NovelToon NovelToon

Kutukan Cinta

Part 1 Terpuruk

Aku menarik napas berat. Kupandangi ketiga buah hatiku yang tertidur pulas. Kuedarkan lagi pandangan mataku memandang sekeliling rumah kontrakanku ini.

Dulu rumah ini terasa hangat. Walaupun hanya beralaskan lantai kayu, terkadang jika hujan deras, kami terpaksa menadahkan banyak baskom karena bisa dipastikan satu rumah bocor. Tapi kami sekeluarga malah tertawa bahagia

Ku hempaskan napasku. Kubaringkan tubuhku terasa lelah hari ini.

"Ya Allah..." aku berusaha mengingat kembali kejadian yang menimpa keluargaku. Tak terasa butiran bening mengalir tanpa kusadari.

Bukan pekerjaan berat yang harus kujalani setiap harinya sekarang ini yang membuatku sedih, tapi aku memikirkan nasib ketiga anak-anakku.

Masih terbayang jelas dalam ingatanku peristiwa sebulan lalu, tiba-tiba saja suamiku bicara ngelantur, tertawa, tersenyum dan tiba-tiba menangis sendiri.

Kupikir dia bercanda karena pergi bekerja tadi pagi tak ada menunjukan gejala apapun. Dia pergi seperti biasa, mencium keningku dan mencium ketiga anaknya yang masih tertidur pulas.

"Pak..diminum dulu teh hangatnya!" Aku meletakan secangkir teh sambil membereskan sepatu kerjanya.

Dia tak menjawab, menatapku pun tidak. Pandangan matanya kosong kesatu arah yang aku pun tak tahu.

"kok pulang diantar teman pak?" ngga biasa-biasanya..."

"Apa Bapak sakit? Lagian masih jam 12, biasanya pulang jam 2...belum lagi nunggu angkot dua kali untuk bisa sampai ke rumah."

Dia diam...teman sekerja yang mengantarnya pulang tadi pun tak bicara apa pun selain mengucapkan salam lalu kembali ketempat kerja lagi.

Suamiku bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan yang tidak begitu besar dengan gaji juga yang tak seberapa, tapi aku menyiasati kondisi ekonomi keluarga kami dengan menjadi buruh mencetak bata merah di dekat rumah kontrakanku.

Anakku Dina si sulung masih berusia 8 tahun, sudah kelas 3 di bangku sekolah dasar. Sementara Juned berumur 5 tahun, dan si bungsu syifa baru berumur 2 tahun.

Karena aku bekerja dekat rumah, jadi aku bisa mengawasi Juned dan Syifa jika Dina sedang pergi ke sekolah.

Bukannya aku tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, tapi aku mau menitipkan anak-anakku kepada siapa? Kami hanya hidup berlima disini. Ibuku sudah meninggal saat aku masih mengandung Dina. Sedangkan mertuaku pun hanya tinggal ayah mertua. Ibu mertuaku pun sudah meninggal. Mereka juga tinggal sangat jauh dari kami. Bisa dibilang aku dan mas Sofwan merantau ke kota ini.

Hanya pekerjaan kasar ini yang bisa kulakukan untuk menyambung asap dapur kami. Walaupun rasanya seluruh badanku terasa remuk, tapi semua kulakukan dengan iklas demi suami dan anak-anakku.

"Mak..mau *****..!"

Aku dikagetkan Syifa yang terbangun dari tidurnya. Memang anakku yang bungsu ini belum ku sapeh.

Aku menyusui Syifa yang entah masih ada atau tidak asi ku sembari menepuk-nepuk pantatnya agar dia kembali tidur.

Kualihkan pandangan mataku pada Juned. Kulitnya hitam terbakar panas matahari, dengan rambutnya yang kemerahan karena terlalu banyak bermain di bawah matahari.

Sebenarnya aku kasihan pada anak-anakku, tapi aku bisa apa?

"Pak..bapak.....!"

Dina mengiggau memanggil bapaknya. Anak sulungku memang dekat dengan bapaknya semenjak aku melahirkan Juned.

