Telat Nikah?
*****
Bagiku bahagia itu sederhana. Cukup bisa merasakan nyamannya bersandar pada sofa empuk, dengan semangkuk besar berisi buah-buahan di atas pangkuan. Sambil menikmati saluran televisi yang menayangkan gosip-gosip para artis yang tak bisa kunikmati di hari biasa. Ya, hanya sesederhana itu.
Aku tak butuh yang namanya menghabiskan liburan dengan pergi keluar kota, keluar pulau, atau pun keluar negeri. Bagiku dapat merasakan kembali damainya rumah tanpa ada kejaran deadline mematikan adalah cara terbaikku dalam menikmati hari libur. Mengingat hampir dua bulan ini, aku terlalu sering berkutat dengan pensil dan buku sketsa.
Baiklah, mari aku perkenalkan diriku sebentar. Namaku Aqilla Khanza. Aku lahir di Semarang, namun memutuskan untuk tinggal di Jogjakarta karena tuntutan pekerjaan. Aku bukan wanita kantoran, melainkan hanya seorang desainer pakaian khusus kebaya dan gaun pengantin. Berkat suntikan dana yang di berikan Bapak, aku berhasil membuka sebuah butik kecil dengan dua lantai. Lantai pertama aku khususkan untuk menaruh koleksiku dan juga tempat bekerja para penjahitku. Sedangkan lantai atas, aku gunakan untukku bekerja sekaligus kujadikan tempat tinggalku.
Namun saat ini aku sedang berada di rumah yang ada di Semarang, dalam rangka menikmati hari libur ceritanya.
"Qilla."
Panggilan suara dari Ibu membuatku menoleh. Kulirik Ibu sekilas yang kini sudah duduk tepat di sebelahku.
"Hmmm," jawabku seadanya.
Dan kali ini tanpa menoleh ke arahnya. Pandanganku lurus ke depan layar televisi, yang menayangkan berita perceraian salah satu artis papan atas yang terkenal dengan keharmonisan rumah tangga mereka.
Sebenarnya, aku bukan tipekal perempuan yang doyan mengikuti perkembangan artis ibukota. Namun, karena karyawanku heboh membahasnya beberapa hari ini, otomatis membangkitkan jiwa kekepoanku yang sudah mendarah daging sejak balita.
"Kamu tau nggak si Dewi. Anaknya Pak RT. Yang baru lulus SMA tahun ini, nduk. Inget, enggak?" tanya Ibu.
Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat siapa yang dimaksud Ibu. Setelah bayangan gadis belia yang sedikit centil namun manis itu mulai menyapa ingatanku, aku pun mengangguk.
"Inget kayaknya," kataku sambil menusuk potongan buah apel sebelum memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya perlahan.
"Katanya, dia mau nikah bulan depan loh, nduk."
Rasa manis campur sedikit masam dari buah apel yang baru saja ku kunyah mendadak berubah menjadi hambar. Kebahagiaanku seolah langsung sirna, begitu mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ibu. Sebisa mungkin, aku menahan diri untuk tidak memutar kedua bola mataku. Demi sopan santun dan juga tata krama yang selalu diajarkan Ibu dan juga Bapak sejak dulu.
"Terus?"
Aku mencoba untuk berpura-pura tak paham. Meski pada kenyataannya aku sangat paham maksud dari kalimat Ibu tadi.
"Ya, masa kamu kalah. Ibu ya gengsi to, Nduk. Masa anaknya juragan tanah di kampung sini kalah sama anaknya Pak RT. Dibandingkan Dewi, yo, jelas cantikan kamu, toh. Mana dia baru lulus SMA lagi." Ekspresi Ibu terlihat benar-benar tak suka.
Sambil menghela nafas, aku mencoba mengontrol diri untuk tak tersulut emosi. Aku wanita dewasa. Dan wanita dewasa tidak boleh gampang tersulut emosinya. Begitu segestiku dalam hati. Munafik, kalo aku nggak kesal dengan kalimat Ibu barusan.
