"Bu, ibu sama bapak di rumah titip salam, juga keluarga di sana. Mereka kapan ada waktu mau main kemari."
Sofwan meletakan dua bungkusan plastik besar di dapur katanya sih oleh-oleh dari ibunya.
Mereka berdua asyik ngobrol sambil menikmati makan malam. Dan aku? malah jadi kayak obat nyamuk.
Iseng-iseng aku memandang Sofwan dari jarak sedekat ini, mencoba menilai poin apa yang menarik dari pria yang duduk tepat di hadapanku.
Samping kanan...kiri..atas..bawah..apa yang menarik ya???
Rambut ikal agak gondrong...sama sekali bukan tipeku. Aku tuh seneng banget kalau cowok yang rambutnya disisir rapi.
Mata sipit seperti mau merem..."aduhhh kok aku yang jadi ngantuk liat matanya."
Hidung mancung dan ada tahi lalat didagunya sebelah kiri.
Dan bibirnya...inilah yang membuatku geli apalagi aku yang waktu itu lagi kesel sempat bilangin bibirnya kayak lintah kawin.
"Heh cumi..ngapain loe liat sambil senyum-senyum...kagum ya..."
Ibu dan Sofwan memandangku penuh selidik.
Waduh ketauan deh...mampus aku!! aku pura-pura mengangkat bahu.
"Ge-er loh..siapa juga yang ngeliatin situ...kepedean banget."
"Halah...kalau naksir itu bilang aja beb, ngga usah ngeles cari seribu alasan."
"Beb..beb..!! bebek maksud loh...tuh banyak dikandang bapaknya Wati."
"Kalian berdua ini kalau ketemu tidak pernah akur...cocok banget kayaknya dinikahkan aja secepatnya biar akur," ibu menggerutu.
Merah padam wajahku tak menyangka ibuku akan berkata seperti itu. Lancar bener ibu ngomong kayak ngga ada beban.
Tetapi..."betul itu bu..secepatnya saja ditentukan tanggalnya."
"Ha..kamu belum pernah liat piring dan panci terbang seliweran diatas kepalamu ya!!"
"Jangan dong beb...ntar habis piring dan panci ibu. Harga piring dan panci mahal loh...kamu mau makan pakai daun pisang, terus masak nasi pakai batok kelapa."
"Astaghfirullah..manusia satu ini.."
Dan dengan santainya dia berdiri lalu membawa piring-piring kotor ke belakang dan membantu ibu merapikan meja.
"Nak Sofwan..kudu sabar ya menghadapi sikap Sania," dia memang orangnya jutek dan cuek.
"Ngga apa-apa bu..justru itu yang Sofwan suka dari Sania.
"Nia...ibu mau beres-beres dulu di belakang, temani nak Sofwan dulu ya."
Inginnya kutolak mentah-mentah perkataan ibu. Malasnya aku ngadepin si ulat bulu ini. Sebenarnya aku mengantuk banget, badanku rasanya mau remuk.
"Nia..bolehkah kapan-kapan aku mengajakmu jalan malam mingguan, kayak orang-orang itu lo.."
Kami duduk diteras berdua, tapi hatiku jadi deg-degan gini ya..
"Kok bisa ya...ngga biasa-biasanya aku begini, aku kok malah gugup gini sih!"
Cetek..tiba-tiba dia menjentikan ibu jarinya tepat di depan hidungku..."Cumi???? kok malah bengong sih...kesambet loe...atau kagum melihat wajahku yang ganteng ini."
"Sialan si ulat bulu...berani-beraninya dia bilang begitu didepanku."
"Nia...kok malah diam sih...mau ngga malam minggu ini kita jalan berdua, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
"Kupikir dulu ya," kataku.
"Mending sekarang kamu pulang dulu besok kukasih tahu bisa atau ngganya."
"Oke...besok kutunggu jawabanmu, Nia."
"Kenapa si kampret ini jadi serius gini yah..ngga biasanya dia serius gini."
*
*
Bruk..."heh Wati bisa ngga sih kalau jalan di belakangku ngga pakai acara nginjak sandalku melulu, ini juga si Tini berhenti dadakan gini..."Tuti terus menggerutu.
"Aduh maaf Ti...habisnya kamu berhenti dadakan sih.." Wati nyengir menahan tawa melihat Tuti jatuh duduk ditanah.
"Pantatku sakit tau..jangan-jangan tulang ekorku retak."
"Hadeuh..lebay loe Ti...terus maksudmu kalau tulang ekormu retak kamu ngga bisa numbuhin ekor lagi," Tini nyeletuk.
"Emang, aku monyet..."
"Sudah..sudah..sini kubantu...mau berdiri saja ribut dari tadi ngga bangun-bangun..." Wati mengulurkan tangannya.
"Sebenarnya ada apa sih kok kamu berhenti dadakan Tin."
"Coba loe pade liat siapa yang mojok di bawah pohon rambutan itu."
"Lha itu kan mamak sama bapaknya Wati lagi ngangon bebek," Tuti nyeletuk.