Dia terbangun sambil menangis memanggil bapaknya.

"Mak...kenapa sudah lama bapak ngga pulang? Mama bilang bapak cuma pergi sebentar."

Aku berusaha menahan linangan air mataku. Aku harus kuat aku tak ingin menangis dan menunjukan kerapuhanku di depan anak-anakku.

"Ya Allah...ya Rabb..." hatiku menjerit pilu.

"Dina sayang..." bapak kan pergi berobat supaya bapak sembuh...Dina mau liat Bapak sembuhkan?"

Dina menghentikan tangisnya dan menganggukan kepalanya.

"Iya mak...Dina ingin bapak sembuh, Dina malu karena tempo hari bapak membawa adik naik gerobang dengan telanjang bulat datang kesekolah Dina."

Aku meringis mendengar ucapan anakku. Memang beberapa hari yang lalu sebelum dia dibawa kerumah sakit jiwa, dia sempat membawa adik-adiknya Dina naik gerobak dengan telanjang bulat. Sebelum kemudian dia mengamuk meraung-raung histeris di depan sekolah Dina.

.

Aku sendiri tidak tau apa penyebabnya. Entah karena kesulitan ekonomi kami atau ada hal yang lain yang membuatnya stres.

Memang dulu suamiku lahir dari keluarga yang tergolong mampu, yang tanpa harus repot memikirkan ini dan itu semua serba ada.

Berbeda denganku yang memang terlahir dari keluarga biasa saja. Bagiku kerja keras sejak dulu bukan masalah lagi, aku sudah terlampau mandiri.

Atau mungkin aku yang tidak menyadari ada kelainan dalam diri suamiku. Karena jika dia sedang marah emosinya bisa meledak tak terkendali.

Aku saja hampir dicekiknya saat itu, ketika Dina bersama dengan teman-teman kecilnya mencuri mangga tetangga dan aku yang malu memarahi Dina.

Bukannya menyadarkan anaknya dan menasehati, malah aku yang dicekik karena tak terima anaknya kumarahi.

Sebenarnya sih bukan hanya itu yang pernah mas Sofwan lakukan padaku. Kepalaku pernah dijambak dan dibenturkannya kedinding, saat lambat membukakan pintu waktu dia datang, karena saat itu Syifa sedang rewel.

Bersambung........

...Jangan lupa like dan komen, jika berkenan berikan vote nya ya.. 😊...

Part 2 Bimbang

"Bu...Sania kan tidak suka sama dia...!" aku mencembungkan pipiku dengan kesal.

"Sania..."

Ibu berusaha dengan sabar menjelaskan pendapatnya.

"Usiamu sudah 27 tahun, apa kamu tidak ingin berkeluarga dan punya anak?"

Aku terdiam mendengar perkataan ibu. Sebenarnya jauh dalam hatiku juga ingin. Siapa sih yang ngga ingin punya keluarga dan punya anak?

Tapi mengapa hati kecilku selalu menolak setiap pria yang datang mendekatiku?

Karena setiap kali aku mencintai seseorang ataupun sebaliknya, pasti ada saja kendalanya.

Percintaanku seperti sebuah kutukan yang selalu menghantui sepanjang hidupku.

Mungkin ini karena sumpahku dulu untuk tak akan pernah mencintai dan dicintai karena patah hati yang kualami.

"Ya Allah...apakah sumpahku belasan tahun lalu berimbas di masa kini?" entahlah...

"Ibu sudah tua Sania, ibu takut jika ibu meninggal lalu kamu dengan siapa?"

"Kakak kandung satu-satunya yang kamu punya entah sekarang ada dimana."

Aku diam mendengar penjelasan ibu.

"Jadi ibu mau aku menerima lamarannya?"

"Mungkin kamu tidak suka dengannya,Sania. Hanya ibu minta berusahalah berdamai dengan hatimu."

Sedih rasanya mendengar penjelasan ibu, ibu berbicara seolah-olah beliau akan meninggalkanku.

Memang sih pertemuanku dan mas sofwan secara tak sengaja.

