******
Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, karena macet yang cukup menyebalkan itu. Kini akhirnya aku sampai di Cafe milik Kenzo. Seperti tebakanku di awal, Cafe Kenzo terlihat ramai.
Aku menghela nafas sejenak sebelum memutuskan untuk masuk. Entah kenapa aku merasa sedikit deg-degan.
Kenzo terlihat cukup terkejut saat kedua mata kami bertemu. Aku tersenyum sembari melambaikan tangan kiriku untuk menyapanya.
"Kok di sini?" tanya Kenzo masih dengan wajah bingungnya.
Duh, imutnya pacarku kalau lagi bingung gini. Jadi pengen nyium kan.
"Kangen kamu," kataku sambil terkikik geli.
Bukannya terharu atau pun tersanjung, Kenzo justru menatapku dengan kedua mata menyipit, seperti curiga akan sesuatu.
"Mau naik ke atas?" tawarnya kemudian. Setelah tadi sempat mengedikkan bahunya.
Aku menggeleng, "Aku nggak lama, cuma mampir sebentar."
Kenzo mengangguk, kemudian mengajakku untuk duduk di salah satu kursi.
"Katanya liburan kok ke sini?" tanya Kenzo saat kami sudah duduk berhadapan.
Aku tersenyum, "Kan aku tadi udah bilang."
"Kangen aku?" ulang Kenzo sembari tersenyum geli. Kedua matanya terlihat memandangku tak percaya.
Sementara aku langsung mengangguk, mengiyakan.
"Dan kamu pikir aku percaya?"
"Why not?"
"Sekarang kamu bilang, kenapa kamu bisa di sini. Berantem sama Ibu lagi?" tembaknya langsung dan tepat sasaran.
Aku tersenyum kecut karena Kenzo yang begitu peka. Kalau kebanyakan perempuan di luar sana merasa gemas dengan sikap pacar mereka yang tidak peka. Lain lagi denganku, aku justru kadang ingin Kenzo tidak peka seperti sekarang. Karena punya pacar peka itu tidak selamanya enak. Dan mungkin punya pacar nggak peka pun nggak selamanya buruk juga.
Ya, mungkin saja.
"Kenapa sih kamu peka banget?" gerutuku dengan bibir cemberut.
Kenzo tersenyum, "Kalau aku nggak peka, kamu pasti rewel," katanya sembari menjawil hidungku gemas, membuatku kembali memasang wajah cemberut. Sementara Kenzo kembali tersenyum.
"Jadi kenapa?" tanyanya masih penasaran.
"Sebenernya nggak berantem sih, cuma aku kesel sama Ibu dan Mas Adi." Akhirnya aku memilih mengaku.
"Mas Adi juga?"
Aku mengangguk, membenarkan.
"Kenapa?"
"Ibu cerita kalau anaknya Pak Rt mau nikah bulan depan. Terus Mas Adi juga cerita si Arin baru aja dilamar."
"Oh." Kenzo mengangguk sambil ber'oh'ria.
Aku mendelik tak terima dengan respon Kenzo yang hanya mengeluarkan dua huruf saja. Kemudian saat hendak membuka suara, Kenzo kembari bersuara.
"Ya udah, ayo nikah! Kamu maunya kapan?"
Ebuset. Pacarku ini punya mulut enteng banget ya, kayak nenteng plastik kresek tapi nggak ada isinya. Ngajak nikah udah kayak ngajak jajan cilok, tanpa perlu banyak mikir.
"Enteng banget sih mulut kamu," ketusku sembari menunjuk bibir Kenzo kesal.
"Kita udah sama--"
"--sama dewasa," sambarku cepat. "Usia hubungan dan umur kita udah nggak cocok lagi buat pacaran. Gitu?" sambungku dengan raut wajah emosi yang kentara.
Kenzo terkekeh sembari menggeleng. Tangannya kemudian terangkat untuk mengacak rambutku dengan gemas. Aktifitas yang selalu membuatku kesal dan juga kangen disaat yang bersamaan.
"Bukan," katanya sambil tersenyum. "Sama kayak prinsip kamu. Bagiku umur kita maupun umur hubungan kita memang nggak bisa dijadikan alasan untuk segera menikah. Tapi aku rasa masalah kesiapan, kita udah cukup siap mengingat banyak hal yang udah kita lalui bareng. Itu menurutku. Kalau menurutmu sendiri, bagaimana?"
Aku menggeleng sembari memainkan jari jemari Kenzo yang panjang dan juga cantik, yang kadang suka membuatku iri.
"Aku belum siap," akuku jujur dengan kepala yang sedikit tertunduk.
Kenzo kembali tersenyum, lalu menggenggam jari jemariku. Membuatku mengangkat wajahku secara reflek.
"Ya udah, kalo memang belum siap. Kita nikahnya kalau kamu udah siap."
