Apakah Adam Halilintar masih berada di planet Bumi?
Langit malam masih sama, berwarna kelam dengan bintang-bintang bertebaran menemani ratu malam yang hanya menampakkan separuh bulatan tubuh. Bersinar malu-malu.
Tetapi di tanah tempatnya berpijak, suasana begitu hening, tenang dan remang-remang. Lampu-lampu di teras rumah warga bersinar dengan intensitas cahaya yang sudah sekarat. Jalan tanah di depan rumah nyaris tak terlihat.
Bagaimana tidak, energi listrik warga dusun Bukit Hejo bersumber dari solar cell (sel surya) yang dikelola oleh kelompok warga. Tiang listrik dari PLN belum menjangkau dusun. Suplai listrik hanya diperoleh pada malam hari. Pada siang hari, bumi tanpa listrik.
Baginya dusun ini perlu diberi penghargaan sebagai dusun yang mendukung penggunaan energi terbarukan dan dusun yang hemat listrik. Kalimat halus untuk menyindir pemerintah.
Lalu bagaimana dirinya yang merupakan calon ahli IT terkemuka di Indonesia tanpa listrik? Bagaimana ia menyalakan laptopnya?
Sempurna penderitaannya.
Namun warga setempat memiliki kemampuan sekelas kelelawar. Tidak membutuhkan alat penerang tambahan seperti senter atau lampu kapal meskipun melalui jalan gelap.
Tidak menabrak ataupun tersandung.
Mereka memiliki kemampuan mengenali lingkungan sekitar dalam gelap mengandalkan daya ingat dan insting. Berbeda dengan kelelawar yang memiliki kemampuan ekolokasi.
Udara sangat dingin menggigit kulit. Sweater dan kaos kaki tidak banyak membantu. Yang ia butuhkan adalah pelukan yang bisa menghangatkan dan menumbuhkan gairah. Tiba-tiba saja ia rindu kehangatan Sophia.
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Nyamuk juga tidak mau kalah, berdengung-dengung terbang kesana kemari. Berhamburan mencari pendonor darah. Menyedot begitu saja tanpa permisi, ikhlas ataupun tidak ikhlas.
Sesekali suara burung gagak menggema, membuat tubuh merinding. Otot kecil yang melekat pada rambut di sekujur tubuh berkontraksi hanya karena mendengar suara itu.
Lolongan anjing di kejauhan menyempurnakan irama malam. Mungkin anjingnya sedang patah hati, merasa gelisah akan perpisahan. Seperti gelisahnya, terdampar di planet baru.
Bukan suara jangkrik, suara nyamuk, suara burung gagak atau lolongan anjing yang ia inginkan. Ia ingin mendengar irama berdetak kencang di kelab malam. Atau dentuman musik saat ia dan band-nya sedang manggung. Dan satu lagi yang ingin ia dengar, desa han manja Sophia.
Ia heran mengapa Sophia mampu mengunci hatinya. Sehingga tidak mudah mencari pengganti kala wanita itu meninggalkannya. Padahal wanita cantik, pintar dan kaya yang ia kenal, bertumpuk. Tidak muat satu gudang beras untuk menampungnya.
Dari teras rumah Ustadz Zaenal, ia belajar beradaptasi dengan suasana malam sekaligus belajar menerima kenyataan. Mulutnya sibuk mengepulkan asap rokok, dan jiwanya tanpa diperintah terbang jauh ke Amsterdam. Sampai ia tidak tahu sejak kapan Ustadz Zaenal duduk di sampingnya.
"Eh, Paman." Ia mematikan rokok di dalam asbak, memutar kursi menghadap ke Ustadz Zaenal dan duduk dengan cara yang sopan.
Setelah hening beberapa saat, suara Ustadz Zaenal memecah keheningan.
"Jadi kenapa Ayahmu mengirim kamu kemari, Nak?"
Bukankah Ustadz Zaenal sudah tahu kenapa ia terdampar di tepi belantara? Mengapa masih bertanya?
"Belajar agama, Paman," sahutnya.
Tidak mungkin ia dikirim ke tempat ini untuk dijodohkan dengan anak Pak Ustadz. Karena anak satu-satunya Pak Ustadz seorang laki-laki dan sedang menempuh pendidikan di Mesir.
"Memang kamu belum pernah belajar agama selama ini ya?" kekeh Ustadz Zaenal mendengar jawaban polosnya.
"Ayah menginginkan aku belajar agama lebih mendalam lagi, Paman. Karena aku kelewat nakal katanya. Siapa tahu kelak aku jadi Ustadz."
Sekali lagi Ustadz Zaenal terkekeh. Ia yakin Ustadz Zaenal sudah mendengar dari ayahnya bagaimana nakalnya dirinya. Sehingga ia tidak perlu ceritakan sejauh mana kenakalannya.
"Belajar agama apa?"
Gilirannya yang terkekeh mendengar pertanyaan Ustadz Zaenal. Apa tidak ada pertanyaan yang lebih berbobot?
"Ya agama Islamlah, kita kan Muslim, paman Ustadz."
Ustadz Zaenal mengangguk-anggukkan kepala
"Mengapa kamu mengatakan bahwa kamu seorang Muslim?"
Ia terhenyak mendengar pertanyaan Pak Ustadz. Sekaligus merasa heran. Belum belajar sudah mendapat ujian.
"Ini pre test ya, Paman?"
"Kamu belum jawab Paman," sela Ustadz Zaenal, mulai tampak serius.
