Rania sudah berdiri di lorong rumah sakit yang mulai tampak sepi. Ini sudah hampir jam sembilan malam. Dia cukup nekat untuk keluar rumah jam segini. Tapi rasa bingungnya membuatnya harus menemukan seseorang untuk berbagi keluh kesahnya. Dan disinilah dia sekarang di depan ruangan praktek dokter kandungan subspesialis fertilitas.
dr. Dewi, begitulah nama yang tertera di pintu ruangan tersebut. Dewi tadinya adalah dokter yang menangani program kehamilan Rania. Saking seringnya Rania berkonsultasi kepada Dewi hingga membuat Rania nyaman bercerita kepada Dewi dan kini mereka juga berteman.
Rania tidak tahu apakah Dewi ada di ruangannya atau tidak. Tepat saat Rania hendak mengetuk, pintu itu terbuka. Rania kaget, begitu juga Dewi yang berada di balik pintu.
"Rania ...? Sedang apa kmu malam-malam disini? Kamu tidak ada janji denganku kan? Jam praktek ku sudah selesai ini," ucap Dewi heran.
"Tidak, aku hanya sedang butuh teman. Apa aku mengganggu?"
"Tidak, aku sudah selesai. Ayo kita bicara sambil makan di cafe sekitar sini. Kebetulan aku belum makan malam."
Rania mengangguk.
"Kita jalan kaki saja, tempatnya dekat kok."
"Terserah kamu saja, asal aku boleh ikut."
Saat ini hanya Dewi lah yang bisa dijadikan tempat untuk berkeluh kesah oleh Rania. Teman-temannya semasa kerja dulu sudah jarang dia temui. Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, selain itu mereka juga mengenal Barra. Rania tidak mau dia salah bicara dan membuat aibnya dan Barra menyebar di kantor tempat Barra bekerja, yang dulunya adalah kantornya juga.
Tadinya Rania hanya merantau ke kota ini untuk kuliah. Tapi setelah lulus kuliah dia mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus hingga dia memutuskan untuk menetap. Kinerjanya yang bagus membuatnya cepat mendapatkan posisi yang mapan di usia muda. Saat karirnya sedang menanjak itulah Barra yang jabatannya sedikit lebih tinggi mempersuntingnya.
Dengan alasan agar Rania fokus mengurus rumah dan agar cepat hamil, Barra meminta Rania untuk berhenti kerja setelah mereka menikah. Rasa cintanya yang begitu besar membuat Rania mengikuti keinginan Barra untuk berhenti bekerja toh dia tidak akan kekurangan secara materi jika menikah dengan Barra.
Mereka berdua sudah duduk dan menikmati hidangan di dalam cafe.
"Kamu masih berani makan jam segini?" tanya Rania.
"Kenapa memangnya?" Dewi balik bertanya.
"Entahlah, kamu kan dokter. Biasanya dokter memiliki aturan sendiri dengan jam makan malam tidak boleh di atas jam tertentu."
Dewi hanya tersenyum sambil terus mengunyah makanannya. "Aku praktek dari jam tujuh tadi, dan jam sembilan baru selesai. Jadi aku harus makan malam jam berapa?"
"Iya juga ya ..."
"Katakan apa yang membuatmu menemui aku jam segini?"
"Aku tidak tahu harus mulai darimana."
"Kalau begitu ceritakan intinya saja."
"Barra akan menceraikan aku jika aku hamil dalam waktu satu bulan."
Dewi tersedak mendengar kata-kata Rania. Dia segera meraih gelas minumannya untuk mengguyur tenggorokannya.
"Sebenarnya aku ingin tertawa mendengarnya. Bagaimana mungkin kamu hamil dalam waktu satu bulan jika lima tahun berhubungan se** kamu juga tidak hamil? Tidak masuk akal."
"Tolong beri aku solusi, bagaimana caranya?"
"Hanya mukjizat yang bisa menolong mu," balas Dewi datar.
"Aku sedang sedih Dew ... jangan bercanda." Dewi ini sangat berbeda saat dia sedang praktek di ruangannya dan saat dia sedang di luar bersama temannya. Saat ini dia sedang bersama temannya, bukan pasiennya. Walaupun bisa dianggap tidak profesional tapi Dewi tetap menikmati pertemanannya dengan Rania.
"Aku juga tidak bercanda. Bagaimana aku memberi solusi jika aku tidak tahu riwayat kesehatan suamimu."
"Apa yang harus aku lakukan? Kamu sudah tahu suamiku tidak mau memeriksakan kondisinya ke dokter. Bagaimana caranya agar aku bisa hamil dalam waktu satu bulan?"
