Kutukan Cinta
Aku menarik napas berat. Kupandangi ketiga buah hatiku yang tertidur pulas. Kuedarkan lagi pandangan mataku memandang sekeliling rumah kontrakanku ini.
Dulu rumah ini terasa hangat. Walaupun hanya beralaskan lantai kayu, terkadang jika hujan deras, kami terpaksa menadahkan banyak baskom karena bisa dipastikan satu rumah bocor. Tapi kami sekeluarga malah tertawa bahagia
Ku hempaskan napasku. Kubaringkan tubuhku terasa lelah hari ini.
"Ya Allah..." aku berusaha mengingat kembali kejadian yang menimpa keluargaku. Tak terasa butiran bening mengalir tanpa kusadari.
Bukan pekerjaan berat yang harus kujalani setiap harinya sekarang ini yang membuatku sedih, tapi aku memikirkan nasib ketiga anak-anakku.
Masih terbayang jelas dalam ingatanku peristiwa sebulan lalu, tiba-tiba saja suamiku bicara ngelantur, tertawa, tersenyum dan tiba-tiba menangis sendiri.
Kupikir dia bercanda karena pergi bekerja tadi pagi tak ada menunjukan gejala apapun. Dia pergi seperti biasa, mencium keningku dan mencium ketiga anaknya yang masih tertidur pulas.
"Pak..diminum dulu teh hangatnya!" Aku meletakan secangkir teh sambil membereskan sepatu kerjanya.
Dia tak menjawab, menatapku pun tidak. Pandangan matanya kosong kesatu arah yang aku pun tak tahu.
"kok pulang diantar teman pak?" ngga biasa-biasanya..."
"Apa Bapak sakit? Lagian masih jam 12, biasanya pulang jam 2...belum lagi nunggu angkot dua kali untuk bisa sampai ke rumah."
Dia diam...teman sekerja yang mengantarnya pulang tadi pun tak bicara apa pun selain mengucapkan salam lalu kembali ketempat kerja lagi.
Suamiku bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan yang tidak begitu besar dengan gaji juga yang tak seberapa, tapi aku menyiasati kondisi ekonomi keluarga kami dengan menjadi buruh mencetak bata merah di dekat rumah kontrakanku.
Anakku Dina si sulung masih berusia 8 tahun, sudah kelas 3 di bangku sekolah dasar. Sementara Juned berumur 5 tahun, dan si bungsu syifa baru berumur 2 tahun.
Karena aku bekerja dekat rumah, jadi aku bisa mengawasi Juned dan Syifa jika Dina sedang pergi ke sekolah.
Bukannya aku tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, tapi aku mau menitipkan anak-anakku kepada siapa? Kami hanya hidup berlima disini. Ibuku sudah meninggal saat aku masih mengandung Dina. Sedangkan mertuaku pun hanya tinggal ayah mertua. Ibu mertuaku pun sudah meninggal. Mereka juga tinggal sangat jauh dari kami. Bisa dibilang aku dan mas Sofwan merantau ke kota ini.
Hanya pekerjaan kasar ini yang bisa kulakukan untuk menyambung asap dapur kami. Walaupun rasanya seluruh badanku terasa remuk, tapi semua kulakukan dengan iklas demi suami dan anak-anakku.
"Mak..mau *****..!"
Aku dikagetkan Syifa yang terbangun dari tidurnya. Memang anakku yang bungsu ini belum ku sapeh.
Aku menyusui Syifa yang entah masih ada atau tidak asi ku sembari menepuk-nepuk pantatnya agar dia kembali tidur.
Kualihkan pandangan mataku pada Juned. Kulitnya hitam terbakar panas matahari, dengan rambutnya yang kemerahan karena terlalu banyak bermain di bawah matahari.
Sebenarnya aku kasihan pada anak-anakku, tapi aku bisa apa?
"Pak..bapak.....!"
Dina mengiggau memanggil bapaknya. Anak sulungku memang dekat dengan bapaknya semenjak aku melahirkan Juned.
Dia terbangun sambil menangis memanggil bapaknya.
"Mak...kenapa sudah lama bapak ngga pulang? Mama bilang bapak cuma pergi sebentar."
Aku berusaha menahan linangan air mataku. Aku harus kuat aku tak ingin menangis dan menunjukan kerapuhanku di depan anak-anakku.
"Ya Allah...ya Rabb..." hatiku menjerit pilu.
"Dina sayang..." bapak kan pergi berobat supaya bapak sembuh...Dina mau liat Bapak sembuhkan?"
Dina menghentikan tangisnya dan menganggukan kepalanya.
"Iya mak...Dina ingin bapak sembuh, Dina malu karena tempo hari bapak membawa adik naik gerobang dengan telanjang bulat datang kesekolah Dina."
Aku meringis mendengar ucapan anakku. Memang beberapa hari yang lalu sebelum dia dibawa kerumah sakit jiwa, dia sempat membawa adik-adiknya Dina naik gerobak dengan telanjang bulat. Sebelum kemudian dia mengamuk meraung-raung histeris di depan sekolah Dina.
.
Aku sendiri tidak tau apa penyebabnya. Entah karena kesulitan ekonomi kami atau ada hal yang lain yang membuatnya stres.
Memang dulu suamiku lahir dari keluarga yang tergolong mampu, yang tanpa harus repot memikirkan ini dan itu semua serba ada.
Berbeda denganku yang memang terlahir dari keluarga biasa saja. Bagiku kerja keras sejak dulu bukan masalah lagi, aku sudah terlampau mandiri.
Atau mungkin aku yang tidak menyadari ada kelainan dalam diri suamiku. Karena jika dia sedang marah emosinya bisa meledak tak terkendali.
Aku saja hampir dicekiknya saat itu, ketika Dina bersama dengan teman-teman kecilnya mencuri mangga tetangga dan aku yang malu memarahi Dina.
Bukannya menyadarkan anaknya dan menasehati, malah aku yang dicekik karena tak terima anaknya kumarahi.
Sebenarnya sih bukan hanya itu yang pernah mas Sofwan lakukan padaku. Kepalaku pernah dijambak dan dibenturkannya kedinding, saat lambat membukakan pintu waktu dia datang, karena saat itu Syifa sedang rewel.
Bersambung........
...Jangan lupa like dan komen, jika berkenan berikan vote nya ya.. 😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
teti kurniawati
sudah saya tambahkan ke favorit ya😊
2023-02-25
0
mama Al
aku mampir
2022-11-30
0
💞Amie🍂🍃
Hay akkak, aku udah singgah nih, bunga mawar sudah mendarat sempurna ya... favnya juga udah
2022-10-23
2