Bermula dari mas Sofwan sedang mencari rumah kontrakan di sekitar tempat kami tinggal agar dekat dengan tempat kerjanya.

Dari situlah bermula...entah kenapa mas Sofwan sering bertamu kerumah, membawakan oleh-oleh buat ibu.

Aku sih biasa aja karena memang aku tak memiliki perasaan khusus dengannya.

Tok..tok..tok..

"Sania, ada tamu tuh...buka pintunya ya..." ibu berteriak dari dapur.

Aku berjalan menuju pintu. Dan...

"Assalamualaikum...Cantik."

Mas Sofwan sudah berdiri didepan pintu sambil cengengesan ngga jelas.

"Hadeuh...kamu lagi," aku memutar bola mataku malas. Entah kenapa ngap aja ngeliat ni orang.

"Bukannya jawab salamku malah ngomel, jauh jodoh loe..."

"Bodo amat, ngga peduli..."

"Ngapain..? ngeloyor masuk saja, belum disuruh masuk juga."

"Kelamaan bosku...pegel kaki." Dengan entengnya dia menjawab, tanpa peduli pada ekspresi mukaku yang sudah kayak jeruk nipis. Sudah kayak krupuk di colok kesambal, pedes banget pokoknya.

"Enteng banget...Ni orang! lempeng bener tu mulut.." betul-betul aku gemas rasanya.

"...Eh ada nak Sofwan..."

Ibu mencuci tangannya saat dia melintas masuk kedapur lalu mencium punggung tangan Ibu.

Aku mencibir dari depan pintu. "Dasar carmuk."

"Silakan duduk nak, Sania buatkan nak Sofwan teh hangat dulu..."

"Jangan manis-manis ya...kalo bisa gulanya dua sendok saja..." dia mengedipkan sebelah matanya padaku!

"Huek...aku berlagak mau muntah..emang disini warung nenek moyang loe..."

Aku berlalu kedapur dan jangan ditanya bagaimana sudah ekspresi mukaku.

Di dapur aku bergumam sendiri..."Apa yang istimewa dari orang ini ya...? sampai-sampai ibu getol banget mau menjodohkanku dengannya."

Usiaku dan mas Sofwan memang terpaut beberapa tahun lebih tua aku. Dan itu mungkin yang membuatku memandang sebelah mata padanya.

"Lama amat bikin tehnya Nia," ibu berteriak dari ruang tamu.

"Tidur loe di dapur...atau sambil mengerami...Sofwan mencibirku, membuatku bertambah kesal padanya.

Wah...ngajak berantem memang orang ini..Maunya apa sih segala jenis telur dibawa.

Ibu tersenyum melihat tingkah kami berdua. Melihat raut mukaku yang sudah merah padam dan muka Sofwan yang senyum-senyum imut tanpa dosa.

"Kenapa ya... bawaannya tuh panas aja ya bu, padahal lagi mendung gini.."

Sofwan sengaja mengipas-ngipas mukanya sambil melirik kearahku.

"Sama...ujarku, aku juga bawaannya hari ini pengen menghajar seseorang...pengen membunuh malah.."

"Jangan gitu non...ntar kalo aku mati kamu sama siapa..."

"Tau ah...ngga peduli ...bodo amat.." aku masuk kekamar sambil membanting pintu keras-keras.

"Heran ya...kok ada manusia yang ngeselin kayak gini...sudah jelek..ngeselin, hidup lagi.."

Tapi tidak jelek-jelek amat sih aku aja yang kelewatan.

Entah apa yang ibu dan Sofwan bicarakan.

Akupun tak tau karena aku sudah tertidur..

Sepertinya setiap kedatangannya kerumah selalu saja memacu adrenalinku. Ada saja tingkah polahnya yang membuatku geregetan setengah mati.

"Bangun nduk..sudah sore...kamu sudah ashar belum..." entah berapa lama aku tertidur sampai akhirnya ibu masuk kamar dan membangunkanku.

"Hoam...memang sudah jam berapa bu?"

"Sudah hampir jam lima sore Nia."

