Sepagi ini Adam bersama pemuda desa sudah mangkal di depan sebuah Sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) pada suatu dusun. Sekolah dengan bangunan semi permanen berukuran kecil yang baginya lebih baik difungsikan menjadi kandang kambing ketimbang menampung anak kecil.
Ia berada di depan sekolah itu demi melihat Ibu Guru Jingga, guru honorer di sekolah tersebut. Kembang desa yang menjadi idaman dan rebutan para pemuda desa. Wanita yang menurut warga, tercantik di desa itu.
Rasa penasaran membuatnya melakukan hal bodoh. Belum mandi pagi ia sudah bergabung dengan empat orang pemuda desa yang menjadi kawan barunya. Rambut gondrongnya mekar seperti sarang burung, belum sempat tersentuh sisir.
"Ibu guru datang, ibu guru datang," seru Jusman. Salah satu kawan barunya yang bekerja sebagai penadah aren, yang akan dibuat menjadi tuak dan gula aren. Gula aren nantinya dijual ke pasar kecamatan. Tuak selain untuk dikonsumsi, juga dijual secara ilegal pada para pemabuk.
Mata jelinya turut melihat ke arah jalan setapak yang sering dilalui warga bila hendak ke kebun. Pada sisi kiri dan kanan jalan setapak itu, tutupan lahannya berupa semak belukar.
Lalu dari balik semak, muncul seorang gadis yang ditunggu-tunggu sedari tadi. Gadis tercantik di desa itu.
Seorang wanita yang mengenakan tunik batik longgar, rok panjang yang melebar dan jilbab berwarna kuning. Gadis itu menjinjing kantong kresek di tangan kirinya yang berisi sepatu, dan menyandang tas di bahu kanannya.
Ibu guru itu mengenakan sendal jepit yang dilengketi tanah liat jalan setapak yang dilalui. Mungkin ibu guru itu akan mengganti sandal jepit dengan sepatu sebelum masuk ke dalam sekolah.
"Assalamualaikum. Selamat pagi Ibu Guru Jingga." Hampir secara bersamaan Jusman, Ramli, Arsal dan Yunus dengan mata terpana menyapa ibu guru itu ketika lewat di hadapan mereka.
"Waalaikumsalam," jawab gadis itu dengan jengah. Risih dengan sikap usil para pemuda yang tidak bisa diandalkan untuk menentukan masa depan bangsa.
Matanya mengamati gadis itu dari atas ke bawah ketika lewat di depannya. Otaknya merespon dengan cepat informasi yang ditangkap matanya, spontan memberikan penilaian terhadap gadis itu.
Di bawah standar.
Begitulah hasil penilaiannya.
Tidak seperti kawan-kawan barunya yang terkesima memandang gadis itu lewat di depan mereka, sampai lidah menjulur tanpa mereka sadari. Hatinya justru mendongkol karena gadis yang ditunggunya ternyata jauh di bawah ekspektasinya.
Bagaimana tidak, tidurnya masih nyenyak di saung bambu setelah semalaman begadang bermain domino bersama orang desa, pagi-pagi ia sudah dibangunkan oleh empat bedebah itu. Demi memperlihatkan Ibu Guru Jingga, wanita idaman mereka.
Deretan wanita yang pernah jatuh ke dalam pelukannya, kelasnya jauh di atas wanita yang baru lewat tadi. Wanita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Amel, Jovika, Laudya, dan yang terakhir Sophia.
"Jadi itu gadis paling cantik di desa ini yang kalian maksud?" Ia mendengus kesal. "Kalau yang seperti itu, di Bandung tiap melangkah pasti ketemu yang semacam itu," protesnya pada kawan-kawannya yang sudah mengganggu tidurnya demi melihat wanita itu.
Memang benar apa yang ia katakan. Bahkan pengemis wanita di Bandung pun, jauh lebih keren dari wanita tadi.
"Masa sih?" tanya Ramli yang belum pernah menginjakkan kaki di kota besar.
Bila Ibu Guru Jingga adalah gadis tercantik di desa itu, lantas bagaimana rupa gadis-gadis yang lain?
