"Tidak. Saya tidak akan menerima pinangan ini." Jawab Heni cepat.
Semua menatap Heni dengan penuh pertanyaan. Termasuk Ratri, yang ditatap tajam oleh ibunya sendiri. Ratri akhirnya menunduk setelah melihat tatapan marah ibunya.
"Maaf Bu Heni. Kalau saya boleh tahu, kenapa Anda menolak pinangan ini?" Tanya Suharti penasaran.
"Saya tidak akan menikahkan putri saya dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Apalagi, jika istrinya adalah Aini. Saya tidak akan menyetujuinya." Jawab Heni yakin.
"Tapi Ma,," Sela Ratri lirih.
"Tapi kenapa? Apa kamu sudah kehilangan akal dan nuranimu selama enam tahun kamu di Singapura?" Marah Heni.
Ratri terdiam.
"Bisa-bisanya kamu mau menikah dengan suami Aini. Apa kamu lupa, kamu bisa duduk di sini sekarang, juga karena Aini? Dan sekarang, kamu mau mengganggu rumah tangganya? Dimana otakmu Ratri?" Marah Heni lebih keras.
Adit dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Heni. Mereka tak paham dengan apa yang Heni ucapkan.
"Benar yang mamamu katakan Ratri. Bagaimana bisa, kamu mengganggu rumah tangga orang yang telah menyelamatkan nyawamu. Dimana nuranimu?" Imbuh Arif sedikit geram.
Ratri tak dapat mengelak. Apa yang dikatakan kedua orang tuanya ada benarnya. Karena memang, Aini pernah menyelamatkan nyawanya sebelum ia berangkat ke Singapura. Tapi ia juga tak bisa menghindar dari kenyataan, bahwa ia telah tidur bersama Adit beberapa hari yang lalu.
"Bisa kita bicara sebentar Pak, Bu'?" Sela Aini lembut.
Arif dan Heni menoleh pada Aini dengan penuh tanya. Mereka lantas saling pandang.
"Ada yang ingin Aini katakan." Imbuh Aini.
"Tentu Sayang. Ayo!" Sahut Heni penuh perhatian.
Arif dan Heni pun segera berdiri. Heni segera menggandeng tangan Aini yang baru saja memberikan Umar pada ayahnya. Mereka lantas berjalan menuju ruang makan yang tak jauh dari ruang tamu.
"Ada apa Aini? Apa kamu ada masalah dengan suamimu? Kenapa sampai orang tua Adit meminang Ratri?" Tanya Heni panjang lebar setelah mereka duduk.
"Aini tak ada masalah Bu' dengan Mas Adit. Rumah tangga kami baik-baik saja." Jawab Aini dengan dada yang mulai sesak.
"Lalu? Kenapa kamu mengijinkan suamimu meminang Ratri? Apa dia yang memintanya langsung padamu?" Tanya Heni lagi.
"Maaf Pak, Bu', jika Aini lancang. Tapi, bolehkan Aini meminta sesuatu?"
"Tentu Nak. Kamu tak pernah meminta apapun dari kami selama ini. Mintalah! Kami pasti akan berusaha memenuhinya." Ucap Arif sambil mengusap lembut lengan Aini.
Seperti itulah kasih sayang Arif dan Heni pada Aini. Mereka sangat menyayangi Aini begitu tulus. Apalagi, setelah Aini mendonorkan satu ginjalnya untuk Ratri tujuh tahun lalu.
Mereka tak segan memberikan seluruh hartanya pada Aini karena menolong Ratri yang dalam keadaan kritis karena ginjalnya tak bisa bertahan kala itu. Mereka sudah berusaha mencari donor ginjal, tapi tak kunjung mendapatkannya selama beberapa bulan. Hingga akhirnya, Aini dengan sukarela mendonorkan satu ginjalnya demi menyelamatkan nyawa sahabatnya sejak kecil.
"Aini mohon, jangan marah pada Mbak Ratri dan terimalah pinangan ini. Demi kebaikan kedua keluarga." Ucap Aini dengan dada yang makin sesak.
"Apa maksudmu Nak? Kamu ingin berpisah dengan suamimu?" Tanya Arif bingung.
"Tentu tidak Pak."
"Lalu? Kenapa kamu ingin kami menerima pinangan ini?" Tanya Arif bingung.
"Apa terjadi sesuatu antara Adit dan Ratri?" Terka Heni tanpa ragu.
Aini dan Arif segera menoleh pada Heni. Heni pun menatap penuh tanya dan kecemasan pada Aini. Aini segera menunduk.
Aini lantas mengangguk kecil.
"Astaga!"
Arif dan Heni saling pandang.
"Apa yang terjadi Nak? Katakan padaku!" Pinta Arif cepat.
"Apa Adit melecehkan Ratri?" Terka Heni.
