\=\=\=\=\=\=
"Sampai bertemu lagi, cantik!"
Aku mencoba untuk tak menghiraukan teriakan milik Kakak Arisha. Pura-pura abai dan sedikit mempercepat langkah kakiku menuruni anak tangga.
"Duh! Maaf ya, Mbak Qilla. Aku jadi beneran nggak enak sama Mbak Qilla. Gara-gara datang ke sini, Mbak Qilla jadi digodain Mas Rey. Padahal biasanya Mas Rey ini orangnya cuek loh. Kemarin aja mau aku jodohin sama temen-temenku aja ditolak mulu. Lah, ini malah godain Mbak Qilla secara terang-terangan gini. Biki--"
"Maaf, Ris, kayaknya aku harus pamit sekarang deh. Aku ada janji nih. Nggak enak kalo telat," bohongku memotong kalimat Arisha.
Setelah ngobrol cukup lama, Arisha memang menyuruhku untuk memanggilnya nama saja, tanpa embel-embel Mbak di depannya. Aku sih nggak masalah, toh, umurnya memang tiga tahun lebih muda dariku.
"Hehe, iya, maaf ya, Mbak. Sekali lagi aku minta maaf atas ketidak nyamanan ini."
Aku mengangguk tak masalah, meski dalam hati aku tetap menggerutu sebal.
"Nggak papa. Aku pamit ya? Nanti untuk fitting, aku kabarin," kataku yang langsung diangguki oleh Arisha.
"Sip lah, Mbak. Makasih juga karena udah mau repot-repot datang." Arisha berjalan menjauhiku sebentar, lalu mengambil sebungkus plastik besar sebelum mendekat lagi ke arahku.
"Ini, Mbak, ada sedikit kue buat camilan," kata Arisha sambil menyodorkan plastik besar itu ke arahku.
"Ya ampun, jadi ngerepotin gini sih, Ris. Ini kamu nggak rugi kasih segini banyak?" tanyaku menerima bungkus plastik itu meski dengan sedikit sungkan.
"Enggak dong. Itung-itung amal, plus sogokan juga itu," cengir Arisha. Membuatku menaikkan alis curiga.
Itu apa maksudnya?
"Biar Mbak Qilla bisa jadi Kakak ipar aku."
"Hah?"
"Bercanda, Mbak. Biar baju aku cepet jadi dong," ucap Arisha sambil memainkan alisnya naik-turun.
Aku terkekeh sembari menggelengkan kepalaku tak habis pikir, "Nggak bisa dong. Tetep harus antri. Sogokan kaya gini nggak mempan buat aku."
Arisha mangguk-mangguk paham, kemudian membukakan pintu toko untukku.
"Mempannya pake transferan 80juta ya, Mbak?"
Aku tertawa kemudian mengangguk, pura-pura yakin, "Iya. Sanggup?"
Arisha meringgis kemudian menggeleng, "Hasil buka amplop dari tamu nanti aja belum tentu segitu banyak kali, Mbak. Ya kali, transfer sogokan segitu banyaknya."
"Ya nggak papa, namanya bonus. Aku langsung jalan ya," kataku sembari memasang sabuk pengamanku dan mulai menstarter mobilku.
"Iya. Makasih ya, Mbak. Hati-hati!"
Aku mengacungkan jempolku sebelum mulai melajukan mobilku.
"Duluan," kataku sedikit berteriak sembari menekan tlakson mobil sebelum meninggalkan pelataran toko Arisha.
Setelah meninggalkan toko Arisha, aku memutuskan untuk mampir ke Cafe Kenzo. Numpang tidur di ruang istirahatnya bentar, kayaknya pilihan bagus. Daripada menyetir dalam keadaan ngantuk kan? Jelas itu berbahaya.
"Sibuk?" tanyaku to the point, saat aku sudah berdiri di belakang Kenzo yang tengah sibuk meracik kopi untuk pelanggan.