"Iya, gadis macam itu banyak hanyut di Sungai Citarum. Tinggal bawa kail, sekali mancing bisa bawa pulang sepuluh orang ke rumahmu. Mau diapain saja begitu tiba di kamarmu, bebas. Nggak perlu bayar," ujarnya pada Ramli pemuda usil namun cenderung polos itu.
Wajah ramli mendadak berbinar, membayangkan hal tabu di kepala.
"Kapan-kapan aku ikut kamu ke Bandung ya?" lontar Ramli penuh harap. Ternyata kawannya itu bukan hanya polos. Tetapi juga bodoh. Wajar bila Ramli yang berprofesi sebagai seorang buruh bangunan tidak pernah dipromosi menjadi tukang batu.
Bila ia turut menggoda Ibu Guru Jingga seperti para pemuda desa, lantas berpacaran dengan gadis itu, maka akan menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah percintaannya.
Ia yakin, dirinya akan menjadi bahan tertawaan dan bahan lolucon teman-teman gaulnya di Bandung.
Lalu apa kata Sophia nanti, wanita yang baru saja memutuskan cintanya, bila mengetahui ia menjalin hubungan dengan wanita desa?
Mantan pacarnya yang sedang melanjutkan pendidikannya di Amsterdam itu memutuskannya karena mendapat informasi bila ia tertangkap polisi saat sedang melakukan pesta narkoba. Dan terpaksa masuk ke dalam panti rehabilitasi narkotika.
Tentu derajatnya semakin rendah di mata Sophia bila ia berpacaran dengan wanita kampung juga kampungan.
Sekarang ia merasa hidupnya beberapa bulan kedepan akan menjadi suram. Tidak ada wajah-wajah cantik yang bisa membuat mata rabun namun membangkitkan gairah seperti di kota.
Teman gaulnya mulai dari teman kuliah, teman nge-band, teman nongkrong di cafe, juga teman-temannya di lapangan basket, berganti dengan empat pemuda pandir yang tidak bisa diharapkan oleh negara.
Belum lagi karena marah dan kecewa padanya, ayahnya memangkas uang bulanannya tanpa rasa prikemanusiaan. Jangankan untuk menghabur-hamburkan uang seperti sebelumnya, untuk membeli sebungkus rokokpun sekarang ia sudah kesulitan.
Karena kenakalannya, ayahnya mengirimnya untuk belajar agama di sebuah desa terpencil. Pada Ustadz Zaenal teman Ayahnya. Di desa itu ia menemui kehidupan yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Bisakah ia betah tinggal berbulan-bulan di tempat itu?
Adam Halilintar mengisap rokoknya dengan tarikan yang panjang, kemudian menghebuskan nafasnya sehingga asap rokok keluar membentuk bulatan-bulatan cincin.
Beberapa kali ia ulangi. Demi mengusir rasa bosan menunggu jemputan pulang dari Ayah dan Ibunya. Di sebuah Pusat Rehabilitasi Narkoba di Bandung.
Ia telah menjalani program residensi jangka pendek di panti rehabilitasi narkoba selama 60 hari, dan hari ini adalah waktunya untuk pulang. Ia harus menjalani rehabilitasi setelah tertangkap polisi melakukan pesta narkotika bersama teman-temannya.
Di tempat itu ia mendapatkan terapi dengan Individual Treatment Plan secara eksklusif, menggunakan fasilitas premium dari tenaga profesional yang telah tersertifikasi.
Setelah menjalani proses rehabilitasi selama dua bulan, hasratnya untuk mengkonsumsi narkotika tidak pernah muncul lagi. Yang menggebu-gebu dalam dirinya saat ini adalah kembali bergabung dengan teman-temannya bermain band dan basket.
Kuliah? Ia terpaksa mengambil cuti akademik satu semester karena harus menjalani program rehabilitasi ketergantungan narkotika. Ia masih bebas kuliah selama empat bulan. Dari dalam panti rehabilitasi ia sudah mengatur jadwal, apa saja yang akan dilakukannya selama empat bulan kedepan.
Sophia kekasihnya, memutuskannya karena mendapat informasi bila ia tertangkap polisi saat sedang melakukan pesta narkoba. Dan terpaksa masuk ke dalam panti rehabilitasi narkotika.
