Rania sedang mengurusi cucian di belakang rumah, tapi suara sang mertua dari dapur masih terdengar sampai telinganya. Sebenarnya dia muak sekali mendengarnya tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari yang keluar dari mulut mertuanya hanyalah cacian untuknya, itu bagaikan santapan sehari-hari. Tidak ada satupun pekerjaan rumah yang Rania lakukan dianggapnya benar. Semua salah di mata mertuanya.
Hal ini dikarenakan sampai sekarang Rania belum juga hamil padahal dia sudah lima tahun menikah dengan Barra, anak satu-satunya dari ibu mertuanya. Setelah menikah Rania tinggal satu rumah dengan ibu mertuanya karena sang suami sudah meninggal dan hanya Barra satu-satunya anak yang dimilikinya.
"Ngurus cucian aja lama banget, kamu bisanya apa sih?!" omel mertuanya sambil berjalan mendekati Rania.
Rania hanya mengambil nafas dalam untuk menahan kekesalannya. Ini sudah biasa baginya, telinganya kebal dengan suara mertuanya yang hampir tidak ada jeda begitu mulai mengomelinya.
"Itu bersihkan dapur!" Tangan mertuanya enteng sekali menunjuk ke arah dapur padahal sejak bangun tidur Rania belum berhenti bekerja walau sebentar saja. Menyapu, ngepel, mencuci, masak dan semua urusan rumah dia yang mengerjakan. Karena ingin mengabdikan dirinya untuk sang suami, Rania rela mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tanpa pembantu walaupun suaminya lebih dari mampu untuk sekedar membayar jasa seorang asisten rumah tangga.
"Baik Bu." Rania menyanggupi saja perintah mertuanya, tidak ada gunanya membantah karena itu justru membuat mertuanya semakin gencar mengomelinya. Rania segera menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan menuju dapur. Dengan berat hati dia membersihkan lagi dapur yang sebelumnya sudah dia bersihkan. Entah apa yang dilakukan mertuanya hingga membuat dapur berantakan lagi.
Setelah menikah Rania yang sudah mempunyai pekerjaan yang mapan rela berhenti dari pekerjaannya karena diminta berhenti oleh Barra agar dia bisa fokus mengurus rumah dan segera hamil. Rania dan Barra adalah rekan kerja sebelum mereka menikah. Hanya saja jabatan Barra sedikit lebih tinggi sehingga Rania memilih mengalah dan berhenti kerja. Menikahi pria yang sudah mapan membuat Rania berpikir hidupnya akan terjamin dan bahagia.
Pada kenyataannya, hidup Rania memang terjamin secara ekonomi, tapi bahagia? Sepertinya itu masih jauh dia rasakan. Suaminya adalah raja di rumah ini, tapi Rania tidak dianggap sebagai ratunya. Dia hanya dianggap sebagai pembantu di rumah ini.
Ibu mertuanya kembali lagi ke dapur mencari Rania.
"Ini setrika bajuku! Aku akan memakainya untuk pergi arisan bersama teman-temanku sebentar lagi." Belum selesai membereskan dapur, ibu mertuanya sudah memberi perintah lagi. Dia menyodorkan baju ke depan Rania.
"Iya... Sebentar Bu, setelah aku selesai membereskan dapur," jawab Rania.
"Beresin dapur aja lama banget sih?! Udah ngga bisa ngasih keturunan, ngerjain apa-apa juga lelet! Kok bisa ya Barra dulu sampai jatuh cinta sama kamu?! Kaya ngga ada perempuan lain aja!" Kalimat sadis keluar begitu saja dari mulut mertuanya.
Rania diam saja walaupun dadanya bergemuruh merasakan hinaan dari mertuanya.
"Coba saja Barra menikah dengan perempuan lain, pasti aku sudah menimang cucu sekarang. Sayang Barra justru memilih perempuan mandul seperti kamu!"
Rania sudah tidak tahan. Setiap hari ibu mertuanya selalu mengatai dia sebagai perempuan mandul dan menyalahkan dirinya karena sampai saat ini dia dan Barra belum juga memiliki anak.
"Ibu ... Aku tidak mandul! Sudah berkali-kali aku periksa ke dokter dan hasilnya aku baik-baik saja. Rahimku sehat, kualitas sel telurku juga bagus. Jangan terus menerus menyalahkan aku!"