"Pada keterangan agama di KTP tertulis I S L A M," ia menegaskan disertai senyuman.
"Apa tandanya seorang dikatakan beragama Islam?"
Entah apa maksud Ustadz Zaenal padanya, tidak berhenti bertanya.
"Mengucapkan dua kalimat syahadat dan mendirikan sholat."
Pertanyaan Ustadz Zaenal dengan mudah ia lahap.
Apa tidak ada pertanyaan yang lebih tinggi tingkatannya lagi? Soal ujian Ustadz Zaenal selevel anak SD baginya.
"Mengapa orang muslim mendirikan sholat?"
Pertanyaan yang tidak terputus dari Ustadz Zaenal.
Lah yang ingin menuntut ilmu itu dirinya atau Ustadz Zaenal sih?
"Kewajiban orang Muslim," jawabnya singkat.
"Kewajiban orang Muslim kepada siapa?"
"Kepada Tuhan," singkatnya. Mulai jengah dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya.
"Siapa itu Tuhan?"
"Ah masa Pak Ustadz nggak tahu? Yang menciptakan kita lah. Karena Tuhan telah menciptakan kita, maka kita harus menyembah-Nya," ucapnya dengan penuh ke sok tahuan.
"Kamu kenal siapa yang kamu sembah saat sholat? Kamu tahu bagaimana wujudnya? DIA berada di mana?"
Semakin banyak pertanyaan Pak Ustadz, semakin menikam. Bila ia terus menjawab maka pertanyaan Ustadz Zaenal tidak akan ada habisnya. Sehingga ia memilih mengalah, demi perdamaian dan ketentraman dunia.
"Nggak tahu, Pak Ustadz." Lebih baik ia berpura-pura bodoh
"Bagaimana bisa kamu menyembah sesuatu yang kamu tidak tahu, Nak?" Ustadz Zaenal tersenyum bijaksana padanya.
Ia hanya bisa tersenyum kecut. Strateginya ternyata kurang tepat. Meskipun berhenti menjawab, ia tetap diserang dengan pertanyaan.
"Kita harus mengenal siapa yang kita sembah, Nak," lanjut Ustadz Zaenal. "Kamu sholat?"
Ia tersenyum malu pada Ustadz Zaenal.
"Kadang-kadang, Ustadz."
"Yang dua kali setahun itu?" tanya Ustadz Zaenal kembali.
"Kalau itu nggak pernah alpa, Paman. Sholat lima waktu yang kadang-kadang. Kadang sholat kadang tidak. Lebih banyak tidaknya sih," akunya, tersenyum malu.
"Saat sholatmu yang kadang-kadang itu, siapa yang terbayang di kepalamu?" lanjut Ustadz Zaenal.
Ia kembali tersenyum malu. Karena seumur hidup ia belum pernah merasakan yang namanya sholat khusyuk. Mulutnya membaca surah dan doa, tetapi pikirannya menerawang kemana-mana.
"Kadang yang terbayang, ayah yang sedang marah, dosen yang terlalu banyak ngasih tugas dan pacar yang lagi ngambek, Pak Ustadz." Ia menyeringai.
Bukankah jujur lebih baik daripada sok pintar?
Ustadz Zaenal kembali tersenyum.
"Pada saat sholat, kamu mengucapkan,
Iyyaaka na'budu wa lyyaaka nasta'iin (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Sementara saat itu yang terbayang di kepalamu adalah ayahmu. Lalu siapa yang kamu sembah, Tuhan atau ayahmu?"
Ia tertegun mendengar pertanyaan Ustadz Zaenal.
Bibirnya tidak mampu mengeluarkan kalimat untuk beradu argumen. Sangat masuk akal.
"Jadi siapa yang kamu sembah selama ini dalam sholatmu yang kadang-kadang?" Ustadz Zaenal kembali mengulangi ucapan yang dibarengi senyum. Sorot mata Ustadz Zaenal sangat lembut, tetapi menikam.
Membuatnya ikut tersenyum yang disertai rasa bersalah. Ia jarang menundukkan kepala bila sedang beradu argumen. Tapi kali ini, kepalanya menghadap ke asalnya. Tanah.
"Kamu tahu apa itu Musyrik?" Ustadz Zaenal kembali bertanya padanya.
"Menyekutukan Allah," sahutnya dengan cepat.
"Apa itu menyekutukan Allah?"
"Menyembah dan memohon pertolongan selain kepada Allah," jawabnya dengan terbata-bata. Memikirkan kemana Ustadz Zaenal akan menggiringnya lagi.
Sesaat kemudian ia terhenyak. Terhenyak karena jawabannya sendiri. "Ustadz, jadi sholatku tadi itu sudah masuk ciri musyrik ya?" tanyanya ragu.
Ustadz Zaenal kembali terkekeh. "Anakku Adam Halilintar, gunakan akalmu untuk berpikir. Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kita, dan segala sesuatu yang kita lakukan bernilai ibadah."
"Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah (utusan) di muka bumi. Jadi jangan terlena oleh kesenangan dunia. Kesenangan dunia itu hanyalah tipuan yang menyesatkan."
Ustadz Zaenal kembali tersenyum kepadanya.
"Bila kamu benar-benar serius ingin belajar ilmu agama, memohonlah kepada Allah SWT, agar ditunjukkan jalan yang lurus. Datanglah kepada Paman dengan gelas kosong."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
VS
keyeenn paman
2024-06-05
1
VS
amin yang keras
2024-06-05
1
VS
nah loo
2024-06-05
1