Astaga! Kaget aku. Ridho berdiri di pintu dengan tatapan yang menakutkan.
"Kamu baru pulang?" sapaku.
Ridho hanya diam, lalu masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu meletakkan tasnya ke meja di samping ranjang. Melewatiku yang mematung karena tak dianggap ada.
Aku menghela napas. Bingung harus berkata apa. Perlahan kulangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menenangkan diri sejenak. Ketika kembali ke kamar, Ridho telah berganti pakaian.
"Kamu udah makan?" tanyaku.
"Hm."
Ridho kenapa, sih? Walau mulai terbiasa dengan sikap cueknya, kali ini terasa berbeda.
Jenuh dengan sikap Ridho, aku melangkah keluar kamar. Ibu tak terlihat di ruang keluarga. Aku melanjutkan langkah ke belakang rumah, berniat mengangkat pakaian.
"Di sini Ibu ternyata." Aku pun membantu Ibu mengangkat jemuran.
"Udah bangun, Nak?"
"Iya, Bu. Tadi ketiduran."
"Ridho udah pulang, 'kan? Ajak makan, gih!"
"Katanya udah, Bu."
Kami masuk ke dalam rumah, lalu melipat pakaian di ruang keluarga. Aku menghidupkan TV. Sinetron dengan tema karma terlihat di layar kaca. Pasti Ibu yang pilih channel tadi.
Aku batal mengganti siaran ketika melihat adegan mertua memarahi menantu.
"Ya ampun, ngeri, Bu!"
"Pandai-pandai bawa diri aja, Nak. Kalau di tempat mertua jangan sampai kesiangan. Bantuin kerjaan rumah juga." Aku menyimak nasihat Ibu dengan sungguh-sungguh.
"Iya, Bu. Tapi Nenek ga gitu kulihat." Sekilas-sekilas terkenang sikap almarhum Nenek pada Ibu.
"Ibu beruntung dapat mertua yang pengertian." Senyum terkembang di wajah Ibu.
"Semoga aja mertuaku juga. Serem kek gitu." Sepenuh hati aku berharap.
Ibu mengaminkan doaku. Aku pun mengganti siaran. Berita tentang kabut asap ditayangkan di salah satu stasiun TV. Tidak separah kemarin, laporan reporternya.
"Masa sudah parah, baru ditayangkan beritanya di TV," komentar Ibu.
"Iya tuh. Padahal kasihan sama mereka yang daerahnya kena kabut. Udah parah lo, Bu. Ada yang hampir dua minggu libur sekolahnya."
"Tuh, 'kan ... ibu kadang aneh sama pemerintah. Walau belum menemukan solusinya, setidaknya sering diberitakan, supaya orang-orang paham kondisi di sana."
"Ga taulah. Aku juga ga ngerti."
Selesai melipat pakaian, aku beranjak menuju kamar. Sebentar lagi masuk waktu Ashar. Kudorong pelan pintu kamar. Ridho terlihat berbaring di ranjang dengan mata terpejam.
"Ridho, bangun."
Laki-laki jangkung itu tak bergerak. Takut dia tertinggal shalat berjamaah di Masjid, aku mendekat, lalu menyentuh lengannya. Ridho terbangun lalu memegang tanganku. Pegangannya terlalu kuat membuatku tertarik jatuh menimpanya.
Kami saling menatap selama beberapa detik. Debar kencang terasa di dada. Aku bahkan bisa mendengar detak jantung Ridho.
"Maaf, aku kaget," ucapnya.
"I-ya, ngga papa. Aku takut kamu ketinggalan shalat jamaah." Aku segera bangkit menjauh dari tubuh Ridho.
"Ooh." Ridho turun dari ranjang.
Laki-laki cuek itu mengambil sarung dan peci, lalu keluar dari kamar.
Sempat kulihat senyum di wajahnya. Namun, dia segera menggantinya dengan ekspresi seperti biasa. Datar.
Hufh! Aku menyentuh dada, berusaha menenangkan debaran yang masih terasa.
***
Selesai shalat Magrib, kami makan bersama. Aku membuat telur dadar dan tumis kangkung untuk menambah lauk pagi tadi.
"Gimana skripsi kamu, Reva?" tanya Bapak selesai makan malam.
"Dikit lagi, Pak. Udah rampung, tapi masih ada perbaikan," jawabku.
"Syukurlah. Ga lama lagi wisuda berarti."
"Iya, Pak. Doakan saja, cepet dapat jadwal ujiannya."
"Pasti Bapak doakan yang terbaik untuk kamu."
"Aamiin," sahut Ibu.
