Terpikat Lelaki Keturunan Ningrat
Di bawah naungan payung hitam besar tampak seorang gadis kecil dan remaja lelaki sedang terisak memandangi dua gundukan tanah yang baru beberapa saat lalu dibuat. Tertancap batang kayu yang digunakan sebagai nisan yang bertuliskan Suryo Perwito dan Rianti Sasmita.
"Ayah... Ibu.... Mengapa kalian meninggalkan Rara dan kak Danu..." isak si gadis kecil sambil menepuk gundukan tanah yang basah terkena air hujan.
"Rara mau ikut ayah dan ibu, Rara ngga mau ditinggal ayah dan ibu..." tangisnya pilu, sang kakak hanya bisa memeluknya dan menenangkannya.
"Rara... Danu... Ayo kita pulang, hujan sudah semakin deras, nanti kalian sakit!" bujuk seorang wanita berusia 60 tahunan sambil menarik lembut tangan Rara.
"Rara ndak mau pulang Nek, Rara mau temani ayah sama ibu, kasihan mereka di sini kedinginan dan kehujanan." sahut Diandra menolak berdiri, dia masih tetap berjongkok di hadapan pusara kedua orang tuanya sambil terus menangis.
"De, kita pulang dulu, kasihan Kakek dan Nenek ikut kehujanan di sini, ya?" bujuk Danu sang kakak.
Diandra menunduk, lalu perlahan berdiri, "Ayah, ibu, Rara, kak Danu dan Kakek Nenek pulang dulu... Besok kita kesini lagi ya kak?" pinta Diandra dengan tatapan enggan meminggalkan pusara kedua orang tuanya.
"Iya, kakak janji!" jawab Danu sambil merangkul bahu Diandra dan memapahnya keluar dari area pemakaman.
Di luar pemakaman tampak ada dua mobil hitam dan dua pasang suami istri yang berdiri di samping mobil. Melihat rombongan keluar dari pemakaman, buru-buru pasangan suami istri itu melangkahkan kaki mendekati Diandra, Danu dan Kakek Neneknya.
"Heh, karena ayah ibu kalian sudah mati, kalian harus keluar dari rumah itu, karena rumah itu masih atas nama kakek kalian, jadi yang berhak tinggal di sana hanya anak-anaknya." ucap lelaki paruh baya berbadan tambun kepada Danu dan Diandra yang hanya diam saja tanpa berkata apapun. Lelaki itu adalah kakak kandung ayah Danu dan Diandra, yang bernama Suwito Perwito.
"Barang-barang kalian sudah kami kemas, itu di sana" sambung wanita bertubuh gemuk sambil menunjuk ke arah 4 buah koper besar yang diletakkan di samping sebuah family car tua.
Diandra yang ketakutan memeluk neneknya dengan erat.
"Apakah pantas berkata seperti itu pada anak yang baru saja kehilangan orang tua mereka? Bahkan tanah kuburnyapun masih baru. Lagi pula, rumah itu sudah diwariskan kepada ayah mereka dan juga perusahaan yang ada juga hasil kerja keras Suryo, kenapa anak-anak harus keluar dari rumah itu?" bentak sang Kakek, Broto Sasmita.
"Kami tidak peduli, kalau kami bilang mereka harus keluar dan kehilangan hak waris kalian bisa apa?" balas Suwito sambil berkacak pinggang.
"Sudahlah kek, kami akan tinggal bersama kakek dan nenek saja." ucap Danu datar sambil menatap tajam ke arah pamannya.
"Bagus, anak pintar, ikut saja sama mereka, kalau mereka tidak mau menampung kalian, nanti kami bisa kirim kalian ke panti asuhan, hahahahaha..." gelak Suwito sambil berbalik dan melangkah meninggalkan Danu, Diandra beserta kakek neneknya.
Air mata Diandra mengalir semakin deras di pipinya.
"Kakek... Nenek... Apakah kami akan tinggal di panti asuhan?" tanya Diandra di sela isakan tangisnya.
"Tidak sayang, kalian akan tinggal di rumah Kakek dan Nenek, walau kecil, tapi kalian bisa tinggal dengan nyaman di sana." jawab sang Nenek, Sundari Sasmita.
Diandra mengulurkan tangannya memeluk Sundari dengan erat.
Broto membelai kepala cucunya dan merangkul bahu Danu, "Kita pulang sekarang ya, hujannya tambah deras!" ajaknya. Merelapun beriringan meninggalkan pemakaman menuju mobil tua sang kakek.
Danu membantu Broto memasukkan koper ke dalam bagasi, lalu buru-buru mereka masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju perlahan di tengah derasnya air hujan.
Sepuluh tahun berlalu...
Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi Diandra, hari ini adalah hari kelulusannya, di mana dia akan diwisuda dan mendapat predikat sebagai mahasiswa terbaik di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.
