\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=!!!!\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tok Tok Tok
Aku mengerang jengkel saat mendengar suara pintu kamarku diketuk. Selang berapa detik kemudian suara Sandra mulai terdengar.
"Mbak Qilla? Mbak ada di dalam? Ini ada tamu yang mau ketemu Mbak. Bisa?"
Dengan gerakan kesal aku menendang selimutku. Bergerak turun dari kasur. Kemarin aku jadi membantu acara lamaran Kesha. Dari pagi hingga tengah malam. Dan semalam aku harus begadang demi menyelesaikan desain pesanan salah satu anak pejabat yang akan menggelar lamaran. Alhasil, aku bisa menutup kedua mataku dengan tenang tepat setelah adzan subuh berkumandang. Dan sekarang baru pukul 8 pagi, tapi tidurku sudah diganggu. Wajar bukan kalau seandainya aku kesal?
Tolong katakan, iya!
Membuat orang bahagia itu bisa menghasilkan pahala. Oke?
"Kenapa?" ketusku menatap Sandra galak.
Sandra meringis sembari merempas ujung cardigannya.
"Anu, Mbak," ringisnya belibet.
"San, Plis! Aku ngantuk dan juga capek. Kalau enggak ada yang penting, mending kamu turun ke bawah. Aku mau balik ti--"
"Eh, eh, jangan dong, Mbak! Hari ini Mbak Qilla ada jadwal ketemu sama anak bungsunya Pak Pramuji, Mbak," cegah Sandra saat aku hendak ingin kembali menuju kasur.
"Siapa itu Pak Pramuji? Enggak berasa kenal," tanyaku setelah menutup mulutku karena menguap.
"Itu loh, Mbak, pemilik pabrik kain langganan kita. Suaminya Ibu Linda Pangesti."
Aku mangguk-mangguk sambil ber'oh'ria, setelah mendengar nama yang disebutkan Sandra sudah akrab di telingaku.
"Bikin janji jam berapa?" tanyaku sembari menggelengkan kepalaku karena kembali menguap. Serius, rasanya aku benar-benar mengantuk.
"Rencana awal sih, sekitar sepuluhan, Mbak."
"Terus? Mau diganti?" tebakku tepat sasaran.
Kulirik Sandra langsung mengangguk membenarkan kalimatku.
"Diundurin apa dimajuin?"
Bukannya langsung menjawab, Sandra malah meringis sembari mengigit bibir bawahnya. Sudah hampir tiga tahun lebih kerja bareng, membuatku sedikit banyak mulai hafal dengan gelagatnya. Aku mencium bau-bau tak mengenakkan sepertinya.
"Sekarang?" tebakku dengan raut wajah sedikit kesal.
"Emm, enggak sekarang juga sih, Mbak. Mbak Arisha-nya bilang nggak harus sekarang, seluangnya Mbak Qilla, cuma emang harus hari ini kalau menurutku."
Aku mengerutkan dahiku heran.
"Kenapa gitu?"
"Mbak Arisha nggak bisa kalau ke sini, Mbak. Mbak Arisha-nya minta Mbak Qilla yang dateng ke tokonya. Soalnya, salah satu karyawaannya ada yang nggak masuk, jadi Mbak Arisha-nya nggak bisa kemana-mana."
Sandra meringis sungkan saat mendapati kedua mataku yang kini berubah menatapnya tajam.
"Harus banget hari ini?"
Sandra mengangguk, "Besok sih Mbak Arisha-nya nggak terlalu sibuk, sebenernya. Tapi Mbak Qilla yang sibuk, kan besok ada wawancara sama majalah. Nah, besoknya lagi Mbak Arisha mulai sibuk ngurus persiapan yang lain."
Aku memejamkan keduaku sembari menarik nafas secara perlahan, kemudian menghembuskannya secara kasar. Melirik Sandra sekilas baru kemudian mengangguk dengan sedikit tak rela.
"Oke. Kamu bisa turun ke bawah, beresin barang-barang kamu. Kamu ikut. Aku butuh supir atau minimal temen ngobrol biar nggak ngantuk."
"Loh, aku ikut, Mbak? Terus yang ja--"
"Biar Jihan nanti yang terima pelanggan," potongku cepat.
"Tapi kita lagi banyak orderan, Mbak. Kasian Jihan kalau musti double job."
Aku langsung memberikan tatapan tajamku. "Lalu kamu nggak kasian sama aku? Huh?" ketusku jengkel.
"Ya, enggak gitu juga kali, Mbak. Maksud--"
"Udah, udah, sana turun! Bikin mood tambah kacau aja," usirku galak.