"Apa kamu mau bilang Barra yang mandul begitu?! Mana mungkin?! Barra itu dari dulu anak yang sehat! Badannya sehat dan bugar seperti itu mana mungkin mandul!!" Nada suaranya mertuanya sudah tidak bisa ditolerir.
"Bukan begitu maksudku Bu ... "
"Jangan mencari alasan untuk membela dirimu sendiri! Dasar perempuan mandul tidak tahu diri!"
Rania mendesah kesal. Tidak ada gunanya membela diri di depan mertuanya. Tetap saja akhirnya dia yang di salahkan dan dihina.
"Cepat setrika bajuku! Aku tidak mau datang terlambat ke arisan gara-gara kamu lelet mengerjakannya! Tunjukkan kalau kamu berguna di rumah ini!" Ibu mertuanya berlalu dari hadapan Rania.
"Antar baju itu ke kamarku jika kamu sudah selesai menyetrikanya! Aku akan mandi dulu!" ucap mertuanya sambil berjalan tanpa menatap ke arah Rania.
Rania meraih baju yang mertuanya bawa dan segera melakukan perintah mertuanya walaupun kesal. Kadang marah dan sedih menyelimuti hatinya mendengar cacian dan omelan dari sang mertua yang tidak pernah ada habisnya. Satu-satunya harapannya di rumah ini hanyalah Barra, suaminya. Saat ini dia ingin sekali melihat suaminya pulang dan menenangkan hatinya, membelanya dan memberikan pengertian kepada ibunya jika semua ini bukan salahnya. Tapi ini baru tengah hari, suaminya baru akan pulang sore nanti, itupun kalau dia tidak lembur.
Rania mengingat kenangan manis bagaimana dia dulu jatuh cinta dengan Barra. Setiap hari mereka bertemu di kantor, belum lagi jika ada tugas keluar kota yang mengharuskan mereka berdua ikut. Barra yang jabatannya lebih tinggi dari Rania seringkali memberi Rania tugas yang banyak hanya untuk mengerjainya. Tanpa sepengetahuan Rania, itu sengaja Barra lakukan untuk membuat Rania lembur sampai larut dan dia bisa menghabiskan waktu berdua saja dengan Rania di kantor. Sering menghabiskan waktu bersama membuat benih-benih cinta muncul di hati Rania.
"Sabar Rania ... sabar ..." Berkali-kali Rania menenangkan dirinya sendiri. "Jika bukan karena aku mencintai Barra, aku pasti sudah meninggalkan rumah ini!" gumam Rania.
Tugasnya sudah selesai. Rania bergegas mengantarkan baju itu ke kamar sang mertua. Rania pikir setelah ini ibu mertuanya tidak akan mengganggunya lagi. Kemudian dia mengetuk pintu kamar mertuanya.
"Ibu ... bajunya sudah siap," seru Rania dari balik pintu. Ibu mertuanya segera membuka pintu. Dia hanya mengenakan handuk kimono untuk menutupi tubuhnya. Rania hendak pergi setelah menyerahkan baju itu.
"Rania ... " panggil sang mertua. Perasaan Rania sudah tidak enak mendengar mertuanya memanggil namanya dengan suara yang sedikit lunak. Pasti ada lagi yang diinginkannya.
"Ada apa Bu?"
"Apa kamu punya uang cash? Aku ingin minta sedikit."
"Bukankah Barra sudah mentransfer uang jatah bulanan Ibu ke rekening ibu sendiri?"
"Iya, tapi kemarin aku sudah menggunakan uang itu untuk membeli baju. Aku butuh uang lagi sekarang."
"Tapi Bu ... "
"Tidak banyak, lima juta saja. Segera ambilkan! Aku tahu kamu punya kalau hanya segitu," potong sang mertua tanpa berpikir.
Rania hendak melangkah pergi.
"Satu hal lagi ..." Rania menghentikan langkahnya. "Jangan memberi tahu Barra aku minta uang darimu!"
Rania benar-benar muak atas sifat mertuanya. Tapi rasa cintanya pada sang suami membuatnya tetap bertahan dari siksaan sang mertua. Rania berlalu dari hadapan mertuanya tanpa berkata sepatah kata pun. Dengan terpaksa dia mengambilkan uang yang mertuanya minta. Rania sudah tahu kalau tidak dia tidak menurutinya, mertuanya akan merangkai cerita palsu di depan Barra seolah-olah dia adalah menantu durhaka agar Barra memarahinya.