Diandra mengenakan kebaya berwarna ungu muda dan kain batik Jogja, rambutnya digelung gaya modern dan wajahnya hanya dirias tipis oleh sang nenek. Diandra tampak cantik dan anggun.
Acara wisuda kali ini terbilang istimewa karena pihak universitas mengundang beberapa orang penting dari jajaran pemerintah daerah dan juga beberapa pemilik perusahaan ternama yang ada di Jogja. Hal ini dikarenakan pihak universitasdalam 3 tahun terakhir ini mengadakan kerja sama dengan beberapa perusahaan, sehingga mahasiswa yang lulus dapat berkesempatan langsung bekerja pada perusahaan yang sesuai setelah melalui proses seleksi dan magang.
Secara kebetulan, Diandra lolos tahap seleksi di salah satu perusahaan eksportir yang dimiliki oleh pengusaha muda yang masih berdarah ningrat.
Hari ini, ditemani sang kakak dan juga kakek neneknya, Diandra mengikuti upacara wisuda di gedung auditorium universitas tempatnya menuntut ilmu.
Diandra duduk di barisan paling depan, berada di antara mahasiswa dengan prestasi gemilang karena Diandra adalah pemegang predikat terbaik mewakili fakultas dan juga universitas. Diandra tampak berbincang dengan seseorang yang duduk disebelahnya, dia tak sadar bahwa di atas podium ada seorang pria berwajah tampan, berkulit sawo matang yang sejak awal Diandra masuk ke dalam gedung auditorium, tak bisa melepaskan pandangan dari Diandra.
Pria itu bertanya kepada pria berkacamata di sampingnya, "Gadis berkebaya ungu muda itu siapa?"
"Hah? Oh... Gadis itu adalah mahasiswa yang berhasil lolos seleksi masuk perusahaan kita pak." jawab si pria berkacamata.
"Oh ya?" segaris senyum tercetak di bibir pria tampan itu, "Nama?"
"Hah? Nama apa?" si pria berkacamata balik bertanya karena bingung, tapi malah dipelototi oleh pria tampan di sebelahnya.
"Ya nama gadis itu, namanya siapa?" tanya si pria tampan.
"Oh, dia Diandra Perwito, Pak Haryo." jawab si pria kacamata.
"Perwito? Dia salah satu dari keluarga Perwito yang itu?" tanya Haryo.
"Kurang tahu pak, kelihatannya bukan, karena dia dari keluarga sederhana, dia hanya tinggal bersama kakak lelaki dan juga kakek neneknya di salah satu desa di daerah Kulon Progo." jawab si kacamata panjang lebar.
"Oh, kapan dia mulai bekerja dan apa posisinya?" tanya Haryo lagi.
"Senin depan pak, dia ditempatkan di bagian HSE pak, sesuai jurusannya." jawab si kacamata.
"Bayu, hari Senin saat dia tiba, suruh ke ruangan saya!" titah Haryo.
"Baik pak!" sahut si kacamata yang bernama Bayu. Dalam hati dia berpikir kenapa si bos yang anti wanita ini tiba-tiba kepo tentang seorang wanita. Bayu tidak memungkiri kalau Diandra itu cantik, sebagai single, dia pun tertarik pada Diandra saat dia melakukan interview kepada Diandra. Tapi sekarang si bos juga tertarik, mau tidak mau, Bayu harus mundur kan ya?
Upacara wisuda berjalan dengan lancar. Saat selesai, tak sengaja Diandra bertemu Bayu di lorong menuju toilet.
"Halo, selamat siang Pak Bayu!" sapa Diandra ramah.
"Halo Diandra, selamat ya, sudah wisuda." Bayu balas menyapa Diandra.
"Terima kasih pak, saya deg-degan ini, besok Senin sudah harus kerja di perusahaan bapak." balas Diandra.
"Bukan perusahaan saya, itu milik Pak Haryo, saya cuma sekretarisnya. Oh iya, jangan panggil saya bapak, saya cuma beda 5 tahun dari kamu, belum tua-tua banget." gurau Bayu mencairkan suasana.
"Ya kan Pak Bayu bakalan jadi atasan saya juga." balas Diandra.
"Kalau di kantor panggil pak nggak apa-apa, kalau di luar kantor bisa panggil nama atau mas saja." pinta Bayu
"M-mas? Duh... saya panggil Kak Bayu saja ya, kalau mas tu kaya gimana gitu, kaya panggil mas-mas tukang sayur." Diandra tertawa kecil yang menampakkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi.
"Hahahaha.... bisa saja kamu Diandra." Bayu ikut tertawa.
"Rara... Kak Bayu bisa panggil saya Rara." ucap Diandra sambil tersenyum manis.
