan memiliki riwayat sakit asma, membuatnya tak lagi kuat bekerja. Ia mengandalkan tabungan yang ia miliki selama bekerja beberapa tahun di rumah majikannya.
Aini mengendarai motor matiknya bersama sang putra dengan hati yang gelisah. Ia tak tahu kenapa. Tapi, hatinya benar-benar tidak tenang sejak semalam.
Adit biasanya ikut menginap di rumah Ratmini jika Aini menginap disana. Tapi tidak kali ini. Adit ada acara Reuni bersama teman-teman SMA-nya kemarin, jadi ia tak ikut menginap. Aini akhirnya mengunjungi rumah Ratmini menggunakan motornya bersama Umar. Ia tak ingin menganggu acara sang suami bersama teman-temannya.
"Assalamu'alaikum. Mas!" Sapa Aini saat ia berusaha membuka kunci pintu rumahnya.
"Kenapa pintunya nggak dikunci? Mas Adit sudah keluar tadi?" Gumam Aini saat mendapati pintu rumahnya tidak dikunci.
Aini segera mengajak putranya masuk ke rumah. Rumah masih sepi dan sedikit berantakan. Ada tiga gelas cangkir yang masih ada di meja ruang tamunya.
"Kok sepi? Ayah! Yah!" Aini mencoba memanggil suaminya sembari meletakkan tas yang ia bawa di atas meja makan.
Tapi tetap tak ada jawaban.
"Umar di sini sebentar ya Sayang! Bunda bangunin Ayah di kamar. Umar mau makan kue lagi?"
Anak laki-laki berusia tiga tahun itu pun mengangguk patuh. Ia duduk di salah satu kursi makan menunggu sang bunda mengambilkan kue yang tadi dibawa dari rumah neneknya.
Setelah menyiapkan tiga potong kue lapis legit di atas piring kecil dan segelas air putih untuk Umar, Aini segera menuju kamarnya. Ia berniat membangunkan Adit yang mungkin sedang di kamarnya bersiap untuk berangkat bekerja. Itu pemikiran Aini.
Ceklek.
"Mas,,"
Aini segera kembali menutup pintu kamarnya. Tubuhnya mendadak kehilangan kekuatan. Dadanya terasa begitu sesak dan bergemuruh. Nafasnya memburu tak beraturan. Tatapannya mendadak kosong.
Aini berusaha mengatur nafasnya. Mengatur perasaannya yang berkecamuk seketika. Ia sejenak menoleh pada putranya yang sedang menikmati kue yang tadi ia siapkan. Ia meyakinkan dirinya untuk membuka kembali pintu kamarnya.
Terasa begitu berat tangan Aini untuk membuka pintu kamarnya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa yang ia lihat tadi adalah salah. Yang Aini lihat di kamarnya lebih tepatnya.
Ceklek. Aini kembali membuka pintu kamarnya perlahan. Dan tanpa ia sadari, air matanya menetes melihat apa yang tadi sempat ia lihat sekilas ternyata benar adanya.
Sang suami, Adit, sedang tidur dengan seorang wanita dibawah selimut yang sama. Dan nampak di mata Aini, sepertinya mereka tidak mengenakan pakaian di bawah selimutnya. Hati Aini makin hancur, ketika menyadari bahwa wanita yang ada di tempatnya biasa tertidur bersama Adit, adalah seseorang yang sangat ia kenali.
Aini mulai melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Tak lupa, ia kembali menutup pintunya, agar putranya tidak melihat pemandangan yang tak seharusnya itu.
Dilihatnya kamarnya yang kemarin ia tinggal masih tertata rapi, tapi kini nampak begitu berantakan. Baju-baju dua orang yang masih terlelap bersama itu, tergeletak tak beraturan.
Aini mengusap kasar wajahnya yang basah.
"Mas, bangun Mas! Mas!" Ucap Aini sambil menggoyangkan lengan Adit.
Adit sedikit menggeliat. Ia pun lalu membuka matanya.
"Kamu sudah pulang?" Sahut Adit ringan.
Aini hanya tersenyum kecil. Ia lantas berjalan memutari ranjangnya. Adit pun mengikuti kemana Aini melangkah.
"Astaga!" Adit berjingkat dan segera bangun dari posisinya.
"Mbak, Mbak Ratri! Bangunlah Mbak!" Ucap Aini sembari menyentuh pelan lengan polos wanita yang tidur di ranjangnya.
Wanita itu sedikit menggeliat, kemudian membuka matanya.
"Aini? Kenapa kamu di sini?" Tanyanya polos.
Aini hanya menyunggingkan senyumnya.
"Sayang, dengarkan penjelasanku! Ini tidak seperti yang kamu lihat." Ucap Adit segera sambil sedikit merangkak mendekati Aini di sisi lain ranjangnya.
"Astaga!" Ucap wanita itu, yang bernama Ratri.
"Kalian mandilah dulu! Aku tunggu di depan, kita sarapan bersama." Jawab Aini singkat tanpa ekspresi.
Adit segera turun dari ranjangnya. Ia benar-benar lupa bahwa ia masih belum mengenakan pakaian apapun di bawah selimutnya. Ia menghampiri Aini yang mulai berjalan menuju pintu kamar.
"Sayang, dengarkan aku!" Cegah Adit cepat sambil meraih kedua lengan Aini.
"Mas, kamu tidak memakai apapun." Jawab Aini datar dengan tatapan kosong pada Adit.
"Argh, sial!" Umpat Adit yang menyadari keadaannya.
Adit segera berlari ke kamar mandi. Aini pun segera keluar dari kamarnya. Tubuhnya merosot sempurna bersandar pada pintu kamarnya. Tangisnya kembali pecah mengingat apa yang baru saja ia hadapi.
"Assalamu'alaikum." Ucap seorang wanita dari depan rumah Aini.
"Astaghfirullah. Ujian apa ini ya Allah?" Batin Aini pedih saat mendengar suara itu menggema di rumahnya.
Suara dari seseorang yang sangat Aini kenali. Umar yang sedang asik menikmati kuenya, segera turun dari kursinya dan berlari menghampiri orang yang mengucap salam tadi, yang mulai memasuki rumahnya.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Aini sambil berusaha menghilangkan bekas air mata di wajahnya, seraya berjalan ke arah pintu depan.
"Utii!" Panggil Umar bahagia.
Usia Umar memang baru tiga tahun, tapi ia sudah bisa mengucapkan beberapa kata dengan cukup jelas. Termasuk panggilan kepada beberapa orang.
Iya, yang datang adalah ibu Adit, Suharti.
"Eh, cucu Uti sudah pulang." Jawab Suharti ramah seraya meraih tubuh Umar dan menggendongnya.
"Iya Bu'." Sahut Aini yang datang menghampiri dua orang yang saling tersenyum.
Aini pun menyalami mertuanya.
"Mana Adit?" Tanya Suharti datar.
"Mas Adit sedang mandi Bu'." Jujur Aini.
Suharti segera melangkahkan kakinya meninggalkan Aini. Ia biasa datang sendiri jika pagi hari, dengan mengendarai sepeda elektriknya. Sang suami, Hadi Subrata, selalu sibuk dengan peliharaannya jika pagi hari.
"Apa usahaku semalam berhasil?" Batin Suharti sambil berjalan menuju kamar putranya.
Aini kebingungan melihat mertuanya berjalan menuju kamarnya. Ia tak memiliki alasan untuk mencegah mertuanya masuk ke kamarnya yang belum ia bereskan. Dan bahkan, masih ada wanita lain di dalam kamarnya.
"Ibu sudah sarapan?" Tanya Aini cepat.
"Sudah." Jawab Suharti singkat.
"Duduk dulu Bu', Aini buatkan minum!" Pinta Aini sopan.
"Ibu mau bicara sama Adit." Sahut Suharti datar.
Memang seperti itulah sikap Suharti kepada Aini. Ketus. Ia memang tidak menyukai Aini sejak awal. Hanya karena latar belakang keluarga Aini yang tak selevel dengannya. Bahkan, ia dulu menentang dengan sangat keras pernikahan Adit dan Aini, hingga kini.
"Ayah." Ucap Umar polos.
"Iya Sayang, kita ke kamar ya ketemu sama Ayah." Sahut Suharti lembut seraya mendaratkan kecupan di pipi gembul cucunya.
Ah ya, meski Suharti tidak menyukai Aini, tapi ia sangat menyayangi Umar, cucu semata wayangnya.
Aini makin panik. Ia tak bisa mencegah ibunya datang ke kamarnya. Yang ia yakini, Adit dan Ratri pasti belumlah selesai membersihkan diri.
"Dit!" Panggil Suharti lembut seraya membuka pintu kamar putranya.
Adit yang baru saja keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan handuk untyk menutupi bagian bawah tubuhnya dan Ratri yang masih membelitkan selimut ke tubuhnya dan hendak mandi, terkejut bukan main saat pintu kamar terbuka. Terlebih, bukan Aini yang membukanya.
"Ibu?" Ucap Adit dan Ratri bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan?" Bentak Suharti keras.
Aini segera merebut Umar dari tangan Suharti. Ia tak ingin, putranya mendengar atau bahkan melihat hal yang tak sepatutnya dilihat oleh anak seusianya. Aini membawa Umar sedikit menjauh dari kamarnya.
Bola mata Suharti membulat sempurna. Dadanya terasa bergemuruh melihat pemandangan yang ada di kamar putranya.
"Adit bisa jelaskan Bu'. Ini tidak seperti yang terlihat." Ucap Adit cepat.
"Apa yang ingin kamu jelaskan? Jelas ada Ratri di kamarmu. Dan dia tidak berpakaian? Apa yang sudah kalian lakukan?" Cecar Suharti.
"Itu, itu, itu salah paham Bu'." Ucap Adit terbata-bata.
Adit sejak tadi berusaha mengingat apa yang sudah terjadi semalam, tapi belum begitu jelas di ingatannya. Ia juga berusaha menenangkan ibunya yang terlihat begitu marah karena melihatnya bersama Ratri di kamarnya pagi-pagi.
Sedang Ratri, segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia merasa sangat malu, bisa kepergok oleh dua orang wanita yang berarti bagi Adit. Ia pun juga berusaha mengingat apa yang terjadi padanya dan Adit semalam, hingga ia bisa tidur bersama Adit dalam keadaan tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Dan ia bahkan merasakan nyeri di bagian inti tubuhnya.
"Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu Dit! Ibu nggak mau sampai ada aib yang tersebar dari keluarga kita." Ucap Suharti tegas setelah sedikit beradu argumen dengan putranya.
"Tapi Bu',,"
"Nggak ada tapi. Nikahi Ratri secepatnya!" Pinta Suharti tegas bersamaan dengan Ratri yang baru saja keluar dari kamar mandi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Masiah Cia
mertua laknat
2023-10-15
1
Enih Rustini
perbuatan sang mertua gendeng
2023-02-14
1
Attuy
mertua nyebelin😡
2022-08-21
4