Brug!
Aku yang terburu-buru karena hampir terlambat kuliah menabrak seseorang. Tumpukan laporan yang sudah dijilid rapi terlepas dari tangannya berserakan di lantai.
"Yah, kalau jalan lihat-lihat donk!" tegur laki-laki yang aku tabrak.
"Yaelah, Mas. Ga sengaja saya. Maaf ya." Aku memasang wajah menyesal.
"Ya udah. Bantu pungutin!" jawabnya dengan nada tak suka.
Ya, ampun! Judes amat nih cowok.
Aku mencondongkan badan untuk memungut tumpukan kertas di lantai. Tidak sengaja tangan kami bersentuhan.
"Apaan sih? Bukan muhrim!" Dia menarik tangannya sambil membelalakkan mata.
Aku kaget. Ingin rasanya mengeluarkan makian. 'Kepedaan banget sih, Lo! Siapa juga yang mau pegang tu tangan?'
Namun, aku tak mau memperpanjang urusan dengan laki-laki ini. Takut terlambat mengikuti kuliah Bu Reni, dosen Taksonomi Tumbuhan.
Aku segera berdiri. Kuberikan senyum tipis, lalu berlalu dengan langkah lebar.
"Hei, Mbak! Jangan kabur!" teriaknya.
Bodo amat!
Aku tidak menoleh. Setengah berlari menuju ruang kuliah. Kulirik ruang kelas sekilas, untunglah Bu Reni belum datang. Aku pun melenggang pelan masuk ke kelas.
"Hm!"
Betapa terkejutnya aku mendengar suara orang di dekat pintu. Ternyata Bu Reni sudah ada, tapi terhalang pintu sehingga tak terlihat dari luar. Suara tawa teman-teman sekelas langsung riuh melihat wajah panikku.
Sial! Pagi-pagi sudah jadi objek hiburan gratis. Hiks
Aku bergegas menghadap Bu Reni. "Maaf, saya terlambat, Bu."
"Silahkan duduk!" jawab Bu Reni.
"Makasih, Bu."
Syukurlah Bu Reni tak mempermasalahkan keterlambatanku. Aku pun mencari tempat duduk. Ada kursi kosong di samping Silvi sahabatku.
"Kamu kenapa telat?" tanya Silvi.
"Nyuci dulu tadi," jawabku sambil nyengir kuda.
"Kamu ada-ada aja, sih. Ngapain juga nyuci, udah tahu masuk pagi."
Aku hanya mengangkat bahu. Silvi menggeleng-gelengkan kepalanya. Suara Bu Reni memulai kuliah membuat kami menghentikan obrolan.
Awal mengikuti kuliah, konsentrasiku sedikit terganggu. Sekilas mengingat kejadian tabrakan tadi.
Ada ya, cowok kayak gitu. Ga bisa bayangin gimana teman-temannya dijudesin.
Aku menggeleng pelan. Berusaha fokus dengan penjelasan Bu Reni.
Ngapain juga aku mikirin cowok kayak gitu. Bikin mood jadi jelek aja.
"Kenapa?" tanya Silvi setegah berbisik.
"Ga papa."
"Kusut gitu muka."
"Nanti aku ceritain," bisikku sambil menunjuk Bu Reni dengan mata yang tengah memperhatikan kami.
***
Matahari bersinar garang saat aku pulang ke rumah. Rasa penat bertambah-tambah saat mengingat perjuangan hari ini sia-sia. Penelitian skripsiku sudah selesai bulan lalu, tapi belum juga diperiksa oleh dosen pembimbing.
Sudah satu minggu ini aku dan beberapa teman menunggu kedatangannya di dekanat. Namun, batang hidung Pak Rudi belum juga terlihat.
"Assalamualaikum ...." Aku mengucapkan salam saat tiba di depan pintu.
"Waalaikumsalam." Ibu menjawab salam sambil membuka pintu.
"Kenapa lesu gitu?" tanya Ibu.
"Ga ketemu dosen pembimbing tadi. Sibuk ke luar kota terus."
"Sabar ... namanya juga dosen senior, jadwalnya padat."
Aku hanya menganggukkan kepala. Kulepas sepatu, lalu beranjak menuju kamar, membaringkan sejenak tubuh yang lelah. Setelah merasa lebih baik, aku beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
"Ya Allah ... ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku. Lancarkan proses bimbingan skripsiku, mudahkanlah jalannya supaya bisa cepat wisuda wisuda. Aamiin."
Baru selesai shalat ashar, terdengar suara Ibu memanggil.
"Reva! Makan dulu."
"Bentar lagi, Bu." Aku berniat kembali berbaring.
Baru saja melipat mukena, terdengar Bapak mengucapkan salam. Aku menjawab pelan, lalu bergegas keluar kamar sebelum mendengar teriakan Ibu lagi.
Aku pun membantu Ibu menyiapkan peralatan makan. Bapak sudah duduk di ruang makan. Tampak raut lelah di wajahnya.
Setelah makan, kami duduk bersama sambil menonton TV. Baru akan meraih remote untuk mencari acara yang menarik, Bapak berdehem.
"Gimana skripsi kamu, Va?" tanya Bapak.
"Dikit lagi, Pak. Lagi bimbingan bab empat," terangku.
"Bagus! Tadi ketemu sahabat Bapak waktu sekolah."
"Terus?" Aku menjawab acuh tak acuh.
"Dia punya anak laki-laki. Usianya satu tahun di atas kamu. Rencananya kami mau jodohin kalian."
Aku tercengang mendengar kata-kata Bapak. Apa aku tak salah dengar? Aku kira Bapak ingin aku menyelesaikan kuliah dulu baru memikirkan jodoh.
Ya, ampun! Ada-ada aja Bapak, nih. Kayak ga laku aja anak gadisnya.
Sebenarnya ada beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku. Hanya saja, aku tidak tertarik untuk pacaran. Ga pacaran aja, kuliah udah ribet.
"Minggu depan mereka bakal datang ke sini," tukas Bapak.
Aku hanya diam, tak berani membantah. Bisa-bisa jadi panjang ceramah Bapak. Mudah-mudahan aja cowoknya cakep. Haha.
***
Aku sedang memasang jilbab saat salam dari tamu terdengar. Bergegas keluar kamar karena penasaran.
Bapak dan Ibu, juga tamu yang datang sudah duduk di sofa. Melirik sekilas laki-laki yang akan dijodohkan denganku.
"Kamu?" Aku terkejut melihat wajah anak sahabat Bapak.
Seketika ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Benar, pria di depanku adalah orang yang kutabrak saat di koridor kampus.
Oh My! Mimpi apa aku semalam?
Bisa-bisanya aku bertemu dengan laki-laki ini lagi. Bahkan, kemungkinan akan terikat dalam perjodohan.
"Kalian sudah saling kenal? tanya Bapak, membuyarkan lamunanku.
Aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa. Kami memang pernah bertemu, tapi belum kenal orangnya.
Pria itu membulatkan mata, lalu mengalihkan pandangan. Yaelah, masih aja belum berubah. Pantes belum ketemu jodoh.
Ups! Ga boleh gitu, Rev!
"Salim dulu, Nak!" Ibu mengingatkan.
Aku sedikit malu telah mengabaikan sahabat Bapak. Berjalan pelan mendekati tamu, lalu aku menyalami kedua orang tua pria itu.
Setelah ngobrol panjang lebar, para orang tua menentukan tanggal pernikahan. Aku sampai heran, pria bernama Ridho itu tak menolak rencana orang tua kami. Apakah ini yang namanya jodoh?
***
Acara resepsi telah selesai dilaksanakan siang tadi. Keluarga yang menginap sudah pulang ke rumah masing-masing. Aku menghempaskan diri di ranjang baru yang dibelikan Ibu setelah lamaran. Ridho masih di luar, mengobrol dengan Bapak.
Saat akan memejamkan mata, pintu berderit tanda dibuka.
"Malam pertama malah tidur," sindir Ridho.
Hati orang ini terbuat dari apa, sih? Ga ada romantis-romantisnya. Muncul pikiran jahil di kepalaku.
"Ngantuk. Kamu tidur di bawah. Itu ada tikar." Aku menunjuk tikar di sudut kamar, lalu melempar bantal ke arahnya.
"Wah ... parah!" sahutnya sambil berjalan mendekat.
"Bodo!"
Aku berbalik menghadap dinding menahan tawa yang ingin tersembur. Tiba-tiba listrik mati. Aku melompat dari ranjang, lalu memeluk Ridho.
"Ngapain peluk-peluk! Tadi sok jual mahal ...."
Astaga! Mengapa laki-laki ini begitu menyebalkan?
Aku melonggarkan pelukan, mencubit pipinya kuat-kuat.
"Aduh!" keluh Ridho.
"Rasain!"
