Balasan Untuk Suamiku
Rania sedang mengurusi cucian di belakang rumah, tapi suara sang mertua dari dapur masih terdengar sampai telinganya. Sebenarnya dia muak sekali mendengarnya tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari yang keluar dari mulut mertuanya hanyalah cacian untuknya, itu bagaikan santapan sehari-hari. Tidak ada satupun pekerjaan rumah yang Rania lakukan dianggapnya benar. Semua salah di mata mertuanya.
Hal ini dikarenakan sampai sekarang Rania belum juga hamil padahal dia sudah lima tahun menikah dengan Barra, anak satu-satunya dari ibu mertuanya. Setelah menikah Rania tinggal satu rumah dengan ibu mertuanya karena sang suami sudah meninggal dan hanya Barra satu-satunya anak yang dimilikinya.
"Ngurus cucian aja lama banget, kamu bisanya apa sih?!" omel mertuanya sambil berjalan mendekati Rania.
Rania hanya mengambil nafas dalam untuk menahan kekesalannya. Ini sudah biasa baginya, telinganya kebal dengan suara mertuanya yang hampir tidak ada jeda begitu mulai mengomelinya.
"Itu bersihkan dapur!" Tangan mertuanya enteng sekali menunjuk ke arah dapur padahal sejak bangun tidur Rania belum berhenti bekerja walau sebentar saja. Menyapu, ngepel, mencuci, masak dan semua urusan rumah dia yang mengerjakan. Karena ingin mengabdikan dirinya untuk sang suami, Rania rela mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tanpa pembantu walaupun suaminya lebih dari mampu untuk sekedar membayar jasa seorang asisten rumah tangga.
"Baik Bu." Rania menyanggupi saja perintah mertuanya, tidak ada gunanya membantah karena itu justru membuat mertuanya semakin gencar mengomelinya. Rania segera menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan menuju dapur. Dengan berat hati dia membersihkan lagi dapur yang sebelumnya sudah dia bersihkan. Entah apa yang dilakukan mertuanya hingga membuat dapur berantakan lagi.
Setelah menikah Rania yang sudah mempunyai pekerjaan yang mapan rela berhenti dari pekerjaannya karena diminta berhenti oleh Barra agar dia bisa fokus mengurus rumah dan segera hamil. Rania dan Barra adalah rekan kerja sebelum mereka menikah. Hanya saja jabatan Barra sedikit lebih tinggi sehingga Rania memilih mengalah dan berhenti kerja. Menikahi pria yang sudah mapan membuat Rania berpikir hidupnya akan terjamin dan bahagia.
Pada kenyataannya, hidup Rania memang terjamin secara ekonomi, tapi bahagia? Sepertinya itu masih jauh dia rasakan. Suaminya adalah raja di rumah ini, tapi Rania tidak dianggap sebagai ratunya. Dia hanya dianggap sebagai pembantu di rumah ini.
Ibu mertuanya kembali lagi ke dapur mencari Rania.
"Ini setrika bajuku! Aku akan memakainya untuk pergi arisan bersama teman-temanku sebentar lagi." Belum selesai membereskan dapur, ibu mertuanya sudah memberi perintah lagi. Dia menyodorkan baju ke depan Rania.
"Iya... Sebentar Bu, setelah aku selesai membereskan dapur," jawab Rania.
"Beresin dapur aja lama banget sih?! Udah ngga bisa ngasih keturunan, ngerjain apa-apa juga lelet! Kok bisa ya Barra dulu sampai jatuh cinta sama kamu?! Kaya ngga ada perempuan lain aja!" Kalimat sadis keluar begitu saja dari mulut mertuanya.
Rania diam saja walaupun dadanya bergemuruh merasakan hinaan dari mertuanya.
"Coba saja Barra menikah dengan perempuan lain, pasti aku sudah menimang cucu sekarang. Sayang Barra justru memilih perempuan mandul seperti kamu!"
Rania sudah tidak tahan. Setiap hari ibu mertuanya selalu mengatai dia sebagai perempuan mandul dan menyalahkan dirinya karena sampai saat ini dia dan Barra belum juga memiliki anak.
"Ibu ... Aku tidak mandul! Sudah berkali-kali aku periksa ke dokter dan hasilnya aku baik-baik saja. Rahimku sehat, kualitas sel telurku juga bagus. Jangan terus menerus menyalahkan aku!"
"Apa kamu mau bilang Barra yang mandul begitu?! Mana mungkin?! Barra itu dari dulu anak yang sehat! Badannya sehat dan bugar seperti itu mana mungkin mandul!!" Nada suaranya mertuanya sudah tidak bisa ditolerir.
