Mentari makin meninggi. Semakin gagah dengan sejuta kehangatannya. Menyusup perlahan diantara sudut-sudut bumi yang sedikit tertutupi. Merangkai detik demi detik dengan segala kebaikannya.
Hari semakin siang, Aini dan Adit makin diam. Adit tak tahu harus bagaimana berbicara dengan istrinya. Ia tahu, hati Aini kini sedang sangat sakit. Dan ia tak tahu bagaimana menenangkan hati itu.
Aini memilih menemani Umar menghabiskan waktunya seperti biasa. Tapi, jika biasanya Aini akan disibukkan dengan beberapa pekerjaan rumahnya, kali ini tidak. Ia masih membiarkan rumahnya berantakan.
Bukan hal yang mudah bagi Aini untuk mendamaikan hatinya. Setelah badai besar yang baru saja menghantam rumah tangganya. Bahkan, masih sangat panas terasa badai itu saat ini.
Masih terngiang jelas di benak Aini, bagaimana Adit tak bisa menjawab pertanyaannya tadi. Hati Aini makin pedih tak terkira mengingat hal itu.
Adit terdiam setelah mendengar pertanyaan Aini.
"Tega kamu Mas!" Ungkap Aini dengan airmata yang masih deras mengalir.
Ya, Adit memang beberapa kali menemui Ratri dalam dua bulan terakhir. Bahkan, Adit sempat berbohong pada Aini saat ia sedang bertemu dengan Ratri.
Aini sebenarnya tidak memata-matai Adit saat itu. Ia hanya sedang berbelanja kebutuhan sehari-harinya bersama Umar di swalayan. Tanpa sengaja, ia melihat suaminya sedang bersama teman lama yang sekaligus mantan kekasih dan cinta pertamanya, Ratri.
Aini langsung menelepon Adit kala itu. Dan Adit mengatakan pada Aini, bahwa ia sedang berada di kantor saat itu. Aini hanya tersenyum miris mendapat jawaban dari suaminya kala itu.
Aini sebenarnya tahu, jika Ratri baru saja kembali ke Jogja setelah pindah ke Singapura enam tahun lalu. Ia pun sudah menemuinya beberapa hari setelah Ratri tiba di rumahnya. Aini sangat senang saat itu, karena bisa bertemu dengan temannya sejak kecil setelah lama tak berjumpa.
Ratri dan Aini tumbuh bersama. Aini sering ikut ibunya ke rumah Ratri waktu kecil. Usia mereka yang hanya terpaut dua tahun, membuat mereka bisa dengan cepat akrab dan menjadi sahabat sejak kecil.
Kedua orang tua Ratri pun menyambut baik kedekatan Ratri dan Aini. Mereka akhirnya menyayangi Aini begitu saja. Mereka bahkan tak segan mengajak Aini berjalan-jalan bersama jika Ratri ingin menghabiskan waktu bersama mereka.
Orang tua Aini yang sama-sama berprofesi sebagai dosen, membuat Ratri bisa dengan mudah mendapatkan segala keinginannya. Apalagi, ia adalah anak tunggal.
Tapi, dibalik itu semua, tubuh Ratri cukup lemah. Ia sering sakit-sakitan sejak kecil. Dan bahkan, kedua ginjalnya sudah rusak sejak ia kecil. Maka dari itu, Aini selalu menjaga Ratri dengan sangat baik sebagai sahabat baiknya saat masih sekolah. Begitu pun sebaliknya.
Keberuntungan Aini saat itu, ia bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan Ratri. Sekolah bergengsi dengan biaya yang tak sedikit pastinya. Dan itu ditanggung oleh orang tua Ratri. Sehingga, Aini dan Ratmini benar-benar bersyukur dan bersungguh-sungguh mencoba membalas kebaikan keluarga Ratri.
Malam harinya, kedua orang tua Adit datang ke rumah Adit. Hadi sudah memendam amarahnya sejak pagi tadi, saat istrinya menceritakan apa yang terjadi di rumah Adit saat ia berkunjung. Hadi segera mencari menantunya setelah sampai di rumah itu.
"Kamu nggak papa Nduk?" Tanya Hadi penuh perhatian sambil mengamati wajah Aini yang begitu murung malam ini setelah membukakan pintu.
Aini tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya.
Berbeda dengan Suharti, Hadi sangat menyayangi Aini. Ia tak memandang status sosial Aini seperti apa yang dilakukan istrinya. Ia hanya melihat, Aini adalah wanita baik yang pantas untuk putranya.
"Udah Pak! Yang penting sekarang putramu. Kita harus menjaga nama baik keluarga kita sebelum hal yang kurang baik terjadi." Sela Suharti sambil nyelonong masuk ke dalam rumah.
Hadi menggelengkan kepalanya melihat sikap istrinya.
"Dit! Adit!" Teriak Suharti lantang.
Adit segera menghampiri ibunya sambil menggendong Umar yang sedang asik bermain bersamanya tadi. Ayah dan anak itu segera menyalami dua tamunya.