Setelah hampir sore mertua Rania pulang dari arisan. Dia langsung menuju dapur untuk menyimpan makanan yang dia bawa dari restoran tempatnya tadi melangsungkan arisan. Rania yang sedang memasak di dapur hanya memperhatikan apa yang sedang mertuanya itu lakukan tanpa berkomentar apa-apa.
"Jangan makan ini! Aku membelinya khusus untuk Barra!" titah sang mertua sambil berlalu meninggalkan dapur.
Rania tidak mempedulikan ucapan mertuanya. Dia juga tidak berniat untuk menyentuh makanan itu sama sekali. Barra sudah memberitahunya kalau dia lembur jadi akan pulang agak malam. Rania melanjutkan kegiatannya memasak entah nanti ada yang memakannya atau tidak yang penting dia sudah menyiapkannya.
Selesai masak Rania menuju kamarnya untuk membersihkan dirinya. Setelah itu dia tidak keluar begitu pula mertuanya hingga hampir waktunya makan malam dan terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Ibu mertuanya bergerak cepat dengan berlari menyambut anak lelakinya yang baru pulang kerja.
"Dimana Rania Bu?"
"Di kamarnya. Mungkin sedang tidur, dasar istri mu itu seorang pemalas!"
Barra tidak mempedulikan kata-kata ibunya dan segera berjalan menuju kamarnya. Dia menemukan Rania sedang terlelap. Barra mendekati istrinya itu kemudian mencium keningnya. Merasakan sentuhan hangat di keningnya, Rania pun membuka matanya.
"Kamu sudah pulang?" ucap Rania dengan suara serak. "Maaf aku tidak menyambut mu."
Rania segera bangun dan membenarkan posisinya. Dia tidak sengaja tertidur karena terlalu lelah setelah seharian mengurus rumah. Sebenarnya mengerjakan pekerjaan rumah tidak begitu berat baginya. Rania masih muda, dia punya energi berlebih untuk mengerjakan semua pekerjaan itu. Tapi hinaan dan omelan dari mertuanya lah yang lebih menguras energinya, lelah batin tentu saja.
"Kamu sudah makan? Aku akan menyiapkan makan malam. Kamu bersihkan badanmu dulu." Rania berdiri tapi Barra menarik tangan Rania hingga dia kembali terduduk di tempat tidur.
"Apa yang kamu lakukan seharian tadi? Kenapa kamu terlihat lelah sekali?" Barra melingkarkan tangannya di tubuh Rania. Dia masih ingin melepaskan rindu pada istrinya setelah seharian tidak bertemu.
"Seperti biasanya, aku membereskan rumah, mencuci, masak dan yang lain, semacam itu ... kamu tahu lah."
"Kamu tidak harus melakukannya jika kamu capek," balas Barra sambil membenamkan hidungnya di leher Rania.
Rania tersenyum. "Tidak apa-apa, lagian aku tidak punya kegiatan lain." Tangan Rania membelai lembut rambut Barra.
Rania sangat menikmati kebersamaan ini. Barra sangat mencintainya dan memperlakukannya dengan lembut, tapi ini tidak akan lama. Dia akan berubah dingin setelah mendengar ibunya mengatakan sesuatu yang buruk tentang Rania. Dia mudah sekali terpengaruh oleh kata-kata ibunya.
Sudah berulang kali Rania meminta Barra untuk tinggal terpisah dari ibunya tapi bara tidak mengabulkan permintaannya. Barra tidak tega jika harus membiarkan ibunya tinggal sendirian. Rania sempat berpikir, alasan mungkin sampai saat ini dia belum juga hamil adalah karena dia tertekan dengan keberadaan mertuanya yang tidak pernah bersikap baik padanya. Tapi dia tidak berani memberi tahu Barra soal ini, dia takut menyinggung perasaannya, mengingat suaminya itu sangat menyayangi ibunya.
"Barra ... Ibu terus mengatakan aku perempuan mandul. Apakah kamu bisa memberi ibu pengertian bukan salahku jika kita belum punya anak. Aku sehat dan kamu pun sehat, jadi mungkin Tuhan memang belum memberi kita kesempatan untuk memiliki anak."
"Tidak usah kamu pikirkan kata-kata ibu. Nanti aku akan bicara padanya."
"Terima kasih." Rania berbalik dan gantian mengecup kening suaminya. "Sekarang mandilah, aku akan turun untuk menyiapkan makan malam," lanjut Rania.