Ia menggunakan narkotika berawal dari coba-coba, ingin dianggap keren dan gaul. Memberikan sensasi rasa senang dalam waktu singkat. Tapi ternyata Narkotika akhirnya bersifat candu baginya, merasa ingin terus-menerus mengonsumsinya. Muncul efek withdrawal yang membuatnya merasa sangat sakit ketika tidak mengonsumsinya.
Bukannya Sophia tidak tahu bila ia menggunakan narkotika. Ia sudah berkali-kali berjanji akan menjauhi zat terlarang tersebut. Dan begitu mengetahui ia tertangkap, tanpa mengulur waktu, Sophia mengeksekusinya, memutuskan hubungan dengannya melalui sambungan telepon.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah tertangkap, dikurung di pusat rehabilitasi, diputuskan kekasih pula.
Sophia tidak ingin menerima lagi panggilan telepon serta tidak ingin membalas pesannya. Yang terakhir, Sophia bahkan memblokir nomornya.
Namun ia sangat yakin bila Sophia tidak akan bisa melupakannya. Suatu saat akan meminta kembali padanya. Mana ada wanita yang bisa melupakan dirinya?
Sophia merupakan adik satu tingkat di Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi dan Sains Universitas PAR. Namun Sophia justru lebih dahulu meraih gelas sarjana darinya dan melanjutkan program pasca sarjana di Amsterdam.
Sedangkan dirinya sampai saat ini masih berstatus mahasiswa di Universitas PAR. Entah kapan bisa menyelesaikan kuliahnya, terlebih saat ini ia harus mengambil cuti akademik karena kasus yang menimpanya.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.
Ayah dan Ibunya.
Tidak ada ekspresi gembira dari Ayahnya menyambutnya pulang ke rumah. Sangat wajar, ia pulang ke rumah bukan karena menjuarai sebuah lomba yang mengharumkan nama negara. Tetapi ia baru saja keluar dari pusat rehabilitasi setelah mencoreng nama baik ayah dan ibunya yang dua-duanya merupakan pejabat di Kota Bandung.
Beruntung ibunya masih menyambutnya lebih baik dari ayahnya.
"Ya ampun, kamu acak-acakan banget Nak, keluar dari pusat rehabilitasi. Padahal ibu sudah memilih program eksklusif untukmu," lontar ibunya. Memeluknya dan mencium kedua pipinya.
Sepanjang jalan pulang ke rumah ia harus mendengar omelan dari ayahnya.
"Semoga dengan kejadian yang menimpa kamu, kamu bisa sadar. Bahwa kenakalan itu tiada gunanya. Berusahalah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berhentilah mengecewakan Ayah dan Ibu," tutur Ayahnya.
"Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir. Anak nakal itu akan sukses dengan caranya sendiri. Aku tahu kapan saatnya berhenti dan membangun hidup," celetuknya, menyampaikan pembelaan dirinya.
"Kalau kamu tahu kapan akan berhenti, berhentilah mulai dari sekarang. Ayah heran, mengapa semua sifat nakal ada padamu. Narkoba, minuman keras, tawuran, kuliah tidak pernah kelar. Apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu yang membanggakan Ayah dan ibu?" suara Ayahnya meninggi.
"Kerjamu hanya menggebuk drum, mau jadi apa nanti?"
"Kamu hampir saja masuk penjara. Untung Ayah masih punya pengaruh. Bila Ayah dan Ibu sudah pensiun, dan kamu masih mengulangi hal yang sama, kamu akan membusuk di dalam penjara," lanjut Ayahnya.
"Sophia bilang ke Ibu, kalian udah putus? Benar itu, Adam?" sela Ibunya.
"Sophia yang memutuskan aku, Bu," jawabnya lirih.
"Wanita baik-baik akan mencari pria baik-baik juga. Jangan bermimpi akan mendapat wanita seperti Sophia bila kamu belum mengubah sifatmu itu. Kamu hanya akan mendapatkan wanita yang sama nakalnya." Ibunya turut memojokkannya seperti Ayahnya.
Orang tuanya meragukan ia akan mendapatkan wanita baik-baik seperti Sophia. Wanita cantik, pintar dan berkelas.
Ia akan membuktikan kepada orang tuanya bila Sophia kelak akan kembali kepadanya. Karena ada satu hal yang membuat Sophia tidak bisa lepas darinya.