Kenzo menoleh dan mengerutkan dahinya saat mendapatiku menguap.
"Ngantuk itu tidur, bukannya malah keluyuran. Kalau mau kopi buatanku kan bisa telfon," gerutu Kenzo yang kini sudah membelakangiku lagi. Sibuk meracik kopi tentunya.
"Pede banget kamu. Orang aku abis ketemu klien. Dan sekarang aku ngantuk banget nih, boleh numpang tidur di atas?"
"Gaya banget abis ketemu klien segala," ejek Kenzo sembari menyerahkan dua cangkir kopi Americano ke pada pelayan.
Aku berdecak sebal karena pertanyaanku tidak langsung dijawab.
"Iya, iya, boleh. Naik aja sana! Tapi jangan lupa bersihin dulu, biar nggak bersin. Kamu kan sensitifnya udah kayak kulit bayi," pesan Kenzo penuh perhatian, namun tetap bercampur dengan sedikit ejekan.
Ck. Multitasking sekali kan pacarku ini?
Karena kantuk yang kian tak tertahankan. Aku hanya mampu menjawabnya dengan gumanan dan acungan jempol. Memilih langsung bergegas naik ke lantai atas dan merebahkan tubuhku di bed sofa milik Kenzo.
Ugh!
Nikmatnya berbaring.
Mimpi indah, i'm coming!
******
"Yang, bangun! Sholat dzuhur dulu. Nanti tidurnya dilanjut lagi."
Aku menggeliat saat merasakan tubuhku diguncang pelan. Melirik ke arah Kenzo dengan kedua mata yang masih enggan terbuka, baru kemudian mengangguk.
"5 menit lagi," kataku mencoba memejamkan kedua mataku kembali.
Aku bisa mendengar dengan jelas decakan tak suka yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya, aku bisa merasakan tubuhku ditarik paksa oleh Kenzo dan didudukkan secara paksa.
"Sholat dulu!" tegasnya tak ingin dibantah. "Udah jam satu kurang sepuluh menit, tuh. Kewajiban sholat itu nggak boleh ditunda-tunda," sambungnya menceramahiku.
Aku mangguk-mangguk sembari melepas kuciran kudaku, kemudian memilih untuk mencepolnya.
"Dih! Malah pamer leher," gerutu Kenzo setengah berdecak.
Aku tersenyum puas lalu menjulurkan lidahku.
"Biarin. Orang pacarku suka."
Kenzo kembali berdecak, lalu mendorong tubuhku agar segera beranjak dari bed sofa-nya.
"Sana buruan sholat! Nggak usah mancing hasrat orang. Bikin nambah dosa aja," gerutu Kenzo, membuatku gemas dan mencubit paha kirinya.
"Sakit tau," pekiknya sembari mengusap-usap bagian paha bekas cubitanku. Sementara aku langsung berlari terbirit-birit menuju kamar mandi.
"Mau makan apa?" tawar Kenzo saat aku sudah selesai menunaikan ibadah sholat dzuhurku.
Aku menghentikan kegiatan melipat mukenaku yang memang sengaja aku taruh di sini, lalu menoleh ke arahnya.
"Hari ini ada menu spesial?" tanyaku.
Kenzo menggeleng, "Menu spesial adanya weekend, sayang."
Aku mangguk-mangguk paham kemudian menaruh mukena dan juga sadajah di tempat semula, baru kemudian berjalan menghampiri Kenzo.
"Nasi goreng kambing deh kalo gitu. Rada pedes ya," kataku sambil mengedip-ngedipkan mata sedikit genit. Berharap permintaanku tidak ditolak Kenzo.
"Nggak ada pedes-pedesan," ketusnya sembari mengetikkan pesan untuk salah satu pelayannya. "Minumnya apa?"
Kebanyakan bergaya kali ya, pacarku ini. Mau minta dibawain makanan ke atas saja sampai segala ngirim WhatsApp, padahal cukup manggil salah satu nama karyawannya saja udah loh.
