Suami Romantis (Jodoh Pasti Bertemu) Oleh Meisy T
Brug!
Aku yang terburu-buru karena hampir terlambat kuliah menabrak seseorang. Tumpukan laporan yang sudah dijilid rapi terlepas dari tangannya berserakan di lantai.
"Yah, kalau jalan lihat-lihat donk!" tegur laki-laki yang aku tabrak.
"Yaelah, Mas. Ga sengaja saya. Maaf ya." Aku memasang wajah menyesal.
"Ya udah. Bantu pungutin!" jawabnya dengan nada tak suka.
Ya, ampun! Judes amat nih cowok.
Aku mencondongkan badan untuk memungut tumpukan kertas di lantai. Tidak sengaja tangan kami bersentuhan.
"Apaan sih? Bukan muhrim!" Dia menarik tangannya sambil membelalakkan mata.
Aku kaget. Ingin rasanya mengeluarkan makian. 'Kepedaan banget sih, Lo! Siapa juga yang mau pegang tu tangan?'
Namun, aku tak mau memperpanjang urusan dengan laki-laki ini. Takut terlambat mengikuti kuliah Bu Reni, dosen Taksonomi Tumbuhan.
Aku segera berdiri. Kuberikan senyum tipis, lalu berlalu dengan langkah lebar.
"Hei, Mbak! Jangan kabur!" teriaknya.
Bodo amat!
Aku tidak menoleh. Setengah berlari menuju ruang kuliah. Kulirik ruang kelas sekilas, untunglah Bu Reni belum datang. Aku pun melenggang pelan masuk ke kelas.
"Hm!"
Betapa terkejutnya aku mendengar suara orang di dekat pintu. Ternyata Bu Reni sudah ada, tapi terhalang pintu sehingga tak terlihat dari luar. Suara tawa teman-teman sekelas langsung riuh melihat wajah panikku.
Sial! Pagi-pagi sudah jadi objek hiburan gratis. Hiks
Aku bergegas menghadap Bu Reni. "Maaf, saya terlambat, Bu."
"Silahkan duduk!" jawab Bu Reni.
"Makasih, Bu."
Syukurlah Bu Reni tak mempermasalahkan keterlambatanku. Aku pun mencari tempat duduk. Ada kursi kosong di samping Silvi sahabatku.
"Kamu kenapa telat?" tanya Silvi.
"Nyuci dulu tadi," jawabku sambil nyengir kuda.
"Kamu ada-ada aja, sih. Ngapain juga nyuci, udah tahu masuk pagi."
Aku hanya mengangkat bahu. Silvi menggeleng-gelengkan kepalanya. Suara Bu Reni memulai kuliah membuat kami menghentikan obrolan.
Awal mengikuti kuliah, konsentrasiku sedikit terganggu. Sekilas mengingat kejadian tabrakan tadi.
Ada ya, cowok kayak gitu. Ga bisa bayangin gimana teman-temannya dijudesin.
Aku menggeleng pelan. Berusaha fokus dengan penjelasan Bu Reni.
Ngapain juga aku mikirin cowok kayak gitu. Bikin mood jadi jelek aja.
"Kenapa?" tanya Silvi setegah berbisik.
"Ga papa."
"Kusut gitu muka."
"Nanti aku ceritain," bisikku sambil menunjuk Bu Reni dengan mata yang tengah memperhatikan kami.
***
Matahari bersinar garang saat aku pulang ke rumah. Rasa penat bertambah-tambah saat mengingat perjuangan hari ini sia-sia. Penelitian skripsiku sudah selesai bulan lalu, tapi belum juga diperiksa oleh dosen pembimbing.
Sudah satu minggu ini aku dan beberapa teman menunggu kedatangannya di dekanat. Namun, batang hidung Pak Rudi belum juga terlihat.
"Assalamualaikum ...." Aku mengucapkan salam saat tiba di depan pintu.
"Waalaikumsalam." Ibu menjawab salam sambil membuka pintu.
"Kenapa lesu gitu?" tanya Ibu.
"Ga ketemu dosen pembimbing tadi. Sibuk ke luar kota terus."
"Sabar ... namanya juga dosen senior, jadwalnya padat."
Aku hanya menganggukkan kepala. Kulepas sepatu, lalu beranjak menuju kamar, membaringkan sejenak tubuh yang lelah. Setelah merasa lebih baik, aku beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
"Ya Allah ... ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku. Lancarkan proses bimbingan skripsiku, mudahkanlah jalannya supaya bisa cepat wisuda wisuda. Aamiin."
Baru selesai shalat ashar, terdengar suara Ibu memanggil.
"Reva! Makan dulu."
"Bentar lagi, Bu." Aku berniat kembali berbaring.