Hai teman-teman pembaca Ridho dan Reva ....☺
Jangan lupa vote, like dan komen..❤❤
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point ada di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
Ridho
Ridho meringis memegang pipinya. Laki-laki yang telah sah menjadi suamiku itu berdecak kesal. Aku pura-pura tak mendengar. Untunglah listrik hidup kembali.
Huh! Bisa ke-GR-an dia kalau dipeluk lama-lama.
Aku pun melepas pelukan lalu melangkah menuju ranjang. Saat ingin membaringkan tubuh, Ridho berjalan mendekat ke arahku.
"Eh, mau ngapain?" tanyaku cemas.
"Tidurlah," sahutnya cuek.
Aku meletakkan guling di antara kami. Takut kualat juga ngerjain Ridho lagi, tubuh pun sudah lelah.
"Jangan sampai melewati batas!" kataku sambil menepuk guling.
Ridho menghela napas pelan, "Hm."
Kututupi tubuh dengan selimut, lalu membalikkan badan membelakangi Ridho. Tak lama dengkur halusnya terdengar. Sepertinya laki-laki itu juga lelah.
Rasanya masih seperti mimpi kalau aku sekarang sudah punya suami. Bagaimana aku akan menjalani hari esok dengan status yang berbeda?
Tetap bersyukur karena aku tetap bisa melanjutkan kuliah. Bapak dan Ayah Ridho sepakat mengenai kelanjutan pendidikanku.
Perlahan aku memejamkan mata. Tidak sampai lima belas menit, aku jatuh tertidur.
Aku terbangun ketika mendengar alunan ayat-ayat Allah diputar di Masjid. Saat membuka mata, betapa terkejutnya melihat ada orang lain di sebelahku.
"Aaaa!" Aku memekik pelan, lalu dengan cepat menutup mulut saat ingat laki-laki ini adalah orang yang megikrarkan ijab kabul kemarin.
"Apaan, sih?" Ridho mengucek matanya, lalu menatapku tajam. "Pagi-pagi udah berisik."
Tak kuhiraukan ucapan laki-laki berkulit putih itu. Aku turun dari ranjang, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Saat membuka pintu, tubuh menjulang Ridho sudah berdiri di depanku.
"Ngagetin aja, sih!" protesku.
"Ga ngajak aku shalatnya?"
"Ke masjid sana! Bapak bentar lagi keluar kamar tuh."
"Iya," sahutnya singkat sebelum masuk ke kamar mandi.
Dasar cowok cuek!
Setelah mengambil wudhu, laki-laki dengan wajah datar itu melangkah keluar dari kamar. Aku menarik napas pelan.
Sabar!
Aku menyempatkan diri membaca Alquran sebelum adzan subuh berkumandang. Hatiku terasa tenang saat bibir membaca ayat-ayat Allah. Akhir-akhir ini kesibukan di kampus membuatku jarang membacanya.
Selesai shalat subuh, aku menyiapkan pakaian untuk dipakai ke kampus. Hari ini ada janji bimbingan dengan dosen. Saat akan keluar dari kamar, Ridho pulang dari masjid.
"Mau kemana?"
"Bantu Ibu masaklah," jawabku singkat.
"Aku ngapain, ya?" tanyanya dengan raut bingung.
"Terserah!"
"Ya ampun, jutek amat!" ejeknya.
"Biarin!" sahutku, lalu melanjutkan langkah.
Sempat kulihat Ridho meraih tas besarnya. Sepertinya dia akan menyiapkan pakaian kerja.
Ridho bekerja di pondok pesantren yang tak jauh dari rumah. Kudengar dia bekerja sebagai pengajar dan staf administrasi di sana. Aku tak banyak bertanya saat Bapak bercerita, sebelum kami menikah.
Saat tiba di dapur, kulihat Ibu sedang menyiapkan bahan untuk memasak.
"Masak apa, Bu?" tanyaku setelah berada di samping Ibu.
"Bikin ayam kecap. Kamu rebus sawi sama potong timunnya."
"Ok. Ga bikin sambal, Bu?" Aku pun mengambil sawi dan timun, lalu mencucinya.
"Diirisin aja cabe hijaunya, nanti campur ke ayamnya. Oh iya, kalau udah selesai, masak air panas. Bikin minum untuk suamimu."
Aku terbengong. Benar-benar belum terbiasa melayani kebutuhan suami. Bahkan, aku belum sempat bertanya, Ridho biasanya minum teh atau kopi.
"Kenapa kayak orang bingung gitu? Sekalian buat kopi untuk Bapak."
"Hah? Iya, Bu."
Bodo ah! Samain aja sama Bapak. Gengsi mau balik kamar lagi.
"Hari ini bimbingan lagi, Nak?"
"Iya, Bu. Sama Pak Feri, dosen pembimbing dua. Mana janjian pagi lagi."
"Ya udah, jangan lama-lama ngerjainnya. Biar ngga ditinggal dosen lagi."
Hais! Aku jadi ingat kejadian beberapa hari yang lalu. Aku dan Silvi sudah menunggu Pak Rudi selama dua jam. Setelah shalat Zuhur, kami mengisi perut yang sudah tak mau di ajak kompromi. Saat kembali ke ruang dosen dan bertanya pada sekretaris prodi, ternyata dosen itu datang sebentar saat kami makan.
Aku pun bergegas melakukan semua permintaan Ibu. Setelah selesai urusan di dapur, aku kembali ke kamar. Ridho sudah berpakaian dengan rapi.
"Kamu di rumah aja?" sapanya.
"Ini baru mau mandi, mau ketemu dosen pembimbing hari ini."
"Ooh." Ridho menjawab acuh tak acuh.
Aku berusaha membiasakan diri dengan sikap cueknya. Sejujurnya, ada perasaan tak nyaman dengan hubungan kami saat ini. Hanya saja, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Awas! Jangan ngintip!" Aku berlari masuk ke kamar mandi.
"Apaan!" Ridho terlihat kaget.
Tak kupedulikan raut kesal di wajah Ridho. Kutahan tawa yang hampir tersembur. Emang enak dikerjain! Haha.
Aduh! Aku lupa bawa baju ganti lagi. Ridho udah keluar dari kamar belum ya?
Kupegang erat handuk yang melilit di tubuh, lalu menajamkan pendengaran untuk mengetahui keadaan di luar. Sepertinya Ridho tak ada lagi di kamar.
Aku bergegas keluar dari kamar mandi, mengambil pakaian dalam di lemari, lalu meraih gamis yang kuletakkan di ranjang. Saat akan membuka handuk, terdengar suara pintu berderit.
Astaga! Kenapa aku bisa lupa mengunci kamar?
"Ridho! Jangan masuk dulu!" Aku berteriak panik, hampir saja handukku terlepas.
Ridho terlihat menahan tawa, lalu menutup pintu. Aku beranjak memutar kunci.
Ish! Menyebalkan!
Setelah mengunci pintu, aku berpakaian dengan cepat. Menyisir rambut, menyapu bedak ke wajah, memoles lipstik tipis-tipis ke bibirku. Terakhir memasang jilbab dengan warna senada dengan gamis yang berwarna toska.
Saat melihat cermin, seketika ingat wajah Ridho mentertawakanku sebelum menutup pintu.
Hufhh! Rasa malu dan kesal menjadi satu.
Aku menghembuskan napas panjang sebelum keluar dari kamar. Kulangkahkan kaki dengan perlahan menuju ruang makan. Di sana terlihat Bapak dan Ridho sedang mengobrol sambil menikmati kopi buatanku.
"Ibu mana, Pak?" tanyaku.
"Itu di belakang, lagi cuci pakaian"
Aku segera berlalu ke dapur yang menyatu dengan tempat mencuci. Sekilas kulihat wajah Ridho yang antusias mendengar cerita Bapak. Pria itu tak terlalu peduli dengan kehadiranku.
Dasar suami ga peka!
Eh, tapi baguslah. Aku masih bingung untuk memulai percakapan setelah kejadian di kamar tadi.
Setiba di dapur, aku menyentuh bahu Ibu. "Maaf ya, Bu, aku ga bisa bantu-bantu hari ini."
"Iya, ga papa. Besok jatah kamu." Ibu terkekeh pelan.
"Siip. Siap komandan!"
"Eh, tadi kenapa ribut-ribut gitu?"
Ternyata Ibu mendengar teriakanku. Aku berusaha tak terlihat panik menjawab pertanyaan Ibu. Pagi ini permulaan yang buruk untuk memulai hari.
"Ibu kepo ah!" Aku tertawa canggung, "Bapak dengar juga, Bu?" Tiba-tiba perasaan malu menyergapku. Baru dua hari jadi suami istri sudah heboh.
Hai para pembaca Ridho dan Reva ....☺
Gimana ceritanya?
Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote 💕💕
"Bapak lagi keluar tadi."
Pantas Ridho kembali lagi ke kamar saat aku akan berpakaian. Ternyata tak ada teman bicara di luar.
Aku menghela napas lega. Untung Bapak ga denger teriakanku tadi. Bisa merah mukaku kalau ditanyain Bapak juga.
"Aku siap-siap dulu ya, Bu?"
"Iya, Buruan sarapan sana!"
Ah ... Ibu memang sangat pengertian. Walau tak selalu memanjakanku karena hanya punya anak semata wayang. Pokoknya Ibu 'the best' buatku.
Aku pun kembali ke ruang makan. Mengambil piring dan sendok dari lemari penyimpanan.
"Reva, suaminya disiapin juga tuh sarapannya," tegur Bapak saat aku akan duduk di kursi.
"Eh, iya, Pak." Aku tersenyum canggung, lalu meletakkan tas ke kursi di sebelahku.
Aku pun berdiri lagi mengambil peralatan makan untuk Ridho. Kulirik sekilas, laki-laki itu hanya tersenyum pada Bapak.
Bapak sih, semangat bener nikahin anaknya yang belum mengerti soal rumah tangga. Spertinya aku perlu membaca buku tentang pernikahan nanti.
"Bapak belum makan?" tanyaku setelah mengisi piring kami berdua, juga menyiapkan segelas air putih untuk Ridho.
"Nanti aja, Bapak makan bareng Ibu," jawab Bapak.
"Cie ...." Aku menutup mulut saat sadar Ridho melirik ke arahku. Tak jadi menggoda Bapak yang masih mesra dengan Ibu.
Kami memang biasa bercanda dan saling menggoda di rumah ini. Namun, suasana terasa agak kaku sejak aku menikah dengan Ridho.
"Udah, habisin makanannya! Nanti telat kerjanya," sahut Bapak, lalu beranjak ke belakang rumah untuk mengurus ayam-ayamnya.
Aku dan Ridho makan dalam diam. Sesekali saling lirik saat menyuap makanan ke dalam mulut. Duduk berhadapan begini membuatku bebas menatap wajahnya. Ternyata suamiku tampan juga.
Ups! Apaan sih, Rev? Bisa GR kalau dia dengar.
"Mau diantar?" tanya Ridho setelah nasi dipiringnya tandas.
Aku menatapnya sekilas. "Ga usah. Jauh nanti pas kamu balik lagi ke kantor."
Aku sedikit kaget mendengar tawarannya. Mengingat tempat kerjanya lebih dekat dari rumah dibanding kampusku.
"Ya udah!" sahutnya.
Yah ... Jangan-jangan tawarannya cuma basa-basi.
"Hati-hati jalannya." Ridho kembali bicara membuatku mendongakkan kepala.
"Eh, i-ya." Aku tergagap menjawab kata-kata Ridho.
"Udah mau pergi?" Ibu datang dari pintu dapur.
Aku bergegas membereskan bekas makan kami dan menaruhnya di bak cucian kotor.
"Iya, Bu. Reva ke kampus, ya." Aku mencium tangan Ibu. Ridho juga meraih tangan Ibu.
"Iya. Langsung pulang kalau selesai di kampus. Kan sekarang udah punya suami," goda Ibu.
"Ih ... Ibu apaan, sih?" protesku. Ibu terbahak. Wajahku pasti merona karena malu. Ridho mengulum senyum.
"Pak! Reva berangkat."
"Iya!" sahut Bapak dari belakang.
Aku meraih tas, lalu mengambil kunci motor yang digantung di dekat kulkas. Ridho pun mengeluarkan kunci motor dari tasnya. Kami berjalan berdampingan menuju pintu.
Duh ... kok aku jadi gugup gini, sih?
Ridho membuka garasi yang berisi motorku, motor besarnya dan mobil Bapak. Aku melangkah menuju motor matic kesayangan. Setelah menghidupkan mesin motor, aku melaju perlahan.
"Aku duluan ya," ucapku.
"Iya," sahut Ridho.
***
"Wah ... pengaten baru datang...." Silvi mencegatku di koridor dekanat.
"Apaan! Pak Feri udah datang?" Aku berusaha 'sok cool' dengan godaan Silvi.
"Cie ... mengalihkan pembicaraan. Cerita dong!"
Aku terbahak, gemas melihat wajah penuh ingin tahu Silvi. "Kepoo!"
"Ah, ga seru!" protesnya.
"Biarin!" Aku semakin semangat menggodanya.
"Masa sama teman sendiri gitu?" Silvi mengedip-ngedipkan matanya.
"Kapan-kapan aku cerita."
"Beneran?" tanggap Silvi dengan antusias.
"Kalau ga lupa." Aku terkekeh dan menjulurkan lidah pada Silvi yang cemberut. Kupercepat langkah menuju ruang Pak Feri di lantai tiga.
"Reva! Tungguin, sih." Wanita mungil itu menyusulku.
"Kamu ga bimbingan?"
"Udah tadi. Masih banyak perbaikan punyaku."
"Tumben ga barengan?" tanyaku heran.
"Aku mau urus nilai, ada yang belum masuk. Takut Pak Feri keburu pergi kalau lama urusan di akademik."
"Ooh ... nilai mata kuliah ngulang kemaren? Aku duluan kalau gitu. Semoga cepat selesai masalahnya." Aku ikut prihatin.
"Yups. Doain aku, ya."
"Iya. Selamat bertemu sama Mbak-Mbak galak!" ujarku.
"Reva! Aku udah gugup duluan ini."
Raut wajah Silvi berubah cemas. Aku yang awalnya usil jadi kasihan melihatnya.
"Santai aja, yang penting, jangan lupa bawa alat perang."
Aku juga pernah berurusan dengan Mbak Rivi bagian cetak nilai. Waktu itu aku hampir mengisi perubahan KRS karena ragu-ragu. Panas kupingku mendengar kata-kata Mbak Rivi yang lumayan pedas.
Hufhh! Hah!" Silvi menarik napas panjang sebelum masuk ke ruang akademik. Aku tertawa geli melihat tingkahnya.
Aku pun meneruskan niat semula ke lantai tiga. Sesampainya di ruang Pak Feri, aku mengetuk pintu, lalu mengucapkan salam.
"Permisi, Pak!"
"Eh, Reva, silahkan masuk!"
Setelah berada di depan mejanya, aku mengeluarkan tumpukan kertas yang diberi penjepit besar dari tas.
"Udah diperbaiki semua yang dari Pak Rudi?" tanya dosen yang terbilang masih muda itu.
"Udah, Pak."
Pak Feri mulai membuka lembar demi lembar kertas skripsiku. Terkadang keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera.
"Ini tabel hasilnya kok gini?"
"Hah?" Aku melihat ke lembar yang ditunjuk Pak Feri.
Rasanya ingin memberi tahu kalau Pak Rudi tidak masalah dengan tabel itu. Namun, tak ingin berlama-lama berurusan dengan dosen. Dari awal kuliah, aku tak ingin terlalu menonjol atau dikenal dosen. Apalagi sengaja mendekati dosen demi nilai.
"Ganti tabelnya ya! lebih detail menyajikan datanya."
"Baik, Pak. Terimakasih."
Aku meraih tumpukan kertas itu dari tangan Pak Feri. Beberapa halaman telah ada coretan pena dosen Ilmu Lingkungan itu. Aku pamit, lalu perlahan turun ke lantai satu.
Batang hidung Silvi belum terlihat. Sepertinya urusan perempuan cantik itu belum selesai. Aku berniat ke perpustakaan untuk melihat contoh tabel skripsi para alumni, sementara menunggu Silvi.
Pikiranku mengembara tak tentu arah. Ingat skripsi yang harus di rombak total beberapa halaman, tentang pernikahan dengan orang yang belum kukenal. Seketika terbayang wajah Ridho, suami yang belum sempat menyentuhku.
Aduh! Nanti malam gimana ini?
Hatiku mendadak gelisah. Bagaimana kalau dia meminta haknya malam ini?
Kenapa juga jadi ingat lelaki menyebalkan itu? Aku menggelengkan kepala pelan. Berusaha fokus pada tujuan utamaku.
Aku menyentuh kepala yang sedikit berdenyut. Ternyata menikah saat kuliah cukup merepotkan. Andai aku ada keberanian untuk menolak perjodohan.
Ah, sudahlah. Bapak pasti berharap yang terbaik untukku. Semoga saja rumah tangga kami berjalan dengan baik nantinya.
Saat di halaman perpustakaan, aku tak sengaja menabrak seseorang. Sifat cerobohku kadang merepotkan. Perlahan aku mengangkat wajah untuk meminta maaf pada orang yang ditabrak.
"Ridho?"
Jangan lupa vote, like dan komen..😍😍
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!