"Mas Sofwan sudah pulang bu, ujarku!"

"Sudah...tadi dia sekalian pamit sama ibu mau pulang kerumah orang tuanya."

"Tumben kamu nanya...sudah ada responkah"

Bah...aku menyumpah dalam hati..respon apaan..Kena saja kagak dalam hati..

"Jangan terlalu membenci Nia...ibu menggodaku." Kamu taukan awal dari cinta itu adalah rasa benci yang berlebihan..Ibu senyum-senyum padaku.

"Apasih ibu ini...ngga jelas..." lalu kutinggalkan ibu didapur sendiri.

"Sania..Sania..kamu dan Sofwan ini seperti ibarat pepatah..jauh bau melati, dekat bau t*i."

"Ibu ini ada-ada aja...bukan bunga melati bu tapi bunga bangkai alias rafflesia arnoldi..."

Sungutku.

"Mboh...sa karepmu nduk..." ibu geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Wuidih...diapelin bang Sofwan nih...baru saja aku tiba didepan sumur mau menimba air, teman-temanku menggoda bersorak riuh.

"Kok bang Sofwan sih...secara aku lebih tua lho dari dia, aku protes."

"Yaelah Nia...secara kalo sudah nikah nanti panggil abang kale...masa panggil adek?" Ramainya disumur ini mereka pada menyoraki aku.

"Sompret...malunya aku hu..uh.."

Cepat-cepat kutimba air dan mengisi emberku agar cepat pulang dan berlalu dari hadapan teman-teman sepergosipan dan sepergibahanku...

"Hei Nia...kamu salah isi ember..Itu ember akuh," kata Wati serak-serak manja sambil mengedip-ngedipkan matanya.

"Sialan loe ti...kelilipan gayung mata loh.." Umpatku kesal.

"Bukan kelilipan gayung tapi kelilipan cinta..

Cinta bang Sofwan...anjai," seru Tini dan Wati barengan..

Bisa gila aku kalo lebih lama disini, bisa habis aku diganggu oleh mereka...Dasar para biang kerok.

"Sukses kamu ya wan, buat aku jadi bahan olokan gini." Awas aja loe kalo datang nanti..Kupites, kubejek-bejek lambe yang seperti lintah kawin itu.

Aku sudah tak mau menoleh lagi kearah mereka. Mukaku ini rasanya lebih tebal dari pada kulit badak.

"Kenapa kamu Nia..kok ngga jadi mandi disumur, terus airnya mana ngga jadi ambil air?"

"Wes bu ora usah mandi, besok pagi-pagi aja mandinya."

"Hadeuh...Nia..Kumpul sudah tuh bau. Jadi rasa nano-nano...Manis, asem, apek rame rasanya!"

Tak kuhiraukan lagi godaan ibuku. Segera aku masuk kamar dan kubanting pintu keras-keras.

"Ojo dibanting lawange...pintu ngga salah dibanting. Kamu mau jadi patung pancoran pegangin pintu kamar kalo tuh pintu ambruk."

Masih kudengar ocehan ibuku dari balik pintu kamarku..aku cuma bisa diam saja sambil menggerutu.

Bersambung....

...Jangan lupa like dan komen, jika berkenan berikan vote ny ya 😊...

Part 3 Terima Ngga Yah..

Rumah kecil di bawah pohon rambutan itu tampak lengang. Pintu dan jendela masih tertutup. Lampu terasnya juga masih menyala.

Eh..Siapa tuh...

Hadeuh...trio ulat bulu rupanya..

"Kalian ngapain pada disini...kayak ngga ada kerjaan aja...ngintip..ngintip ntar bintitan loh.."

"Hah kamu Nia...bikin kaget aja."

"Kita tuh bertiga penasaran, kok jam segini lampu terasnya bang Sofwan masih menyala..."

"Kemarin dia pulang kerumah orang tuanya Wati," kataku.

"Mungkin mau meminta orang tuanya untuk melamarmu, Nia."

"Tau ah...emang gue pikirin", aku cuma mengangkat bahu.