Baru saja melipat mukena, terdengar Bapak mengucapkan salam. Aku menjawab pelan, lalu bergegas keluar kamar sebelum mendengar teriakan Ibu lagi.
Aku pun membantu Ibu menyiapkan peralatan makan. Bapak sudah duduk di ruang makan. Tampak raut lelah di wajahnya.
Setelah makan, kami duduk bersama sambil menonton TV. Baru akan meraih remote untuk mencari acara yang menarik, Bapak berdehem.
"Gimana skripsi kamu, Va?" tanya Bapak.
"Dikit lagi, Pak. Lagi bimbingan bab empat," terangku.
"Bagus! Tadi ketemu sahabat Bapak waktu sekolah."
"Terus?" Aku menjawab acuh tak acuh.
"Dia punya anak laki-laki. Usianya satu tahun di atas kamu. Rencananya kami mau jodohin kalian."
Aku tercengang mendengar kata-kata Bapak. Apa aku tak salah dengar? Aku kira Bapak ingin aku menyelesaikan kuliah dulu baru memikirkan jodoh.
Ya, ampun! Ada-ada aja Bapak, nih. Kayak ga laku aja anak gadisnya.
Sebenarnya ada beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku. Hanya saja, aku tidak tertarik untuk pacaran. Ga pacaran aja, kuliah udah ribet.
"Minggu depan mereka bakal datang ke sini," tukas Bapak.
Aku hanya diam, tak berani membantah. Bisa-bisa jadi panjang ceramah Bapak. Mudah-mudahan aja cowoknya cakep. Haha.
***
Aku sedang memasang jilbab saat salam dari tamu terdengar. Bergegas keluar kamar karena penasaran.
Bapak dan Ibu, juga tamu yang datang sudah duduk di sofa. Melirik sekilas laki-laki yang akan dijodohkan denganku.
"Kamu?" Aku terkejut melihat wajah anak sahabat Bapak.
Seketika ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Benar, pria di depanku adalah orang yang kutabrak saat di koridor kampus.
Oh My! Mimpi apa aku semalam?
Bisa-bisanya aku bertemu dengan laki-laki ini lagi. Bahkan, kemungkinan akan terikat dalam perjodohan.
"Kalian sudah saling kenal? tanya Bapak, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa. Kami memang pernah bertemu, tapi belum kenal orangnya.
Pria itu membulatkan mata, lalu mengalihkan pandangan. Yaelah, masih aja belum berubah. Pantes belum ketemu jodoh.
Ups! Ga boleh gitu, Rev!
"Salim dulu, Nak!" Ibu mengingatkan.
Aku sedikit malu telah mengabaikan sahabat Bapak. Berjalan pelan mendekati tamu, lalu aku menyalami kedua orang tua pria itu.
Setelah ngobrol panjang lebar, para orang tua menentukan tanggal pernikahan. Aku sampai heran, pria bernama Ridho itu tak menolak rencana orang tua kami. Apakah ini yang namanya jodoh?
***
Acara resepsi telah selesai dilaksanakan siang tadi. Keluarga yang menginap sudah pulang ke rumah masing-masing. Aku menghempaskan diri di ranjang baru yang dibelikan Ibu setelah lamaran. Ridho masih di luar, mengobrol dengan Bapak.
Saat akan memejamkan mata, pintu berderit tanda dibuka.
"Malam pertama malah tidur," sindir Ridho.
Hati orang ini terbuat dari apa, sih? Ga ada romantis-romantisnya. Muncul pikiran jahil di kepalaku.
"Ngantuk. Kamu tidur di bawah. Itu ada tikar." Aku menunjuk tikar di sudut kamar, lalu melempar bantal ke arahnya.
"Wah ... parah!" sahutnya sambil berjalan mendekat.
"Bodo!"
Aku berbalik menghadap dinding menahan tawa yang ingin tersembur. Tiba-tiba listrik mati. Aku melompat dari ranjang, lalu memeluk Ridho.
"Ngapain peluk-peluk! Tadi sok jual mahal ...."
Astaga! Mengapa laki-laki ini begitu menyebalkan?
Aku melonggarkan pelukan, mencubit pipinya kuat-kuat.
"Aduh!" keluh Ridho.
"Rasain!"
Hai teman-teman pembaca Ridho dan Reva ....☺
Jangan lupa vote, like dan komen..❤❤
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point ada di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Hariyadi
minta sarannya ya, buat novel baruku "Cinta Kelomang"
2020-11-05
2
adibaadila
semangat
2020-09-08
0
oktabebee
Semangat kak.
Mampir juga di ceritaku ya kak 🤗
"MAMAH MUDA, I LOVE U"
Makasih kak 🌷
2020-07-17
0