"Terus, Mbak Qil--"
"Iya, Sandra, iya. Sekarang aku harus mandi dan juga siap-siap. Sekarang kamu tenang?" sindirku setengah berdecak.
Sandra meringis sembari mengangguk malu-malu. Membuatku gemas untuk sekedar memukul kepalanya.
"Iya, Mbak, udah nggak terlalu deg-degan sekarang. Tadi aku rasanya deg-degan banget. Takut dimarahi Mbak Qilla," cengirnya sebelum berlari turun ke bawah.
Aku hanya mampu menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuannya. Dan lebih memilih bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sebelum diceramahi oleh Sandra.
Aku langsung turun ke bawah, setelah siap dengan dress selututku yang bermotif bunga-bunga.
"Mana alamatnya, San?"
"Ini, Mbak," kata Sandra sembari menyodorkan kertas kecil kepadaku.
"Makasih. Aku tinggal ya," ucapku berpamitan pada yang lain juga. Ketiga perempuan beda usia itu mengangguk mempersilahkan. "Kalau butuh camilan telfon, ya. Nanti aku beliin sesuatu pas pulang," lanjutku sebelum keluar dari butik.
Sandra mengangguk sembari mengacungkan jempolnya.
"Hati-hati, Mbak," pesannya yang ku balas dengan anggukan kepala.
Pram's Bakkery & Mini Cafe
Aku membaca kertas kecil yang Sandra berikan dan masih merasa sedikit asing dengan toko kue ini. Sambil mengangkat bahu acuh, aku lebih memilih menstarter mobilku, melajukannya dengan kecepatan sedang.
Aku langsung menghentikan Honda Jazz putih keluaran 2015-ku, setelah tadi berputar arah karena sempat nyasar. Kemudian aku mencangklong tas selempangku dan membawa beberapa buku catalog sebelum keluar dari mobil.
"Permisi," kataku menyapa seorang kasir yang tengah sibuk, entah sedang melakukan apa.
Penjaga kasir itu langsung mengangkat kepalanya dan menghentikan kegiatannya.
"Selamat datang di Pram's Bakkery-- Loh, Mbak Aqilla? Ya ampun, Mbak, maaf ya, ngerepotin. Padahal Mbak Aqilla pasti sibuk banget, tapi malah ke sini. Duh! Saya jadi nggak enak deh kalau gini. Mari, Mbak, kita ke atas aja. Ke ruangan saya."
Aku hanya tersenyum canggung mendengar ucapannya lalu mengekor di belakangnya.
"La, saya ada tamu, kalau ada pembeli panggil saya di ruangan ya," ucap Arisha sebelum meninggalkan meja kasir. Lalu mengajakku naik ke lantai atas.
"Susah nggak, Mbak, nemuin tempatnya?" tanya Arisha berbasa-basi.
Aku **** senyumku. "Sempet kelewat sih tadi," cengirku sedikit malu.
Arisha tersenyum maklum. "Papan namanya kurang gede sih, jadi suka pada kelewat kalo mau mampir."
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Dan sedikit terkejut saat kami sampai di lantai dua. Aku pikir, ruangan ini khusus beristirahat untuknya atau karyawan lainnya. Tapi ternyata tidak. Sepertinya Arisha berbagi ruangan dengan seorang penyewa, yang aku tebak penyewanya seorang arsitek. Kalau dilihat dari meja khusus yang biasanya digunakan oleh para arsitek.
"Ruangannya disewakan, ya?" tanyaku sedikit berbisik.
Arisha nyengir kemudian menggeleng, "Sebenernya ini bangunan milik Kakak saya, cuma udah saya beli meski masih ngutang. Dulu kakak saya kerja di Jakarta, tapi berhubung dipaksa pulang sama Ayah, ya terpaksa buka firma arsitek di sini bareng saya." Ia kembali menutup ruangannya dan mengusap tengkuknya malu. "Kita ngobrolnya di sofa situ aja, nggak papa kan, Mbak?"
Aku mengangguk tak masalah. "Saya mah di mana saja oke, asal nggak di tengah jalan aja deh," jawabku setengah bercanda.
Arisha mengangguk senang, kemudian menunjuk sofa, mempersilahkan aku untuk duduk di sana.
"Saya turun bentar ya, Mbak, ada pembeli. Janji, Mbak, nggak bakalan lama," ucapnya langsung pergi begitu saja tanpa membiarkanku untuk menjawab. "Mas, titip tamuku! Tapi jangan digodain," sambungnya sedikit berteriak, bahkan tubuhnya sudah menghilang dari pandanganku.
Sementara aku bingung harus bagaimana. Ku lirik pria itu mengangkat wajahnya lalu tersenyum.