"Halah...nanti kalau diambil orang baru nyesel loe?" Tini menimpali..

"Yah kalau diambil orang berarti namanya tidak jodoh."

"Enteng bener lidahmu, Nia.."

"Tapi benarkan, jangankan baru pendekatan sedangkan nyata-nyata janur kuning sudah melengkung aja bisa diambil orang."

"Ah..terserah loe deh Nia ..ntar kalau diambil orang, mewek..Mewek loe," Wati bersungut-sungut..

"Sudah ayo kita berangkat kerja...ntar kita telat."

Kami berempat memang tinggal tidak terlalu berjauhan.

Sama-sama kerja di pabrik...sama-sama jomblo...tapi mereka lebih muda dari pada aku.

"Nia, kenapa sih ngga terima aja bang Sofwan? dia baik, sama ibumu juga hormat, sama tetangga sini juga ramah."

Aku diam mendengar perkataan Tuti yang sedari tadi tidak ikut bicara. Mereka ini ngga tau aja sih, setiap aku suka sama seseorang atau sebaliknya, pasti ujung-ujungnya gagal. Entah kutukun apa yang ada pada diriku ini.

"Eh, para all my friend...apa Mas Sofwan pernah mengatakan sesuatu pada kalian tentang aku? aku mulai penasaran." Maklum secuek-cueknya manusia, pasti rasa keponya tumbuh juga.

"Sok inggris loe..Tini melempar kepalaku dengan tisu yang sudah di bejek-bejek di tangannya."

"Sialan loe Tin...nih tisu yang mampir di kepalaku bukan hasil ngelap ingusmu kan?"

'Sedikit sih, hehehe."

"Jorok abis loe Tin...pantes bau-bau ngga enak." Kulempar balik dia dengan tisu tadi pas seasonnya Tini lagi mangap ketawa.

"Kampret loe Nia...bau tau.." dia gelagapan ngga pernah menyangka senjata makan tuan.

Hahaha...kami bertiga menertawakannya.

"Ya sudah ayo cepat buruan kita hampir telat nih," kami berempat bergegas.

Secara kita telat dikit mukanya nyonya yang punya pabrik sudah kayak adonan roti ngga jadi..bantat...

*

*

Aku pulang agak terlambat sore ini, tiga temanku sudah pulang lebih dulu. Sementara aku ada kerjaan tambahan yang harus dikerjakan.

Tit...tit...tit...sontak aku menepi..kaget iya...jengkel, jangan ditanya lagi...

"Maaf non ngagetin."

Mataku sudah melotot hampir copot melihat siapa yang mengklakson.

"Heh...ulat bulu...kamu kalau ngajak ribut jangan mau maghrib gini juga kali."

"Cengangas..cengenges ngga jelas." Entah kenapa kalau ketemu nih ulat bulu bawaannya emosian aja.

"Sabar yang...jangan marah...ntar cepat tua."

"Yang...yang...kepala loe peyang..cepat tua...emang sudah tua..ngehina melulu loe ye.."

"Ya sudah...aku ngga mau ganggu, mau maghrib gini ntar loe kesambet lagi", aku duluan ya...dah..honey...

"hih..kurang ajarnya si ulat bulu bukan nawarin aku ikut naik motornya, ini malah ngacir ninggalin..

"Kampret loe," umpatku.

Akhirnya aku pulang sendiri jalan kaki. Emang sih sudah ngga terlalu jauh lagi dari rumah.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam..."

"Baru pulang Nia...teman-temanmu sudah pada pulang dari tadi."

"Iya bu...ada kerja tambahan.."

Kucium punggung tangan ibu lalu aku masuk kedalam meletakan tas ku di kamar.

Ibu hanya menggeleng kepala prihatin.

"Kasihan kamu nak...sejak bapakmu meninggal dan uang pensiun bapak sudah tidak terlalu mencukupi kebutuhan kita lagi, kamu jadi tidak bisa melanjutkan kuliah."

"Kamu selalu beralasan kasihan pada ibu."