"Dengar, satu-satunya jalan adalah dengan memeriksa fertilitas suamimu. Itu bisa dengan cara menganalisis sp****nya. Jika kita tidak tahu apa sumber masalahnya bagaimana kita bisa mencari solusinya. Sebenarnya apa sih alasannya tidak mau memeriksakan kesehatannya? Bukankah dia juga menginginkan anak?"
"Dia bilang dia tidak ada waktu, selain itu juga dia merasa dirinya sehat secara s*****l."
Dewi menghembuskan nafas panjang. " Selalu seperti itu. Orang-orang cenderung menyudutkan wanita sebagai pihak yang bermasalah padahal belum tentu seperti itu. Pria selalu merasa meraka perkasa dan tidak punya masalah dengan kesuburan."
"Bagaimana dengan bayi tabung? Apa itu mungkin?"
"Mungkin saja, memerlukan empat Minggu untuk melakukan pengujian, dan sekali lagi ku katakan, ini harus melibatkan suamimu. Jika untuk memeriksa kesehatan saja dia tidak mau apa lagi untuk melakukan serangkaian tes?" Profesi Dewi yang seorang dokter membuatnya terbiasa bicara terus terang tanpa ada yang ditutupi.
"Dengar Ran, paksa suami mu agar mau memeriksakan dirinya. Jangan hanya kamu yang terus-terusan berusaha mengikuti program ini itu tapi tidak ada hasilnya. Program kehamilan tidak bisa diikuti hanya oleh salah satu pihak."
"Aku sudah mencobanya, dan lihatlah hasilnya. Aku diancam akan diceraikan jika tidak hamil dalam waktu satu bulan. Lebih buruknya lagi, mertuaku mengancam tidak akan memberiku harta gono-gini jika nanti aku diceraikan." Rania tertawa getir.
Untuk kali ini Dewi iba mendengar perkataan Rania.
"Aku tidak punya apa-apa jika sampai mereka mendepak ku dari rumah itu tanpa uang sepeser pun. Menyesal aku kenapa dulu mau saja disuruh berhenti kerja."
"Memangnya kamu tidak punya tabungan? Suamimu kan cukup kaya, dia pasti memberimu uang yang tidak sedikit setiap bulannya."
Rania menggeleng. "Hanya mobil itu satu-satunya hartaku yang aku beli dengan uangku sendiri dulu sewaktu masih kerja. Ibu mertuaku selalu meminta uang secara diam-diam kepadaku. Jatah bulanan dari suamiku tidak pernah cukup untuknya sehingga dia meminta jatah lagi dariku, otomatis uang yang seharusnya aku gunakan untuk diriku sendiri kuberikan padanya."
"Apa ... ??" Dewi hampir berteriak tidak percaya.
"Kamu gila atau mertuamu yang gila? Bagaimana kamu bisa memberikan uang yang seharusnya milikmu?"
"Aku tidak punya pilihan."
"Kamu bisa memberitahu suamimu tentang kelakuan ibunya. Jangan kamu diamkan. Kamu sendiri kan yang rugi."
"Percuma, aku tidak punya bukti. Dia selalu minta uang cash agar tidak ada bukti. Suamiku pasti akan lebih percaya ibunya."
"Lalu begitu kamu bilang saja kamu tidak punya uang cash setiap kali dia minta uang padamu."
"Sudah kucoba, tapi dia menyuruhku mengambil di ATM saat itu juga. Dia tidak akan berhenti mengomeli ku sampai aku mengambilkan uang untuknya."
"Dan kamu bisa bertahan sampai saat ini? Aku tidak tahu sebenarnya kamu ini bodoh atau terlalu baik."
"Aku mencintai suamiku Dew ... Dia juga sangat mencintaiku, hanya saja ibunya terlalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Dia terlalu mendikte apa yang suamiku harus lakukan dan hebatnya suamiku menurutinya." Rania kembali tertawa miris. Dia menertawakan dirinya sendiri yang seperti Dewi bilang, terlalu bodoh atau terlalu baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Nani Mardiani
Intinya kamu Rania bodoh mau - maunya ditindas sama mertuamu, tegas donk Rania bukannya manut aja sama mertua. Secinta apapun sama suami kamu harus punya backup minimal uang atau perhiasan jd dimana suami menceraikanmu kita ada modal untuk bangkit dan tunjukkan kamu tidak lemah.
2023-04-26
1
Ari Arie
ketemu lagi model cewe ginian, mbok ada cewe yg cerdas gitu..
2022-02-19
0
Rohanisimanjorang Msi Sophie Perbaungan
bodoh dan terlalu baik itu beda tipis
2022-02-13
1