Ridho diam menyimak obrolan kami. Aku tiba-tiba terpikir gambaran apa yang cocok untuk Ridho. Pendiam? Kalem? Dingin?
"Kapan rencananya ke rumah, Nak Ridho?" Bapak beralih menatap Ridho.
"Insya Allah lusa, Pak. Ayah sama Bunda bikin syukuran kecil-kecilan ngundang tetangga dekat." Laki-laki bermata tajam itu menjelaskan sambil menatapku.
Aku yang sedang mengangkut piring bekas makan terkejut dengan pertanyaan Bapak. Hampir saja ada yang terlepas dari tanganku. Memikirkan tentang mertua membuatku ingat cerita sinetron tadi siang.
"Oh iya. Nanti ingatkan Bapak lagi," pinta Bapak.
"Iya, Pak." Ridho mengangguk takzim.
"Berapa hari nginap di sana?" tanya Ibu.
Aduh. Ibu malah ikut-ikutan. Ngga ngeh deh, putrinya lagi kalut gini.
"Mungkin dua atau tiga hari, Bu," jawab Ridho.
"Nah, besok siap-siap ya, Nak." Ibu menatap ke arah ku.
"Iya, Bu."
Selesai memberaskan bekas makan malam, aku melangkah menuju kamar. Berniat menyelesaikan perbaikan skripsi. Ridho sedang mengobrol dengan Bapak di teras.
Setengah jam berlalu, tak terasa adzan Isya berkumandang. Ridho tak masuk ke kamar lagi, mungkin langsung ke masjid. Aku segera mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat Isya. Sempat kuselipkan doa untuk rumah tangga kami.
Setelah melipat mukena, kubaringkan tubuh sejenak sebelum mengecek hasil perbaikan skripsi tadi. Merasa jenuh, aku meraih gawai di dekat bantal, mengecek pesan yang masuk di WA.
[Assalamualaikum. Rev, besok beneran ga ke kampus?]
Pesan dari Kak Deva. Aku tertegun beberapa saat sebelum membalasnya.
[Waalaikumsalam. Belum tau sih, Kak. Rencananya lusa baru ke kampus. Ada perlu apa ya, Kak?]
[Kakak mau nanya-nanya tentang kampus.]
[Ooh ... tanya sekarang aja ga papa, Kak.]
[Ga nyaman aja. Lebih enak pas ketemu langsung.]
Aku tak membalas lagi pesan Kak Deva. Membuka aplikasi Facebook untuk melihat berita terbaru teman-teman SMA. Ternyata temanku juga ada yang mau menikah. Undangannya masuk ke messengerku.
Kirain cuma aku yang nikah muda. Mana dapatnya yang kayak Ridho lagi. Nyebelin!
Belum puas berselancar di dunia maya, terdengar pintu berderit, Ridho sudah pulang dari masjid. Aku pura-pura tak melihatnya.
"Main HP terus, kapan selesai skripsinya!"
Aku pun menoleh ke arah Ridho. Ini orang kenapa, sih?
"Tadi udah ngedit, kok."
"Jangan-jangan lagi chatingan sama siapa itu?" tanyanya sambil menunjuk gawai-ku.
"Apaan, sih?" Aku memandangnya dengan tatapan sebal.
Ridho mendekat, mengulurkan tangannya untuk meraih gawaiku. Aku berusaha mengelak. Terlambat. Nama Deva terlihat di layar gawai.
Aduh. Kok pas banget, sih? Kenapa juga Deva telepon aku pas ada Ridho?
Aku berusaha menenangkan diri, menyiapkan hati untuk mendengar kata-kata Ridho selanjutnya.
"Ooh ... Deva namanya." Ridho mengucapkan nama orang itu dengan nada tak suka.
"Siniin!"
Aku berusaha merebut kembali benda pipih tersebut. Takut dia bicara kasar pada Deva. Ridho mengembalikan gawaiku setelah panggilan diputuskan.
"Udah punya suami masih juga telponan sama laki-laki lain," sindirnya.
"Ga telponan, kok. Aku ngerti juga kali, kalau udah nikah harus-,"
"Harus apa?" potong Ridho.
Laki-laki menyebalkan itu mendekat. Aku mundur perlahan, kaki sudah menempel ke tepi ranjang. Ridho mendekatkan wajahnya. Jantungku bertalu-talu menahan debar yang mendadak muncul kembali.
Next.
Jangan lupa vote, like dan komen..❤❤
Vote itu pake point yaa, ambil aja point online kita. Tulisan point di sudut kanan atas. Nanti pas buka cerita ini, pilih vote. Tinggal kasih point yang kamu punya.☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments