"Maafkan kata-kata ku tadi." Barra tidak menjawab. Dia terus memandang ke depan tanpa mempedulikan Rania yang kini berdiri di sampingnya.
"Tidak di rumah maupun di kantor, semua orang terus membahas aku yang belum punya anak. Aku capek terus-terusan ditanyai soal anak. Aku juga sangat menginginkan anak sama seperti kamu dan Ibu."
"Kita bisa mengadopsi anak kalau kamu mau. Aku tidak keberatan," balas Rania.
"Tapi aku keberatan. Itu bukan darah daging ku dan kita tidak tahu asal usul anak itu. Bagaimana jika orang tuanya adalah penjahat, atau mempunyai penyakit turunan dan banyak hal lain yang harus kita pertimbangkan untuk mengadopsi seorang anak."
"Ayolah ... Barra jangan berpikiran negatif seperti itu. Tergantung bagaimana kita mendidik dan merawatnya nanti."
"Aku tetap tidak mau selain darah daging ku. Lagian ibu pasti tidak akan menyukainya. Anak itu justru akan menderita nanti jika ibu memperlakukannya dengan buruk."
"Lalu kita harus bagaimana? Aku sudah mengikuti semua program kehamilan yang kamu katakan. Macam-macam vitamin juga rajin aku konsumsi. Apalagi yang harus ku lakukan?"
"Kamu harus terus berusaha."
"Jangan hanya aku, kamu juga. Kamu belum pernah sekalipun memeriksakan dirimu."
"Haahhh ... aku tidak ada waktu." Barra terlihat mulai emosi lagi.
"Kapan kamu bisa? Aku akan jadwalkan pertemuan dengan Dewi dan kita konsultasi bersama."
"Sudah kubilang aku tidak ada waktu. Kamu saja yang ke sana!" Barra mulai meninggikan suaranya.
"Barra, jangan membebankan semua ini kepadaku seolah-olah hanya akulah yang punya kekurangan di sini. Aku sudah terbukti sehat tidak ada masalah dengan reproduksi ku!" Suara Rania tak kalah tinggi dari Barra. Dia sendiri juga lelah terus-terusan disalahkan.
"Jadi kamu mau bilang kalau semua ini salahku?! Aku yang mandul begitu maksudmu hah?!!" Barra mulai berteriak. Mungkin ibunya yang berada di lantai bawah sudah mendengar teriakan Barra sekarang. "Kamu lihat kan? Badanku kekar dan sangat sehat. Aku tidak sakit-sakitan juga tidak punya riwayat penyakit apapun. Jadi jangan mengada-ada!"
"Jangan berteriak padaku! Jangan pikir hanya kamu satu-satunya yang merasa lelah dengan semua ini!!" balas Rania dengan teriakan tak kalah dari Barra. "Aku capek Barra!! Aku capek setiap hari terus dicaci dan dikatai sebagai perempuan mandul oleh Ibumu!!"
"Kamu yang tidak bisa memberiku anak! Jangan menyalahkan ku! Jangan membalikkan faktanya dengan mengatakan kamu sehat. Memang benar kata ibu, kamu itu perempuan mandul! mandul!! Kamu dengar itu? kamu mandul!!"
Kata-kata Barra benar-benar menyakiti perasaan Rania. Dia memang sering mendengar mertuanya mengatainya demikian, tapi Barra satu-satunya orang dia harap bisa mengerti keadaannya juga ikut mengatainya. Ini benar-benar menyakitkan untuk Rania.
"Cabut kata-kata mu barusan!" ucap Rania sambil menitikkan air matanya. Barra mengusap wajahnya kasar tapi tidak berani menatap Rania.
Sementara tanpa diketahui keduanya, ibu Barra menguping di balik pintu. Setelah mendengar teriakan Barra tadi, ibunya langsung berlari menaiki tangga menuju kamar Barra. Tapi bukannya melerai, dia justru menguping di depan pintu dengan tawa penuh kemenangan.
"Apa-apaan ini Barra? Kenapa kalian bertengkar seperti ini?!" Ibu Barra membuka pintu tanpa permisi dan berakting seolah tidak tahu apa-apa. Dia menahan senyum melihat Rania menangis.
Barra menghembuskan nafas kasar.
"Sepertinya ibu benar, perempuan ini memang mandul!" Sekali lagi kata-kata Barra menusuk perasaan Rania. Dia sudah sangat keterlaluan. Rania menatap tidak percaya kepada Barra, dia tidak percaya suami yang begitu dicintainya tega mengatakan hal demikian di depan ibunya.
"Ibu juga bilang apa? Sudah berkali-kali ibu mengingatkan kamu tapi kamu tidak mendengar omongan ibu. Coba saja kamu menceraikan dia sejak dulu dan menikah lagi, pasti kamu sudah memiliki anak sekarang dan hidupmu pasti bahagia," ucap ibunya sinis.
Kehadiran mertuanya tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Air mata Rania menetes semakin deras.
"Ibu benar, aku akan menceraikan dia. Seharusnya aku lakukan itu dari dulu." Dunia Rania seakan runtuh mendengar kata-kata Barra.
"Tidak Barra, jangan ceraikan aku. Aku mencintaimu, kamu juga mencintai ku kan? jangan ceraikan aku ... " Rania mendekati Barra sambil terisak.
"Tidak usah dengarkan dia. Kamu harus segera menceraikannya dan menikah lagi."
Barra terlihat bingung. Di satu sisi dia sangat mencintai Rania, di sisi lain dia juga sangat menyayangi ibunya dan dia selalu menuruti kata-kata ibunya.
Rania meraih tangan Barra dan mecoba menatap matanya. Tapi Barra memalingkan wajahnya. Entah dia tidak berani menatap Rania karena merasa bersalah atau karena dia memang sudah tidak sudi untuk sekedar melihatnya.
"Barra ... lihat aku, katakan kamu mencintaiku. Tarik kata-kata mu tadi ... " Rania memohon sambil terus memegangi tangan Barra. Tapi Barra tetap diam membisu.
"Jangan ceraikan aku, kumohon ... Kita masih bisa mengusahakan ini bersama."
"Segera ambil keputusan Barra, jangan berlama-lama terjebak dengan perempuan mandul ini. Kamu hanya buang-buang waktumu saja dengannya."
Barra mengambil nafas dalam. "Aku akan memberimu waktu satu bulan, jika dalam sebulan ini kamu tidak juga hamil, maka aku akan menceraikan mu!" ucapnya pelan. Rania tahu itu bukan murni keinginan Barra. Kemudian Barra meninggalkan Rania di dalam kamar bersama ibunya.
"Dan jangan mengharapkan harta gono-gini, kamu tidak mempunyai anak dari Barra jadi kamu tidak akan kami beri sepeserpun jika nanti Barra menceraikan mu! Kamu akan pergi dari rumah ini tanpa membawa apa-apa! Camkan itu!!" imbuh mertuanya sambil berlalu.
Mertuanya sama sekali tidak berempati terhadap Rania. Seolah apa yang dia rasakan saat ini belum cukup, mertuanya justru menambahinya dengan kata-kata yang tidak kalah menyakitkan.
Tinggallah Rania seorang diri di dalam kamar meratapi nasibnya. Bagaimana dia bisa hamil dalam waktu sebulan jika selama lima tahun menikah dia belum juga hamil. Seandainya saja Barra mau tinggal terpisah dari ibunya tentu semua ini tidak akan terjadi. Jika memang dirinya belum bisa hamil pasti Barra akan bisa mengerti. Ibunya lah yang terus-terusan mencekoki Barra dengan mengatakan hal yang buruk-buruk tentang Rania dan terus memojokkannya. Jika saja urusan rumah tangganya tidak dicampuri oleh mertuanya pasti tidak akan seberat ini.
Barra sangat mencintai Rania, tapi ternyata dominasi ibunya lebih kuat daripada cintanya pada Rania. Beruntung sekali mereka yang mendapatkan mertua yang sabar dan pengertian.
Rania hanya bisa menangis untuk meluapkan emosi di dadanya yang sedang bergemuruh. Ini terlalu menyakitkan baginya. Jika mertuanya yang mengatainya mandul mungkin tidak akan sesakit ini karena Rania sudah terbiasa. Tapi kali ini Barra, suaminya sendiri yang mengatainya sebagai perempuan mandul. Itu benar-benar mencabik-cabik perasaannya.
Bagaimana ini? Bagaimana aku bisa hamil dalam waktu satu bulan? Sungguh kata-kata mereka tidak masuk akal bagiku. Kenapa hanya aku yang disalahkan atas semua ini? Bukankah ada kemungkinan Barra yang mandul?
"Aku harus menemui Dewi, mungkin dia tahu solusinya." Lala mengusap air matanya dan bersiap-siap untuk pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Morna Simanungkalit
Barralah yang mandul kenapa dia nga mau periksa.
2024-06-10
0
Raynafsir Nafsir
pasti nanti saat penceraian Rania jadi hamil. seperti kisah dinovel sebelah dgn judul yang sama
2022-12-03
0
Anisnikmah
bukan hanya badan sehat saja yang membuat sehat untuk hamil. Rania sehat lah barra gak mau di periksa terus menyalahkan Rania. tepuk jidat kamu barra
2022-02-16
1