Mentari pagi mulai bersinar di ufuk timur. Sinarnya yang menghangatkan bumi, memberikan beribu kebaikan bagi setiap hal yang dilaluinya. Sinar jingganya yang menghiasi langit pagi, memberikan semangat yang berbeda-beda bagi setiap asa yang masih terjaga.
"Bu', Aini pulang dulu ya! Aini harus nyiapin sarapan buat Mas Adit sebelum berangkat kerja." Pamit seorang wanita berparas lembut yang tangannya sibuk memakaikan jaket pada putranya yang berusia tiga tahun.
"Iya. Tolong sampaikan maaf Ibu untuk Adit karena sering merepotkan kalian." Jawab wanita paruh baya yang mulai renta fisiknya.
"Ibu ini bilang apa? Mana ada orang tua yang merepotkan anaknya. Lagian, Mas Adit kan juga tahu kondisi Ibu. Jadi dia nggak pernah keberatan kalau Aini kesini."
"Yasudah, hati-hati ya! Salam buat Adit."
"Iya Bu'. Aini sama Umar pulang dulu ya Bu'!" Pamit wanita itu sambil menggendong putranya.
Tiga orang berbeda generasi itu pun saling menjabat tangan. Saling mengucapkan salam perpisahan dan menyimpan kenangan sebagai obat rindu untuk beberapa hari kedepan.
Khadijah Isnaini. Wanita sederhana dengan paras yang cantik. Wajahnya selalu terlihat meneduhkan hati bagi siapa saja yang menatapnya. Bola matanya yang hitam dan tidak terlalu besar, menambah kesan lembut pada wajah dari seorang ibu beranak satu itu. Kulitnya yang kuning langsat, tertutup sempurna oleh gamis dan jilbab yang selalu ia kenakan.
Aini adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia memiliki seorang kakak perempuan yang kini juga telah memiliki kehidupan rumah tangganya sendiri. Kakaknya yang lebih dulu menikah, hidup bersama suaminya di kota kelahiran sang suami, Semarang.
Sedang Aini, dulu tinggal bersama ibunya di kota kelahirannya, Yogyakarta. Kini, Aini juga masih tinggal di kota itu. Hanya saja, ia kini tinggal bersama suami dan putra semata wayangnya, Umar El-Farizqi. Buah pernikahannya bersama sang suami, Aditya Eka Subrata.
Adit merupakan anak tunggal dari pemilik bisnis kuliner yang sukses di berbagai kota. Bebek Goreng Bharata. Rumah makan itu telah memiliki lebih dari lima puluh cabang yang tersebar di kota-kota yang ada di Indonesia. Dan masih terus berkembang hingga kini. Bisnis itu dirintis oleh ayah Adit setelah rumah makan baksonya gulung tikar saat Adit masih duduk di bangku SMP.
Sedangkan Aini, adalah putri dari pasangan petani biasa yang hidup serba pas-pasan sejak kecil. Ayah Aini sudah tiada sejak Aini masih duduk di bangku SD. Ibunya, Ratmini, yang setelah itu membiayai hidupnya. Ia bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah pasangan dosen sebuah universitas kenamaan di kota Yogyakarta.
Tapi kini, Ratmini sudah tak lagi bekerja. Tubuhnya yang sudah sering sakit-sakitan dan memiliki riwayat sakit asma, membuatnya tak lagi kuat bekerja. Ia mengandalkan tabungan yang ia miliki selama bekerja beberapa tahun di rumah majikannya.
Aini mengendarai motor matiknya bersama sang putra dengan hati yang gelisah. Ia tak tahu kenapa. Tapi, hatinya benar-benar tidak tenang sejak semalam.
Adit biasanya ikut menginap di rumah Ratmini jika Aini menginap disana. Tapi tidak kali ini. Adit ada acara Reuni bersama teman-teman SMA-nya kemarin, jadi ia tak ikut menginap. Aini akhirnya mengunjungi rumah Ratmini menggunakan motornya bersama Umar. Ia tak ingin menganggu acara sang suami bersama teman-temannya.
"Assalamu'alaikum. Mas!" Sapa Aini saat ia berusaha membuka kunci pintu rumahnya.
"Kenapa pintunya nggak dikunci? Mas Adit sudah keluar tadi?" Gumam Aini saat mendapati pintu rumahnya tidak dikunci.
Aini segera mengajak putranya masuk ke rumah. Rumah masih sepi dan sedikit berantakan. Ada tiga gelas cangkir yang masih ada di meja ruang tamunya.
"Kok sepi? Ayah! Yah!" Aini mencoba memanggil suaminya sembari meletakkan tas yang ia bawa di atas meja makan.
Tapi tetap tak ada jawaban.
"Umar di sini sebentar ya Sayang! Bunda bangunin Ayah di kamar. Umar mau makan kue lagi?"
Anak laki-laki berusia tiga tahun itu pun mengangguk patuh. Ia duduk di salah satu kursi makan menunggu sang bunda mengambilkan kue yang tadi dibawa dari rumah neneknya.
Setelah menyiapkan tiga potong kue lapis legit di atas piring kecil dan segelas air putih untuk Umar, Aini segera menuju kamarnya. Ia berniat membangunkan Adit yang mungkin sedang di kamarnya bersiap untuk berangkat bekerja. Itu pemikiran Aini.