"Bawa Umar pergi sebentar Ni!" Pinta Hadi cepat.
"Iya Pak."
Aini segera mengambil Umar dari gendongan Adit. Ia lalu mengajak Umar ke kamar tamu yang sedari tadi ia gunakan untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama Umar.
PLAK. Suara itu menggema cukup keras di rumah Adit malam ini, setelah Aini menutup rapat pintu kamarnya. Hadi menampar Adit dengan sekuat tenaga. Adit bahkan sampai terhuyung dan jatuh ke lantai.
"Pak!" Bentak Suharti tak tega melihat putranya.
"Biar Bu'! Biar dia merasakan lagi apa yang dulu dia rasakan! Mungkin saat itu, Bapak kurang keras memberinya pelajaran." Sahut Hadi keras.
"Bapak dan Ibu tak pernah mengajarkanmu seperti itu Dit. Tapi bahkan, kamu dua kali melakukan hal yang sama. Dan padahal, sekarang kamu sudah memiliki Aini dan Umar. Apa mereka tak cukup untukmu?" Bentak Hadi lebih marah.
"Sudah Pak!" Ucap Suharti sambil membantu Adit berdiri.
"Makanya Bu', jangan terlalu memanjakan Adit! Jadi begini kan sekarang." Geram Hadi.
"Sudah Pak! Mungkin Adit khilaf Pak semalam. Lagian, mana mungkin Adit bakalan melakukan hal itu kalau istrinya nggak kelayapan terus dan bisa melayani Adit dengan baik." Sahut Suharti enteng.
"Apa Ibu bilang? Adit khilaf karena Aini tak bisa melayani Adit?" Adit mulai meradang.
"Ya kalau istrimu memang istri yang baik, seharusnya kamu nggak bakal sampai melakukan itu bukan?" Imbuh Suharti santai.
"Jangan kira Adit tak tahu Bu'. Ibu kan yang ngasih obat ke minuman Adit dan Ratri semalam? Karena Ibu yang memaksa Ratri untuk mampir dan membuatkannya minuman. Padahal Ratri sendiri sudah tahu diri, itu sudah cukup larut untuk bertamu. Apalagi dia tahu, Aini sedang tidak di rumah semalam." Ungkap Adit tanpa ragu.
Suharti terdiam. Ia menelan salivanya dengan kepayahan.
"Kenapa diam Bu'? Benar kan yang Adit ucapkan? Ibu penasaran, bagaimana bisa Adit tahu tentang ulah Ibu?"
Tangan Adit mulai terulur dan menunjuk ke arah dapur rumahnya.
"Ibu menumpahkan sedikit bubuk obat yang Ibu campurkan dalam minuman Adit dan Ratri semalam di atas meja. Dan pagi ini Adit menemukan itu." Sahut Adit yakin.
Hadi menoleh pada istrinya. Ia menatap penuh amarah pada wanita yang telah dinikahinya puluhan tahun itu.
"Apa yang dikatakan Adit benar Bu'?" Tanya Hadi dingin.
Suharti diam. Ia tak mungkin bisa mengelak jika ternyata bukti telak telah ditemukan putranya pagi ini.
"Edan kowe Bu'! Edan!" Umpat Hadi kesal.
Hadi berjalan menjauhi istrinya yang sedang kebingungan, karena ulahnya ternyata langsung ketahuan oleh putranya.
"Itu nggak penting Pak! Yang penting, sekarang Adit harus bertanggung jawab pada Ratri kan? Bagaimana kalau Ratri sampai hamil?" Ucap Suharti tiba-tiba.
"Adit nggak akan mau bertanggung jawab apapun pada Ratri Bu'. Karena Adit sudah memiliki Aini dan Umar." Jawab Adit yakin.
"Kamu mau mencemarkan nama baik dua keluarga?" Bentak Suharti.
"Terserah Ibu! Karena Ibu yang melakukannya. Adit akan bertahan dengan Aini dan Umar. Mereka sudah cukup untuk Adit."
"Benarkah itu Mas? Aku dan Umar sudah cukup untukmu?" Sela Aini tiba-tiba, yang baru saja keluar kamar setelah menidurkan Umar dengan cepat.
Tiga orang yang sedari tadi bersitegang, segera menoleh pada Aini yang wajahnya ternyata sudah merah dan basah. Bahkan, airmatanya pun masih nampak mengalir deras membasahi jilbabnya.
"Tentu saja Sayang." Jawab Adit yakin.
"Lalu kenapa kamu membohongiku beberapa minggu lalu? Kamu berbohong padaku siang itu, saat kamu sedang bersama Mbak Ratri di kafe yang baru saja dibuka di depan swalayan biasanya kita berbelanja. Kamu juga beberapa kali menemui Mbak Ratri bukan, semenjak Mbak Ratri pulang dari Singapura dua bulan yang lalu. Dan kamu menyembunyikan itu dariku Mas." Marah Aini.
Hadi dan Suharti menoleh pada Adit yang tengah mendelikkan dirinya dari kemarahan Aini.
