MUSE
EPISODE 2
MASA KECILKU
\~Bukan.. bukan aku.. tapi perkataan merekalah yang membunuhku\~
“Wah, rambutnya putih sekali, seperti orang asing, ya?”
“Iya, matanya juga berwarna lain,Violet yang menyala.”
“Kasihan Nyonya, anak pertamanya ada kelainan, ya.”
Setiap hari itulah yang akan digosipkan dan dipergunjingkan oleh para pelayan di rumahku setelah aku lahir.
Walaupun Papa sempat kecewa dengan keadaanku, namun dia nggak bisa menahan nalurinya sebagai orang tua untuk mencoba menyayangiku. Mama juga adalah wanita tegar yang selalu melimpahiku dengan kasih sayang dan dekapan hangat.
Beliau yang paling tidak pernah peduli dengan omongan orang tentangku. Baginya, aku adalah dewi bulan atau malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk menemaninya di dunia ini.
Aku sendiri juga nggak pernah protes dengan kondisi dan keadaanku. Bagiku, yang terlihat di kaca adalah sosok anak kecil yang enerjik dan selalu ceria. Aku mencintai seluruh apa yang aku punya, boneka pony kesayanganku, seluruh mainanku, seluruh hiasan rambut, seluruh pakaian, dan seluruh topiku.
Semuanya terlihat baik-baik saja, sampai suatu ketika aku mendengar Mama dan Papa bertengkar karena aku harus bersekolah.
Memangnya apa yang menakutkan dari sekolah sampai Mama dan Papaku bertengkar?
Padahal mereka adalah pasangan harmonis yang selalu saling menyayangi. Kenapa hanya karena masalah sepele saja mereka bertengkar?
“Papa.. Mama.. jangan bertengkar, kata Nenny itu tidak baik,” kataku polos. Nenny adalah panggilan untuk wanita yang mengasuhku.
Mama langsung terisak dan memelukku. Papa hanya terdiam dan membuang mukanya, otot-otot leher dan wajahnya yang semula menegang kini tampak lebih santai.
“Lenna, kemari sayang!” Papa menyuruhku datang dalam pelukannya, aku menurut. Kakiku yang kecil melangkah masuk ke dalam lingkaran tangannya.
Papa menaikkan tubuhku dan menaruhku dalam pangkuannya.
“Apa kamu mau sekolah, Sayang?” tanyanya lirih.
“Sekolah itu apa, Pa?” Aku membalasnya dengan pertanyaan lain.
“Sekolah itu tempat belajar, supaya Lenna bisa jadi anak yang pintar. Dan juga punya banyak teman-teman untuk diajak bermain.” Papa mulai menjelaskan perihal sekolah kepadaku. Aku menerima penjelasannya dengan anggukan- anggukan penuh semangat.
“Kai, aku mohon. Lenna home schooling saja.” mata Mama masih tampak berkaca-kaca.
“Rose, jangan halangi Lenna mengenal dunia luar.” wajah Papa mulai kembali menegang.
“Tapi... tapi... Bagaimana kalau dia dikucilkan? Bagaimana kalau teman-temannya menghina Lenna?” air mata turun dari bola mata Mama yang indah.
Aku benar-benar nggak mengerti bahasa dan istilah mereka saat itu. Dikucilkan? Dihina? Apa itu?
“Dia anakku juga! Aku juga nggak rela dia dihina atau dikucilkan. Tapi aku mau dia menjadi anak yang kuat. Sampai kapan kita akan melindunginya terus?” Papa mencengkram lengan Mama dan memberikan semangat.
“Mama, apa sekolah itu sangat menakutkan?” tanyaku lirih.
“Nggak, Sayang. Sekolah nggak menakutkan.” jawab Mama.
“Kalau gitu Lenna mau sekolah, Ma,” jawabku penuh keyakinan.
Papa dan Mama tersenyum saat melihatku tersenyum lebar. Rasanya begitu menyenangkan melihat mereka berdua tersenyum.
—MUSE—
(Credit to owner)
Papa mengajakku berkeliling melihat sekolahan yang akan aku masuki. Mataku berputar melihat-lihat tempat itu. Masih teringat di benakku, berbagai macam hiasan dinding yang terbuat dari kertas berwarna-warni, gambar-gambar yang di warna dengan rapi menggunakan crayon, dan beberapa kertas bertuliskan puisi yang mulai tampak usang di dalam bingkai. Semua itu adalah karya para murid. Aku juga masih ingat dengan bau lemon yang tercium dari pendingin udara di ruangan kepala sekolah.
“Namanya Lenna, dia memang spesial.” Papa memperkenalkanku pada Bu Sari, kepala sekolah dari SD MATAHARI yang akan aku masuki.
“Baik, Pak. Pasti akan kami jaga.” senyum terkembang di wajah wanita separuh baya itu, saat bergantian melihatku dan Papa.
“Belajar yang rajin, ya, Sayang.” Papa mencium keningku sebelum meninggalkanku sendiri di tempat asing ini.
Walaupun aku berkata ingin bersekolah tapi nyatanya ada rasa takut menyelimuti hatiku saat ini. Tidak ada sosok Papa, Mama, atau Nenny yang menemaniku di tempat yang baru ini, membuat nyaliku ciut. Tapi aku nggak mau menangis, aku nggak mau bikin Papa dan Mama kecewa.
“Anak-anak, kita punya teman baru, hlo!” Bu Sari mencoba mencari perhatian dari anak- anak yang masih asyik berteriak, mengobrol, dan yang sedang asyik dengan dunia mereka sendiri.
“Kemari, Nak!” wanita itu melambaikan tangannya padaku. Aku menurut dan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kelas.
“Perkenalkan namaku Cellena, aku biasa dipanggil Lenna.” Aku mencoba sekeras mungkin untuk memperjelas pelafalan namaku.
Suasana mendadak begitu hening dan semua mata tertuju padaku. Adakah kesalahan yang ku perbuat? Pandangan mereka menunjukan rasa kaget dan takut.
“Ibu guru, dia itu apa?” tanya seorang anak kecil, suaranya terdengar begitu lantang.
“Dia mirip vampir, badannya putih sekali.”
“Vampirkan merah, dia lebih mirip hantu.”
“Hantu?? Aku takut.”
“Anak-anak tenang dulu. Lenna adalah manusia seperti kalian. Hanya saja Lenna terlahir spesial. Kalian berteman yang baik dengan Lenna, ya.”
“Baik, Bu.” jawab mereka serempak.
Namun jawaban mereka hanyalah sekedar jawaban untuk memberikan rasa lega pada Bu Sari. Nyatanya setelah tidak ada guru yang mengajar, mereka tetap merundungku. Tidak ada satupun anak yang mau mendekatiku karena warna kulitku yang berbeda.
Saat Kelas 1 SD, aku tidak begitu menggubris ucapan mereka.
Saat Kelas 2 SD, mereka mulai menjahiliku, terutama para cowok.
Saat Kelas 3 SD, bullying mereka padaku semakin menjadi-jadi.
Saat Kelas 4 SD, aku mulai muak dan merasa ingin mati saja.
Aku nggak pernah menceritakan masalahku pada Papa dan Mama. Aku takut mereka akan bertengkar lagi karena aku. Tapi ambang toleransiku seakan-akan semakin menipis dan mulai menggrogoti jiwaku. Aku sering menangis sendiri dimalam hari, nafsu makanku hilang, dan aku lebih sering memuntahkan makanan yang masuk ke mulutku.
Sampai akhirnya aku merasa kalau lebih baik aku mati saja, nggak ada gunanya aku hidup.
Mereka bilang aku menyusahkan Papa dan Mamaku dengan kelahiranku di dunia ini.
Mereka bilang Papa dan Mamaku pasti malu saat mengenalkan aku dengan kerabat dan temannya
Mereka bilang kalau aku hanyalah anak pembawa sial.
Mereka bilang aku cacat.
Mereka bilang aku abnormal.
Mereka bilang aku ini hukuman Tuhan pada orang tuaku.
Mereka bilang..........
Mereka bilang.........
Terus dan terus..
Lagi dan lagi....
Terngiang-ngiang memenuhi pikiranku.
“ARGH.....!!!” Aku berteriak dan membanting gelas kaca yang ada di sebelah tempat tidurku. Mataku merah karena mengantuk dan muncul lingkaran hitam di sekitar mataku. Mungkin sudah 3 hari aku nggak bisa tidur.
“Lenna, buka pintunya!” suara Mama menggedor pintu terdengar di telingaku, namun aku nggak menggubrisnya.
Tangan mungilku mengambil serpihan gelas yang berhamburan di lantai, dengan gemetaran aku mengambil serpihan yang paling besar, juga dengan ujung yang paling tajam. Nalarku seakan menghilang, tangisanku pun mulai meredup. Nafasku mulai tak teratur, rambutku acak-acakan.
Kata mereka darahku juga berwarna putih seperti rambut dan kulitku. Darahku adalah darah terkutuk yang di berikan Tuhan padaku.
Crooot..
Bunyi darah yang menyembur dari pergelangan tanganku masih terngiang jelas di benakku. Aku mengiris sendiri urat nadiku. Entah setan apa yang merasuki ku saat itu. Satu hal yang ku ingat dengan jelas adalah aku tersenyum saat melihat ternyata darahku berwarna merah.
Dan setelah itu pandanganku mulai kabur, dan semuanya berubah menjadi hitam.
Suara tangisan dan jeritan Mama terdengar sangat jauh di ujung telingaku. Sayup-sayup ku mendengar Mama menangis dan memanggil namaku berulang-ulang.
Kenapa aku melakukan ini?
Padahal aku masing ingin memeluk Mama, merasakan kehangatan kasihnya, merasakan jari-jemarinya menggelitik perutku saat aku nakal.
Kenapa?
Kenapa aku begitu bodoh membunuh diriku sendiri?
Bukan.. bukan aku.. tapi perkataan merekalah yang membunuhku. Perkataan merekalah yang membuatku melakukan ini.
Aku belum mau mati.
Aku mau hidup.....
Tuhan tolong aku.
—MUSE—
.
.
.
Pip pip pip...
Bunyi layar monitor pemantau tanda vital pasien terus berbunyi dan mulai terdengar di telingaku.
“Semua ini karena kamu, Kai. Sekarang apa yang aku takutkan terjadi.” Mama mulai memaki Papa, nampaknya dia syok karena aku mencoba bunuh diri.
“Aku pikir nggak akan sampai begini. Maafkan aku, Rose.” Papa berjongkok di sudut ruangan dan menjambak rambut dengan kedua tangannya yang kekar.
“Minta maaflah pada, Lenna. Jangan kepadaku!”
Nampaknya apa yang telah kulakukan berdampak serius pada Papa dan Mama. Aku ingin memanggil mereka, namun tenggorokanku seperti tercekat. Rasanya begitu sakit dan kering.
Samar-samar aku bisa mendengar mereka bertengkar. Mama memukul-mukul dada Papa, dan Papa hanya diam tak membalas atau pun mencoba untuk menghindar. Amarah Mama mulai mereda dan berganti dengan isakan tangis. Papa memeluk Mama dan mencoba memberikannya ketenangan. Tampaknya berhasil, tangisan Mama mulai berhenti dan kini mereka bergegas masuk ke dalam mendekatiku.
“Kau sudah bangun, Nak?” Mama mengusap air mata yang jatuh perlahan dari sudut mataku yang lancip.
“Maafin Lenna, Ma..., Pa...” ucapku lirih.
“Hush..stt... bukan kamu yang salah. Kami yang salah.” Mama menggenggam erat tanganku, sementara tangannya yang lain menelus-elus rambutku.
“Maafin Papa, Nak.” Papa mendekat dan mengelus lembut pipiku.
Ya Tuhan! Apa yang telah aku lakukan hingga menyakiti kedua orang tua yang begitu menyayangiku? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan tindakan bodoh ini? Padahal aku tahu masih ada orang yang begitu mencintaiku apa
adanya.
“Keluar saja dari sekolahan, home schooling saja.” Papa mengangguk dan menahan tangisannya.
“Iya, Pa.”
Dan akhirnya, aku mengahabiskan masa remajaku dengan belajar di dalam rumah. Aku tidak pergi ke mall, belanja, ke ti**zone, atau pergi ke salon seperti remaja seharusnya. Bagiku membantu Mama mengurus adikku, Arvin yang baru saja lahir sudah membuatku bahagia. Dia lahir saat aku berusia 10 tahun. Thanks God, Arvin tidak terlahir sama sepertiku. Dia normal dan punya banyak warna dalam dirinya.
Aku menikmati saat-saat bersama keluargaku. Aku merasa bahagia sampai suatu ketika, akhirnya Papa dan Mama kembali memutuskan untuk mengirimku masuk ke dunia luar.
“Kuliahlah, Lenna! Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu.” ucap Papa sambil menikmati secangkir kopi.
“Carilah teman, dan bergaulah dengan baik.” Mama ikut tersenyum.
“Baiklah akan ku coba,” pada akhirnya aku hanya bisa berharap untuk tidak kembali pada neraka sialan itu lagi.
—MUSE—
Like, comment, and +Fav
Follow dee.meliana for more lovely novels.
❤️❤️❤️
Thank you readers ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 335 Episodes
Comments
🌸nofa🌸
aku juga merasa aneh dengan teman SMP ku yang albino. malah sempat mengatakan kalau mereka manusia planet ( meskipun aku juga manusia planet, bumi😁 ).
jujur kurangnya pengetahuan dan edukasi dari pihak sekolah membuat kita cenderung meminggirkan albino.
padahal mereka cantik lho. keren dalam proporsinya masing-masing.
maafkan aku ya teman SMP ku. ketidaktahuan info membuat aku bersikap tidak baik padamu🙏🙇♀️
2021-01-17
0
Mutiara Ristina
jujur deg degan baca ny
2020-12-01
0
Maminya Giska
suka dengan gaya bahasanya
2020-11-13
2