Ceklek.
"Mas,,"
Aini segera kembali menutup pintu kamarnya. Tubuhnya mendadak kehilangan kekuatan. Dadanya terasa begitu sesak dan bergemuruh. Nafasnya memburu tak beraturan. Tatapannya mendadak kosong.
Aini berusaha mengatur nafasnya. Mengatur perasaannya yang berkecamuk seketika. Ia sejenak menoleh pada putranya yang sedang menikmati kue yang tadi ia siapkan. Ia meyakinkan dirinya untuk membuka kembali pintu kamarnya.
Terasa begitu berat tangan Aini untuk membuka pintu kamarnya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa yang ia lihat tadi adalah salah. Yang Aini lihat di kamarnya lebih tepatnya.
Ceklek. Aini kembali membuka pintu kamarnya perlahan. Dan tanpa ia sadari, air matanya menetes melihat apa yang tadi sempat ia lihat sekilas ternyata benar adanya.
Sang suami, Adit, sedang tidur dengan seorang wanita dibawah selimut yang sama. Dan nampak di mata Aini, sepertinya mereka tidak mengenakan pakaian di bawah selimutnya. Hati Aini makin hancur, ketika menyadari bahwa wanita yang ada di tempatnya biasa tertidur bersama Adit, adalah seseorang yang sangat ia kenali.
Aini mulai melangkahkan kakinya memasuki kamarnya. Tak lupa, ia kembali menutup pintunya, agar putranya tidak melihat pemandangan yang tak seharusnya itu.
Dilihatnya kamarnya yang kemarin ia tinggal masih tertata rapi, tapi kini nampak begitu berantakan. Baju-baju dua orang yang masih terlelap bersama itu, tergeletak tak beraturan.
Aini mengusap kasar wajahnya yang basah.
"Mas, bangun Mas! Mas!" Ucap Aini sambil menggoyangkan lengan Adit.
Adit sedikit menggeliat. Ia pun lalu membuka matanya.
"Kamu sudah pulang?" Sahut Adit ringan.
Aini hanya tersenyum kecil. Ia lantas berjalan memutari ranjangnya. Adit pun mengikuti kemana Aini melangkah.
"Astaga!" Adit berjingkat dan segera bangun dari posisinya.
"Mbak, Mbak Ratri! Bangunlah Mbak!" Ucap Aini sembari menyentuh pelan lengan polos wanita yang tidur di ranjangnya.
Wanita itu sedikit menggeliat, kemudian membuka matanya.
"Aini? Kenapa kamu di sini?" Tanyanya polos.
Aini hanya menyunggingkan senyumnya.
"Sayang, dengarkan penjelasanku! Ini tidak seperti yang kamu lihat." Ucap Adit segera sambil sedikit merangkak mendekati Aini di sisi lain ranjangnya.
"Astaga!" Ucap wanita itu, yang bernama Ratri.
"Kalian mandilah dulu! Aku tunggu di depan, kita sarapan bersama." Jawab Aini singkat tanpa ekspresi.
Adit segera turun dari ranjangnya. Ia benar-benar lupa bahwa ia masih belum mengenakan pakaian apapun di bawah selimutnya. Ia menghampiri Aini yang mulai berjalan menuju pintu kamar.
"Sayang, dengarkan aku!" Cegah Adit cepat sambil meraih kedua lengan Aini.
"Mas, kamu tidak memakai apapun." Jawab Aini datar dengan tatapan kosong pada Adit.
"Argh, sial!" Umpat Adit yang menyadari keadaannya.
Adit segera berlari ke kamar mandi. Aini pun segera keluar dari kamarnya. Tubuhnya merosot sempurna bersandar pada pintu kamarnya. Tangisnya kembali pecah mengingat apa yang baru saja ia hadapi.
"Assalamu'alaikum." Ucap seorang wanita dari depan rumah Aini.
"Astaghfirullah. Ujian apa ini ya Allah?" Batin Aini pedih saat mendengar suara itu menggema di rumahnya.
Suara dari seseorang yang sangat Aini kenali. Umar yang sedang asik menikmati kuenya, segera turun dari kursinya dan berlari menghampiri orang yang mengucap salam tadi, yang mulai memasuki rumahnya.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Aini sambil berusaha menghilangkan bekas air mata di wajahnya, seraya berjalan ke arah pintu depan.
"Utii!" Panggil Umar bahagia.
Usia Umar memang baru tiga tahun, tapi ia sudah bisa mengucapkan beberapa kata dengan cukup jelas. Termasuk panggilan kepada beberapa orang.
Iya, yang datang adalah ibu Adit, Suharti.
"Eh, cucu Uti sudah pulang." Jawab Suharti ramah seraya meraih tubuh Umar dan menggendongnya.
"Iya Bu'." Sahut Aini yang datang menghampiri dua orang yang saling tersenyum.
Aini pun menyalami mertuanya.
"Mana Adit?" Tanya Suharti datar.
"Mas Adit sedang mandi Bu'." Jujur Aini.
Suharti segera melangkahkan kakinya meninggalkan Aini. Ia biasa datang sendiri jika pagi hari, dengan mengendarai sepeda elektriknya. Sang suami, Hadi Subrata, selalu sibuk dengan peliharaannya jika pagi hari.