Atau ...
Ia akan menemukan wanita di atas Sophia dalam segala hal.
Tidak butuh istirahat begitu keluar dari pusat rehabilitasi. Begitu malam tiba, ia mengikat rambutnya yang sudah hampir mencapai bahu panjangnya, mengenakan jacket dan meluncur menggunakan motor sport-nya ke rumah Etan.
Etan Benaya adalah teman sesama anak band. Bila posisinya sebagai seorang drummer, Etan menjadi bassis. Etan merupakan teman terdekatnya saat ini. Namun bila ia sedang kesal pada temannya itu, nama etan akan berubah menjadi setan.
Rumah Etan selalu ramai oleh para anak muda. Karena Etan tinggal sendiri di rumah yang ukurannya lumayan besar. Sehingga rumah Etan sering dijadikan tempat ngumpul.
Mereka bebas melakukan apa saja di rumah itu. Termasuk membawa pacar, dan meminjam salah satu kamar Etan.
"Woi akhirnya, si gondrong udah wisuda dari panti rehabilitasi," sambut Etan begitu ia masuk ke rumah Etan.
"Setan lu," gerutunya.
Di ruang tamu Etan, ada dua personil band lainnya, Zul sang gitaris dan Wildan si vokalis.
Yang membuat matanya mendadak fresh, karena di ruang tamu itu bukan hanya ada tiga orang tadi. Tetapi ada dua gadis ABG yang duduk di sofa panjang.
Merupakan hal biasa bagi mereka, bila rumah Etan ataupun studio tempat mereka berlatih sering dikunjungi oleh gadis-gadis. Sebagai pemain band, mereka digandrungi wanita terutama anak ABG. Meskipun mereka tidak masuk dalam jajaran selebritis.
Apalagi dua orang dalam personil band mereka, memiliki wajah dan penampilan di atas rata-rata. Wildan dan tentu saja dirinya.
"Kak Adam." Dua gadis itu menyapanya.
"Hi Neng! Kita pernah bertemu sebelumnya ya? Maaf lupa."
"Aku Fely, Kak. Kita bertemu saat The Oceano manggung di D Orange Cafe," ucap gadis yang rambutnya dipirang.
"Aku Triami, Kak," sahut gadis di samping Fely.
"Oh Fely dan Triami, Kakak ingat sekarang." Padahal ia tidak bisa mengingat wajah dua gadis itu.
Ia lalu duduk di samping Fely. Gadis yang terlihat lebih menarik dalam pandangannya.
"Andre dan Daniel dimana?" ia menanyakan keyboardis dan manajer band mereka kepada Zul.
"Tuh." Zul menunjuk salah satu kamar dengan wajahnya. "Mau gabung atau sudah tobat?" lanjut Zul tergelak.
Ia tahu apa maksud Zul. Kamar yang dimaksud Zul merupakan kamar tempat ritual khusus mereka. Ritual menghisap obat terlarang.
Etan dan Wildan ikut tergelak.
"Jagonya udah hilang," celetuk Wildan. "Trauma dia liat polisi."
"Aku capek, nggak mau yang itu. Aku mau dipijat nih. Fely bisa mijat ya?" tanyanya kepada Fely. Bagaimana mungkin ia menyia-nyiakan makhluk lembut dan muda di sampingnya.
"Kamu pikir Fely tukang pijat. Jangan mau Fel. Awalnya aja minta dipijat. Gak sampai lima menit dia yang berubah jadi tukang pijat," lontar Etan, yang kembali diiringi gelak tawa.
"Fely nggak tahu mijat, Kak," sahut Fely malu-malu.
"Fely bisa sambil liat youtube," kilahnya. "Kalau Fely udah pijat Kak Adam, Fely dapat hadiah satu lagu dari Kak Wildan deh," ujarnya, mengedipkan satu matanya kepada Wildan.
"Enak dikamu, kamu yang dipijat aku yang disuruh nyanyi," gerutu Wildan.
"Triami, pijat Kak Wildan dong, Kak Wildan juga mau, tapi pemalu," ucapnya, berdiri menggandeng tangan Fely menuju salah satu kamar Etan.