"Bu, nikah itu kan bukan ajang balapan. Tapi tentang--"
"Kesiapan mental," sambar Ibu sembari mendengkus bosan.
Aku mengangguk, membenarkan, sembari mengacungkan jempolku. Membuat Ibu langsung melotot tak suka ke arahku.
"Halah, itu cuma alasanmu saja. Dari jaman Mbakmu hamil si Kafka sampai sekarang, Mbakmu hamil lagi, jawabanmu ya cuma itu. Gimana Ibu ndak sampai hafal," gerutu Ibu dengan nada yang tidak bisa ku bilang santai. Ku lihat ekspresi Ibu benar-benar kesal saat ini.
"Ya, mau gimana lagi to, buk. Orang Qilla emang belum siap, masa ya mau dipaksain. Ya ndak baik to."
"Kamu itu lho, nduk, ada aja jawabannya. Mau sampai kapan kamu sama si Kenzo itu pacaran terus. Nggak enak jadi obrolan tetangga to, nduk. Kamu sama Kenzo itu udah kelamaan pacarannya. Kalau kamu ndak yakin sama Kenzo, uwes to, putusin wae. Mending bubaran. Cari yang bisa bikin kamu yakin untuk nikah. Kamu ini selot tua, nduk, ora selot enom. Eling! Nikah itu sunah lho. Ora dolanan wae."
"Buk, sinten to seng dolanan? Mboten woten to. Qilla sama Kenzo serius, Bu. Qilla juga yakin sama Kenzo. Qilla mau nikah sama Kenzo. Tapi enggak sekarang atau dalam waktu dekat."
"Arep ngenteni opo maneh to, nduk. Jaremu mben, pengen kuliah sek, barang wes lulus pengen duwe butik dewe, rak yo wes do kelakon to. Jane ki arep ngenteni opo maneh to, nduk? Ngenteni Ibumu sekarat sek ngno, opo ben Ibumu iki mati sisan ngono?"
(read: Mau nunggu apa lagi sih, Dek. Katamu dulu ingin kuliah, pas udah kuliah, ingin punya butik sendiri, bukannya sudah terwujudkan. Sebenarnya mau nungguin apa sih, Dek? Nunggu Ibumu sekarat dulu gitu, apa biar Ibumu ini mati sekalian gitu?)
"Astaghfirullah, Ibu ini lho omongannya."
"Sak karepmu dewe kono lah. Ibu ora urus. Ibu pusing mikirin kamu."
(read:terserah kamu sendiri lah. Ibu nggak peduli.)
Dengan perasaan kesal, Ibu segera berdiri. Kemudian berjalan meninggalkan aku yang mulai merasa bersalah.
Sumpah, demi Tuhan. Aku memang belum siap jadi istri mau pun ibu. Aku masih terlalu egois untuk membina rumah tangga. Aku benar-benar merasa belum siap. Dan aku tak harus memaksakan diri untuk menikah hanya karena para anak gadis tetanggaku sudah pada menikah.
Tidak. Aku tidak akan begitu.
Aku kembali menghela nafas sambil melirik mangkuk. Potongan buah-buahan ini masih penuh karena baru ku makan beberapa potong. Tapi nafsu makanku kini mendadak hilang.
Dengan perasaan sedikit kesal, aku pun ikut berdiri. Mematikan televisi, kemudian berjalan menuju dapur. Meletakkan mangkuk berisi buah-buahan ke dalam kulkas. Baru kemudian berjalan keluar rumah.
Tujuanku saat ini mengunjungi rumah Mas Adi, yang kebetulan jaraknya tak terlalu jauh dari rumah.
"Jelek banget mukanya. Belum mandi pasti, ya?"
Sambutan manis dari Mbak Lusi, kakak iparku, sama sekali tak ku gubris. Mengabaikan sopan santun dan juga tata krama, aku langsung memilih nyelonong masuk.
"Mas Adi ada kan, Mbak?" tanyaku tanpa menoleh.
Terkesan tidak sopan sih, memang. Tapi mood-ku benar-benar sedang jelek saat ini. Jadi aku tidak terlalu peduli.