"Apa usahaku semalam berhasil?" Batin Suharti sambil berjalan menuju kamar putranya.
Aini kebingungan melihat mertuanya berjalan menuju kamarnya. Ia tak memiliki alasan untuk mencegah mertuanya masuk ke kamarnya yang belum ia bereskan. Dan bahkan, masih ada wanita lain di dalam kamarnya.
"Ibu sudah sarapan?" Tanya Aini cepat.
"Sudah." Jawab Suharti singkat.
"Duduk dulu Bu', Aini buatkan minum!" Pinta Aini sopan.
"Ibu mau bicara sama Adit." Sahut Suharti datar.
Memang seperti itulah sikap Suharti kepada Aini. Ketus. Ia memang tidak menyukai Aini sejak awal. Hanya karena latar belakang keluarga Aini yang tak selevel dengannya. Bahkan, ia dulu menentang dengan sangat keras pernikahan Adit dan Aini, hingga kini.
"Ayah." Ucap Umar polos.
"Iya Sayang, kita ke kamar ya ketemu sama Ayah." Sahut Suharti lembut seraya mendaratkan kecupan di pipi gembul cucunya.
Ah ya, meski Suharti tidak menyukai Aini, tapi ia sangat menyayangi Umar, cucu semata wayangnya.
Aini makin panik. Ia tak bisa mencegah ibunya datang ke kamarnya. Yang ia yakini, Adit dan Ratri pasti belumlah selesai membersihkan diri.
"Dit!" Panggil Suharti lembut seraya membuka pintu kamar putranya.
Adit yang baru saja keluar dari kamar mandi yang hanya mengenakan handuk untyk menutupi bagian bawah tubuhnya dan Ratri yang masih membelitkan selimut ke tubuhnya dan hendak mandi, terkejut bukan main saat pintu kamar terbuka. Terlebih, bukan Aini yang membukanya.
"Ibu?" Ucap Adit dan Ratri bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan?" Bentak Suharti keras.
Aini segera merebut Umar dari tangan Suharti. Ia tak ingin, putranya mendengar atau bahkan melihat hal yang tak sepatutnya dilihat oleh anak seusianya. Aini membawa Umar sedikit menjauh dari kamarnya.
Bola mata Suharti membulat sempurna. Dadanya terasa bergemuruh melihat pemandangan yang ada di kamar putranya.
"Adit bisa jelaskan Bu'. Ini tidak seperti yang terlihat." Ucap Adit cepat.
"Apa yang ingin kamu jelaskan? Jelas ada Ratri di kamarmu. Dan dia tidak berpakaian? Apa yang sudah kalian lakukan?" Cecar Suharti.
"Itu, itu, itu salah paham Bu'." Ucap Adit terbata-bata.
Adit sejak tadi berusaha mengingat apa yang sudah terjadi semalam, tapi belum begitu jelas di ingatannya. Ia juga berusaha menenangkan ibunya yang terlihat begitu marah karena melihatnya bersama Ratri di kamarnya pagi-pagi.
Sedang Ratri, segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia merasa sangat malu, bisa kepergok oleh dua orang wanita yang berarti bagi Adit. Ia pun juga berusaha mengingat apa yang terjadi padanya dan Adit semalam, hingga ia bisa tidur bersama Adit dalam keadaan tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Dan ia bahkan merasakan nyeri di bagian inti tubuhnya.
"Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu Dit! Ibu nggak mau sampai ada aib yang tersebar dari keluarga kita." Ucap Suharti tegas setelah sedikit beradu argumen dengan putranya.
"Tapi Bu',,"
"Nggak ada tapi. Nikahi Ratri secepatnya!" Pinta Suharti tegas bersamaan dengan Ratri yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Flashback On
"Oke Bro, kita kumpul-kumpul lagi lain kali!" Ucap seorang laki-laki berperawakan tinggi dan sedikit gemuk.
"Oke. Kalau nunggu reuni lagi, kelamaan." Sahut laki-laki lain yang berperawakan lebih kurus.
"Bener tuh." Sahut laki-laki satu lagi, dengan postur tubuh yang tinggi tegap, yang tak lain adalah Adit.
Adit dan dua temannya baru saja keluar dari sebuah restoran dimana acara reuni SMA-nya diselenggarakan. Acara sudah berlangsung sejak siang dan selesai sejak pukul tujuh tadi. Tapi, banyak diantara mereka yang masih tinggal dan mengobrol sebelum pulang ke rumah masing-masing.
"Kenapa Rat?" Tanya laki-laki paling gemuk diantara ketiga laki-laki tadi, Edo.
"Mobilku mogok Do kayaknya." Sahut seorang wanita yang baru saja keluar dari mobilnya.
"Dit, rumah kalian kan searah, anterin Ratri gih, sekalian pulang!" Usul laki-laki yang satu lagi, Erik.
"Eh, nggak usah Rik! Aku naik taksi online aja." Jawab wanita itu, yang tak lain adalah Ratri.
"Udah malem gini Rat! Kamu nggak takut naik taksi online sendirian? Ini udah jam sembilan lho." Sahut Edo perhatian.
"Iya Rat, bener tuh kata Edo. Mending kamu pulang bareng Adit aja, kan rumahnya searah. Ya kan Dit?" Imbuh Erik.
Adit hanya diam tak merespon. Ia kebingungan menanggapi usulan dua temannya. Ia sebenarnya kasihan dengan keadaan Ratri, tapi ia takut, jika akan ada yang salah mengartikan niat baiknya. Mengingat, Adit dan Ratri memiliki kenangan indah saat SMA dulu.
"Nggak papa Rik! Nggak enak sama istrinya Adit." Sahut Ratri menengahi, karena tak mendapat respon dari Adit.
"Setahuku, istrinya Adit baik kok. Lagi pula, Adit bilang tadi, istrinya baru ke rumah ibunya. Ya kan Dit?" Sahut Erik lagi.
Adit masih diam.
"Maksud lo gimana bilang gitu?" Geram Edo pada Erik dengan tatapan tajam.
"Eh? Maksud aku, selama mereka nggak aneh-aneh, kan nggak akan ada yang salah paham juga." Ucap Erik gelagapan.
"Lo pikir gue laki apaan?" Geram Adit sambil memukul kepala Erik.
"Laki beneran." Sahut Erik cengengesan sambil mengusap kepalanya.
"Udah nggak papa, aku naik taksi online aja. Makasih ya." Sahut Ratri kemudian.
"Bareng aku aja! Rumahmu belum pindah kan?" Ucap Adit tiba-tiba.
Semua menoleh pada Adit.
"Dari tadi kek Bro!" Timpal Erik.
"Nggak usah Dit! Makasih! Nggak enak sama istrimu nanti." Ucap Ratri tulus.
"Nanti aku yang jelasin ke Aini." Jawab Adit santai.
"Udah Rat, nggak papa! Kondisi Jogja kan baru nggak aman akhir-akhir ini." Timpal Erik.
Ratri terdiam. Ia memikirkan apa yang Erik ucapkan baru saja. Memang benar, keadaan kota Jogja sedang kurang kondusif belakangan ini. Banyak terjadi kejahatan tanpa alasan di jalan raya. Dan korbannya pun tak pandang laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Dan itu sudah sangat meresahkan warganya.
"Udah sana! Mobil Ratri, biar aku sama Edo yang nitip ke pihak resto."
Erik mendorong Ratri dan Adit bersamaan menuju mobil Adit yang terparkir tak jauh dari mobil Ratri. Sedang Edo, hanya menggelengkan kepalanya.
Adit pun berpamitan sekenanya pada dua temannya itu. Ia dan Ratri segera masuk ke mobil. Dan saat mereka sudah masuk, ponsel Adit berdering.
"Aku terima telepon sebentar ya!" Ucap Adit sungkan.
"Iya, silahkan." Sahut Ratri.
Ratri sedikit menyibukkan diri dengan ponselnya sembari menunggu Adit menelepon. Yang ternyata, ibunya Adit lah yang menelepon.
"Kamu dimana Dit? Ditelepon dari tadi nggak diangkat? Istri kamu juga kemana? Ibu udah nunggu dari tadi di depan rumah nggak ada yang bukain pintu."
"Maaf Bu', Adit baru reuni di daerah Godean. Aini sama Umar baru ke rumah Bu Ratmi sore tadi. Mereka mau nginep di sana Bu'." Jujur Adit.
"Yaudah, cepet pulang! Ibu ditinggal Bapak ke rumah Pak Joyo."
"Iya Bu, Adit pulang sekarang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Adit pun mematikan teleponnya. Ia menoleh pada Ratri yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Sorry Rat! Kita ke rumahku dulu ya! Ibu datang ke rumah, nggak ada yang bukain pintu." Jujur Adit.
"Kalau gitu, aku naik taksi aja. Aku nggak enak sama ibumu." Sahut Ratri sungkan.
"Nggak papa. Biar nanti aku yang jelasin ke Ibu."
Adit pun segera menyalakan mobilnya dan segera melajukannya ke rumahnya. Memang jarak tempat reuni dengan rumah Adit sedikit jauh, tapi karena Adit memacu mobilnya lebih kencang dari biasanya, ia pun segera sampai ke rumah. Ia merasa tak enak hati dengan ibunya karena membiarkannya menunggu di luar.
"Maaf Bu', tadi keasyikan ngobrol sama teman lama." Ucap Adit cepat setelah turun dari mobil dan menyalami ibunya.
Suharti kesal bukan main dengan putra dan menantunya. Ia bukan hanya batal bertemu dan bermain bersama cucunya, bahkan malah harus menunggu putranya pulang dari reuninya bersama teman lama.
Tapi seketika kekesalannya hilang. Saat tiba-tiba, Ratri turun dari mobil Adit. Ratri awalnya tak ingin turun, tapi ia tak enak hati jika tak menyapa orang yang ia kenali dan sudah lama tak ia temui.
"Kamu Ratri kan?" Tanya Suharti cepat.
"Iya Bu', ini Ratri." Jawab Ratri setelah menyalami Suharti.
Kedua orang tua Adit sudah mengenal Ratri sejak SMA. Mengingat, Adit memang dekat dengan Ratri sejak kelas satu SMA. Mereka sering mendapat tugas kelompok bersama saat itu. Jadi, mau tak mau, kedua orang tua Adit pun mengenal beberapa teman SMA Adit. Salah satunya Ratri.
"Ayo masuk dulu!" Ajak Suharti ramah.
"Tidak usah Bu', terima kasih." Jawab Ratri sungkan.
"Adit anter Ratri pulang dulu Bu'! Mobil Ratri tadi mogok, jadi sekalian pulang bareng Adit karena searah." Jelas Adit.
"Tamu ya disuruh masuk dulu sebentar!" Pinta Suharti sambil menggiring Ratri masuk ke rumah.
"Nggak usah Bu', sudah malam. Lain kali saja." Jawab Ratri.
Suharti tak menggubris jawaban Ratri. Ia tetap menggiring Ratri masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu.
"Sebentar, Ibu buatkan minum!" Ucap Suharti cepat.
"Nggak usah Bu', terima kasih." Sahut Ratri bingung.
"Bu', ini sudah malam Bu'. Nanti Adit kemaleman nganter Ratri pulang." Cegah Adit.
"Cuma sebentar." Kilah Suharti.
Suharti segera menuju dapur sambil menenteng tasnya. Ia membuatkan minum untuk tamunya.
"Sedikit saja cukup." Gumam Suharti sembari membuatkan minum.
Sedang di ruang tamu, Adit merasa tak enak hati dengan Ratri karena ulah ibunya. Perasaan Ratri pun sedikit tak tenang karena memang waktu sudah cukup malam untuk bertamu.
"Ini, diminum dulu!" Tawar Suharti seraya menyajikan teh yang tadi dibuatnya.
"Terima kasih Bu'." Jawab Ratri.
Mereka bertiga pun sejenak mengobrol sambil menikmati teh buatan Suharti. Tak lama, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Adit. Suharti pun segera melihat keluar.
"Ibu pulang dulu ya! Itu Bapak sudah jemput. Tadi Ibu udah ngabarin Bapak kalau nggak jadi nginep sini." Ucap Suharti setelah melihat mobil suaminya terparkir di tepi jalan.
"Iya Bu', hati-hati! Terima kasih minumannya." Ucap Ratri tulus.
"Iya. Kamu hati-hati juga ya!" Sahut Suharti ramah.
"Iya Bu'."
Suharti lantas berpamitan juga pada putranya. Ia pun segera keluar rumah untuk menghampiri suaminya dan segera pulang ke rumahnya.
"Dit, bisa pinjem toilet?" Tanya Ratri setelah Suharti pergi.
"Iya, di sana." Tunjuk Adit pada pintu berbahan PVC yang tak jauh dari ruang tamu.
Ratri pun segera ke toilet. Ia merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing dan ada yang aneh di tubuhnya. Ia berusaha menetralkan sesuatu yang tiba-tiba bergejolak dalam dirinya. Tubuhnya pun terasa sedikit kepanasan.
"Ah, kenapa mendadak gini sih tubuhku?" Gumam Ratri di dalam toilet.
Sedang Adit, memilih menyandarkan tubuhnya di kursi ruang tamunya setelah menutup pintu depan, sembari menunggu Ratri selesai di toilet. Ia pun merasa kepanasan. Ia pun ke kamarnya untuk berganti baju.
"Dit!" Panggil Ratri saat tak mendapati Adit di ruang tamu.
"Sebentar!" Jawab Adit dari dalam kamarnya.
Ratri yang merasa tubuhnya kurang nyaman, berniat meminta air putih pada Adit dan agar segera mengantarnya pulang. Ia pun menghampiri Adit, dengan mengikuti arah sumber suara.
Sebuah kebetulan yang sangat kebetulan, Adit lupa menutup pintu kamarnya. Saat Ratri tiba, Adit tengah bertelanjang dada hendak memakai baju gantinya.
Gejolak itu tiba-tiba menyeruak begitu kuat dalam diri Ratri. Bukannya ia menghindari Adit, ia malah menghampiri adit ke kamarnya. Ia segera memeluk tubuh kekar Adit begitu saja.
Adit yang juga merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhnya, tak kuasa menahan gejolak itu. Ia pun membalas pelukan Ratri tanpa ragu. Dan sejurus kemudian, mereka sudah saling memagut bibir dan bermain lidah tanpa ragu.
Adit menggiring Ratri kesana kemari. Menumpahkan gejolak yang tiba-tiba hadir dalam dirinya. Ia bahkan memojokkan Ratri di balik pintu kamarnya, hingga pintu itu tertutup begitu saja.
Dan tanpa mereka sadari, mereka sudah saling tak mengenakan apapun di atas ranjang di kamar itu. Ratri bahkan sudah mendesah dan melenguh untuk yang kesekian kalinya di bawah kungkungan Adit. Hingga entah berapa lama mereka melakukan itu. Dan mereka pun kelelahan lalu tertidur bersama.
Flashback Off
"Nggak ada tapi. Nikahi Ratri secepatnya!"
JEDUAR.
Tubuh Aini seakan disambar petir ribuan volt saat mendengar ucapan mertuanya. Tubuhnya mendadak makin lemas hingga terduduk bersimpuh di lantai dapurnya. Airmatanya pun langsung deras mengalir tanpa permisi. Hatinya terasa lebih sakit lagi saat ini.
"Bunda!" Panggil Umar polos.
"Iya Sayang." Jawab Aini disela isakannya.
"Bunda nangis? Bunda sakit?" Tanya Umar lagi sambil mengusap pipi ibunya.
Aini berusaha tersenyum pada Umar. Ia pun menggelengkan kepalanya.
"Umar main sendiri di kamar bermain sebentar ya!" Pinta Aini halus.
Umar pun mengangguk. Ia pun mematuhi ibunya yang memintanya untuk bermain sendiri sebentar.
Aini segera membawa Umar ke kamar di mana khusus untuk bermain Umar sehari-hari. Sudah ada banyak mainan di sana. Umar pun segera bermain dengan mainannya. Aini pun menutup pintu kamar itu perlahan. Ia lalu menghampiri mertuanya yang sedang nampak sangat marah dan beradu argumen dengan putranya.
"Adit tak bisa menikah lagi Bu'! Adit sudah memiliki Aini dan Umar." Bantah Adit.
"Lalu kenapa kamu bisa berada di kamar bersama Ratri dan bahkan tanpa busana?" Cecar Suharti.
"Adit tak tahu Bu'."
"Aini tak akan mengizinkan Mas Adit menikah lagi! Dengan siapapun itu." Ucap Aini lantang.
Suharti dan Adit terkejut mendengar Aini berbicara begitu lantang pagi ini. Aini yang biasanya nampak begitu lembut, saat ini nampak sangat berbeda dari biasanya.
"Kamu mau membuat aib keluarga Subrata tersebar?" Bentak Suharti keras.
"Terserah! Pokoknya Aini tak akan mengizinkan Mas Adit menikahi wanita lain. Meskipun itu Mbak Ratri." Ucap Aini makin tegas.
Aini pun meninggalkan ibu dan anak yang sama-sama terkejut dengan sikapnya. Ia kembali menghampiri putranya yang sedang asik bermain dengan mainan-mainannya demi meredam sakit hatinya yang teramat pedih pagi ini.
Amarah. Terkadang sulit untuk kita kendalikan. Hingga kita akan menyesal karena tak bisa mengendalikannya dengan baik. Tapi terkadang, ia memang perlu untuk diungkapkan.
Aini berjalan ke dapur untuk membuatkan susu untuk putranya. Umar merengek minta susu pada Aini saat ia kembali ke kamar bermain Umar.
"Apa ini?" Gumam Aini seraya melihat sesuatu yang tak biasa ada di atas meja dapurnya.
Aini tak menyadarinya tadi, saat ia menyiapkan camilan untuk putranya, karena terburu-buru membangunkan Adit agar tak kesiangan untuk bekerja.
Tapi kini ia menyadari ada hal yang tak biasa di atas meja dapurnya. Ada bubuk halus berceceran di sana, meski tak banyak. Aini coba meraba lalu menciumnya.
"Ini bukan gula atau tepung. Ini seperti,," Gumam Aini lagi.
Aini menghela nafasnya. Ia mulai mengerti apa yang telah terjadi di rumahnya. Ia lalu melanjutkan niat awalnya membuatkan susu untuk Umar. Ia pun masih mendengar perdebatan sepasang ibu dan anak yang saling kekeh dengan argumennya masing-masing dari arah kamarnya.
Aini segera memberikan susu pada Umar yang sudah menantinya dengan tidak sabar. Putra semata wayang Aini itu, minum dengan cepat susu yang di buatkan ibunya dari gelasnya langsung.
"Umar main sendiri lagi ya Sayang! Bunda ke tempat Uti sebentar." Pamit Aini lagi.
Umar pun hanya mengangguk. Ia terlalu asik dengan mainan kereta barunya, yang baru dua hari yang lalu dibelikan oleh Adit untuknya. Aini kembali keluar kamar dan menutup pintu kamar bermain Umar. Ia lalu meletakkan gelas bekas susu Umar ke dapur lebih dulu.
"Cukup! Mau sampai kapan Ibu dan Mas akan beradu mulut? Kalian lupa, ada Umar di rumah ini?" Bentak Aini tanpa ragu.
Dua orang yang masih bersitegang itu segera diam. Mereka setuju dengan ucapan Aini. Ada Umar yang tak seharusnya mendengarkan hal seperti itu.
Ratri muncul dari dalam kamar. Ia sudah selesai membersihkan diri dan berpakaian rapi.
"Ibu akan segera ke rumahmu Nak Ratri, untuk melamarmu." Ucap Suharti tanpa ragu.
Ratri dan Adit membolakan matanya.
"Maaf Bu', ini rumah tangga saya dan Mas Adit. Dan ini masalah dalam rumah tangga kami. Biarkan kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami." Pinta Aini tegas.
Mulut Suharti menganga lebar mendengar penuturan menantunya. Ia tak menyangka, menantunya itu berani membantahnya saat ini. Padahal, sebelumnya Aini tak pernah membantahnya sedikit pun.
"Kamu berani membantahku?" Tantang Suharti.
"Maaf Bu', Ibu tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga Aini dan Mas Adit, kecuali kami memintanya." Jawab Aini lagi.
Adit dan Suharti makin terkejut mendengar jawaban lantang Aini. Mereka tak pernah melihat sisi tegas Aini seperti saat ini.