"Kamu membuntuti suamimu?" Ejek Suharti.
"Tidak pernah Aini melakukan itu pada Mas Adit Bu'. Kebetulan, ada tetangga dan teman Aini yang melihat Mas Adit dan Mbak Ratri sedang bersama. Dan mereka mengirimkan fotonya padaku agar aku tahu, bagaimana sifat Mas Adit dibelakangku." Jujur Aini.
Makin terpojoklah Adit saat ini. Ia kesulitan untuk membantah ucapan Aini yang memang benar adanya.
"Kenapa kamu tak mengatakan itu padaku Sayang?" Tanya Adit bingung.
"Aku menunggu kejujuranmu Mas. Dan itu tidak datang sampai saat ini." Jawab Aini pedih.
BUG.
Hadi tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia berhasil mendaratkan kaki kanannya tepat di perut Adit. Adit seketika tersungkur kebelakang dengan keras dan menghantam salah satu kursi yang ada di ruang tamunya.
Suharti dan Aini segera menghampiri Adit. Mereka membantu Adit untuk bangun.
"Pak!" Bentak Suharti tak terima.
"Kenapa? Bukankah itu ulahmu?" Sahut Hadi marah
Suharti membuang muka. Ia lalu menatap marah pada Aini.
"Puas kamu sudah membuat Adit dihajar ayahnya?" Tuduh Suharti.
"Diam Bu'! Kalau Ibu tak berulah semalam, ini hanya akan menjadi ujian dalam rumah tangga kami tanpa harus melibatkan kalian dan nama baik keluarga." Jawab Adit kesal, karena tak terima Aini terus disalahkan.
Suharti membuang muka. Ia kesal, karena Adit malah membela Aini yang ingin ia sudutkan dan disalahkan karena tak bisa menjadi istri yang baik untuk Adit.
Hadi melenggang keluar tanpa sepatah katapun. Suharti pun akhirnya berlari mengikuti suaminya yang segera meninggalkan rumah Adit dan Aini.
Aini tetaplah seorang istri yang tulus menyayangi suaminya. Meski hatinya kini tengah terluka karena sang suami, ia tak akan tega melihat Adit kesakitan. Ia segera membantu Adit mengompres memar karena tendangan dari ayahnya tadi.
"Maaf Sayang!" Ucap Adit saat Aini mengompres perutnya.
Aini hanya diam. Ia lalu meninggalkan Adit begitu saja setelah ia menyadari, Adit akan merengkuhnya dalam pelukan. Ia masuk ke kamar tamu, dimana Umar tengah terlelap di sana sejak tadi. Ia pun akhirnya ikut terlelap bersama sang putra, dan membiarkan sang suami menikmati buah dari sikapnya yang kurang tepat akhir-akhir ini.
...****************...
Hari sudah berganti. Tapi sikap dingin Aini pada Adit tidak. Ia masih berusaha sangat keras berdamai dengan keadaan yang memaksanya harus mendamaikan hatinya yang terluka dalam.
Tiga hari setelah kemarahan Hadi malam itu, keluarga kecil Hadi Subrata akhirnya mengunjungi rumah Ratri. Setelah sehari sebelumnya, Aini merelakan dirinya dimadu oleh sang suami demi menjaga nama baik keluarganya. Dan pastinya, atas desakan dari sang ibu mertua.
"Nak Adit kan?" Tanya sang pemilik rumah, yang tak lain adalah ibunya Ratri, Heni.
"Iya Bu'." Jawab Adit sungkan.
Kedua orang tua Ratri, Arif dan Heni, serta Ratri sendiri, terkejut dengan kadatangan keluarga Adit ke rumah mereka malam ini. Karena memang, Adit tidak mengabari Ratri tentang kedatangan keluarganya ke rumahnya.
"Aini juga kesini sama Umar ya?" Sapa Tyas ramah.
Aini pun tersenyum pada dua orang paruh baya, yang selama beberapa tahun sudah sangat baik dan menyayanginya.
"Ada apa ya?" Tanya Arif penasaran.
Adit lantas memperkenalkan satu per satu anggota keluarganya. Dan di situ Arif dan Heni baru tahu, jika Adit adalah suami Aini. Karena memang, dulu saat Aini menikah, Arif dan Heni sedang mengunjungi Ratri ke Singapura. Jadi mereka tak tahu, jika Aini menikah dengan Adit.
"Kami ingin meminang Ratri untuk putra kami, Adit." Ucap Hadi sebagai ayah Adit.
Tiga orang pemilik rumah terkejut mendengar penuturan Hadi. Arif dan Heni segera saling pandang sejenak. Mereka lantas menoleh pada putri semata wayang mereka.
"Maaf Pak Hadi, apa saya tidak salah dengar? Bukankah Adit sudah menikah dengan Aini?" Tanya Arif tak percaya.
"Iya Pak. Kami ingin meminang Ratri." Sahut Hadi sedikit ragu.
Arif dan Heni menoleh pada Ratri.
"Tidak. Saya tidak akan menerima pinangan ini." Jawab Heni cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments