Aku terkejut ketika tatapan kami bertemu. Bukankah dia tadi pergi ke tempat kerja?
"Kamu ngapain kayak orang bingung gitu?" tanya Ridho.
"Hah?" Aku belum bisa menguasai keadaan.
"Aku lihat dari tadi kamu mandangke depan tapi ga fokus gitu, nunduk, lalu geleng kepala."
Ternyata Ridho memperhatikan tingkahku dari tadi. Aku tersenyum malu. Bisa-bisanya aku bertemu dalam keadaan seperti ini.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku.
Aku memilih mengabaikan pertanyaan Ridho. Bisa GR dia, kalau tau aku sedang memikirkannya. Apalagi tentang malam pertama. Maaf lupa, udah malam kedua. Bisa-bisa diprotes pembaca ini.
"Aku habis daftarin anak-anak lomba," jawabnya.
"Mana anak-anaknya?" Aku melihat ke sekeliling Ridho.
"Mereka ga ikut. Pas lomba nanti baru ke sini."
"Ooh ... sekarang mau pulang?" tanyaku basa-basi.
"Iya. Mau bareng?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar tawaran Ridho. "Aku 'kan, bawa motor."
"Eh, iya." Ridho menggaruk kepalanya.
Lelaki itu terlihat canggung, sama sepertiku. Aku tersenyum mencoba menenangkan diri. Ada debar yang mulai terasa di dada. Layaknya saat berkenalan dengan gebetan. Eh?
"Lagian, kamu harus balik lagi ke tempat kerja, 'kan?"
"Iya. Kamu udah bimbingannya?"
"Udah, tapi masih ada perbaikan. Ini mau ke perpus mau lihat contoh skripsi," jelasku.
"Ooh." Ridho menjawab singkat.
Aku jadi bingung ingin bicara apalagi. Rasanya ingin menyudahi percakapan basa-basi ini. Sepertinya Ridho bukan sosok yang asik diajak ngobrol. Aku jadi penasaran melihat interaksi laki-laki cuek ini dengan teman-temannya.
"Ya udah, aku duluan. Emm ... kamu nanti langsung pulang ya."
Ridho terlihat kaku dan agak tersipu mengucapkannya. Menggemaskan. Ingin kucubit lagi pipinya kalau tak ada orang lain di sekitar kami.
Aiih! Jangan sampai aku terlihat genit di mata Ridho.
"Ok," sahutku.
Ridho melangkah menuju tempat parkir di samping dekanat. Perlahan motornya meninggalkan halaman kampus. Aku pun meneruskan langkah menuju perpustakaan.
***
Setelah mempelajari contoh-contoh tabel di skripsi alumni, aku kembali ke dekanat untuk mencari Silvi. Rasa haus di tenggorokan membuatku membayangkan jus Alpukat yang dingin.
Silvi
Ternyata urusan wanita cantik itu belum selesai. Mudah-mudahan saja, Mbak Rivi tak terlalu mempersulit masalah nilainya.
Aku duduk di kursi yang menghadap taman menunggu Silvi keluar. Baru akan mengelurkan gawai untuk mengusir rasa bosan, seseorang memanggil namaku.
"Reva?"
Aku menoleh ke samping kiri. Di sana berdiri laki-laki tampan yang namanya pernah mengisi hatiku.
Deva Radiansyah, kakak kelas waktu SMA. Aku agak 'surprise' bisa bertemu dengannya di sini. Dari teman-teman, aku tahu dia melanjutkan kuliah di Bandung.
"Kak Deva? Apa kabar, Kak?" tanyaku sedikit semringah.
"Sehat. Kamu kuliah di sini?"
"Iya, Kak. Kakak sudah selesai?"
Sebenarnya aku tahu berita terbaru tentang Deva. Walau tak berteman dengan akun laki-laki itu, aku kadang berkunjung ke beranda Facebook-nya.
"Alhamdulillah, sudah. Ini Kakak mau lanjut S2 di sini." Deva menjelaskan dengan nada datar.
"Wah ... hebat! Aku S1 aja pusing," pujiku tulus.
"Ga juga. Banyak temen Kakak yang udah lanjut duluan."
Laki-laki ini masih sama, tampan, pintar dan rendah hati. Pantas saja beberapa wanita begitu mengaguminya saat SMA.
Aku memandang takjub pada Deva. Kami pernah dekat saat sama-sama bergabung di eskul Sains. Dia salah satu pembimbing eskul yang aku ikuti. Sempat berharap kami berjodoh, walau nyatanya tak pernah saling mengungkapkan rasa.