"Tidak perlu. Kamu temani aku mandi. Ibu pasti sudah menyiapkan semuanya."
"Tapi aku sudah mandi."
"Hanya menemaniku di kamar mandi, tidak usah ikut mandi."
"Baiklah suamiku sayang ... " jawab Rania sambil mencubit hidung Barra.
* * *
Barra dan Rania berjalan menuju ruang makan setelah drama di kamar mandi selesai.
"Barra ... kenapa lama sekali kamu turun? Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," sambut sang ibu begitu melihat Barra berjalan ke arahnya.
Rania hanya mengernyit mendengar kata-kata mertuanya. Dia tahu makanan yang dia maksud kesukaan Barra adalah makanan yang dia beli sewaktu arisan siang tadi yang kemudian dia hangatkan lagi. Selain itu semua makanan yang ada di meja makan adalah masakan Rania tapi Rania tidak mempermasalahkannya.
Barra tersenyum. "Terima kasih Bu," ucapnya. Kemudian ketiganya makan dengan tenang. Rania tidak membahas sedikitpun mengenai mertuanya yang tadi meminta uang padanya.
"Ibu tadi ketemu Bu Sandy, dia bilang menantunya sudah melahirkan. Sekarang Bu Sandy mempunyai dua orang cucu, satu laki-laki dan satu perempuan, sudah lengkap kebahagiaannya."
Mertua Rania memulai pembicaraan. Perasaan Rania sudah tidak enak jika mertuanya mulai bicara menyangkut anak atau cucu. Pasti nanti dia yang akan dikambinghitamkan.
"Senang sekali ya jadi Bu Sandy, ibu juga mau seperti dia. Bukankah anak Bu Sandi adalah teman sekolahmu?"
Barra diam tidak menanggapi kata-kata ibunya. "Temanmu sudah punya dua anak. Kamu satu aja belum. Ini bahkan sudah lebih dari lima tahun."
"Ibu ... sudahlah, mungkin memang belum saatnya kami punya anak."
"Coba saja dulu kamu menikah dengan orang lain. Kalau ibu jadi kamu sih ibu akan mencari perempuan lain yang masih muda dan bisa hamil." Kata-kata sang mertua benar-benar menyakiti perasaan Rania.
"Barra ... bagaimana kalau nanti kita periksa ke dokter. Aku sudah beberapa kali periksa dan hasilnya aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan rahimku. Mungkin kamu juga harus periksa."
"Lihatlah, istrimu berani bicara seperti itu. Bukankah itu seakan menganggap kamu yang bermasalah?" Barra melirik ke arah Rania.
"Jangan salah mengartikan kata-kata ku. Aku tidak bermaksud seperti itu." Rania mencoba menjelaskan.
"Tentu saja dia bermaksud demikian. Dia sengaja ingin menyalahkan mu atas kemandulannya." Mertuanya terus berusaha memojokkan Rania.
"Bukan begitu Bu, Barra memiliki kebiasaan merokok dan juga minum alkohol, mungkin itu ada pengaruhnya dengan kualitas sp****nya." Kali ini Rania ingin membela dirinya.
"Oh ... dia sudah berani merendahkan mu di depan Ibumu sendiri? Bahkan berani mengatakan hal seperti itu di depan Ibu. Selain mandul ternyata dia juga tidak tahu malu!"
Barra hanya diam, tapi matanya terus menatap Rania dengan penuh kemarahan.
"Jangan terus menyalahkan aku Bu ... "
"Cukup Rania!!!"
"Aku sehat, tidak ada yang salah denganku! Jadi jangan bicara macam-macam lagi!" Barra berdiri dan meninggalkan meja makan penuh dengan amarah. Dia telah termakan omongan ibunya.
Sang mertua melirik Rania dengan wajah yang tersenyum penuh kemenangan. Rania berlari menyusul Barra yang lebih dulu masuk ke dalam kamar. Rania berpikir mungkin kata-katanya tadi menyinggung harga diri Barra sebagai seorang laki-laki. Tapi dia juga bosan jika terus-terusan disalahkan oleh mertuanya.
Rania mendekati Barra yang sedang duduk di balkon kamarnya. Dia terlihat murung.
"Maafkan kata-kata ku tadi." Barra tidak menjawab.Dia terus memandang ke depan tanpa mempedulikan Rania di sampingnya.
