"Bapak lagi keluar tadi."
Pantas Ridho kembali lagi ke kamar saat aku akan berpakaian. Ternyata tak ada teman bicara di luar.
Aku menghela napas lega. Untung Bapak ga denger teriakanku tadi. Bisa merah mukaku kalau ditanyain Bapak juga.
"Aku siap-siap dulu ya, Bu?"
"Iya, Buruan sarapan sana!"
Ah ... Ibu memang sangat pengertian. Walau tak selalu memanjakanku karena hanya punya anak semata wayang. Pokoknya Ibu 'the best' buatku.
Aku pun kembali ke ruang makan. Mengambil piring dan sendok dari lemari penyimpanan.
"Reva, suaminya disiapin juga tuh sarapannya," tegur Bapak saat aku akan duduk di kursi.
"Eh, iya, Pak." Aku tersenyum canggung, lalu meletakkan tas ke kursi di sebelahku.
Aku pun berdiri lagi mengambil peralatan makan untuk Ridho. Kulirik sekilas, laki-laki itu hanya tersenyum pada Bapak.
Bapak sih, semangat bener nikahin anaknya yang belum mengerti soal rumah tangga. Spertinya aku perlu membaca buku tentang pernikahan nanti.
"Bapak belum makan?" tanyaku setelah mengisi piring kami berdua, juga menyiapkan segelas air putih untuk Ridho.
"Nanti aja, Bapak makan bareng Ibu," jawab Bapak.
"Cie ...." Aku menutup mulut saat sadar Ridho melirik ke arahku. Tak jadi menggoda Bapak yang masih mesra dengan Ibu.
Kami memang biasa bercanda dan saling menggoda di rumah ini. Namun, suasana terasa agak kaku sejak aku menikah dengan Ridho.
"Udah, habisin makanannya! Nanti telat kerjanya," sahut Bapak, lalu beranjak ke belakang rumah untuk mengurus ayam-ayamnya.
Aku dan Ridho makan dalam diam. Sesekali saling lirik saat menyuap makanan ke dalam mulut. Duduk berhadapan begini membuatku bebas menatap wajahnya. Ternyata suamiku tampan juga.
Ups! Apaan sih, Rev? Bisa GR kalau dia dengar.
"Mau diantar?" tanya Ridho setelah nasi dipiringnya tandas.
Aku menatapnya sekilas. "Ga usah. Jauh nanti pas kamu balik lagi ke kantor."
Aku sedikit kaget mendengar tawarannya. Mengingat tempat kerjanya lebih dekat dari rumah dibanding kampusku.
"Ya udah!" sahutnya.
Yah ... Jangan-jangan tawarannya cuma basa-basi.
"Hati-hati jalannya." Ridho kembali bicara membuatku mendongakkan kepala.
"Eh, i-ya." Aku tergagap menjawab kata-kata Ridho.
"Udah mau pergi?" Ibu datang dari pintu dapur.
Aku bergegas membereskan bekas makan kami dan menaruhnya di bak cucian kotor.
"Iya, Bu. Reva ke kampus, ya." Aku mencium tangan Ibu. Ridho juga meraih tangan Ibu.
"Iya. Langsung pulang kalau selesai di kampus. Kan sekarang udah punya suami," goda Ibu.
"Ih ... Ibu apaan, sih?" protesku. Ibu terbahak. Wajahku pasti merona karena malu. Ridho mengulum senyum.
"Pak! Reva berangkat."
"Iya!" sahut Bapak dari belakang.
Aku meraih tas, lalu mengambil kunci motor yang digantung di dekat kulkas. Ridho pun mengeluarkan kunci motor dari tasnya. Kami berjalan berdampingan menuju pintu.
Duh ... kok aku jadi gugup gini, sih?
Ridho membuka garasi yang berisi motorku, motor besarnya dan mobil Bapak. Aku melangkah menuju motor matic kesayangan. Setelah menghidupkan mesin motor, aku melaju perlahan.
"Aku duluan ya," ucapku.
"Iya," sahut Ridho.
***
"Wah ... pengaten baru datang...." Silvi mencegatku di koridor dekanat.
"Apaan! Pak Feri udah datang?" Aku berusaha 'sok cool' dengan godaan Silvi.
"Cie ... mengalihkan pembicaraan. Cerita dong!"
Aku terbahak, gemas melihat wajah penuh ingin tahu Silvi. "Kepoo!"
"Ah, ga seru!" protesnya.
"Biarin!" Aku semakin semangat menggodanya.