"Ngapain nyariin suami Mbak?" ketus Mbak Lusi merasa jengkel karena tadi sempat aku abaikan.
"Pengen curhat. Butuh dada bidang buat sandaran juga. Dada suami Mbak Lusi kan emang paling enak buat senderan," jawabku asal, setengah bercanda.
Karena dada Mas Adi biasa saja, tidak bidang sama sekali, cenderung sedikit kurus untuk ukuran pria yang hobi makan sepertinya. Tapi untuk ukuran pria normal cukup besar.
Aku kemudian mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, tanpa menunggu dipersilahkan si pemilik rumah.
"Berantem lagi sama Ibu?" tebak Mbak Lusi tepat sasaran.
Kakak iparku ini selain jago masak dan berwajah manis. Dia ini tipekal orang yang punya kepekaan tingkat wahid. Mbak Lusi bisa nikah sama Mas Adi pun, berkat keistimewaannya itu. Luar biasa bukan?
Sebenarnya Aku juga ingin mengelak, namun karena sepertinya akan berakhir sia-sia. Jadi akhirnya aku memilih untuk mengangguk, membenarkan.
Setelah mengangguk paham, Mbak Lusi pun langsung bergegas naik ke lantai atas.
"Kalau butuh minum ambil di kulkas sendiri, ya. Mbak mau panggilin Masmu dulu di atas," katanya sebelum menaiki anak tangga.
Aku hanya mengangguk sembari mengacungkan jempol sebagai tanda jawaban.
Tak lebih dari lima menit Mas Adi pun turun.
"Dada Kenzo nggak seenak dadanya Mas, ya?" tanya Mas Adi setelah mendudukkan pantatnya di sebelahku.
Aku menggeleng tak setuju, namun tetap menyenderkan kepalaku di dada Mas Adi. Karena jelas, dada Kenzo sandaran paling oke se-dunia.
Versi siapa?
Jelas versiku lah.
"Kenzo kan ada di Jogja, Mas. Masa iya, aku kudu balik ke Jogja cuma nyari dada buat senderan. Mending ke sini kan, deket."
Mas Adi mendecakkan lidahnya, memasang wajah pura-pura merajuk.
"Jadi Mas cuma dijadiin pemeran pengganti?"
"Bukan dong." Aku menggeleng.
"Terus, apaan?" tanya Mas Adi dengan sebelah alis yang terangkat.
"Pemeran cadangan," kelekarku sembari memainkan alisku naik turun.
"Pulang, sana!" rajuk Mas Adi sembari menjauhkan kepalaku darinya, kemudian mendengkus tak percaya.
Aku terkekeh geli.
Kasian banget ya, Mbak Lusi dapet suami tukang ngambekan gini.
"Lagi butuh sandaran, Mas," kataku membujuk. Memasang wajah semelas mungkin.
Dan.... berhasil.
Meski sambil berdecak, Mas Adi kembali menarik kepalaku untuk disandarkan di dadanya. Aku tersenyum sembari memejamkan kedua mataku.
"Kamu ini, wanita mandiri yang nggak pernah suka merepotkan. Tapi kenapa sih kalau sama Mas, kamu manja gini. Bikin cemburu Mbakmu aja," gerutu Mas Adi yang membuatku terkekeh.
"Ya, nggak papa. Manjanya sama Kakak sendiri ini," balasku acuh. Padahal sebenarnya aku juga takut sih, kalau-kalau Mbak Lusi cemburu dengan kedekatan kami. Mengingat sifatku sendiri yang suka cemburu dengan Kesha, adik Kenzo.
"Tapi harusnya kamu ini manjanya ke suami kamu. Udah 27 tahun loh. Ma--"
"Mas Adi nggak asik deh. Ikut-ikutan Ibu."
"Jadi gara-gara ribut sama Ibu, kamu kabur ke sini?" tembak Mas Adi.
"Enggak lah. Emangnya aku anak kecil," kilahku, bohong.
"Oh iya, kamu kan udah gede. Bukan anak kecil, ya. Harusnya mah udah bisa bikin anak kec--"
"Mas Adi!" pekikku sembari mengeplak lengan Mas Adi dengan kesal.
Kemudian melotot tak terima. Sementara Mas Adi justru terbahak, bukannya mengaduh kesakitan. Heran. Lengan Mas Adi itu nggak gede loh, tapi kenapa nggak sakit.
"Lama-lama aku berasa jadi anak tiri, dinistain mulu," gerutuku di sela dengkusan.
"Gimana kabar Kenzo?" tanya Mas Adi setelah meredakan tawanya. Mencoba mengalihkan pembicaraan tadi.
Aku mengangguk. "Baik. Cafe-nya lagi rame kalo pas weekend gini. Jadi nggak aku ajak."
"Oh iya, Airin abis lamar--"
"Iya, tahu. Kemarin udah kasih kabar kok sama yang dilamar," potongku sambil menghela nafas pendek.
Jika ku endus dari bau-baunya sih, kayaknya pembicaraan kita sekarang ini masih sama.
"Kamu kapan siap dilamar Kenzo?" tanya Mas Adi serius.
Nah kan!
"Mas," panggilku pelan. Kedua mataku terpejam karena frustasi
Demi Tuhan, aku memutuskan untuk pulang ke Semarang bukan untuk ditanya kapan menikah begini. Tapi liburan.
"Kamu itu udah bukan anak remaja yang masih butuh pacaran untuk belajar saling mengenal, Dek. Kamu ini sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Kamu sama Kenzo baik-baik saja kan?"
Lah, apa korelasinya dengan hubunganku dan Kenzo. Nggak nyambung banget.
"Mas, aku sama Kenzo baik-baik saja apa enggak, itu nggak ada hubungannya sama aku yang belum ingin nikah. Aku nggak mau nikah cuma gara-gara umur atau karena aku sudah punya pacar makanya harus cepet-cepet nikah." Aku menghembuskan nafas frustasi. "Aku mau nikah kalau emang aku udah yakin untuk nikah, Mas. Bukan karena didesak kalian. Tolong hargai keputusanku," pintaku sedikit memohon.
"Kamu masih belum yakin sama Kenzo?"
Aku kembali menggeleng lemah sebagai tanda jawabannya.
"Kalo gitu lepasin dia. Cari orang lain yang bikin kamu yakin."
Lagi-lagi Aku menggeleng, namun kali ini gelengan kepalanya jauh lebih tegas.
Apa-apaan maksudnya. Cari orang lain?
"Aku sayang sama Kenzo, Mas," tegasku tak ingin dibantah.
"Sayang aja nggak cukup kan?"
Aku tahu kalimat Mas Adi barusan, memang sedang menyindirku. Tapi aku mencoba tidak memperdulikannya.
"Tapi bagi Kenzo itu cukup, Mas."
"Tapi nggak cukup buat kamu kan?"
Harus ku akui bakat terpendam milik Mas Adi soal urusan tebak-menebak dan sindir-menyindir memang perlu diajungi jempol.
"Mas, aku lagi berproses--"
"Enam tahun belum cukup?" potong Rendra cepat.
Aku mengerang jengkel, karena merasa kalah.
"Belum," jawabku pelan, sangat pelan.
Mas Adi bahkan sekarang tidak dapat berkata-kata. Yang dilakukannya hanya memijit pelilisnya yang mendadak pening. Mungkin.
"Terserah kamu, Mas cuma ngingetin. Semoga enam tahun yang kalian lewati ini nggak harus berakhir sia-sia kalau pada kenyataannya kalian nggak bisa bareng."
Sebentar! Ini Mas Adi doain aku sama Kenzo putus?
Seketika aku lansung menatap Mas Adi, meminta penjelasan.
"Kalau kamu ngerasa Kenzo beneran jodoh kamu. Mas rasa kamu nggak akan ragu sama dia," kata Mas Adi sebelum beranjak pergi, meninggalkanku yang kini diam membisu.