"Maafkan kata-kata ku tadi." Barra tidak menjawab. Dia terus memandang ke depan tanpa mempedulikan Rania yang kini berdiri di sampingnya.
"Tidak di rumah maupun di kantor, semua orang terus membahas aku yang belum punya anak. Aku capek terus-terusan ditanyai soal anak. Aku juga sangat menginginkan anak sama seperti kamu dan Ibu."
"Kita bisa mengadopsi anak kalau kamu mau. Aku tidak keberatan," balas Rania.
"Tapi aku keberatan. Itu bukan darah daging ku dan kita tidak tahu asal usul anak itu. Bagaimana jika orang tuanya adalah penjahat, atau mempunyai penyakit turunan dan banyak hal lain yang harus kita pertimbangkan untuk mengadopsi seorang anak."
"Ayolah ... Barra jangan berpikiran negatif seperti itu. Tergantung bagaimana kita mendidik dan merawatnya nanti."
"Aku tetap tidak mau selain darah daging ku. Lagian ibu pasti tidak akan menyukainya. Anak itu justru akan menderita nanti jika ibu memperlakukannya dengan buruk."
"Lalu kita harus bagaimana? Aku sudah mengikuti semua program kehamilan yang kamu katakan. Macam-macam vitamin juga rajin aku konsumsi. Apalagi yang harus ku lakukan?"
"Kamu harus terus berusaha."
"Jangan hanya aku, kamu juga. Kamu belum pernah sekalipun memeriksakan dirimu."
"Haahhh ... aku tidak ada waktu." Barra terlihat mulai emosi lagi.
"Kapan kamu bisa? Aku akan jadwalkan pertemuan dengan Dewi dan kita konsultasi bersama."
"Sudah kubilang aku tidak ada waktu. Kamu saja yang ke sana!" Barra mulai meninggikan suaranya.
"Barra, jangan membebankan semua ini kepadaku seolah-olah hanya akulah yang punya kekurangan di sini. Aku sudah terbukti sehat tidak ada masalah dengan reproduksi ku!" Suara Rania tak kalah tinggi dari Barra. Dia sendiri juga lelah terus-terusan disalahkan.
"Jadi kamu mau bilang kalau semua ini salahku?! Aku yang mandul begitu maksudmu hah?!!" Barra mulai berteriak. Mungkin ibunya yang berada di lantai bawah sudah mendengar teriakan Barra sekarang. "Kamu lihat kan? Badanku kekar dan sangat sehat. Aku tidak sakit-sakitan juga tidak punya riwayat penyakit apapun. Jadi jangan mengada-ada!"
"Jangan berteriak padaku! Jangan pikir hanya kamu satu-satunya yang merasa lelah dengan semua ini!!" balas Rania dengan teriakan tak kalah dari Barra. "Aku capek Barra!! Aku capek setiap hari terus dicaci dan dikatai sebagai perempuan mandul oleh Ibumu!!"
"Kamu yang tidak bisa memberiku anak! Jangan menyalahkan ku! Jangan membalikkan faktanya dengan mengatakan kamu sehat. Memang benar kata ibu, kamu itu perempuan mandul! mandul!! Kamu dengar itu? kamu mandul!!"
Kata-kata Barra benar-benar menyakiti perasaan Rania. Dia memang sering mendengar mertuanya mengatainya demikian, tapi Barra satu-satunya orang dia harap bisa mengerti keadaannya juga ikut mengatainya. Ini benar-benar menyakitkan untuk Rania.
"Cabut kata-kata mu barusan!" ucap Rania sambil menitikkan air matanya. Barra mengusap wajahnya kasar tapi tidak berani menatap Rania.
Sementara tanpa diketahui keduanya, ibu Barra menguping di balik pintu. Setelah mendengar teriakan Barra tadi, ibunya langsung berlari menaiki tangga menuju kamar Barra. Tapi bukannya melerai, dia justru menguping di depan pintu dengan tawa penuh kemenangan.
"Apa-apaan ini Barra? Kenapa kalian bertengkar seperti ini?!" Ibu Barra membuka pintu tanpa permisi dan berakting seolah tidak tahu apa-apa. Dia menahan senyum melihat Rania menangis.
Barra menghembuskan nafas kasar.
"Sepertinya ibu benar, perempuan ini memang mandul!" Sekali lagi kata-kata Barra menusuk perasaan Rania. Dia sudah sangat keterlaluan. Rania menatap tidak percaya kepada Barra, dia tidak percaya suami yang begitu dicintainya tega mengatakan hal demikian di depan ibunya.