Deva
Aku mengaguminya sejak dia telaten membimbingku di eskul Sains. Saat itu pembimbing lain menunjukku untuk mengerjakan soal Matematika di papan tulis. Deva berdiri membantu saat melihatku kebingungan. Setelah itu kami sering diskusi juga beberapa kali pulang bersama karena rumah yang searah.
"Reva lagi apa?" Pertanyaan Deva menyadarkanku dari lamunan.
"Eh. Nungguin temen lagi ngurus nilai di dalam, Kak."
Deva nampak berpikir sejenak. "Ooh ... boleh minta nomor WA Reva?"
"Hah?" Aku kebingungan mendengar permintaan Deva.
"Kenapa? Ga ada yang marah 'kan?" Laki-laki berwajah teduh itu menatap dengan wajah serius.
"Ah, ga kok."
Aneh rasanya langsung bercerita tentang pernikahan. Aku pun memberikan kontak WA pada Deva. Toh, belum tentu Deva berniat macam-macam. Mungkin dia hanya ingin menyimpan kontakku untuk bertanya tentang kampus.
"Ya sudah, Kakak ke atas dulu ya," Deva menunjuk ruang atas dengan dagunya.
"Iya, Kak."
Deva berlalu menuju ruang staf administrasi S2 di lantai dua. Aku menatap punggung laki-laki yang pernah mengisi hati dengan perasaan tak menentu.
"Duaar!" Silvi menyentuh lenganku dari belakang.
"Ngagetin tau!" Aku mengelus dada.
"Lihatin apa, sih? Serius banget."
Aduh. Untung Silvi tak menyadari aku melihat Kak Deva. Bisa keluar pertanyaan 'kepo-nya'.
"Ga ada. Udah? Gimana tadi?"
"Alhamdulillah selesai juga setelah kesana kemari kayak setrikaan. Ampun dah, berurusan sama Mbak itu. Sok perfect banget!"
"Hush! Nanti orangnya denger."
Silvi menoleh ke dalam. Wanita yang menjadi sahabatku sejak semester empat itu menghembuskan napas lega. Mbak Rivi tak ada di kursinya.
"Ke kantin, yuk!" ajaknya.
"Iya. Aku nungguin kamu mau ngajakin minum di kantin."
"Aku bukan cuma haus, lapar. Urusan tadi benar-benar menguras tenaga." Silvi memegang perutnya.
"Lebay!"
Silvi terbahak, lalu merangkulku. Kami pun berjalan menuju kantin.
***
"Assalamualaikum," ucapku saat masuk ke teras rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu yang sedang membaca majalah di ruang tamu.
"Bapak masih di toko, Bu?" tanyaku.
Ayahku membuka toko pakaian di Pasar. Dia berangkat ke pasar saat pagi hari. Biasanya pulang setelah waktu Ashar.
"Iya dong! Kayak ga tau aja. Ridho ga ditanyain?"
Aku mendelik sebal. "Ibu rusuh deh! Kan udah tau jadwal dia pulang sore."
Ibu menatap usil. "Kirain kangen."
Huh! Aku menghela napas, berlalu menuju kamar. Malas menanggapi godaan Ibu.
Setelah menutup pintu, kuletakkan tas di meja, lalu membuka jilbab. Kubaringkan tubuh untuk melepas penat sejenak. Mataku mulai mengantuk.
Entah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun saat gawai mendengar berdering. Nomor tak dikenal tertera di layar. Suara laki-laki mengucapkan salam terdengar ketika aku mengangkat panggilan.
"Ini siapa?" tanyaku setelah menjawab salam.
"Kak Deva, Rev. Ganggu ga?" Suaranya mulai familiar.
Deva? Aku merasa sedikit khawatir hatiku kembali mengenangnya.
"Nggak kok. Ini baru bangun tidur."
Ah, bagaimanapun dia kakak kelas waktu SMA. Sebaiknya aku biasa saja menanggapinya.
"Kamu kapan ke kampus lagi?"
"Entah, Kak. Mungkin lusa."
"Ooh. Ya udah, Assalamualaikum." Sambungan diputuskan sebelum aku menjawab salam.
Aku menatap bingung pada layar gawai. Deva kenapa?
Aku meletakkan gawai di bantal, lalu perlahan turun dari ranjang.
Astaga! Kaget aku. Ridho berdiri di pintu dengan tatapan yang menakutkan.
Hai teman-teman pembaca Ridho dan Reva ....☺
Jangan lupa vote, like dan komen..❤❤
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
@alwahid_ahmad
ikut bertemu
2020-04-29
1