MUSE
EPISODE 4
DAVIN ALEXANDER
\~Untuk apa kau punya tubuhnya kalau nggak bisa memiliki hatinya.\~
Namaku Davin Alexander, biasa di panggil Alex. Aku anak ke 3 dari 4 bersaudara. Papaku adalah seorang karyawan swasta dan Mamaku seorang penjahit baju. Mereka banting tulang untuk menghidupiku dan saudara-saudaraku.
Sore itu Papa menentangku untuk masuk ke jurusan seni. Baginya lukisan nggak bisa menghasilkan uang, lebih baik mengambil jurusan yang sudah jelas arahnya saat lulus.
“Bisnis atau akutansi dan begitu lulus kau bisa segera bekerja.” Papa membuang formulir pendaftaran yang telah ku isi.
“Aku suka melukis,” jawabku.
“Apa kamu nggak sayang dengan nilaimu yang tinggi itu!” Mama ikut-ikutan menentang keputusanku.
“Tapi..”
“Cukup, kalau memang kamu mau masuk jurusan seni. Jangan harapkan sepeser pun uang dari kami.” Papa menyudahi debat kami sore itu. Dia meninggalkanku dan masuk kembali ke dalam kamarnya, Mama hanya mengekor.
Aku berjongkok untuk memungut lembaran-lembaran formulir pendaftaran. Walaupun ekspresi wajahku datar namun hatiku terasa sangat sakit.
Kenapa aku nggak bisa melakukan hal yang ku inginkan?
Nada dering terdengar, kulihat nama yang terdapat di layar ponselku.
Amanda is calling..
Kak Amanda, senior yang lebih tua 2 tahun dariku, juga cinta pertama dalam hidupku. Kami berpisah saat dia lulus SMA. Saat itu aku masih anak ingusan dan dia seorang wanita cantik dengan segunung prestasi. Lama tak terdengar kabarnya, ternyata dia sudah menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, dan pindah ke luar kota.
Minggu kemarin dia pulang ke kota ini, kami bertemu secara nggak sengaja di sebuahmall. Berbincang singkat dan mulai kembali bertukar no ponsel. Jadi sudah seminggu ini kami kembali berhubungan. Jujur aku merindukannya, ketika tahu dia menghubungiku aku langsung menerimanya tanpa banyak bertanya.
Banyak yang berubah dari penampilannya. Wajahnya yang dulu polos kini dihiasi dengan berbagai macam jenismake up. Dulu dia lebih sederhana dalam berpakaian, kini dia tampak jauh lebih modis dengan pakaian dan barang-barangbranded.
“Hallo, Kak.”
“Bagaimana sudah kau pikirin? Mau terima ajakanku?” tanyanya dari ujung sana.
“Iya aku mau,” jawabku lirih.
“Bagus, aku kirim tiketnya.” suara Amanda terlihat begitu bahagia.
Aku pun tersenyum saat menutup telfon darinya. Mungkin masih ada harapan untukku memilih jurusan seni, aku ingin melukis.
—MUSE—
(Credit to owner)
•••
Ting Tong..
Suara bel berbunyi, aku berjalan pelan untuk membuka pintu kamar apartemenku. Ku lirik lubang kecil pada daun pintu sebelum membukanya. Amanda berlari masuk dan menabrak tubuhku.
“Kunci pintunya!” Amanda membuka bajunya dan melompat ke dalam pelukanku.
Begitulah keadaan kami saat ini. Teman rasa pacar. Er... bukan, sih. Lebih tepatnya teman rasa istri.
Aku menggendong tubuh Amanda dan memberikannya hisapan lembut di setiap area sensitifnya. menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menciumnya.
“Cepetan, Lex.” Amanda terkikik pelan saat aku kesusahan memakai pengaman.
“Kemari.” Aku menyeret dan membuka kedua pahanya setelah berhasil memakai benda bening yang sedikit lengket itu.
Perlahan aku memberikan tekanan dan gesekan kuat, bersamaan dengan irama nafasnya yang terus menderu. Tubuh terasa panas saat kulitnya menyentuh kulitku, memberikan sensasi menyenangkan bagi kami berdua.
“Hah.. Hah..” Aku mengatur irama nafasku.
Setelah mencapai puncak kenikmatan aku jatuhkan tubuhku di sebelahnya.
“Harusnya kau berolah raga, supaya perut dan lenganmu sedikit berotot. Kau terlalu kurus.” Amanda melirik nakal ke arahku.