"Ibu juga bilang apa? Sudah berkali-kali ibu mengingatkan kamu tapi kamu tidak mendengar omongan ibu. Coba saja kamu menceraikan dia sejak dulu dan menikah lagi, pasti kamu sudah memiliki anak sekarang dan hidupmu pasti bahagia," ucap ibunya sinis.
Kehadiran mertuanya tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Air mata Rania menetes semakin deras.
"Ibu benar, aku akan menceraikan dia. Seharusnya aku lakukan itu dari dulu." Dunia Rania seakan runtuh mendengar kata-kata Barra.
"Tidak Barra, jangan ceraikan aku. Aku mencintaimu, kamu juga mencintai ku kan? jangan ceraikan aku ... " Rania mendekati Barra sambil terisak.
"Tidak usah dengarkan dia. Kamu harus segera menceraikannya dan menikah lagi."
Barra terlihat bingung. Di satu sisi dia sangat mencintai Rania, di sisi lain dia juga sangat menyayangi ibunya dan dia selalu menuruti kata-kata ibunya.
Rania meraih tangan Barra dan mecoba menatap matanya. Tapi Barra memalingkan wajahnya. Entah dia tidak berani menatap Rania karena merasa bersalah atau karena dia memang sudah tidak sudi untuk sekedar melihatnya.
"Barra ... lihat aku, katakan kamu mencintaiku. Tarik kata-kata mu tadi ... " Rania memohon sambil terus memegangi tangan Barra. Tapi Barra tetap diam membisu.
"Jangan ceraikan aku, kumohon ... Kita masih bisa mengusahakan ini bersama."
"Segera ambil keputusan Barra, jangan berlama-lama terjebak dengan perempuan mandul ini. Kamu hanya buang-buang waktumu saja dengannya."
Barra mengambil nafas dalam. "Aku akan memberimu waktu satu bulan, jika dalam sebulan ini kamu tidak juga hamil, maka aku akan menceraikan mu!" ucapnya pelan. Rania tahu itu bukan murni keinginan Barra. Kemudian Barra meninggalkan Rania di dalam kamar bersama ibunya.
"Dan jangan mengharapkan harta gono-gini, kamu tidak mempunyai anak dari Barra jadi kamu tidak akan kami beri sepeserpun jika nanti Barra menceraikan mu! Kamu akan pergi dari rumah ini tanpa membawa apa-apa! Camkan itu!!" imbuh mertuanya sambil berlalu.
Mertuanya sama sekali tidak berempati terhadap Rania. Seolah apa yang dia rasakan saat ini belum cukup, mertuanya justru menambahinya dengan kata-kata yang tidak kalah menyakitkan.
Tinggallah Rania seorang diri di dalam kamar meratapi nasibnya. Bagaimana dia bisa hamil dalam waktu sebulan jika selama lima tahun menikah dia belum juga hamil. Seandainya saja Barra mau tinggal terpisah dari ibunya tentu semua ini tidak akan terjadi. Jika memang dirinya belum bisa hamil pasti Barra akan bisa mengerti. Ibunya lah yang terus-terusan mencekoki Barra dengan mengatakan hal yang buruk-buruk tentang Rania dan terus memojokkannya. Jika saja urusan rumah tangganya tidak dicampuri oleh mertuanya pasti tidak akan seberat ini.
Barra sangat mencintai Rania, tapi ternyata dominasi ibunya lebih kuat daripada cintanya pada Rania. Beruntung sekali mereka yang mendapatkan mertua yang sabar dan pengertian.
Rania hanya bisa menangis untuk meluapkan emosi di dadanya yang sedang bergemuruh. Ini terlalu menyakitkan baginya. Jika mertuanya yang mengatainya mandul mungkin tidak akan sesakit ini karena Rania sudah terbiasa. Tapi kali ini Barra, suaminya sendiri yang mengatainya sebagai perempuan mandul. Itu benar-benar mencabik-cabik perasaannya.
Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa hamil dalam waktu satu bulan? Sungguh kata-kata mereka tidak masuk akal bagiku. Kenapa hanya aku yang disalahkan atas semua ini? Bukankah ada kemungkinan Barra yang mandul?
"Aku harus menemui Dewi, mungkin dia tahu solusinya." Lala mengusap air matanya dan bersiap-siap untuk pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!