"Silahkan duduk, Mbak! Santai, nggak usah takut. Saya nggak gigit kok," candanya sambil terkekeh, kembali fokus dengan kegiatannya yang tadi sempat tertunda.
Mungkin dia lihat muka tegangku kali, ya.
Jadi dengan sedikit canggung aku pun berjalan pelan, menuju sofa dan mendudukkan pantatku di sana.
"Temennya Risha, ya?"
"Bukan. Eh, maksudnya Mbak Arisha itu klien saya. Saya dari pihak Khanza Boutique, mau diskusi tentang gaun pengantinnya Mbak Arisha."
"Dari pihak butik?" beonya membuatku mengangguk sebagai tanda jawaban. "Baik banget sampe ke sini segala."
Aku hanya meringis canggung sebagai respon.
"Sudah menikah, Mbak?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mendelik tak suka. Tersinggung lebih tepatnya. Apa-apaan maksudnya ini. Tanya-tanya sudah menikah apa belum. Nggak sopan banget.
Aku tersenyum sinis kemudian mengangkat bahuku acuh, "Saya rasa, saya tidak punya kewajiban untuk pertanyaan anda barusan," jawabku ketus.
Namun bukannya tersinggung, Kakak dari calon klienku ini malah tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang membuatnya terlihat manis.
Astaga! Apa yang baru saja aku bilang barusan?
Ah, baiklah. Harus aku akui jika Kakak Arisha ini selain memiliki tampang good looking dan badan yang oke. Ia memiliki senyum manis yang menawan. Aku bahkan sangat yakin jika senyumannya itu mampu membuat perempuan normal langsung terpikat dalam hitungan detik. Aku pun begitu, karena aku perempuan normal. Tapi, setelah mengetahui sikap tak sopannya barusan, membuatku berpikir ribuan kali untuk terpikat dengan pria sepertinya.
"Saya hanya bertanya loh. Kalau seandainya Mbaknya masih single, boleh dong saya daftarin Ibu saya biar bisa jadi Ibu mertua Mbaknya."
Aku tercengang. Dia ini sedang bercanda kan. Sialan! Kenapa pula ini pipi pake memanas segala. Perasaan kalau Kenzo godain aku, aku biasa aja. Tapi kenapa sekarang aku jadi gugup gini.
"Gimana, Mbak? Masih buka lowongan?"
Aku memutar kedua mataku karena jengah. Sial. Kenapa hariku gini amat, ya? Digodain pria asing sampai salah tingkah gini. Kalau kaya gini, siapa yang kurang ajar?
Aku atau dia?
"Mas Rey!"
Aku secara spontan menoleh ke asal suara. Dan langsung bernafas lega saat menemukan Arisha sudah berdiri di sampingku dengan kedua lengan yang dilipat di depan dada.
"Dibilangin nggak boleh godain juga. Bandel banget," gerutu Arisha galak.
Pria yang dipanggil Rey itu nyengir sok malu-malu. Membuatku mendengkus tanpa sadar.
"Namanya juga usaha, Ris. Masa ada cewek cakep gini dianggurin, nanti disangkanya Mas-mu nggak normal gimana? Mau kamu?"
Arisha langsung berdecak sebagai respon pertamanya, "Tapi Mas Rey bikin Mbak Aqilla risih. Jadi cowok kok nggak peka banget. Pantes jomblo," gerutunya kemudian.
"Hei! Jaga mulutmu wahai anak muda! Jangan mentang-mentang kamu udah mau dikawinin lalu bisa memandang rendah kaumku seenakmu sendiri, ya. Gue doain calon lo kabur sebelum ijab qo--"
"MAS REYNAND PRAMUJI!" teriak Arisha membuatku menutup kedua telingaku secara reflek.
Astaga! Bukankah pria ini benar-benar menyebalkan?
Tbc,
Wekaweka, jahanam banget ya Mamasnya Arisha. Doain jelek gitu buat adek sendiri. Untung ganteng, jadi masih ketolong😂.
Adakah yang punya Babang or Mamas macem Mamas Rey ini?😂
Moga2 nggak ada ya. Amin.
Bantu koreksi typo dong. Males ngedit nih😪
Sampai bertemu di next part😙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Aulia
aku juga males thor koreksi typonya,biar bisa lancar jaya bacanya,typo manusiawi thor,krn yg nulis bukan malaikat 😍😂
2023-05-19
1
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
sumpah nya mengerikan
2022-08-29
0
Siti Fajar Herlina
Bau bau Fakboy nih... baru kenal aja udah ngegombal... ati2 Aqilla kena gombalannya...
2022-06-28
0