Aini diam tak menjawab. Ia berusaha mencari kalimat sehalus mungkin untuk menjelaskan pada kedua orang tua Ratri, apa yang telah terjadi pada Adit dan Ratri. Dan pastinya, ia pun berusaha sekuat tenaga agar tak menitikan buliran bening itu dari kelopak matanya, yang mungkin bisa mengundang amarah dari orang tua Ratri.
"Apa Mbak Ratri sempat tidak pulang ke rumah belum lama ini Bu'?" Tanya Aini perlahan.
Heni mencoba mengingat apa yang Aini tanyakan.
"Iya. Malam hari saat Ratri ada acara reuni SMA-nya. Kenapa Sayang? Apa kamu bertemu dengannya malam itu?" Sahut Heni penasaran.
"Tidak Bu'. Aini bertemu dengan Mbak Ratri keesokan paginya."
"Benarkah? Kenapa Ratri tidak cerita? Biasanya, dia cerita bila habis ketemu kamu. Kalian ketemu dimana?"
"Di rumah Aini Bu'."
"Ratri mampir ke rumahmu pagi-pagi setelah dari hotel?"
"Hotel?"
"Iya. Ratri bilang, malam itu ia menginap di hotel terdekat dari tempat diadakannya acara reuni, karena mobilnya mogok. Ia tak berani memanggil taksi karena sudah larut malam."
"Tidak Bu'."
"Maksud kamu?"
Aini mengambil nafas panjang. Meyakinkan hatinya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada kedua orang tua Ratri.
"Mbak Ratri menginap di rumah Aini malam itu." Jujur Aini.
"Benarkah? Kenapa Ratri bilang dia menginap di hotel?" Tanya Heni bingung.
"Sebentar Nak! Kamu bilang tadi, kamu bertemu Ratri keesokan paginya. Tapi kamu juga bilang, Ratri menginap di rumahmu malam itu. Kamu malam itu tidak di rumah? Lalu Ratri?" Ucap Arif yang mulai menyadari kejanggalan cerita Aini.
"Aini menginap di rumah Ibu' Pak. Karena Ibu sedang tidak enak badan sejak dua hari sebelumnya." Jujur Aini.
"Apa? Lalu, bagaimana bisa Ratri menginap di rumahmu? Apa dia menginap di rumahmu hanya dengan Adit?" Tanya Heni yang mulai paham.
"Jangan marah pada Mbak Ratri Bu'!" Ucap Aini cepat.
Amarah Heni segera tersulut. Dadanya bergemuruh. Darahnya mendidih begitu cepat hanya karena permohonan sederhana dari Aini yang menjawab pertanyaan yang mengganjalnya sejak tadi.
Heni segera berdiri. Ia melangkahkan kakinya dengan gemuruh api kemarahan yang membuncah pada putrinya.
"Bu', Aini mohon, jangan marah Bu'!" Ucap Aini seraya ikut berdiri untuk menghentikan Heni.
Tapi tangannya di cekal oleh Arif. Aini menoleh pada Arif yang menggelengkan kepalanya pelan. Aini akhirnya hanya bisa menatap Heni yang berjalan menuju ruang tamu dengan penuh amarah.
PLAK. Sebuah tamparan keras langsung mendarat di pipi halus Ratri yang sempat melihat ibunya datang dengan wajah yang marah padanya. Semua tamu Ratri terperanjat.
"Apa kamu sudah gila Rat? Mama tak pernah mengajarkanmu melakukan hal sehina itu selama ini. Apalagi, pada orang yang telah mendonorkan ginjalnya demi menyelamatkan nyawamu. Dimana nuranimu?" Bentak Heni tanpa ragu di depan para tamunya.
Keluarga Hadi terkejut mendengar penuturan Heni. Mereka tak tahu, jika Aini pernah mendonorkan ginjalnya untuk Ratri. Bahkan, Adit pun tak tahu tentang hal itu.
Ada secuil rasa bersalah di hati Suharti karena menjebak Ratri malam itu. Hingga saat ini, calon menantu idamannya itu harus mendapatkan tamparan keras dari ibunya.
"Mama nggak mau tahu! Kamu harus minta maaf pada Aini, hingga ia ikhlas memaafkanmu karena mengganggu rumah tangganya." Imbuh Heni.
Ratri hanya menunduk pasrah dengan airmata yang telah mengalir. Ia sebenarnya juga sangat menyesal karena telah mengusik rumah tangga Aini dan Adit. Tapi sungguh, perasaan yang pernah bersemi diantara dia dan Adit, masih tersisa hingga kini.
Tak dapat dipungkiri, Ratri berada dalam dilema besar setelah kepulangannya dari rumah Adit pagi itu. Satu sisi, ia tak ingin mengusik rumah tangga sahabatnya sejak kecil, yang juga adalah penolongnya. Tapi di sisi lain, pertemuannya kembali dengan Adit beberapa kali sebelumnya, berhasil menumbuhkan kembali rasa yang telah terkubur selama beberapa tahun ini.
"Maaf Mbak!" Ucap Aini cepat setelah ia berhasil menghampiri Ratri yang masih mengusap pipinya yang terasa begitu panas.
Aini tak enak hati pada Ratri, karena ceritanya, Ratri mendapatkan sebuah tamparan keras dari ibunya.
"Kamu tak perlu minta maaf padanya Nak! Dia yang harusnya minta maaf padamu." Sela Heni sambil menarik lengan Aini sedikit kasar, agar menjauh dari Ratri.
"Maaf Pak Hadi dan Ibu. Kami rasa, kami belum bisa menjawabnya sekarang. Ada beberapa hal yang harus kami rundingkan terlebih dahulu." Sela Arif.
"Iya Pak Arif, kami mengerti. Kalau begitu, kami permisi pulang terlebih dahulu Pak Arif." Jawab Hadi sungkan.
"Iya Pak Hadi. Maaf karena insiden yang baru saja terjadi." Jawab Arif tak enak hati.
"Tidak apa-apa Pak Arif. Kami mengerti."
Hadi, Suharti dan Adit lantas berdiri dan bersiap untuk berpamitan pada sang empunya rumah.
"Aini! Bisakah kamu menginap di sini malam ini Nak? Besok kami akan mengantarmu pulang." Pinta Arif.
"Iya Sayang. Menginaplah malam ini di sini!" Imbuh Heni yang sudah sedikit tenang.
Aini menoleh pada Adit.
"Baiklah. Menginaplah di sini malam ini. Kabari aku, jika ada apa-apa!" Jawab Adit lembut.
Aini tersenyum kecil. Ia lantas mengambil Umar dari tangan Adit.
Hadi, Suharti dan Adit lalu pulang dengan segera. Mereka tak enak hati karena kedatangan mereka membuat suasana keluarga Ratri sedikit tak baik.
Sepulangnya Adit dan kedua orangtuanya, Arif dan Heni segera menginterogasi Ratri dan Aini. Tapi Aini lebih dulu meminta izin untuk menidurkan Umar yang sudah terlihat sangat mengantuk sejak tadi.
Ratri akhirnya mengakui bahwa ia tidur di rumah Aini malam itu bersama Adit. Kemarahan Arif dan Heni akhirnya memuncak setelah pengakuan Ratri. Mereka benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin itu bisa terjadi.
Setelah selesai menginterogasi Ratri, Arif dan Heni mengobrol bersama Aini yang telah selesai menidurkan Umar. Mereka menanyakan banyak hal pada Aini. Sedang Ratri, diminta Arif untuk kembali ke kamarnya.
Hingga malam mulai larut. Akhirnya, Arif dan Heni membiarkan Aini untuk beristirahat setelah obrolan panjang mereka. Dan saat Aini hendak menemani Umar tidur, Ratri datang ke kamarnya.
"Maafkan aku Ai! Aku tak bermaksud mengusik rumah tanggamu dengan Adit." Ucap Ratri tulus.
"Tak apa Mbak, Aini paham." Jujur Aini dengan dada yang kembali sesak.
Ratri dan Aini mengobrol cukup lama. Ratri menceritakan kejanggalan yang ia rasakan malam itu pada Aini.
Aini akhirnya mengatakan bahwa Ratri dan Adit dijebak oleh Suharti malam itu. Tapi Aini tidak mengatakan itu pada Arif dan Heni tadi.
Ratri terkejut dengan pengakuan Aini. Ia mendengarkan dengan seksama cerita Aini yang menemukan bukti bahwa Suharti yang menjebak Ratri dan Adit malam itu.
"Sudah Mbak! Aini tadi sudah mengobrol banyak dengan Bapak dan Ibu. Mereka pasti sudah memiliki keputusan yang terbaik untuk Mbak Ratri." Ucap Aini menenangkan Ratri.
"Aku nggak tahu Ai mesti gimana nanti." Jawab Ratri pasrah.
"Tidur yuk Mbak! Besok kita ngobrol lagi!" Saran Aini yang memang tubuh dan pikirannya sudah sangat lelah.
Ratri pun mengangguk setuju. Ratri lantas kembali ke kamarnya. Aini pun segera mendekap putranya yang sudah terlelap lebih dulu sejak tadi.
Tak ada yang tahu jalan seperti apa yang akan kita hadapi di depan sana. Entah itu mulus tanpa lubang, atau malah penuh dengan kerikil dan batu besar yang akan menguji kesabaran dan keikhlasan kita. Tapi satu hal yang pasti, kita pasti bisa melaluinya. Yakinilah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Uthie
Ada andil juga kesalahan tsb dr si Adit 😤
Ngapain juga dia diam2 Deket lagi sama Ratri.. apalagi itu sengaja dan dibelakang istrinya, bahkan sampai bohongin Aini pula 😤😤😤
2022-07-28
1