"Pinjam kamar ya, Etan," tukasnya kepada Etan sambil berjalan.
"Sewa," sahut Etan sekenanya.
"Kalau perlu aku sewa satu rumah sekaligus," balasnya.
Salah satu kelebihan menjadi pemain band adalah, selalu saja ada gadis cantik yang bisa di ajak ke kamar dengan sukarela.
Begitu tiba di kamar, ia melepas jacket dan kaos yang digunakan. Lalu berbaring tengkurap di atas ranjang.
"Aku pijat apanya, Kak?" tanya Fely.
Ia tahu, gadis seperti Fely hanya berpura-pura lugu. Sesungguhnya Fely sudah berpengalaman. Karena wanita yang menjaga kehormatan tidak mungkin semudah ini diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang pria yang baru dikenal.
"Punggung aja dulu."
"Hanya punggung, Kak Adam gak mau kakinya dipijat juga?"
Nah tuh kan? Lalu siapa yang akan menolak tawaran yang menggiurkan?
"Boleh," dengan segera ia bangun kembali membuka celana jeans, menyisakan boxernya. Lalu kembali berbaring tengkurap di atas ranjang.
Tangan lembut Fely pun mulai beraksi di kakinya.
"Tangan kamu lembut banget Fely," ia mulai merayu wanita itu. Salah satu keahliannya. Apalagi semakin dirayu, pijatan gadis itu semakin melenakan.
"Kak Adam suka wangi kamu Fel," tambahnya lagi.
Tetapi saat tangan gadis itu mencapai paha, tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh pintu yang didobrak sangat keras dari luar.
Saat ia menoleh ke arah pintu, tampak beberapa orang berpakaian preman sedang menodong senjata kepada mereka berdua.
"Bangun! Jongkok di lantai, tangan di kepala!"
Apa? Polisi lagi?
Mengapa nasibnya begitu sial?
Namun yang membuatnya lebih terkejut lagi, mengapa Fely tidak berpakaian?
Padahal ia tidak pernah membuka baju Fely ataupun meminta Fely untuk membuka baju.
Tamparan keras mendarat di pipi Adam, meninggalkan rasa sakit dan panas pada pipinya. Sakitnya mungkin tidak seberapa, tetapi malunya yang luar biasa. Ayahnya menamparnya di dalam sel kantor polisi, di depan petugas polisi dan teman-teman band -nya.
"Jangan di sini Yah, malu," protesnya pada Ayahnya. Matanya melirik bergantian ke arah petugas dan teman-temannya. Ia lalu menghunuskan pandangan tajam kepada Daniel yang menertawainya meskipun tanpa bersuara.
"Kamu tahu rasa malu juga? Kamu terus-menerus melakukan tindakan yang bertentangan dengan moral. Kamu tahu bagaimana malunya Ayah dan Ibu?" geram Ayahnya.
"Salah aku apa? Aku nggak ngapa-ngapain dengan cewek itu, Yah. Aku cuman dipijat doang sama dia," ia menyampaikan pembelaan dirinya.
"Tidak ngapa-ngapain? Sudah jelas polisi menangkap kalian di kamar berduaan, sama-sama tidak berpakaian, masih berkelit juga," berang Ayahnya tetapi memelankan suara agar tidak terdengar orang lain. "Dasar ca bul!"
"Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dibawah umur biarpun suka sama suka, maka tindakannya dipandang sebagai pemerkosaan. Kamu akan dijerat pasal pencabulan anak di bawah umur. Kamu tahu berapa tahun kamu harus menghabiskan waktu di penjara? Paling singkat lima tahun."
Meskipun volume suara ayahnya rendah, namun kemarahan jelas berkobar dalam mata ayahnya.
Ia mendesah frustasi. Mengapa tidak ada yang percaya kepadanya. Belum dimintai keterangan secara resmi pun, ia sudah dituduh mencabuli anak di bawah umur.
Ia tidak habis pikir, ngapain juga si ... ah, bahkan nama anak itupun ia sudah tidak ingat. Ngapain juga anak itu membuka pakaiannya?
"Anaknya kami tahan dulu Pak untuk dimintai keterangan," ujar salah satu petugas berseragam polisi.
Entah kemalangan apa yang menimpanya. Baru tadi siang keluar dari pusat rehabilitasi narkoba, malam ini ia harus menginap dalam jeruji besi di kantor polisi. Bersama lima orang anggota kelompok band -nya.
Setelah dilakukan tes urine untuk mendeteksi adanya obat-obatan terlarang dalam tubuh, ia lebih beruntung dari yang lain. Karena hasil tesnya negatif. Sementara lima temannya positif. Dan yang paling sial adalah Andre dan Daniel, karena tertangkap tangan sedang menggunakan sabu di dalam kamar.
Malam itu mereka berenam tidur di dalam sel. Beralas kasur tipis, sehingga dinginnya lantai bisa mereka rasakan menggigit punggung. Bertolak belakang dengan udara di dalam sel sempit itu yang begitu panas dan pengap.
"Pak, ada kamar yang pakai AC nggak?" keluh Etan, saat petugas jaga berada dalam jarak yang cukup jauh dari mereka.
"Setan, kamu halusinasi ya? Ini penjara bukan hotel," sahut Andre tergelak.
"Kamu masih bisa tertawa? Kamu tidak takut kita akan menua di penjara?" decak Wildan. Orang yang paling tampak tertekan diantara mereka.
Ia hanya diam dengan seribu pikiran berkecamuk di kepalanya. Kehilangan kebebasan bukanlah hal yang menarik. Ia kemudian membuka ikat rambutnya lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur tipis dan usang.
Tiba-tiba saja Daniel tertawa terbahak-bahak sendiri.
Namun mereka tidak terkejut dengan tingkah Daniel. Karena Daniel sedang high atau intoksikasi akibat pengaruh narkotika.
"Hei gondrong, kasus kamu nggak keren banget sih. Pencabulan anak di bawah umur," Daniel kembali terbahak-bahak. Diikuti Andre yang juga sedang high.
Etan dan Zul hanya tertawa ringan. Karena otak mereka lebih bisa berpikir dibandingkan dengan Andre dan Daniel. Tentu mereka mulai cemas dengan kasus yang akan mereka hadapi.
"Nggak usah sedih begitu Dan, kalau kita berenam dipenjara, kita main band di dalam penjara," kekeh Daniel melihat wajah muram Wildan.
"Etan, Zul dan Wildan paling masuk pusat rehabilitasi. Kamu Daniel dan Andre, kalian agak berat, karena kalian tertangkap tangan." Ia menganalisa berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hukumnya yang minim.
"Trus kamu?" sela Zul.
"Aku tergantung anak itu. Kalau anaknya jujur, bila kami nggak ngapa-ngapain, aku bebas. Kalian tinggal bilang mau makan apa, aku yang bawakan kalian makanan ke penjara dan panti rehab," selorohnya tanpa tertawa.
"Kamu garap berapa kali cewek itu sebelum digrebek?" sosor Zul. "Atau baru foreplay ya, pintu udah ditendang polisi? Nggak ngerti aja itu polisi."
Andre dan Daniel menjadi orang yang paling kencang tertawanya.
Keesokan harinya mereka berenam mulai diperiksa oleh penyidik Polri. Ia menjalani pemeriksaan terpisah dari lima temannya yang lain. Ia diperiksa di Satuan Reserse Kriminal sedangkan lima temannya diperiksa di Satuan Narkoba.
Para orang tua teman-temannya mulai bergerak, untuk menyelamatkan anak masing-masing. Berbeda dengan orang tuanya, yang tidak terlihat batang hidungnya pada hari itu.
Malam kedua berada dalam sel di kantor polisi, ia mulai gelisah. Karena orang tuanya tidak pernah muncul lagi. Mungkin ayahnya tidak mempedulikannya lagi. Karena bukan kali ini saja ia menyusahkan ayahnya.
Saat sekolah ia pernah ditangkap polisi karena terlibat tawuran antar pelajar. Ia juga berkali-kali diskors karena menjadi pengotak anak-anak yang bolos sekolah dan merokok di sekolah. Belum lagi saat ia didapati nonton bareng film por no bersama teman-teman basketnya.