"Bukan begitu maksudku Bu ... "
"Jangan mencari alasan untuk membela dirimu sendiri! Dasar perempuan mandul tidak tahu diri!"
Rania mendesah kesal. Tidak ada gunanya membela diri di depan mertuanya. Tetap saja akhirnya dia yang di salahkan dan dihina.
"Cepat setrika bajuku! Aku tidak mau datang terlambat ke arisan gara-gara kamu lelet mengerjakannya! Tunjukkan kalau kamu berguna di rumah ini!" Ibu mertuanya berlalu dari hadapan Rania.
"Antar baju itu ke kamarku jika kamu sudah selesai menyetrikanya! Aku akan mandi dulu!" ucap mertuanya sambil berjalan tanpa menatap ke arah Rania.
Rania meraih baju yang mertuanya bawa dan segera melakukan perintah mertuanya walaupun kesal. Kadang marah dan sedih menyelimuti hatinya mendengar cacian dan omelan dari sang mertua yang tidak pernah ada habisnya. Satu-satunya harapannya di rumah ini hanyalah Barra, suaminya. Saat ini dia ingin sekali melihat suaminya pulang dan menenangkan hatinya, membelanya dan memberikan pengertian kepada ibunya jika semua ini bukan salahnya. Tapi ini baru tengah hari, suaminya baru akan pulang sore nanti, itupun kalau dia tidak lembur.
Rania mengingat kenangan manis bagaimana dia dulu jatuh cinta dengan Barra. Setiap hari mereka bertemu di kantor, belum lagi jika ada tugas keluar kota yang mengharuskan mereka berdua ikut. Barra yang jabatannya lebih tinggi dari Rania seringkali memberi Rania tugas yang banyak hanya untuk mengerjainya. Tanpa sepengetahuan Rania, itu sengaja Barra lakukan untuk membuat Rania lembur sampai larut dan dia bisa menghabiskan waktu berdua saja dengan Rania di kantor. Sering menghabiskan waktu bersama membuat benih-benih cinta muncul di hati Rania.
"Sabar Rania ... sabar ..." Berkali-kali Rania menenangkan dirinya sendiri. "Jika bukan karena aku mencintai Barra, aku pasti sudah meninggalkan rumah ini!" gumam Rania.
Tugasnya sudah selesai. Rania bergegas mengantarkan baju itu ke kamar sang mertua. Rania pikir setelah ini ibu mertuanya tidak akan mengganggunya lagi. Kemudian dia mengetuk pintu kamar mertuanya.
"Ibu ... bajunya sudah siap," seru Rania dari balik pintu. Ibu mertuanya segera membuka pintu. Dia hanya mengenakan handuk kimono untuk menutupi tubuhnya. Rania hendak pergi setelah menyerahkan baju itu.
"Rania ... " panggil sang mertua. Perasaan Rania sudah tidak enak mendengar mertuanya memanggil namanya dengan suara yang sedikit lunak. Pasti ada lagi yang diinginkannya.
"Ada apa Bu?"
"Apa kamu punya uang cash? Aku ingin minta sedikit."
"Bukankah Barra sudah mentransfer uang jatah bulanan Ibu ke rekening ibu sendiri?"
"Iya, tapi kemarin aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli baju. Aku butuh uang lagi sekarang."
"Tapi Bu ... "
"Tidak banyak, lima juta saja. Segera ambilkan! Aku tahu kamu punya kalau hanya segitu," potong sang mertua tanpa berpikir.
Rania hendak melangkah pergi.
"Satu hal lagi ..." Rania menghentikan langkahnya. "Jangan memberi tahu Barra aku minta uang darimu!"
Rania benar-benar muak atas sifat mertuanya. Tapi rasa cintanya pada sang suami membuatnya tetap bertahan dari siksaan sang mertua. Rania berlalu dari hadapan mertuanya tanpa berkata sepatah kata pun. Dengan terpaksa dia mengambilkan uang yang mertuanya minta. Rania sudah tahu kalau tidak dia tidak menurutinya, mertuanya akan merangkai cerita palsu di depan Barra seolah-olah dia adalah menantu durhaka agar Barra memarahinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Morna Simanungkalit
kalau suami tdk membela istri lebih baik tingglkan.
2024-06-10
1
Sie Dp
Rania nya az yg bodoh, mertua kek gitu mah lawan az... zaman dah canggih rekam semua perbuatan'y kah sbg bukti k c'barra
2022-05-04
3
Anisnikmah
mertua gak tau diri. sudah hina menantu eh minta uang ke menantu
2022-02-16
0