"Bukan di bawah pohon rambutan yang pohonnya kering itu dodol...tapi yang disamping rumah kontrakan bang Sofwan, dasar dodol," Tini menoyor kepala Tuti gemas.
"Eh iya ya...itukan Sania.." cie..cie..bilangnya benci, akhirnya luluh juga..bilangnya sampai tua mau jadi jomblo sejati, akhirnya jatuh cinta juga."
"Wati, ngga boleh ngomong gitu mestinya kita tuh seneng akhirnya teman kita bisa dapat gebetan."
"Kamu bener Tin, aku ikut senang kalau Sania jadian sama bang Sofwan." Tuti nyeletuk.
"Kita godain yuk..berani-beraninya tadi izin pulang cepat karena sakit perut, padahal mau malming."
Tanpa di komando Wati lari duluan sementara Tini sama Tuti menyusul dibelakangnya.
""Wuidih...yang katanya tadi pulang cepat karena kebelet..Nyatanya kebelet cinta."
"Dasar Wati si mulut ember...bahasanya lancar kayak habis terima gaji," Tini menepuk jidatnya sendiri.
Memang diantara kami berempat, Wati lah orangnya yang paling ceplas ceplos, dia juga yang paling tidak bisa menyimpan rahasia temannya. Jadi kadang kalau persoalan rahasia, kami tidak berani menceritakan padanya.
Lidahku mendadak kelu. Padahal tadi aku izin pulang duluan memang karena aku sakit perut, bukan sengaja mau ketemuan sama Mas Sofwan.
Tapi.."Iya Wati...abang mau ngajakin Sania jalan malam ini." Dia tersipu malu-malu. Padahal kupikir dia itu tidak pernah ada malu-malunya, kalau malu-maluin sih iya..
"Suit..suit..terima juga akhirnya jomblowati sejati." Mereka bersorak riuh.
"Kapan nih undangannya...kita bertiga sudah tidak sabar mau makan rendang pakai acar, pakai mie, pakai sambal goreng ati, pakai...pakai oseng-oseng dengkul mu Ti..." Nanti undangannya lebaran monyet.
"Tin...memang lebaran monyet itu kapan? masih lamakah?"
"Wati...Wati...loe ini lugu banget sih.."Tini mencubit pipinya gemas..
"Bener aku lugu ya Tin.." Wati tersenyum-senyum mengimut-imutkan wajahnya.
"Iya lugu...lucu dan guoblok...Wati...dasar P.A.." Tuti teriak sangking kesalnya.
"Kalau abang sih asalkan Sania berkata iya, maunya minggu depan langsung lamaran langsung acara," ngga tahan...sudah kebelet nih...
"Kebelet gigimu bertato..kalau kebelet sana buang air tuh disamping ada parit," aku mencubit lengannya.
"Cie..cie sudah berani cubit-cubit..ayo dong bang tunjukan pesonamu, nyatakan keberanianmu, tembak Sania didepan kita bertiga," Wati dan Tini bersorak.
"Kalau abang nembak Sania ntar Sanianya mati dong...terus abang nikah sama siapa...masa sama Wati..ogah abang," abang maunya sama Sania.
"Aduh kenapa mereka ini kok pelihara kedodolan sih... bisa pinteran dikit napa," aku menepuk jidatku.
"Maksud kita, abang nyatakan cinta ke Sania...gitu loh bang..."
"Eh sebentar...Wati lari kearah parit..ngapain lagi tu anak...mau beserkah...
"Ya ampun...metik bunga kangkung...untuk apa coba.."
"Bruk...ngapain turun lagi Wati...sudah bagus-bagus naik eh..turun keparit lagi."
"Aku jatuh terpeleset dodol...tidak liat nih bokongku kotor semua."
"Masih untung bunga kangkungnya masih utuh tidak ada yang rusak."
"Ya secara kamu jatuhnya seksi sih dengan tangan menunjuk kelangit," kami tertawa ngakak.
"Lagian tu bunga kangkung untuk apa sih??"Tini bicara sambil menutup hidungnya..
"Napa loe tutup hidung Tin, Wati mendelik." Mimisan loe..
"Loe bau comberan Wati..."
"Ya iyalah...Tini...gue itu kecebur nyungsep diparit...iya lah bau comberan kalau bau melati artinya gue itu timungan."
"Terus itu bunga kangkung untuk apa??"
"Untuk persembahan cinta bang Sofwan ke Sania," gitu saja tidak ngerti...kan tidak ada bunga mawar yang ada cuma bunga kangkung ya pakai ini saja..
"Dasar wati dodol...." kita semua meneriakinya.
Bersambung.....
Jangan lupa like dan komennya...Jika berkenan boleh berikan votenya...🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
mama Al
aku sudah mampir salam dari BINGKAI CINTA UNTUK SARMILA
2022-11-30
0
💞Amie🍂🍃
nyicil dulu ya thor
2022-10-23
0
Nindira
Sepertinya Nia mau kembali kejaman purba masak pake batok kelapa🤣
2022-10-10
0