"Aku akan adukan ini ke Bapak!" Ucap Suharti kesal.
Suharti lalu berjalan menuju pintu depan dengan hati yang sangat kesal. Ia tak menyangka, menantu yang tak pernah ia harapkan dan selalu menurutinya selama ini, tiba-tiba bisa membantahnya dengan sangat tegas.
"Setidaknya, rencanaku berhasil." Gumam Suharti sembari menaiki sepeda elektriknya dan segera melajukannya menuju rumahnya sendiri.
Sedang di dalam rumah, Ratri nampak kikuk berada dalam suasana saat ini. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada Aini dan Adit.
"Maaf Mbak Ratri. Bukan maksud Aini mengusir Mbak Ratri, tapi, bisakah Mbak Ratri pulang lebih dulu? Ada yang ingin Aini bicarakan dengan Mas Adit." Ucap Aini sambil menahan gejolak hatinya.
"Tentu Ai, aku akan pulang sekarang." Jawab Ratri tak enak hati.
"Mbak Ratri bisa membawa mobil atau motor Mas Adit terlebih dahulu untuk pulang. Karena sepertinya, Mbak Ratri tidak membawa kendaraan semalam." Imbuh Aini.
"Aku akan panggil taksi saja." Jawab Ratri sungkan.
"Bawa mobilku! Besok aku akan mengambilnya." Usul Adit tiba-tiba.
Aini menoleh pada Adit dan menatapnya nanar. Hatinya mendadak lebih sakit hanya karena ucapan sederhana dari niat baik Adit.
"Tak usah Dit. Makasih." Jawab Ratri.
Aini hanya diam tak merespon.
"Maafkan aku Aini." Ucap Ratri tulus.
"Maaf untuk apa Mbak? Maaf karena tidur diranjangku bersama suamiku?" Ucap Aini pedih.
"Bukan maksudku seperti itu Ai."
"Tak apa Mbak, aku paham." Jawab Aini singkat dan datar.
Karena mendapatkan respon yang dingin dari Aini, Ratri makin tak enak hati. Ia lalu segera berpamitan pada Adit dan Aini. Ia lalu mengambil tasnya yang tertinggal di mobil Adit sejak semalam. Ia lalu berjalan menjauh dari rumah Adit sembari menunggu taksi pesanannya tiba.
Dan karena keputusan Ratri yang menolak niat baik Adit dan Aini, beberapa tetangga bisa dengan jelas melihat Ratri keluar dan berjalan menjauh dari rumah Adit pagi ini. Gunjang-gunjing para tetangga pun tak bisa dihindarkan. Apalagi, mereka tadi juga melihat Aini baru saja pulang bersama Umar menggunakan motor.
Sedang di dalam rumah, Aini segera menengok putranya yang sedang asik bermain di kamar bermainnya. Sedangkan Adit, segera berjalan ke meja makan untuk mengambil air putih.
"Siapa yang membuatkan minum untuk kalian semalam Mas?" Tanya Aini sambil menggendong Umar menghampiri Adit di meja makan.
"Biarkan aku jelaskan dulu Sayang!" Sahut Adit cepat.
"Siapa yang membuatkan minum untuk kalian semalam Mas?" Ulang Aini lebih tegas.
Adit terdiam.
"Ibu. Ada apa?" Jawab Adit penasaran.
"Jadi begitu rupanya. Ibu yang melakukan itu." Batin Aini.
"Ada apa Sayang?"
"Jelaskan padaku!" Pinta Aini singkat.
Adit pun dengan segera menceritakan alasannya bisa pulang bersama Ratri. Ia pun menceritakan bagaimana Ratri bisa bertemu dengan ibunya di rumah.
"Lalu?"
"Maafkan aku Sayang! Aku tak tahu bagaimana bisa sampai hal itu terjadi."
"Apa Mas tidak merasakan sesuatu yang aneh sebelumnya?"
Aini memejamkan matanya demi menahan buliran bening itu tumpah dari tempatnya. Hatinya teramat pedih memikirkan sesuatu yang tak pernah ia harapkan bisa terjadi di hidupnya. Ia pun berusaha memegangi erat putranya yang kini berada di pangkuannya.
Adit berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Ia pun menceritakan apa yang sempat ia rasakan sebelum akhirnya bisa berakhir di ranjang berdua bersama Ratri.
"Ibu yang melakukan itu padamu dan Mbak Ratri."
"Jangan menuduh Ibu begitu Sayang!" Kilah Adit.
"Ada sisa bubuk obat yang tercecer di meja dapur. Mas bisa melihatnya sendiri jika tidak percaya."
Adit segera beranjak dari kursinya. Ia lalu mencari apa yang Aini katakan di meja dapurnya. Dan ia pun menemukannya, meski sangat sedikit.
Tubuh Adit mendadak lemas. Ia tak percaya, ibunya bisa menjebaknya melakukan hal memalukan seperti itu.
"Baiklah, jika memang seperti itu." Ucap Aini datar.
"Turuti kemauan Ibu! Jadilah lelaki yang bertanggung jawab atas apa yang telah kamu perbuat Mas!" Imbuh Aini seraya berdiri dari kursinya.
"Tidak Sayang! Aku tidak akan menikahi Ratri seperti permintaan Ibu." Tolak Adit cepat.