"Masa sama teman sendiri gitu?" Silvi mengedip-ngedipkan matanya.
"Kapan-kapan aku cerita."
"Beneran?" tanggap Silvi dengan antusias.
"Kalau ga lupa." Aku terkekeh dan menjulurkan lidah pada Silvi yang cemberut. Kupercepat langkah menuju ruang Pak Feri di lantai tiga.
"Reva! Tungguin, sih." Wanita mungil itu menyusulku.
"Kamu ga bimbingan?"
"Udah tadi. Masih banyak perbaikan punyaku."
"Tumben ga barengan?" tanyaku heran.
"Aku mau urus nilai, ada yang belum masuk. Takut Pak Feri keburu pergi kalau lama urusan di akademik."
"Ooh ... nilai mata kuliah ngulang kemaren? Aku duluan kalau gitu. Semoga cepat selesai masalahnya." Aku ikut prihatin.
"Yups. Doain aku, ya."
"Iya. Selamat bertemu sama Mbak-Mbak galak!" ujarku.
"Reva! Aku udah gugup duluan ini."
Raut wajah Silvi berubah cemas. Aku yang awalnya usil jadi kasihan melihatnya.
"Santai aja, yang penting, jangan lupa bawa alat perang."
Aku juga pernah berurusan dengan Mbak Rivi bagian cetak nilai. Waktu itu aku hampir mengisi perubahan KRS karena ragu-ragu. Panas kupingku mendengar kata-kata Mbak Rivi yang lumayan pedas.
Hufhh! Hah!" Silvi menarik napas panjang sebelum masuk ke ruang akademik. Aku tertawa geli melihat tingkahnya.
Aku pun meneruskan niat semula ke lantai tiga. Sesampainya di ruang Pak Feri, aku mengetuk pintu, lalu mengucapkan salam.
"Permisi, Pak!"
"Eh, Reva, silahkan masuk!"
Setelah berada di depan mejanya, aku mengeluarkan tumpukan kertas yang diberi penjepit besar dari tas.
"Udah diperbaiki semua yang dari Pak Rudi?" tanya dosen yang terbilang masih muda itu.
"Udah, Pak."
Pak Feri mulai membuka lembar demi lembar kertas skripsiku. Terkadang keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera.
"Ini tabel hasilnya kok gini?"
"Hah?" Aku melihat ke lembar yang ditunjuk Pak Feri.
Rasanya ingin memberi tahu kalau Pak Rudi tidak masalah dengan tabel itu. Namun, tak ingin berlama-lama berurusan dengan dosen. Dari awal kuliah, aku tak ingin terlalu menonjol atau dikenal dosen. Apalagi sengaja mendekati dosen demi nilai.
"Ganti tabelnya ya! lebih detail menyajikan datanya."
"Baik, Pak. Terimakasih."
Aku meraih tumpukan kertas itu dari tangan Pak Feri. Beberapa halaman telah ada coretan pena dosen Ilmu Lingkungan itu. Aku pamit, lalu perlahan turun ke lantai satu.
Batang hidung Silvi belum terlihat. Sepertinya urusan perempuan cantik itu belum selesai. Aku berniat ke perpustakaan untuk melihat contoh tabel skripsi para alumni, sementara menunggu Silvi.
Pikiranku mengembara tak tentu arah. Ingat skripsi yang harus di rombak total beberapa halaman, tentang pernikahan dengan orang yang belum kukenal. Seketika terbayang wajah Ridho, suami yang belum sempat menyentuhku.
Aduh! Nanti malam gimana ini?
Hatiku mendadak gelisah. Bagaimana kalau dia meminta haknya malam ini?
Kenapa juga jadi ingat lelaki menyebalkan itu? Aku menggelengkan kepala pelan. Berusaha fokus pada tujuan utamaku.
Aku menyentuh kepala yang sedikit berdenyut. Ternyata menikah saat kuliah cukup merepotkan. Andai aku ada keberanian untuk menolak perjodohan.
Ah, sudahlah. Bapak pasti berharap yang terbaik untukku. Semoga saja rumah tangga kami berjalan dengan baik nantinya.
Saat di halaman perpustakaan, aku tak sengaja menabrak seseorang. Sifat cerobohku kadang merepotkan. Perlahan aku mengangkat wajah untuk meminta maaf pada orang yang ditabrak.
"Ridho?"
Jangan lupa vote, like dan komen..😍😍
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Indrijati Saptarita
sama suami koq cuma panggil nama sih...
2022-09-22
0
Nabila Naki
hai thor ini visual indonesia ya
2020-08-02
0