DEG!! Jantung Bayu terasa berhenti berdetak melihat senyuman manis Diandra.
"Okay Rara." sahut Bayu dengan suara serak, "Saya duluan ya Rara, sampai ketemu hari Senin, oh iya, ini simpan nomor saya ya, saya permisi dulu, bye Rara!" Bayu menyerahkan kartu namanya kepada Rara.
"Bye Kak Bayu!" Rara menerima kartu nama Bayu dan melambaikan tangannya ke arah Bayu.
"Hehehe... Kak Bayu ternyata manis orangnya." kekeh Diandra, disimpannya kartu nama Bayu ke dalam tas tangannya. Tiba-tiba ponsel Diandra berbunyi, tampak nama sang kakak muncul di layar.
"Halo, Kak Danu..." sapa Diandra begitu menjawab telepon Danu.
"Rara, kamu di mana sih de? Kakak cariin dari tadi ga ketemu!" sahut Danu cemas
"Ade mau baru jalan ke toilet kak, Kak Danu tunggu di lobby aja sama kakek dan nenek." balas Diandra.
"Kakak susul ke toilet, utara apa selatan?" tanya Danu.
"Idih, ngapain sih kak, ade ga perlu dijagain kalau cuma ke toilet aja sih." jawab Diandra manja.
"Utara apa selatan?" tanya Danu lagi.
"Ck... Utara!" jawab Diandra jengah dengan sikap possessive sang kakak.
"Cepetan kalau mau ke toilet, kakak tunggu di luar!" Danu memutuskan sambungan telepon dan bergegas menuju toilet sebelah utara auditorium.
Diandra memandangi ponselnya, entah sampai kapan kakaknya akan seperti ini. Cemas berlebih. Hal ini berawal ketika dia masih duduk di bangku kelas 6 SD, saat itu tepat setelah perayaan 1 tahun meninggalnya orang tua mereka, Diandra diculik oleh sekelompok orang yang ternyata adalah suruhan dari saudara sepupunya. Entah apa maksud penculikan itu, tapi peristiwa itu menyisakan trauma pada Diandra dan Danu.
Dan sejak saat itulah, Danu selalu khawatir berlebih jika Diandra pulang terlambat atau tak terlihat dari pandangannya saat pergi bersama seperti saat ini.
Sepulang dari acara wisuda, mereka sekeluarga merayakan kelulusan Diandra di rumah, Nenek Sundari memasak semua makanan favorit Diandra dibantu sang cucu. Sedangkan Kakek Broto menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda karena menghadiri upacara kelulusan cucu perempuan kesayangannya.
Kakek Broto masih bekerja, dia memiliki toko yang menjual kebutuhan pokok, dibantu beberapa orang karyawan, tapi terkadang Diandra dan Danu juga turun membantu walau sudah di larang sang kakek.
"Nek, Danu ke kantor sebentar ya, ada masalah di sistem, Danu akan pulang saat makan malam." Danu keluar dari kamarnya dan berpamitan pada Nenek dan adiknya.
"Bukannya kakak ambil cuti?" tanya Diandra sambil menghampiri Danu lalu dibetulkannya kemeja sang kakak yang kerahnya terlipat ke atas.
"Cuti, tapi ya mau gimana lagi, bos besar yang panggil, karena Agus sama Andi ga sanggup ngerjain." jawab Danu sambil mengecup kening sang adik.
"Janji pulang sebelum makan malam lho ya!" rajuk Diandra sambil memeluk sang kakak.
"Iya... Iya... Dasar manja!" Danu menjentikkan jarinya ke kening sang adik.
"Rara... Kamu jangan terlalu manja ke Danu, kalau manja-manja terus, kapan kakakmu ini punya pasangan?" omel sang nenek dari dalam dapur.
"Biar aja sih, Nek.... Kalau bukan sama Danu mau sama siapa lagi? Lagian Rara kan adik Danu satu-satunya." balas Danu sambil membalas pelukan Diandra.
"Ck... kalian ini... Sudah sana lekas berangkat, biar bisa cepat selesai kerja lalu pulang!" Nenek Sundari mengacungkan centong kayu ke arah mereka yang membuat kakak beradik itu tertawa geli.
"Iya deh iya nenekku yang cantiiiik.... Danu pergi dulu ya!" pamit Danu yang langsung pergi setelah mencium tangan sang nenek dan memeluk adiknya.
"Rara, selalu rukunlah dengan kakakmu ya, kalau kakek dan nenek sudah tidak ada, tetaplah sayang pada kakakmu, kalian harus saling menjaga, jangan pernah bertengkar." ucap Nenek Sundari sambil tetap sibuk memasak.
"Nenek bicara apa sih, Kakek dan Nenek akan terus ada!" gumam Diandra dengan suara bergetar. Demi Tuhan, dia tak ingin merasakan kehilangan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments