Rania pulang ke rumah setelah hampir jam sebelas malam. Setidaknya mengeluarkan uneg-unegnya kepada Dewi membuat perasaannya sedikit lega. Suasana rumah sudah sepi, sepertinya sang mertua sudah tidur, begitu pula suaminya, Barra. Lampu-lampu juga sudah dipadamkan. Rania langsung menuju kamarnya di lantai atas. Dia kaget saat membuka pintu dan menemukan Barra masih terjaga dan duduk di sofa di dalam kamar mereka.
"Kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Barra dingin.
"Mencari tempat tinggal," jawab Rania asal. "Aku harus mempersiapkan diriku jika sewaktu-waktu kamu mengusirku dari rumah ini."
Barra tertegun mendengar jawaban dari Rania. Dia membuka mulutnya ingin bicara tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Rania memalingkan wajahnya tidak ingin menatap Barra. Dia masih marah atas kata-kata Barra saat menghinanya di depan mertuanya tadi.
Barra berdiri mendekati Rania. "Dengar, aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya tadi. Mungkin kita bisa memperbaikinya."
Sebenarnya hanya permohonan maaf yang diharapkan keluar dari mulut Barra, tapi sepertinya itu tidak akan terjadi.
"Tapi aku menganggapnya serius sekarang. Aku sudah memohon padamu. Aku memang mencintaimu Barra, kamu tahu itu. Tapi aku tidak bisa terima penghinaan darimu."
"Sudahlah, kita lupakan itu." Barra hendak meraih tangan Rania.
"Ibu mengancam tidak akan memberiku sepeserpun hartamu." Rania masih tidak ingin melihat wajah Barra.
Kata-kata Barra tadi masih terngiang-ngiang di telinganya.
"Bisakah kamu tidak membicarakan ibu sekali saja?" Barra mengurungkan niatnya. Dia terlihat emosi lagi setelah Rania menyebut ibunya. Seolah pertengkaran mereka tadi belum usai, kini mereka bertengkar lagi.
"Apa aku salah lagi?" tanya Rania mulai jengah. Setiap kali dia menyebut ibu mertuanya Barra selalu terbawa emosi. "Dimanakah letak kesalahan kata-kata ku? Ibu memang mengatakan seperti itu. Aku tidak akan diberi harta gono-gini jika nanti kita bercerai."
"Cukup Rania! Sepertinya aku tidak bisa bersikap lunak padamu! Apa hanya itu yang kamu pikirkan ... ? Harta ...?! Bukannya khawatir dengan nasib rumah tangga kita tapi kamu khawatir tidak akan mendapatkan harta gono-gini?!" Barra sudah mulai berteriak lagi.
"Lihatkan ...? Kamu selalu salah paham jika aku mengatakan sesuatu yang menyangkut ibumu! Ini rumah tangga kita Barra! hanya kita berdua!! Tidak seharusnya ibu ikut campur dalam urusan rumah tangga kita apalagi ikut mengambil keputusan di dalamnya!!"
"Apa kamu menyuruhku menjadi anak durhaka?"
"Apa kamu masih tidak mengerti? Bagian mana aku mengatakan agar kamu melawan Ibumu?! Aku hanya ingin kamu bisa membuat keputusan sendiri tanpa pengaruh dari ibu. Kamu bahkan akan menceraikan aku karena pengaruh dari ibu!!"
"Berhentilah menjelekkan ibuku atau aku benar-benar tidak akan memberi uang sepeser pun saat aku menceraikan mu nanti!!"
"Tidak ada gunanya berdebat denganmu! Aku akan tidur di kamar lain saja!" Rania keluar dari kamar sambil membanting pintu untuk melampiaskan kemarahannya. Dia yakin saat ini mertuanya terbangun karena teriakan Barra dan tertawa kegirangan mendengar pertengkaran mereka.
Rania berjalan menuju kamar lain di dalam rumah ini. Dia segera meletakkan tubuhnya di kasur. Rasa lelah menyelimuti tubuh dan pikirannya. Ingin sekali dia memejamkan matanya tapi gemuruh di dadanya membuatnya tetap terjaga.
Selama lima tahun dia berbakti kepada suami dan mertuanya. Dia lebih mirip seperti pembantu dari pada istri dari pegawai yang punya jabatan tinggi. Hari-harinya dia habiskan untuk mengurus rumah tanpa sempat memikirkan dirinya sendiri. Walaupun Barra memberinya uang berlebih tapi Rania tidak menggunakannya untuk foya-foya. Rania hanya belanja seperlunya. Dia selalu menyisihkan uang pemberian Barra untuk ditabung walaupun pada akhirnya hanya dipalak oleh mertuanya. Dan setelah semua pengorbanan itu, akhirnya dia akan dicampakkan begitu saja.