Tidak ada raut wajah kecewa maupun bosan dari wajah Kenzo. Wajah itu masih tampak tenang dengan senyum manis disertai lesung pipit samar di pipi kirinya. Seketika perasaan lega menghampiriku. Kenzo adalah pria terbaik untuk kujadikan suami kelak. Dan tak ada alasan bagiku untuk mencari orang lain. Aku sudah yakin untuk menikah dengannya, tapi itu nanti kalau mentalku sudah siap.
Toh, Kenzo tidak pernah menuntut apapun dariku. Dia tipekal pria terbuka dan juga penyabar. Meski tak jarang ia bersikap manja saat kami sedang berdua saja, tapi Kenzo tipekal pria penuh pengertian dan juga dewasa.
"Melamun?"
Aku tersadar dari lamunanku saat merasakan hidungku yang tidak terlalu mancung ini dicubit Kenzo. Aku mendelik sebagai tanda protes.
"Mau pesen sesuatu apa langsung pulang?"
"Kamu ngusir?" Aku mendengkus samar. Kemudian kembali mendelik ke arahnya.
Namun justru disambut gelak tawa gemas dari Kenzo. Membuatku makin mendelik ke arahnya.
"Tanya doang, sayang. Kamu kayaknya mau kedatengan si dia, ya?"
Aku menerjap bingung. Si dia siapa yang lagi diobrolin ini? Kenzo nggak lagi nyangka aku selingkuh kan?
"Lagi mikir yang enggak-enggak ini pasti," celetuk Kenzo sembari menunjuk-nunjuk dahiku.
Dengan gerakan spontan, aku menyentuh dahiku, "Siapa itu si dia?" tanyaku bingung.
Kenzo kembali terkekeh, kemudian memajukan wajahnya sedikit. Membuatku ikut memajukan wajah.
"Menstruasi," bisiknya sambil terkikik geli.
"Orang gila!" makiku setengah jengkel, sementara Kenzo malah terbahak. Dengan gerakan kesal ku dorong dahinya dengan cukup keras. Dan bukannya marah, Kenzo malah makin terbahak. Sehingga mengundang perhatian beberapa pengunjung Cafe yang kebanyakan anak muda.
"Jadi gimana? Pengunjung mulai ramai tuh, kasian anak-anak kalau nggak aku bantuin. Kamu mau pulang, apa naik ke ruanganku aja?" tanya Kenzo setelah berhasil menghentikan tawanya.
Aku mendengkus kemudian memilih langsung berdiri.
"Aku balik ajalah. Terang-terangan diusir gini masa masih mau di sini. Bisa-bisa kamu panggilin satpam aku," dumalku memasang wajah pura-pura kesal.
Kenzo tersenyum sembari mengangguk kemudian ikut berdiri di sebelahku. Tangan kanannya menyusup di antara jari-jemariku, kemudian menuntunku keluar Cafe.
"Yuk, aku antar sampai depan."
Meski sambil mendengkus aku tetap menurut.
"Nanti aku main ke butik ya?" tanyanya setelah kami sampai di parkiran.
Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum sembari mengangguk.
"Malem?"
Kenzo mengangguk sembari membukakan pintu mobilku.
"Aku pergi, ya? Jangan kecantol sama fans-fans kamu," pamitku setengah mengancam.
Kenzo terkekeh kemudian mengangguk. "Hati-hati!" pesannya sambil menutup pintu mobilku.
"Sampai ketemu nanti malem," kataku sebelum meninggalkan tempat parkir.
Kenzo tersenyum sembari mengangguk. Baru melambaikan tangannya. Sementara aku mendesah lega.
Setelah bertemu Kenzo, hatiku jauh lebih tenang. Perasaan ragu-ragu karena kalimat Mas Rendra tiba-tiba lenyap. Kenzo pria yang baik. Dia juga pacar yang baik. Jadi, aku tidak punya alasan untuk ragu kalau kelak aku dan Kenzo akan menikah.
*****
"Sore semua!"
Kedua karyawanku langsung mengangkat kepalanya dengan kompak saat mendapatiku masuk ke dalam butik. Mereka sempat melirik satu sama lain sebelum akhirnya berdiri dan menyambutku.
"Loh, Mbak Qilla kok udah ada di Jogja?"
Aku tersenyum kecil saat mendengar pertanyaan Mbak Husna, salah satu penjahit andalanku karena jahitannya super halus. Umurnya baru 29tahun, tapi anaknya sudah dua, dan sudah sekolah semua. Perbedaan umur kami memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja Mbak Husna jauh lebih tua, mana kesan yang ditampilkan keibuan banget lagi. Jadi rasa-rasanya terdengar tidak sopan jika aku hanya memanggil Husna saja.
Baiklah, mari aku perkenalkan karyawanku yang lain.
