"Mak, Juned haus!"
Panggilan Juned setidaknya mengalihkan bayanganku akan masa lalu.
"Ayo sini nak, jangan minum diatas tikar nanti airnya tumpah."
Setengah mengantuk dia bangun mendekatiku yang memegang gelas minumnya.
"Mak, Juned lapal..acih ada mamamkah didapul?" dengan bahasanya yang masih cadel dia menatapku.
"Ada nak," aku berdiri kedapur mengambil jatah makan malamku yang tadi belum kumakan.
Entah tadi berat rasanya aku mau memakannya. Aku takut salah satu dari mereka bangun dan meminta makan.
Makanan kami memang sudah kujatah. Bukan karena pelit, tapi memang makanannya yang tak ada.
Kulihat dengan lahap Juned mengunyah nasi dengan lauk ikan asin yang kudulangkan kemulutnya.
Aku bersyukur pada Allah, anak-anakku tak pernah rewel dalam makanan. Kadang jika tak ada lauk dengan garam pun jadi.
Pernah waktu itu aku belum mendapatkan upahku mencetak batu bata, aku dan anak-anak hanya makan singkong rebus saja.
Untuk menghemat pengeluaran, aku masih memasak dengan menggunakan kayu bakar. Karena banyak sisa-sisa kayu kering untuk pembakaran bata merah, itu yang kuambil untuk kujadikan kayu bakar. Lumayan untuk menghemat pengeluaran.
"Cudah mak..Juned cudah enyang." Dia mengelus-elus perut.
"Alhamdu...Alamduyiyah...teyimakatih ya Allah atas lejeki hali ini."
"Anak pinter, sekarang minum dulu terus pipis lalu lanjut tidur ya nak."
Lega rasanya melihat anak-anakku tidur dalam keadaan kenyang, walaupun aku hanya makan sisa-sisa dari mereka.
Juned kembali tidur dengan lelap. Dan aku...entah mengapa mataku sama sekali belum juga mengantuk.
Aku berpaling kepojok ruangan. Biasanya disana suamiku duduk sambil minum kopi dan bercanda dengan anak-anaknya dulu.
Dulu sebelum penyakit kejiwaan itu mengganggu jiwanya.
"Dek, perut mas sakit banget..."Mas Sofwan mengerang memegang perutnya.
"Mas habis makan apa? Atau mas karena sibuk kerja lalu melupakan jam makan siang ya?"
Dia melingkar ditempat tidur menahan sakit. Aku pun panik jadinya.
"Tidak tahu dek...akhir-akhir ini mas sibuk jadi lebih banyak minum minuman penambah tenaga."
Aku menggendong Dina yang masih berumur 5 bulan. "Kita kerumah sakit aja yuk mas...aku jadi khawatir lihat keadaan mas seperti ini."
"Tapi kalau tidak kerja nanti potong gaji lagi dek, kasian nanti uang dapur tambah kurang."
"Tidak apa-apa mas, yang penting mas sehat dulu."
Kuambil kain untuk menggendong Dina. "Kita naik angkot saja mas, biar Dina juga tidak kepanasan."
Suamiku meringkuk menahan sakit didalam angkot. "Sabar ya mas, sebentar lagi kita sampai."
Aku langsung membawanya ke ugd dan ternyata setelah diperiksa mas Sofwan mengidap sakit liver.
Dan yang lebih mengejutkan, dia harus dirawat dirumah sakit.
Itulah awal kesulitan kami. Karena tak lama setelahnya, karena mas Sofwan sering sakit-sakitan akhirnya dia dipecat dari kantornya.
Di situ pula awalnya aku belajar mencetak bata merah, untuk membantu agar dapur kami bisa tetap berasap.
Aku juga bergantian dengannya menjaga Dina. Karena sepulangnya dari rumah sakit, suamiku belum bisa bekerja yang berat-berat dulu.
Tapi Alhamdulillah 2 bulan kemudian mas Sofwan dapat panggilan kerja sebagai cleaning service disebuah rumah sakit.
Itu bertepatan diakhir tahun. Dia di training selama 3 hari. Aku benar-benar bersyukur pada Allah akhirnya doa kami terjawab juga.
Aku menghela napas berat. Sepenggal kenangan diawal pernikahan kami.
Lalu ingatanku berputar saat mas Sofwan sepulang kerja tertawa dan tersenyum sendiri.
Entah apa sebenarnya yang terjadi. Sejak itu dia tak lagi menghiraukanku, tak lagi peduli pada anak-anaknya. Dia hanya sibuk dalam dunianya sendiri.
Tak di pedulikannya lagi tentang pekerjaannya dan bagaimana anak istrinya bisa makan jika dia tidak bekerja, seperti yang selama ini selalu dia ucapkan padaku.
Dia terlalu sibuk tertawa dan bicara sendiri. Dan jika sudah lelah tertawa dan bicara, biasanya dia akan menangis sesunggukan.
Ingatanku berputar pada kejadian awal dia pulang kerja dan tak lagi bisa mengingat kami keluarganya.
Seperti biasa Juned selalu merengek saat pulang bermain sore. Entah minta jajanlah atau pulang menangis karena berantem dengan temannya lah.
"Mak...rengeknya," berjalan masuk kedalam melewati satu-satunya pintu yang ada di rumah kontrakanku. Karena memang hanya ada pintu luar sebagai jalur keluar masuk. Tapi dapur kami tak memiliki pintu.
'Juned minta dadan mak, yang kayak dimatan tama abduy."
Biasanya jika mendengar rengekan Juned, dia selalu tertawa mendengar suara cadel Juned bicara lalu dia akan membujuknya supaya berhenti merengek.
Tapi ini, tak...sebuah permen tiba-tiba melayang menimpuk tepat dikepala Juned. Otomatis anak itu langsung berhenti menangis.
Aku terdiam tegang. Kejadian itu berlangsung cepat dan lewat begitu saja. Aku bersyukur bukan gelas teh atau asbak yang dia lemparkan ke Juned. Jika sampai itu terjadi, bisa bocor kepala anakku.
"Berisik..." matanya melotot memerah. Seumur-umur dia tak pernah sedikitpun membentak anak-anaknya.
Dia tipe suami dan Bapak yang baik. Hanya entah menjelang beberapa bulan akan menginjak 9 tahun pernikahan kami dia mulai berubah.
Kadang emosinya sering tak terkendali. Jika sudah begitu, akulah yang akan jadi sasarannya.
Aku pernah di pukul hanya karena lambat membukakan pintu. Bahkan dia pernah mencekikku hanya karena memarahi Dina yang nakal karena mencuri mangga tetangga.Tapi setelah dia sadar apa yang sudah di lakukannya, dia lalu menangis memelukku dan meminta maaf.
Aku seperti dihadapkan dari dua sisi yang berbeda di kehidupan suamiku.Hanya saja setelah membentak Juned, ekspresinya kembali seperti tadi tersenyum sendiri memandang kesuatu titik.
Aku terdiam. Kupeluk Juned yang juga gemetar ketakutan. "Mak, Juned atut tama bapak." Dia memeluk kakiku erat.
Cepat kugandeng anakku keluar menjauhinya. Kucari Dina yang sedang bermain sambil menjaga Syifa.
"Ada apa mbak Nia kok kayaknya panik gitu, kata bu darmi pemilik kontrakan ini."
Kuceritakan semua pada bu Darmi apa yang terjadi tadi. Bukan maksudku menceritakan aib keluargaku pada orang lain, tapi semua karena ketakutanku.
"Masa suamimu gila Nia." kemungkinan dia hanya stres. Ya mudahan besok Sofwan akan kembali baik lagi.
Itupun yang menjadi harapanku. Berharap besok atau sebentar lagi, suamiku akan kembali sadar seperti yang biasanya terjadi.
Kuberikan juga penjelasan singkat pada Dina dan Juned agar mereka tidak mengganggu Syifa. Jangan membuat keributan karena bapaknya sedang sakit.
Dari semenjak pulang kerja sampai malam, dia tak beranjak dari duduknya. Aku dan anak-anakpun tak berani mengusiknya. Bahkan untuk sholat pun, aku mewanti-wanti Dina untuk menjaga adiknya dulu.
Setelah Dina makan dan aku selesai menyuapi Syifa dan Juned, aku mengambilkan makanan seperti biasa untuknya.
"Makan dulu ya mas...seharian mas tidak ada makan sama sekali."
Dia diam tak merespon. Lalu kuberanikan diri berinisiatif untuk menyuapinya.
Aku sedikit lega dia mau membuka mulutnya untuk makan, walaupun dia mengoceh pelan entah pada siapa.
Setelah selesai makan dan minum kucoba membuka bajunya dan mengganti dengan kaos oblong. Dia tak berontak dan aku sedikit lega.
Malam itu pak rt dan suami bu Darni datang ke rumah menjenguk suamiku. Mencoba berbicara padanya dengan tenang dan pelan takut dia bereaksi yang akan membahayakan kami semua.
*Bersambung....
Jangan lupa like dan komen ya teman" terimakasih 🙏🙏*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Mellow banget yak, aku hadir lagi ya kak memberikan semangat untuk kakak
2022-12-21
1
Nindira
Sofyan sakitnya jangan lama² ya kamu kan harus mencari nafkah buat keluargamu
2022-10-11
0
Hulapao
kok sedih 🥲
2022-09-17
0