"Setiap ada lowongan pekerjaan yang tergolong jauh dari rumah, kamu tidak jadi menerimanya karena kamu bilang takut jika penyakit ibu kumat...kamu tidak bisa cepat pulang."

"Usiamu sudah 27 tahun, tapi sampai kapan kamu bisa berkeluarga."

"Bu...Nia mau angkat air sebentar kesumur ya...gentong air kita isinya tinggal setengah...nanti ibu tidak bisa mandi besok subuh."

"Emang kamu tidak merasa capek kah...lagian ini sudah mau maghrib lho..."

"Ngga apa-apa bu masih sempat dua kali angkat kok.'

Tanpa banyak berkata kubawa dua ember besar kesumur.

"Heh..wonder woman.."

"Ish..dia lagi..."

"Sini biar aku yang bawa airnya pulang...ntar kamu kebanyakan angkat air jadi tambah kekar tambah pendek nanti."

Pengennya tinju ku ini melayang ke muka jeleknya itu. Tapi bukan Sofwan namanya kalo tidak cuek bermuka badak.

Diambilnya alih ember air yang ada ditanganku dan diangkatnya menuju rumah.

Sebenarnya sih bukan hari ini saja dia membantu..sering dia membantu ibu menyabit rumput di halaman samping, sampai memperbaiki atap yang bocor.

"Tipe-tipe menantu idaman.."

"Idih...apa-apaan sih aku ini..pait..pait...pait..segera kutepis jauh-jauh pikiran ngawurku dari kepala ini."

"Tidak usah berpikiran yang macem-macem ah...ntar aku kesambet setan sumur lagi..hih..." aku bergidik lalu lari menyusul Sofwan.

"Lambat amat jalan loe kayak penganten...sudah pengen cepet-cepet nikah kayaknya bu."

Merah padam mukaku mendengar celotehnya yang tanpa dosa itu. Andai tidak ada ibu sudah kulempar dia pakai sandal jepitku ini.

"Sudah..sudah..ibu menengahi," nak Sofwan makan malam disini ya...bu masak banyak nih!

"Bah...yang anaknya siapa..yang ditawari siapa..."

"Nggeh bu..sekalian tadi ada titipan ibu sama bapak dirumah buat ibu sama ayang mbeb..." nanti sekalian Sofwan bawa kemari.

Lalu dia berlari pulang sambil tertawa karena sudah melihatku melepas sebelah sandal jepitku.

"Telat loe..melayang ni sandal ke kepala loe," sentakku kesal.

"Nia...sudah..jangan marah-marah melulu sana cepat mandi kita sholat maghrib".

"iya bu," sungutku sambil berlalu.

Kami melaksanakan sholat maghrib berdua, setelahnya ibu segera kedapur menyiapkan makanan dan menatanya dimeja makan.

"Bantuin ibu, Nia...kok malah nonton televisi sih?"

"Ibu memang tidak takut kalau Nia bantu, terus Nia khilaf tuh makanannya si ulat bulu Nia kasih sianida."

"Siapa ulat bulu?" bu malah balik bertanya dan membuatku terkekeh..

"Sofwanlah..jawabku enteng.."

"Emang kamu tega...?"

"Ya ngga sih bu...ntar Nia masuk penjara."

"Makanya kalau ngomong dipikir...memang enak anak orang mau kamu kasih sianida."

"Ah ibu..bercanda kali bu...gitu saja diambil hati."

"Habis kamu kalau ngomong sering ngawur sih."

Kami diam kutata makanan di meja. Ada sayur bening, ikan lele dan tempe goreng, sambal terasi dan ibu juga menaruh toples krupuk dimeja.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam," jawabku dan ibu berbarengan.

"Buka pintunya Nia."

Dengan rasa malas aku melangkah untuk membukakan pintu.

"Aku masuk ya..ya iya..mssuk saja.." tanpa menunggu jawabanku dia melangkah besar-besar masuk kedalam.

"Wong edan...ngomong sendiri jawab sendiri...dasar stres." Aku mencibirnya..

Bersambung.......

jangan lupa like dan komennya...dan jika berkenan votenya🙏🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!