Selain Mbak Husna, aku masih punya satu penjahit andalanku yang lain. Namanya Jihan, umurnya baru 24th. Manis, kalem, nurut, nggak banyak tingkah, dan single. Dan yang terakhir ada Sandra.
Sandra bukan penjahitku, tapi dia semacam orang kepecayaanku yang memonitor keuangan. Dan orang yang membantuku mengurus ini itu, bisa dibilang dia assisten pribadiku.
"Kangen kalian," sahutku asal.
Mbak Husna langsung terbahak.
Sebelum akhirnya mendengkus samar.
"Nggak percaya aku. Paling juga karena pengap itu kupingnya," celetuk Mbak Husna.
"Pengap kenapa, Mbak?" tanya Jihan bingung. Pandangannya melirikku dan Mbak Husna secara bergantian.
Mbak Husna meringis ke arahku kemudian menggeleng. "Uwes, ayo lek dhang mancal. Ora usah digagas."
Aku hanya **** senyumku, melihat tingkah gugup Mbak Husna.
"Lah, gimana si Mbak Husna ini. Aneh," gerutu Jihan, kembali mendudukkan pantatnya di kursi dan mulai kembali menjahit.
"Kenapa nggak pada libur?"
Mbak Husna dan Jihan menghentikan kegiatannya, kemudian mendongak ke arahku.
"Emang ini hari apa, Mbak?" tanya Jihan.
"Minggu."
"Ah, masa, Mbak?"
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa saat mendengar pertanyaan polos Jihan. Yang membuat Mbak Husna berdecak sembari melirik Jihan tajam.
"Makanya punya pacar, Han," celetuk Mbak Husna yang membuatku tertawa kecil.
"Lah, apa hubungannya nggak punya pacar sama lupa hari? Nggak ada hubungannya Mbak Husna-kuhh."
"Jelas ada dong. Kalau kamu punya pacar, minimal kamu pasti bakalan selalu nunggu hari sabtu, otomatis kamu hafal sama hari," kata Mbak Husna yang membuatku geleng-geleng kepala.
Mereka berdua ini sering banget beda pendapat yang berakhir pada adu mulut tak berkesudahan. Tapi untungnya nggak pernah mempengaruhi kinerja mereka. Itulah, alasan kenapa aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Kalian udah makan? Mau jajan?" tawarku yang langsung diangguki Jihan dengan semangat.
"Han, kamu abis makan soto sama gorengan lima ribu. Masih mau nambah?" sindir Mbak Husna sebelum menggeleng padaku. "Nggak usah, Mbak. Kita baru aja jajan tadi," lanjutnya yang membuatku mengangguk paham dan memutuskan untuk pamit ke atas.
Begitu sampai di atas, aku langsung masuk ke kamar. Meletakkan tasku di atas meja rias dan menjatuhkan diriku di atas kasur.
Tubuhku benar-benar terasa lelah karena menyetir. Dan aku benar-benar butuh tidur saat ini.
Namun sayang, semesta sedang tidak ingin bersahabat denganku.
Getaran benda pipih dari tas yang tadi kuletakkan di atas meja rias, berhasil membuatku gagal menikmati nikmatnya bergelung dengan mimpi. Dengan erangan tertahan, aku pun beranjak bangun, meraih tas kecilku dan mengeluarkan ponselku.
Terdapat dua panggilan suara dan satu panggilan video call dari Kenzo. Setelah itu disusul pesan teks yang Kenzo kirimkan.
My Luv Ken💞:
Belum nyampe?
Me:
Udah.
Me:
Udah otewe bobo
malah 😪😪
My Luv Ken💞:
Aku ganggu dong?😳
My Luv Ken:
Maaf.
Ya udah, sekarang mandi
Terus dilanjut bobonya😊
My Luv Ken💞:
👋 bye2
Luv U syang 😚
My Luv Ken💞:
Sampai ketemu nanti
malem😙💏
Me:
😥😥
Me:
Spam terossss😒
Me:
👋😗😴
My Luv Ken:
😂😂
Aku hanya tersenyum saat membaca balasan dari Kenzo. Niatan untuk sekedar membalas pesan Kenzo pun, tak kulakukan karena kantuk yang makin memdera. Tanpa sadar pun genggaman ponsel di tanganku terlepas dan aku pun masuk ke alam mimpiku setelahnya.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Alea
kalau aku diajak nikah sama laki laki kayak Kenzo langsung mau aja dong jangan sampai dia capek nunggu aku siap,terus malah kecantol cewek lain
2023-11-05
0
Erni Auliah
ini mau tdur gabisa diganggu sama panggilan atau chat dari siapapun wkwk , makanya kalau tdur harus mode shailend sih . ditambah cowo aku suka spam spam gtuh lucu juga sih wkwk
2023-03-18
0
Siti Komariah
aku udah nangkep sifat sabarnya kenzo..semoga tetap sama kenZo ya jodohnya
2023-01-23
0