"Bu...Sania kan tidak suka sama dia...!" aku mencembungkan pipiku dengan kesal.
"Sania..."
Ibu berusaha dengan sabar menjelaskan pendapatnya.
"Usiamu sudah 27 tahun, apa kamu tidak ingin berkeluarga dan punya anak?"
Aku terdiam mendengar perkataan ibu. Sebenarnya jauh dalam hatiku juga ingin. Siapa sih yang ngga ingin punya keluarga dan punya anak?
Tapi mengapa hati kecilku selalu menolak setiap pria yang datang mendekatiku?
Karena setiap kali aku mencintai seseorang ataupun sebaliknya, pasti ada saja kendalanya.
Percintaanku seperti sebuah kutukan yang selalu menghantui sepanjang hidupku.
Mungkin ini karena sumpahku dulu untuk tak akan pernah mencintai dan dicintai karena patah hati yang kualami.
"Ya Allah...apakah sumpahku belasan tahun lalu berimbas di masa kini?" entahlah...
"Ibu sudah tua Sania, ibu takut jika ibu meninggal lalu kamu dengan siapa?"
"Kakak kandung satu-satunya yang kamu punya entah sekarang ada dimana."
Aku diam mendengar penjelasan ibu.
"Jadi ibu mau aku menerima lamarannya?"
"Mungkin kamu tidak suka dengannya,Sania. Hanya ibu minta berusahalah berdamai dengan hatimu."
Sedih rasanya mendengar penjelasan ibu, ibu berbicara seolah-olah beliau akan meninggalkanku.
Memang sih pertemuanku dan mas sofwan secara tak sengaja.
Bermula dari mas Sofwan sedang mencari rumah kontrakan di sekitar tempat kami tinggal agar dekat dengan tempat kerjanya.
Dari situlah bermula...entah kenapa mas Sofwan sering bertamu kerumah, membawakan oleh-oleh buat ibu.
Aku sih biasa aja karena memang aku tak memiliki perasaan khusus dengannya.
Tok..tok..tok..
"Sania, ada tamu tuh...buka pintunya ya..." ibu berteriak dari dapur.
Aku berjalan menuju pintu. Dan...
"Assalamualaikum...Cantik."
Mas Sofwan sudah berdiri didepan pintu sambil cengengesan ngga jelas.
"Hadeuh...kamu lagi," aku memutar bola mataku malas. Entah kenapa ngap aja ngeliat ni orang.
"Bukannya jawab salamku malah ngomel, jauh jodoh loe..."
"Bodo amat, ngga peduli..."
"Ngapain..? ngeloyor masuk saja, belum disuruh masuk juga."
"Kelamaan bosku...pegel kaki." Dengan entengnya dia menjawab, tanpa peduli pada ekspresi mukaku yang sudah kayak jeruk nipis. Sudah kayak krupuk di colok kesambal, pedes banget pokoknya.
"Enteng banget...Ni orang! lempeng bener tu mulut.." betul-betul aku gemas rasanya.
"...Eh ada nak Sofwan..."
Ibu mencuci tangannya saat dia melintas masuk kedapur lalu mencium punggung tangan Ibu.
Aku mencibir dari depan pintu. "Dasar carmuk."
"Silakan duduk nak, Sania buatkan nak Sofwan teh hangat dulu..."
"Jangan manis-manis ya...kalo bisa gulanya dua sendok saja..." dia mengedipkan sebelah matanya padaku!
"Huek...aku berlagak mau muntah..emang disini warung nenek moyang loe..."
Aku berlalu kedapur dan jangan ditanya bagaimana sudah ekspresi mukaku.
Di dapur aku bergumam sendiri..."Apa yang istimewa dari orang ini ya...? sampai-sampai ibu getol banget mau menjodohkanku dengannya."
Usiaku dan mas Sofwan memang terpaut beberapa tahun lebih tua aku. Dan itu mungkin yang membuatku memandang sebelah mata padanya.
"Lama amat bikin tehnya Nia," ibu berteriak dari ruang tamu.
"Tidur loe di dapur...atau sambil mengerami...Sofwan mencibirku, membuatku bertambah kesal padanya.
Wah...ngajak berantem memang orang ini..Maunya apa sih segala jenis telur dibawa.
Ibu tersenyum melihat tingkah kami berdua. Melihat raut mukaku yang sudah merah padam dan muka Sofwan yang senyum-senyum imut tanpa dosa.
"Kenapa ya... bawaannya tuh panas aja ya bu, padahal lagi mendung gini.."