Jauh di dalam hati Rania dia tidak terima. Jika selama lima tahun ini dia tetap bekerja pasti sekarang dia sudah bisa membeli rumah sendiri dan punya tabungan. Setiap hari dia akan berangkat ke kantor dengan pakaian formal yang modis, dan make up yang selalu on. Berjalan melenggang dengan high heels yang selalu menemani. Semua mata dulu tertuju padanya. Rania jadi teringat masa-masa mudanya dulu.
Tapi sekarang dia lebih sering memakai daster lusuh dan wajah yang tidak terurus. Dia bahkan tidak punya apa-apa, hanya beberapa juta di rekeningnya itupun belum kalau mertuanya minta uang lagi, dia benar-benar akan keluar dari rumah ini tanpa apa-apa. Sesal kemudian menyelimuti hati Rania. Betapa bodohnya dia memutuskan berhenti kerja, betapa bodohnya dia terus memberi uang jika mertuanya meminta, atau lebih tepatnya memalaknya.
Harusnya uang itu miliknya, jatah untuknya sendiri tapi dia memberikannya pada mertuanya karena malas meladeni omelannya. Dan sekarang ketika nasibnya di ujung tanduk, dia tidak punya apa-apa untuk bergantung.
Tidak mungkin juga dia pulang ke kampung halamannya karena setahu orang tuanya, pernikahannya bahagia dan baik-baik saja.
"Aku tidak akan berakhir seperti ini. Aku tidak akan membiarkan mereka mencampakkannya aku setelah semua pengorbananku selama ini. Aku tidak akan keluar dari rumah ini dengan tangan hampa. Aku harus membalas perlakuan mereka, terutama mertuaku. Jika mereka tidak memberi harta, maka aku akan merebutnya. Aku akan tetap menerima hak ku bagaimanapun caranya. Aku tidak boleh menyerah. Setidaknya aku harus mendapatkan ganti rugi atas lima tahunku yang mereka anggap sia-sia." Rania terus meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku tidak boleh lemah. Balas mereka, balas hinaan mereka. Aku akan menemukan caranya." Rania terus menyemangati dirinya sendiri sampai akhirnya tertidur.
* * *
Sudah tiga hari setelah pertengkaran itu. Barra dan Rania saling diam tanpa bicara satu sama lain. Rania juga masih tidur terpisah kamar dengan Barra. Pagi ini Rania bangun seperti biasanya. Dia segera mengerjakan pekerjaan seperti hari-hari biasanya. Kebetulan hari ini Barra libur, jadi dia ingin menunjukkan pada Barra jika dia bukanlah perempuan malas seperti yang ibunya katakan, walaupun sebenarnya Barra tahu Rania bukan pemalas.
Setelah selesai bersih-bersih dan memasak, Rania masuk ke kamarnya dan Barra berniat untuk mandi. Meskipun tidur terpisah, tapi semua pakaian Rania masih ada di kamarnya dan Barra. Rania segera menuju kamar mandi tanpa menghiraukan Barra yang masih duduk di kasur sepertinya baru bangun tidur. Selesai mandi Rania keluar dari dalam kamar mandi hanya melilitkan handuk di tubuhnya. Dia tadi terburu-buru masuk ke kamar mandi hingga lupa membawa pakaian ganti.
Barra yang melihat ini pun langsung tergoda apalagi sudah tiga hari dua tidak menyalurkan hasratnya. Bagaimanapun juga Rania adalah wanita pilihannya, istri yang sangat dicintainya. Melihat Rania hanya mengenakan handuk tentu membuat gairah laki-lakinya muncul. Pikiran nakalnya sudah melayang kemana-mana. Segera saja dia berdiri dan menyambar tubuh Rania.
"Bagaimana kamu bisa hamil dalam waktu sebulan jika kamu terus menghindari ku, hmm ...?" Barra sudah tidak bisa mengkondisikan tangan dan bibirnya. Rania tidak kuasa menolak karena dia sendiri juga menginginkannya. Tidak sampai satu detik handuk yang dipakai Rania sudah tergeletak di lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Morna Simanungkalit
thor kenapa hanya menantu saja yang disalahkan maunya mertuanya juga haruslah ikut disalahkan karena anak adalah pemberian Tuhan.
2024-06-10
0