Aku tak menggubris kata-katanya dan masih mengatur nafasku. Aku relakan lenganku untuk menjadi sandarannya tidur.
“Apa kau nggak merasa berdosa dengan suamimu?” tanyaku penasaran.
“Aku yakin dia juga melakukannya dengan wanita lain.” matanya sedikit sayu.
“Kau mencintainya?”
“Iya.”
“Lalu kenapa kau nggak melakukan hal ini dengan suamimu saja?”
“Untuk apa kau punya tubuhnya kalau nggak bisa memiliki hatinya?” jawab Amanda lirih.
Aku terdiam menunggu kelanjutan cerita Amanda, tapi hanya kesunyian yang kudapatkan. Aku sendiripun nggak merasa punya hak untuk mengetahui semuanya. Toh, hubungan kami ini hanyalah hubungan yang saling menguntungkan saja. Sudah nggak ada lagi cinta di dalamnya.
Sebulan yang lalu Amanda mengajakku pindah ke kota ini. Dia membuatku masuk ke salah satu universitas elit. Bagiku yang punya nilai bagus cukup mudah untuk masuk ke jurusan yang aku inginkan. Lalu biaya kuliah serta biaya hidup di tanggung oleh Amanda. Tapi dengan syarat aku mau menjadi pemuas nafsunya.
Cih.. Kesannya aku mirip seperti ****** atau pria simpanan. Tapi mau bagaimana lagi? Tanpa biaya hidup dari Amanda aku tak akan sanggup membayar biaya kuliahku yang cukup mahal. Aku nggak keberatan kalau orang memanggilku dengan sebutan itu. Toh selain uang aku juga mendapatkan kenikmatan di atas ranjang.
“Bangunlah! Aku mau berangkat ke kampus. Aku ada makrab malam ini.” Aku menarik paksa lenganku yang mulai kebas.
“Enaknya anak muda, aku jadi ingin kuliah lagi.” Amanda memakai kembali pakaiannya.
“Harusnya dulu aku nggak menikah, kuliah saja dan mengenal banyak laki-laki tampan.”
Aku mengacuhkannya.
“Kau sendiri, apa ada cewek cantik yang kau taksir di kampus?”
Aku menghentikan gerakanku, sempat terlintas wajah si putih di benakku. Gadis satu kelompokku yang putih dan polos. Penampilan dan gayanya benar-benar terlihat seperti malaikat saja. Wajahnya meledak menjadi merah saat mengajakku berbicara tadi, lucu sekali.
“Aku berangkat, ini kunci duplikatnya. Lain kali nggak usah ketuk pintu, langsung masuk saja.” Aku melemparkan kunci duplikat apartemen pada Amanda.
Amanda menerimanya dengan senyuman manis, memamerkan giginya yang gingsul.
“Uangnya aku taruh di laci nakas, ya.” teriak Amanda.
Aku tak menjawabnya dan berbalik meninggalkan apartemen menuju kampus.
.
.
.
Aku mempercepat langkahku. Saat ini aku mulai sadar ternyata aku nggak hanya sedikit terlambat, tapi sangat terlambat untuk acara makrab. Pasti yang lain sudah ngobrol dan makan malam.
Di perjalanan aku melihat si putih menerobos kerumunan ke arah danau.
“Kenapa dia ke sana? Bukankah makrab ada di teras aula,” gumamku lirih.
Aku mengganti arah tujuan langkahku. Sekarang aku berjalan menuju ke tempat Lenna duduk.
“Not bad.” kata-kata yang ku dengar lirih saat aku berdiri tepat di belakangnya.
“Apanya yang nggak terlalu buruk?” tanyaku.
“Alex?!” Lenna terlihat kaget.
Kelihatannya pertanyaanku membuyarkan lamunannya.
“Boleh aku duduk di sini?” ijinku.
“Silahkan.”
Aku melompat dan duduk di sampingnya.
—MUSE—
Like, comment, and +Fav
Follow dee.meliana for more lovely novels.
❤️❤️❤️
Thank you readers ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 335 Episodes
Comments
Ainur Rochmah
kasihan,,ya Alex,,,dia pilih jalan yang salah,,
2019-12-27
3
Mikimini
wow cerita yg berbeda menarik menarik 😍
2021-07-06
0
Rejekigultom
nyimak
2021-03-01
0