"Es teh manis," cengirku membuat Kenzo mendengkus.
"Abang jualannya kopi, Neng. Bukan es teh manis."
"Tapi Eneng juga enggak mau beli, Bang, cuma minta makan plus minumnya," balasku sedikit ketus. "Ya udah, air putih dingin aja," sambungku membuat Kenzo tertawa.
"Gitu aja ngambek. Nih! Aku tulis es teh manis," katanya sembari menunjukkan layar ponselnya ke arahku. "Bikin gemes aja deh. Ah, jadi pengen nyium kan," sambungnya kemudian mencubit hidungku yang tidak terlalu mancung.
Aku memekik kesakitan karena cubitannya lumayan keras. Namun, bukannya merasa bersalah, Kenzo malah tertawa puas. Membuatku bertambah kesal.
"Sakit, Ken!" amukku sembari mengeplak pahanya dengan cukup keras.
Kenzo makin terbahak lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku, "Uluh uluh, sakit ya, Neng? Sini-sini Abang cium dulu."
"Jauhkan mukamu dari wajahku, wahai Abang mesum," kataku sembari mendorong dahinya menggunakan jari telunjukku.
Kenzo langsung melotot tak terima, "Abang mesum?" ulangnya tersinggung.
Dengan gerakan cepat, Kenzo tiba-tiba mengangkat tubuhku ke atas pangkuannya. Aku sempat memekik beberapa saat, namun dengan cepat pula Kenzo membungkam bibirku dengan bibirnya.
"Bibir kalau nggak dibungkam pake bibir juga kok hobinya teriak-teriak," gerutunya setelah melepaskan bibirnya dari bibirku.
Aku melotot kesal, kemudian memukul dadanya pelan.
"Mulut kamu itu pedes banget sih kalau komen. Udah kaya netizen aja," balasku tak mau kalah.
Kenzo menaikkan alisnya bingung. Pura-pura bingung lebih tepatnya. "Apaan netizen? Yang buat nyuci itu, ya?"
"Itu deterjen."
Kenzo tertawa pelan, "Oh, udah ganti, ya?"
Aku mendengkus. "Emang dari dulu namanya itu." Berniat untuk turun dari atas pangkuannya, namun ditahan oleh Kenzo.
"Anteng! Jangan banyak gerak, nanti ada yang bang--"
"Mulutnya!" amukku sembari memukul dadanya kembali.
Kenzo tersenyum. Kedua matanya menatapku intens. Membuatku tiba-tiba gugup.
"Deg-degan ya," bisiknya sembari menempelkan hidung mancungnya ke hidungku yang tidak terlalu mancung.
Aku berdehem. Mencoba untuk menghilangkan rasa gugupku. Kemudian kembali berniat menjauhkan wajahku dari wajahnya. Namun lagi-lagi ditahan oleh Kenzo. Kedua mata kami bertemu, seolah sedang melakukan obrolan lewat tatapan mata. Setelahnya, aku bisa merasakan Kenzo agak memiringkan wajahnya, seperti akan menciumku. Membuatku secara reflek memejamkan mata. Namun sebelum aku merasakan bibir lembut Kenzo mendarat di bibirku. Aku justru mendengar suara terkejut dari arah pintu. Membuatku panik seketika.
"ASTAGHFIRULLAH?!"
Dengan gerakan reflek aku menjatuhkan kepalaku di dada Kenzo, lalu berangsur turun dari pangkuannya. Membenamkan wajahku pada sofa. Aku masih bisa mendengar suara Kenzo tertawa kecil saat beranjak dari sofa. Membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpatinya.
Sialan. Masih bisa ketawa dia, setelah bikin aku malu di depan karyawannya sendiri.
Awas aja kau, Ken! Aku balas nanti.
"Lain kali kalau saya lagi bareng pacar saya, kalau mau masuk ketuk pintuk dulu ya, Den. Pacar saya malu tuh kamu pergoki gini."
Aku mengepalkan telapak tangan kananku saat mendengar nada bicaranya yang terdengar santai. Tak lama setelahnya, karyawan yang Kenzo panggil Den, itu menjawab.
"Maaf, Mas, tadi saya sudah ketuk pintu sama manggil-manggil kok. Ya, saya nggak tahu kalau Masnya lagi adegan pangku-pangkuan gini. Jadi ya, saya langsung masuk."
Aku merasakan kedua pipiku memanas. Antara malu dan juga marah. Astaga! Adegan pangku-pangkuan?
Tenggelamkan aku sekarang juga, ya Allah!
"Gitu ya? Berarti salah saya dong? Ya udah, lain kali tunggu saya buka pintu aja ya. Gedor aja yang keras! Kalau saya belum nyaut juga."
"Iya, Mas. Sekali lagi saya minta maaf, Mas. Sampaikan maaf saya buat Mbak Aqilla juga ya, Mas. Saya permisi."
"Deni udah turun, sayang," kata Kenzo yang ku lirik tengah menaruh nampan berisi makan siang kami.
Aku langsung mengangkat wajahku dan memelototinya.
"Kenapa?" tanya Kenzo dengan wajah polosnya. "Marah gara-gara gagal ci-- aduh! Kenapa aku ditimpuk bantal?" protesnya masih sempat bisa tertawa.
"Kamu udah bikin malu aku di depan karyawan kamu, Ken. Dan kamu sesantai ini? Ngeselin banget sih kamu," amukku kesal.
Dengan gerakan brutal, ku pukuli pundak favoritku saat aku sedang lelah tanpa jeda.
Masa bodoh. Aku beneran kesel saat ini.
"Udah?" tanyanya saat aku menghentikan pukulanku pada pundaknya. Karena kelelahan dan juga ngos-ngosan. "Minum dulu!" lanjutnya sembari menyodorkan segelas es teh manis kepadaku.
Aku mendengkus, "Ngeselin banget sih kamu ini," gerutuku, namun tetap menerima gelas yang Kenzo sodorkan. Lalu meneguknya dengan rakus.
"Pelan-pelan! Nanti kamu bisa tersedak," ujar Kenzo mengingatkan.
Aku hanya meliriknya tajam, di sela tegukanku.
"Bikinin lagi," perintahku galak, kemudian meletakkan gelas berisi es teh manisku yang tinggal setengah.
"Itu masih. Diminum aja dulu, kalo nggak abis mubazir. Biaya resepsi mahal lho."
"Ya, kalau biaya resepsi mahal, nggak usah pake resepsi," ketusku galak.
"Gitu ya? Cukup ijab qobul aja di KUA, ya? Biar lebih irit."
"Tahu ah, aku marah sama kamu," ketusku menggeser tubuhku menjauhinya. "Astaghfirullah! Nanti aku pulangnya gimana, Ken."
"Naik mobil lah. Kamu ke sini kan naik mobilkan?" balas Kenzo cuek. Bahkan dengan santainya, ia malah sudah menyantap makan siangnya.
Aku melongo. Setelah adegan memalukan tadi dia bisa bersikap biasa saja dan makan dengan tenang?
Bolehkah, aku siram kepala pacarku ini dan menjambaknya sepuas hati?
Tolong katakan, iya!
Agar aku bisa melakukannya tanpa perasaan bersalah setelahnya.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Chieda
ebusettt lucu banget yaa🤣😂
2023-02-17
0
Dara
Hubungan yg seperti ini justru yg bikin awet, ngejalanin dg santai, suami sekaligus teman, sahabat jg saudara. Susah lho dpt pasangan kyk gini
2023-01-27
0
Siti Komariah
ya Alloh...kasian mas ken kalo trpaksa harus pisah ..jagain jodoh orang doang
2023-01-23
0