"Berarti Mas ingin membawa aib untuk keluarga Mas sendiri?"
"Aku sudah memilikimu dan Umar Sayang."
Aini tersenyum kecil. Ia melangkahkan kakinya menjauh dari Adit sambil menggendong Umar yang sedang asik dengan mobil-mobilannya yang ia bawa dari kamar bermainnya.
Aini kembali membawa Umar ke kamar bermainnya. Ia bermain bersama putranya di sana. Sedang Adit, menelepon asistennya dan mengabarkan bahwa ia tak akan berangkat bekerja hari ini.
Adit segera menghampiri istri dan anaknya. Ia pun ikut bermain di sana bersama mereka. Aini tak banyak bicara. Ia lalu berdiri dan keluar kamar setelah beberapa saat.
"Makanlah dulu Mas! Aku sudah siapkan makanan di meja." Ucap Aini datar setelah kembali ke kamar bermain lagi.
"Kamu sudah makan?" Tanya Adit perhatian.
"Sudah, di rumah Ibu." Bohong Aini.
Adit tahu, istrinya itu tengah berbohong. Karena ia sangat hafal, istrinya itu tak akan bisa sarapan sebelum melihat suaminya makan atau makan bersama dengannya.
"Ayo kita makan Sayang! Jangan bohong padaku!" Sanggah Adit.
"Aku sudah makan Mas. Mas makanlah! Aku akan menemani Umar bermain."
"Kumohon Sayang! Aku tahu, kamu pasti belum makan bukan?"
Aini hanya diam.
"Jagoan, ayo bantu Ayah rayu Bunda buat makan!" Ucap Adit sedikit berbisik di telinga Umar.
Umar melongo menatap ayahnya. Adit pun tersenyum melihat wajah polos putranya.
"Umar temani Ayah makan ya!" Ucap Adit seraya menggendong putranya.
Adit sangat berharap, dengan ia mengajak Umar bersamanya ke meja makan, Aini pun akan mengikutinya. Dan mereka bisa sarapan bersama seperti biasanya.
Tapi ternyata tidak. Saat Adit dan Umar sampai di meja makan, Aini keluar dari kamar bermain dan berjalan menuju kamarnya. Adit segera merutuki dirinya sendiri.
"Argh, kenapa aku lupa membereskan kamar."
Aini masuk ke kamarnya dengan langkah yang berat. Ia menatap nanar ranjangnya yang berantakan. Serta pakaian Adit yang berserakan di beberapa tempat. Ia segera menutup pintu kamarnya dari dalam.
Aini terduduk lemas di belakang pintu. Airmatanya menganak sungai dengan derasnya membasahi wajahnya yang sedikit sembab sejak tadi. Hatinya terasa teramat pedih mengingat apa yang baru saja ia alami.
Adit segera mengajak Umar kembali ke kamar bermain. Ia meninggalkan Umar sendiri di sana. Dan segera berlari menuju kamarnya untuk menghampiri Aini.
Adit mencoba membuka pintu kamarnya. Ia tahu, pintunya tidak terkunci. Tapi karena ada Aini di belakangnya, jadi tak bisa terbuka.
"Bukalah pintunya Sayang! Kumohon!" Ucap Adit dari depan pintu.
Beberapa kali Adit memanggil Aini. Tapi tak ada respon sama sekali dari Aini. Ia hanya mendengar isakan dari sang istri yang berada di dalam kamarnya.
Aini meringkuk di atas lantai di balik pintu. Membuat Adit memiliki celah untuk membuka pintunya. Ia pun segera masuk ke dalam.
"Sayang!"
Adit segera meraih tubuh Aini yang tergeletak di atas lantai. Merengkuhnya dalam pelukannya. Aini menangis keras dalam pelukan Adit.
"Apa salahku Mas? Kenapa kamu melakukan ini padaku?" Racau Aini dalam pelukan Adit.
Hati Adit terasa pedih mendengar ucapan Aini. Ia bisa merasakan betapa pedihnya hati Aini dari suara tangisannya yang begitu memilukan.
"Maaf Sayang! Bukan inginku ini terjadi." Ucap Adit.
Entah kenapa, Aini malah semakin keras menangis. Airmatanya semakin deras mengalir dan membasahi wajah dan jilbabnya.
"Berhentilah menangis Sayang! Aku tak bisa melihatmu seperti ini."
Aini masih saja terus meluapkan perasannya melalui bulir-bulir bening dari kelopak matanya. Ia tak tahu, harus bagaimana mengungkapkan isi hatinya saat ini.
Aini tak pernah seperti ini sebelumnya. Meski ia dimaki apapun oleh sang mertua, ia bisa dengan tegar menghadapinya. Dan ini kali pertamanya Aini menangis seperti ini setelah menikah dengan Adit. Jadi, Adit sangat kebingungan menenangkan Aini saat ini.
"Aku sungguh tak mengharapkan ini terjadi Sayang." Ucap Adit berusaha menenangkan Aini.
"Benarkah Mas?" Sahut Aini cepat sambil menarik tubuhnya dari pelukan Adit.
"Tentu saja Sayang."
"Lalu, kenapa Mas diam-diam bertemu dengan Mbak Ratri selama dua bulan ini?" Tembak Aini sambil sesenggukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!