*****
Setelah pulang dari rumah Mas Adi, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku butuh bertemu dengan Kenzo untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba kacau hanya karena kalimat Mas Adi barusan. Semasa bodoh lah dengan jadwal liburanku yang harus berakhir gagal. Aku benar-benar butuh bertemu dengan Kenzo. Hari ini juga, agar aku tidak goyah.
Setelah berganti pakaian dan membereskan barang-barang, aku langsung bergegas turun ke lantai bawah dan berpapasan dengan Bapak yang baru saja keluar dari dapur.
"Loh, mau ke mana, nduk?" tanya Bapak sambil memandangiku heran.
"Balik ke Jogja, Pak," jawabku pendek.
"Katanya mau liburan, kok udah mau balik aja to? Masih marah sama Ibuk-mu?"
"Loh, kok Bapak tahu?" Aku memandang Bapak heran.
"Ibu-mu tadi ngomel-ngomel pas bapak baru pulang abis liat tanahnya pak Husein. Gimana Bapak ndak tahu, lha wong Ibu-mu tembangane yo, kamu. Kalo kamu lagi di Jogja bilangnya kangen sama kamu, nanyain kamu kapan pulangnya. Tapi kalo udah pulang ke Semarang gini, pasti susah akurnya. Heran deh Bapak."
Aku meringis tak enak dengan gerutuan Bapak. Merasa bersalah karena belum mampu membahagiakan Ibu dan Bapak.
"Lah, iki bocah, malah ngalamun. Jadi balik ke Jogja ora, nduk?"
Aku tersenyum sembari mengangguk, kemudian maju untuk memeluk Bapak. Cinta pertamaku sebelum kenal Kenzo dan mantanku yang lain.
"Aqilla balik ke Jogja bukan karena Ibu kok, Pak."
"Lha terus?"
Aku mendongak untuk melihat wajah Bapak. Rasanya bersalah saat melihat wajah beliau yang kian menua. Tapi aku belum bisa memberikan kebahagiaan seperti yang dilakukan kebanyakan anak pada usia sepertiku ini.
"Ada kerjaan yang belum beres. Tapi Qilla baru ingetnya tadi di rumah Mas Adi."
Karena tak mungkin untuk mengatakan yang sejujurnya, aku lebih memilih berbohong. Meski tidak sepenuhnya berbohong juga sih, soalnya memang ada pekerjaan yang kutinggal padahal belum benar-benar beres.
"Kamu ini persis Ibumu. Yowes, sana berangkat, nanti keburu siang. Panas. Macet."
Aku tersenyum sambil mengangguk dan mulai melepaskan pelukannya.
"Aqilla pamit ya, Pak? Ibu mana?" tanyaku sembari celingukan mencari keberadaan Ibu.
Bapak menggeleng. "Bapak juga ndak tahu. Tadi katanya mau pergi keluar."
"Terus Aqilla gimana?"
"Gimana piye to? Emang butuh sangu dari Ibumu?"
Aku tersenyum geli sembari menggeleng.
"Bukan, Pak. Maksudnya, masa Aqilla nggak pamit sama Ibu?"
"Nanti Bapak pamitin. Kamu mending langsung berangkat."
Dengan sedikit tak sabaran, Bapak langsung menuntunku keluar rumah.
"Nanti kalo Ibu ngambek?"
"Bapak yang bujuk dong," kata Bapak sembari membukakan pintu mobilku. Mendorong tubuh langsingku agar segera masuk ke dalam mobil.
"Oke. Aqilla berangkat deh. Assalamualaikum!"
"Wa'allaikumsalam. Hati-hati! Ndak usah ngebut," pesan Bapak sembari menutupkan pintu mobilku.
"Siap laksanakan!"
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Lia Kiftia Usman
aq baca ulang thor karyamu...
2024-11-19
0
Rose Mahamud
Terima kasih sudah di translate ke bahasa yang mudah difahami😊
2023-06-12
1
Ann,
aku mampir sist ❤
2023-05-07
0