Bahkan ketika ia sudah kuliah, ia belum berhenti menyusahkan orang tuanya. Yang pertama saat pacarnya Jovika hamil. Perundingan antara keluarganya dengan keluarga Jovika buntu karena perbedaan keyakinan. Yang menyebabkan Jovika depresi dan berdampak terhadap janin. Jovika mengalami keguguran. Orang tua Jovika pun memindahkan Jovika keluar negeri sebagai upaya memisahkan mereka berdua.
Kemudian ia tertangkap polisi saat sedang melakukan pesta narkoba. Dan yang terakhir saat ini, diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Ribuan kali ia mendengar keluhan, nasihat dan amarah dari orang tuanya.
Kenakalannya bukan karena faktor keluarga. Bukan karena orang tua tidak mendidik dengan baik. Dasar dirinya saja yang bengal, tidak mau mengindahkan nasihat orang tuanya.
Tetapi bila ayahnya tidak mau memedulikannya lagi, mengapa ibunya tega membiarkannya seperti ini?
Tiga temannya yang lain, Etan, Zul dan Wildan sudah dibawah ke Pusat Rehabilitasi Narkoba. Sementara ia, Daniel dan Andre masih mendekam di balik jeruji.
"Nggak kompak, harusnya kita masuk penjara sama-sama, keluar juga sama-sama," protes Andre, karena separuh dari mereka sudah keluar dari penjara.
"Otakmu di mana? Mana ada orang yang mau kompak tinggal di penjara kalau bisa keluar dari penjara? Emang penjara surga?" sosor Daniel.
Ia tidak ingin terlibat dalam perdebatan tidak penting antara Andre dan Daniel. Ada hal yang sangat ia cemaskan. Bagaimana bila Sophia mengetahui ia kembali tertangkap polisi? Bersama dengan seorang wanita dan dituduh berbuat cabul pula? Tentu pintu kembali untuknya semakin tertutup rapat. Bahkan sudah terkunci.
Rupanya ia terlalu jauh berprasangka buruk pada orang tuanya. Karena esok hari ayahnya sudah datang menjemput. Ternyata ayahnya tidak tinggal diam. Senakal-nakalnya dirinya, ia merupakan anak lelaki satu-satunya. Dua saudaranya yang lain berjenis kelamin perempuan.
"Kawan, kamu mau tinggalkan kami juga?" tukas Andre.
"Tenanglah, nanti aku datang besuk kalian. Bawakan kamu rokok, dua bungkus," sahutnya, memberi semangat dengan kalimat yang tidak tepat kepada dua temannya. Karena mental mereka sudah mulai down.
Tetapi bukan karena ia pulang ke rumah lantas masalah telah selesai.
Ternyata saat ia digrebek bersama anak SMA itu, beritanya masuk ke dalam berita kriminal di salah satu stasiun televisi. Sekali lagi menjadi pukulan telak bagi kedua orang tuanya, karena nama baik orang tuanya sebagai pejabat tercemar. Ibunya pun harus menjalani perawatan karena terserang tekanan darah tinggi akibat stres memikirkan putera satu-satunya.
Masalah tidak selesai sampai disitu. Keluarga Fely menuntut pertanggung jawaban agar ia menikahi Fely, karena apa yang ia lakukan membawa aib bagi keluarga Fely sebagai anak perempuan. Padahal di kantor polisi Fely mengakui sendiri bahwa ia tidak melakukan apa-apa kepada Fely selain meminta Fely memijatnya.
Tidak ada pilihan lain kecuali ia mengikuti syarat ayahnya, agar terbebas dari tuntutan menikahi Fely. Bukan karena ia ingin lari dari tanggung jawab, namun menurutnya tanggung jawabnya tidak mesti sejauh itu.
Syarat ayahnya adalah ia belajar agama pada seorang ustadz teman ayahnya sampai cuti akademiknya selesai. Namanya Ustadz Zaenal, tinggal di sebuah desa terpencil yang terletak di daerah ketinggian.
Sebagai seorang anak muda yang berada di masa transisi dan sedang mencari eksistensi dirinya, ia kurang mendapat pendidikan agama. Sehingga mudah terpengaruh hal-hal negatif dan terjerumus dalam pergaulan bebas. Begitu pertimbangan ayahnya, sehingga mengirimnya untuk mendapat bimbingan agama pada Ustadz Zaenal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!