Sofwan sengaja mengipas-ngipas mukanya sambil melirik kearahku.
"Sama...ujarku, aku juga bawaannya hari ini pengen menghajar seseorang...pengen membunuh malah.."
"Jangan gitu non...ntar kalo aku mati kamu sama siapa..."
"Tau ah...ngga peduli ...bodo amat.." aku masuk kekamar sambil membanting pintu keras-keras.
"Heran ya...kok ada manusia yang ngeselin kayak gini...sudah jelek..ngeselin, hidup lagi.."
Tapi tidak jelek-jelek amat sih aku aja yang kelewatan.
Entah apa yang ibu dan Sofwan bicarakan.
Akupun tak tau karena aku sudah tertidur..
Sepertinya setiap kedatangannya kerumah selalu saja memacu adrenalinku. Ada saja tingkah polahnya yang membuatku geregetan setengah mati.
"Bangun nduk..sudah sore...kamu sudah ashar belum..." entah berapa lama aku tertidur sampai akhirnya ibu masuk kamar dan membangunkanku.
"Hoam...memang sudah jam berapa bu?"
"Sudah hampir jam lima sore Nia."
"Mas Sofwan sudah pulang bu, ujarku!"
"Sudah...tadi dia sekalian pamit sama ibu mau pulang kerumah orang tuanya."
"Tumben kamu nanya...sudah ada responkah"
Bah...aku menyumpah dalam hati..respon apaan..Kena saja kagak dalam hati..
"Jangan terlalu membenci Nia...ibu menggodaku." Kamu taukan awal dari cinta itu adalah rasa benci yang berlebihan..Ibu senyum-senyum padaku.
"Apasih ibu ini...ngga jelas..." lalu kutinggalkan ibu didapur sendiri.
"Sania..Sania..kamu dan Sofwan ini seperti ibarat pepatah..jauh bau melati, dekat bau t*i."
"Ibu ini ada-ada aja...bukan bunga melati bu tapi bunga bangkai alias rafflesia arnoldi..."
Sungutku.
"Mboh...sa karepmu nduk..." ibu geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
"Wuidih...diapelin bang Sofwan nih...baru saja aku tiba didepan sumur mau menimba air, teman-temanku menggoda bersorak riuh.
"Kok bang Sofwan sih...secara aku lebih tua lho dari dia, aku protes."
"Yaelah Nia...secara kalo sudah nikah nanti panggil abang kale...masa panggil adek?" Ramainya disumur ini mereka pada menyoraki aku.
"Sompret...malunya aku hu..uh.."
Cepat-cepat kutimba air dan mengisi emberku agar cepat pulang dan berlalu dari hadapan teman-teman sepergosipan dan sepergibahanku...
"Hei Nia...kamu salah isi ember..Itu ember akuh," kata Wati serak-serak manja sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Sialan loe ti...kelilipan gayung mata loh.." Umpatku kesal.
"Bukan kelilipan gayung tapi kelilipan cinta..
Cinta bang Sofwan...anjai," seru Tini dan Wati barengan..
Bisa gila aku kalo lebih lama disini, bisa habis aku diganggu oleh mereka...Dasar para biang kerok.
"Sukses kamu ya wan, buat aku jadi bahan olokan gini." Awas aja loe kalo datang nanti..Kupites, kubejek-bejek lambe yang seperti lintah kawin itu.
Aku sudah tak mau menoleh lagi kearah mereka. Mukaku ini rasanya lebih tebal dari pada kulit badak.
"Kenapa kamu Nia..kok ngga jadi mandi disumur, terus airnya mana ngga jadi ambil air?"
"Wes bu ora usah mandi, besok pagi-pagi aja mandinya."
"Hadeuh...Nia..Kumpul sudah tuh bau. Jadi rasa nano-nano...Manis, asem, apek rame rasanya!"
Tak kuhiraukan lagi godaan ibuku. Segera aku masuk kamar dan kubanting pintu keras-keras.
"Ojo dibanting lawange...pintu ngga salah dibanting. Kamu mau jadi patung pancoran pegangin pintu kamar kalo tuh pintu ambruk."
Masih kudengar ocehan ibuku dari balik pintu kamarku..aku cuma bisa diam saja sambil menggerutu.
Bersambung....
...Jangan lupa like dan komen, jika berkenan berikan vote ny ya 😊...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Wong jowo asli mbok
2022-10-23
0
Nindira
Like, Favorit sudah mendarat
2022-10-07
0
Hulapao
waduhhh bisa aja
2022-09-13
0